Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
Apa Itu Ghuluw?
Ghuluw,
dalam bahasa Arab bermakna: berlebih, naik, dan melampaui batas.
(Al-Mu’jamul Wasith, 2/232. Lihat pula Ash-Shihah, 2/24, dan Lisanul
Arab, 15/131)
Dalam
terminologi syariat, ghuluw bermakna berlebih-lebihan dalam suatu
perkara dan bersikap ekstrem padanya dengan melampaui batas yang telah
disyariatkan. (Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
t, 13/291 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, 1/479)1
Ghuluw
secara umum terbagi menjadi dua macam: ghuluw dalam hal aqidah
(keyakinan) dan ghuluw dalam hal amalan. (Lihat Iqtidha’ Ash-Shirathil
Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, 1/253)
Rinciannya
sangat banyak. Di antaranya ghuluw dalam hal aqidah, ibadah, muamalah,
adat (kebiasaan), suluk (budi pekerti)2, ghuluw terhadap sosok tertentu,
terhadap pepohonan, bebatuan, tempat-tempat (yang dikeramatkan),
kubur-kubur, dan lain sebagainya. (Lihat Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit
Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, 1/234,
I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, 1/480, Al-Qaulus Sadid fi
Maqashidit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t dan
Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz
Alusy Syaikh hafizhahullah, 1/734)
Adapun
ijtihad yang bermakna bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kebenaran,
tidak termasuk dari ghuluw.3 Kecuali jika maksud dari ijtihad tersebut
adalah berbanyak-banyakan dalam ketaatan di luar batas yang telah
disyariatkan, maka bisa termasuk ke dalam ghuluw.” (Al-Qaulul Mufid Ala
Kitabit Tauhid, 1/244)
Ghuluw Dalam Kehidupan Umat Manusia
Sejak
dahulu kala, ghuluw telah menjadi bagian dari realita kehidupan umat
manusia. Keberadaannya, menjadikan umat tersebut tercoreng sebagai umat
yang melampaui batas. Lebih dari itu, ghuluw merupakan sumber petaka dan
penyebab kebinasaan dari masa ke masa. Tidaklah ia bercokol pada suatu
umat melainkan kehancuranlah bagi umat tersebut. Binasa agamanya karena
terjatuh dalam kekafiran, kesyirikan, atau kebid’ahan4 dan juga binasa
dunianya. Bahkan menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
hafizhahullah dalam kitab Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, munculnya
kelompok-kelompok sesat dalam kehidupan umat beragama, tak luput dari
peran besar ghuluw tersebut.
Tak
heran, jika setan menjadikannya sebagai senjata ampuh untuk menyesatkan
umat manusia. Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Tidaklah ada suatu
perkara yang Allah subhanahu wata’ala, perintahkan (kepada umat manusia,
pen.) melainkan setan menebarkan dua jaring jeratnya: meremehkan dalam
menjalankan perintah tersebut (tafrith & idha’ah) dan
berlebih-lebihan padanya (ifrath & ghuluw). Padahal agama yang Allah
subhanahu wata’ala, turunkan (kepada umat manusia) adalah agama
pertengahan. Ia berada di antara orang-orang yang bermudah-mudahan dalam
menjalankannya dan orang-orang yang berlebih-lebihan padanya. Ibarat
satu lembah di antara dua gunung, satu petunjuk di antara dua kesesatan,
dan satu poros di antara dua kutub yang tercela. Sebagaimana
orang-orang yang bermudah-mudahan (dalam menjalankannya) termasuk
menyia-nyiakan agama, demikian pula orang-orang yang berlebih-lebihan.
Jenis pertama karena sikap bermudah-mudahannya, sedangkan jenis kedua
karena sikap berlebihannya (melampaui batas) dari apa yang telah
disyariatkan.” (Madarijus Salikin, 2/496)
Dalam kalam ilahi, Allah l memperingatkan umat manusia dari perbuatan ghuluw dengan segala bentuknya. Allah l berfirman:
“Wahai
ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam
agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali
yang benar.” (An-Nisa’: 171)
“Katakanlah:
‘Hai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas)
dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia),
dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (Al-Ma’idah: 77)
Dalam
mutiara kenabian pun terdapat peringatan keras dari perbuatan ghuluw
tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
“Hati-hatilah
kalian dari perbuatan ghuluw dalam menjalankan agama ini, sesungguhnya
kebinasaan umat sebelum kalian disebabkan ghuluw dalam menjalankan
agama.” (HR. An-Nasa’i 2/49, Ibnu Majah 2/242, Ibnu Khuzaimah 1/282/2,
Ibnu Hibban no. 1011, Al-Hakim 1/466, Al-Baihaqi 5/127, dan Ahmad 1/215,
347, dari sahabat Abdullah bin Abbas c. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani t dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1283)
Asy-Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata: “Ini
merupakan larangan dari segala bentuk ghuluw. Sungguh ia penyebab
kebinasaan umat sebelum kita, binasa dari sisi agama dan juga dari sisi
dunia. Demikian pula, ia adalah sumber petaka. Adapun sikap pertengahan
merupakan pangkal keberhasilan dan kebaikan. Ghuluw dengan segala
bentuknya dilarang, baik dalam perkataan maupun perbuatan; yakni
perkataan hati dan perbuatannya, juga perkataan lisan serta perbuatan
anggota tubuh. Bahkan ia adalah sumber petaka seorang hamba, baik pada
agama maupun dunianya.” (At-Tamhid Lisyarhi Kitabit Tauhid, 1/345)
Ibrah Di Balik Realita Ghuluw
Para
pembaca yang semoga dirahmati Allah l, bila menelisik sejarah niscaya
akan dijumpai aneka ragam ghuluw dengan bobot dan kadarnya yang
berbeda-beda. Mengingat suatu sejarah akan terus berulang walaupun
dengan pelaku yang berbeda, maka penting bagi kita untuk mengetahui
fakta tersebut serta mengambil ibrah (pelajaran berharga) darinya. Agar
kita berhati-hati dalam menjalankan agama Islam yang lurus ini dan tidak
terperangkap dalam jaring jerat ghuluw yang membinasakan. Di antara
fenomena ghuluw yang layak dikaji dan penting untuk dijadikan bahan
refleksi adalah:
1. Kasus Ghuluw Pada Kaum Nabi Nuh alaihissalam
Kaum
Nabi Nuh q terjerat perkara ghuluw terhadap orang-orang shalih yang
bernama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Sahabat Abdullah bin
Abbas c ketika menafsirkan firman Allah l:
“Dan
mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan
(penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh: 23)
mengatakan:
“Mereka (Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, pen.) adalah nama
orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh q. Ketika mereka meninggal dunia,
setan membisikkan kepada kaum Nabi Nuh q agar membuat patung-patung
(berbentuk orang-orang shalih tersebut) di mana mereka biasa duduk
beribadah. Kemudian setan pun memerintahkan mereka agar menamai
patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kaum Nabi Nuh q pun
mengikuti perintah setan, namun (ketika itu) belum disembah. Tatkala
generasi pembuat patung tersebut meninggal dunia, sementara ilmu agama
telah sirna, maka dijadikanlah patung orang-orang shalih tersebut
sesembahan selain Allah l.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 4920)
Al-Imam
Ibnul Qayyim t menyebutkan versi lain bahwa ketika mereka meninggal
dunia, para pengikutnya pun beri’tikaf (berdiam diri untuk beribadah) di
sisi kubur mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung monumen
berbentuk patung orang-orang shalih tersebut. Setelah berlalu masa,
disembahlah patung-patung tersebut.” (Ighatsatul Lahafan, 1/184)
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala.
ghuluw
terhadap orang shalih, benar-benar telah mengotori lembaran sejarah
umat manusia dari masa ke masa. Diawali dengan beribadah kepada Allah
subhanahu wata’ala, di sisi kubur mereka. Kemudian membuat patung-patung
monumen berbentuk orang-orang shalih tersebut dan dinamai dengan
nama-nama mereka. Hingga akhirnya diibadahi dan disembah, sebagai sekutu
bagi Allah subhanahu wata’ala,. Sehingga tidaklah berlebihan jika
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t menyebutkan dalam Kitabut Tauhid
sebuah bab ‘Bahwasanya Sebab Kekafiran Bani Adam dan Ditinggalkannya
Agama Mereka Adalah Ghuluw Terhadap Orang-orang Shalih.’
Ghuluw
inilah yang menjadikan Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah putra
Allah subhanahu wata’ala,, berhak disembah dan diibadahi. Demikian pula
Nasrani berkeyakinan bahwa Nabi Isa q adalah putra Allah subhanahu
wata’ala, berhak disembah dan diibadahi. Allah subhanahu wata’ala,
berfirman:
“Orang-orang
Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani
berkata: ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka
dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang
terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”
(At-Taubah: 30)
Sebagaimana
pula menyeret mereka untuk memosisikan orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka sebagai Rabb (tuhan) selain Allah subhanahu wata’ala,. Allah
subhanahu wata’ala, berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Ghuluw
terhadap orang shalih yang mengantarkan kaum Nabi Nuh dan umat
terdahulu kepada kesyirikan tersebut, ternyata juga menimpa umat
Muhammad. Padahal tiada henti-hentinya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam memperingatkannya.
Dalam
momentum hajjatul wada’ (haji terakhir), beliau memperingatkan umat
dari perbuatan ghuluw (secara umum) dan menyampaikan bahwa ia penyebab
kebinasaan umat terdahulu. Sebagaimana dalam riwayat Abdullah bin Abbas yang telah lalu.
Lima
hari sebelum meninggal dunia, secara khusus Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melarang umat dari perbuatan ghuluw terhadap orang-orang
shalih. Sebagaimana dalam sabda beliau :
“Ingatlah, sesungguhnya umat
terdahulu seringkali menjadikan kubur orang-orang shalih sebagai masjid
(tempat ibadah). Ingatlah, jangan kalian menjadikan kubur-kubur sebagai
masjid (tempat ibadah). Sungguh aku melarang kalian dari yang demikian
itu.” (HR. Muslim no. 532, dari sahabat Jundub bin Abdillah)
Bahkan pada detik-detik terakhir menjelang wafatnya, dengan tegas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah).”
Ummul
Mukminin Aisyah x berkata: ”Beliau memperingatkan umat dari perbuatan
orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Kalau bukan karena khawatir
kubur beliau n dijadikan tempat ibadah, niscaya kubur beliau ditampakkan
(dikubur di pekuburan umum [Baqi’], pen.).” (HR. Al-Bukhari no. 435,
436 dan Muslim no. 531, dari Ummul Mukminin Aisyah radiallahu anha)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata :
“Nampaknya beliau telah merasakan dekatnya ajal,
sehingga mengkhawatirkan bila kuburnya diagungkan sebagaimana yang
terjadi pada umat terdahulu. Maka laknat beliau terhadap Yahudi dan
Nasrani tersebut sebagai isyarat tercelanya orang-orang yang melakukan
perbuatan ghuluw terhadap orang shalih (dari umat ini).” (Fathul Bari,
1/634)5
Tahukah
anda, siapakah biang keladi atas terjadinya kesyirikan dan peribadatan
terhadap kubur pada umat ini? Biang keladinya adalah kelompok sesat
Syi’ah Rafidhah. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Kitabut
Tauhid berkata :
“Dengan sebab kelompok sesat Syi’ah Rafidhah lah,
kesyirikan dan peribadatan terhadap kubur terjadi. Merekalah orang-orang
yang pertama kali membangun tempat ibadah di atas kubur.”
Bahkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim
(1/41) menegaskan bahwa Syi’ah Rafidhah lah yang banyak merusak
negeri-negeri muslimin dengan membangun/menfasilitasi tempat-tempat
ibadah (masyahid) dan kubah-kubah di atas kubur, pengeramatan terhadap
kubur dan penghuninya, serta penyebaran bid’ah (hal-hal baru dalam agama
yang tidak ada tuntunannya).
Para
pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala,,
Ghuluw
terhadap orang shalih baik ia seorang nabi, rasul, wali, ataupun
selainnya dari orang-orang yang dikenal keshalihannya merupakan sebab
terkuat binasanya suatu umat dari masa ke masa. Karena memang fitrah
manusia secara umum condong untuk mencintai dan mengagungkan orang-orang
shalih. Ditambah lagi adanya bisikan setan bahwa itulah hakikat
kecintaan, pengagungan, dan pemberian hak kemuliaan kepada mereka.
Asy-Syaikh
Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh berkata:
“Sesungguhnya ghuluw
terhadap orang shalih merupakan akar kesyirikan dari masa ke masa.7
Mengingat menyekutukan Allah subhanahu wata’ala, dengan orang shalih
tersebut mudah diterima oleh jiwa, maka setan pun menampakkannya sebagai
bentuk kecintaan dan pengagungan terhadap orang shalih (dan bukan
bagian dari kesyirikan, pen.).” (Taisir Al-Azizil Hamid, hal. 305)
Maka
dari itu, ketika ghuluw terhadap orang shalih tersebut membelenggu
suatu umat atau pribadi tertentu, sangatlah sulit bagi mereka untuk bisa
lepas darinya. Tengoklah kaum Nabi Nuh di atas. Hidup mereka berkisar
dari satu bentuk ghuluw kepada bentuk ghuluw berikutnya. Hingga pada
puncaknya terjerumus ke dalam kesyirikan. Tatkala datang kepada mereka
Nabi Nuh q menyampaikan peringatannya selama ratusan tahun, dan
dilakukannya siang malam, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan. Sama sekali mereka tak bergeming dari kesesatannya.
Bahkan mereka memusuhi Nabi Nuh karenanya, dan saling berwasiat sesama
mereka dengan wasiat batil:
“Jangan sekali-kali kalian meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian
meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”
Semakin
mengherankan manakala peribadatan kepada Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq,
dan Nasr secara estafet dilanjutkan oleh bangsa Arab. Wadd diibadahi
oleh kabilah Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ diibadahi oleh kabilah
Hudzail, Yaghuts diibadahi oleh kabilah Murad kemudian bani Ghuthaif di
Jauf Saba’, Ya’uq diibadahi oleh kabilah Hamdan, dan Nasr oleh Alu Dzul
Kila’ dari kabilah Himyar. (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 4920, dari
sahabat Abdullah bin Abbas c)
Tak
beda jauh kiranya dengan keadaan para pemuja kubur dan pengultus sosok
panutan dari umat ini.8 Tatkala datang kepada mereka penyampai kebenaran
dan tauhid, mereka pun memusuhinya. Bahkan tak jarang laqab (julukan)
buruk pun disematkan kepada penyampai kebenaran dan tauhid tersebut.
Semoga Allah subhanahu wata’ala, menjauhkan kita dari segala jenis
ghuluw, terkhusus ghuluw terhadap orang-orang shalih yang membinasakan
umat manusia dari masa ke masa. Wallahul musta’an.
2. Kasus Ghuluw Kaum Khawarij
Kaum
Khawarij adalah kelompok sesat dalam agama ini.9 Menurut Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, tidaklah kaum Khawarij itu tersesat
melainkan karena perbuatan ghuluw dalam menjalankan agama ini.10 Apalagi
tak hanya satu jenis ghuluw yang membelenggu mereka. Cukuplah sejarah
menjadi saksi atas itu semua.
Asy-Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh berkata: “Mereka berbuat ghuluw
dalam hal aqidah, di mana telah tersesat (dari jalan kebenaran, pen.),
mengafirkan (orang-orang yang tidak berhak dikafirkan, pen.), dan
meninggalkan manhaj para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Mereka juga ghuluw dalam hal berbanyak-banyakan ibadah, sampai-sampai
seseorang dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam merasa bahwa
shalat dan shiyam (puasa)nya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat
dan shiyam mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu
alaihi wasallam.11 Sebagaimana pula ghuluw mereka dalam hal jihad dan
amar ma’ruf nahi munkar. Dengan klaim jihad, mereka memerangi
orang-orang yang secara syar’i tidak berhak –bahkan haram– untuk
diperangi. Hingga pada klimaksnya, mereka memerangi para sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam, manusia-manusia pilihan Allah subhanahu
wata’ala,. Mereka bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l dengan
membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib z, sahabat termulia di masa itu.
Bahkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin bin Affan z juga bagian
dari ulah orang-orang Khawarij tersebut.” (Lihat Syarh Al-Aqidah
Ath-Thahawiyyah, 1/734)
Kaum
Khawarij amat berlebihan (ghuluw) dalam memegang prinsip keyakinannya
(aqidah) yang dibangun di atas akal dan hawa nafsu. Mereka campakkan
manhaj (metode pemahaman) para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam
yang mulia dalam memahami agama ini. Sehingga jauhlah mereka dari ilmu
yang bersumber dari cahaya kenabian. Akibatnya, mereka kafirkan
orang-orang yang tidak berhak –bahkan diharamkan– untuk dikafirkan.
Mereka perangi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam,
manusia-manusia pilihan Allah subhanahu wata’ala,, dengan klaim jihad
dan amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan bertaqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah subhanahu wata’ala, dengan membunuh Khalifah Ali bin Abi
Thalib z, sahabat termulia di masa itu. Termasuk pula pembunuhan
terhadap Khalifah Utsman bin bin Affan z.
Dengan tegasnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperingatkan umat dari mereka:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Jika
aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi mereka
seperti memerangi kaum ‘Aad (yakni; hingga tidak tersisa sedikitpun,
pen.).” (HR. Muslim no. 1064, dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri )
Padahal
mereka adalah ahli ibadah, ahli baca Al-Qur’an, ahli shalat dan puasa,
serta wara’ terhadap dunia. Bukan para preman pasar ataupun para
koruptor yang gila dunia.
Subhanallah…luar
biasa fakta sejarah yang memaparkan perjalanan kaum Khawarij tersebut.
Mereka mengafirkan kaum muslimin bahkan manusia-manusia pilihan Allah
subhanahu wata’ala,, karena perasaan takutnya yang berlebihan terhadap
dosa besar. Mereka memerangi para sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam, membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib dan juga Khalifah Utsman
bin Affan c, dengan keyakinan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Padahal
mereka adalah ahli ibadah, ahli baca Al-Qur’an, ahli shalat dan puasa,
serta wara’ terhadap dunia. Namun ternyata, kesudahannya adalah petaka
dan binasa. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ber-’azam
(berkemauan kuat) untuk menghabisi mereka, jika Allah subhanahu
wata’ala, pertemukan dengan mereka.
Para
pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala,, dari sini
dapatlah diambil ibrah (pelajaran berharga) bahwa ghuluw dalam agama ini
benar-benar sumber petaka dan penyebab kebinasaan, walaupun disertai
niat yang baik, amalan yang banyak, dan wara’ terhadap dunia sekalipun.
Maka dari itu, Allah l peringatkan Rasul-Nya n dan orang-orang beriman
yang bersamanya dari perbuatan ghuluw tersebut. Allah subhanahu
wata’ala, berfirman:
“Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia (Allah subhanahu wata’ala,) Maha
melihat apa yang kalian kerjakan.” (Hud: 112)
Berikutnya,
betapa besar peran ilmu agama yang diwariskan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam kehidupan ini. Tengoklah
kembali sejarah kaum Khawarij, manakala mereka campakkan manhaj (metode
pemahaman) para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mulia
dalam memahami agama ini, tersesatlah mereka dari kebenaran dan
terjerumus dalam kesesatan demi kesesatan. Allah subhanahu wata’ala,
berfirman:
“Dan
barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan
mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Menurut
Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi t –menukil perkataan para ulama–
bahwa yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para
sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi pertama dari umat
ini. (Lihat Al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 36)
Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani t berkata: “Dari sini banyak sekali
kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini. Karena mereka
tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin (para sahabat Nabi shallallahu
alaihi wasallam dan generasi pertama dari umat ini, pen.) dan
semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu dalam
menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan
kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, hingga akhirnya menyimpang
dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Hal itu disebabkan
kebodohan mereka (kaum Khawarij) tentang agama Islam, meskipun mereka
memiliki wara’, ibadah, dan kesungguhan. Namun tatkala semua itu (wara’,
ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya
menjadi petaka bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)
Para
pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala,, dengan
demikian betapa bahayanya orang-orang yang mengikuti jejak kaum
Khawarij. Orang-orang yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah semata-mata
mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsunya tanpa merujuk kepada
pemahaman para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Orang-orang
yang bermudah-mudahan mengafirkan pemerintah kaum muslimin, bahkan semua
orang yang di luar kelompoknya. Memerangi penguasa muslim, dengan
memberontak terhadapnya atau menggoyangnya dengan demonstrasi, agitasi,
dan penyebaran berbagai opini buruk, baik berkaitan dengan ekonomi,
keamanan, maupun yang lainnya. Orang-orang yang berbanyak-banyakan
ibadah dengan melampaui batas yang telah disyariatkan. Semua ini
merupakan sumber petaka dan penyebab kebinasaan dari masa ke masa.
Akhir
kata, demikianlah paparan tentang beberapa realita ghuluw yang melanda
kehidupan umat manusia dari masa ke masa. Semoga bermanfaat bagi kita
semua dan menjadi embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Terkhusus
orang-orang yang sedang terperangkap dalam jaring jerat ghuluw yang
membinasakan.
Amin, ya Rabbal ‘Alamin…
1
Sikap berlebih-lebihan atau melampaui batas ini diistilahkan juga
dengan ifrath atau tanaththu’. (Lihat Al-Ghuluw, karya Ali bin Abdul
Aziz bin Ali Asy-Syibl hal. 22, dan Al-Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid,
1/244)
2
Di antara contohnya adalah berwudhu ketika mengucapkan perkataan yang
haram/kotor. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani t, 2/334)
3
Demikian pula berpegang teguh dengan agama Islam sesuai apa yang
disyariatkan Allah subhanahu wata’ala, dan Rasul-Nya n, serta istiqamah
di atasnya dalam segenap sendi kehidupan, tidaklah termasuk dari ghuluw.
(Lihat Al-Ghuluw hal. 23)
4 Lihat Syarah Shahih Muslim juz 16, Kitabul ‘Ilmi.
5
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menyebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah memberikan beberapa kaidah penting
dalam menyikapi kubur dan penghuninya. Di antaranya:
a. Tidak boleh ghuluw terhadap para wali dan orang shalih.
b. Tidak boleh mendirikan bangunan, terlebih tempat ibadah (masyahid) di atas kubur.
c. Tidak boleh shalat/ibadah di sisi kubur atau menghadap kubur. (Diringkas dari Kitabut Tauhid, hal. 38-39)
6
Masalah ke-11 dari bab ‘Larangan Keras Bagi Seorang yang Beribadah
kepada Allah subhanahu wata’ala, di Sisi Kubur Orang Shalih.’
7 Bahkan ia adalah akar kesyirikan yang pertama kali di muka bumi ini. (Lihat Ighatsatul Lahafan, juz 1 hal. 183)
8
Termasuk ghuluw terhadap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Seperti apa yang ditorehkan Al-Bushiri dalam qasidah Burdahnya:
Wahai makhluk termulia, tiada tempat berlindung bagiku, manakala datang problem pelik selain engkau
Jika di hari kiamat engkau tak mengambil tanganku (menyelamatkanku), niscaya aku akan tergelincir (ke dalam api neraka)
Sesungguhnya
di antara kedermawananmu adalah (adanya) dunia dan akhirat, dan di
antara ilmumu adalah ilmu yang di Lauhul Mahfuzh dan dicatat oleh pena
taqdir. (Lihat I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 1 hal. 500)
Pada
bait ke-1 terdapat penyejajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam dengan Allah subhanahu wata’ala, dalam hal uluhiyyah (yakni
sebagai tempat berlindung dan meminta pertolongan), bahkan ia melupakan
Allah subhanahu wata’ala,. Pada bait ke-2 dan awal dari bait ke-3
terdapat penyejajaran beliau n dengan Allah subhanahu wata’ala, dalam
hal rububiyyah, di mana diyakini bahwa yang menyelamatkan dari azab api
neraka adalah Nabi n, kemudian adanya dunia dan akhirat ini karena
kedermawanan Nabi n. Pada bagian akhir dari bait ke-3 terdapat
penyejajaran beliau n dengan Allah subhanahu wata’ala, dalam hal asma wa
shifat, di mana ia sandangkan keluasan ilmu yang meliputi segala
sesuatu kepada Nabi n. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah Al-Hafizh
Abdil Ghani Al-Maqdisi, hal. 371 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit
Tauhid, juz 1 hal. 500)
9 Untuk mengetahui lebih rinci siapa Khawarij, lihat Majalah Asy Syari’ah, no. 04/1/Syawwal 1424 H/Desember 2003.
10 Lihat I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 2 hal.3.
11 Lihat Shahih Muslim juz 2 hal. 744 dan 748.
Sumber :