UMAR BIN ABDIL AZIZ rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka ia lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki” (Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah:2/383)
Sabtu, 22 Maret 2014
Rabu, 12 Maret 2014
Taklid, Budaya Jahiliyah
( Ditulis Oleh: Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari bin Jamal )
Allah Subhaanahu wata'aala, berfirman;
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (al-Baqarah: 170)
Penjelasan Mufradat Ayat
“Jika dikatakan kepada mereka.”
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan kata “mereka” dalam ayat ini.
Sebagian mengatakan, “Yang dimaksud adalah bangsa Arab yang kafir.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallohu anhu, “(Ayat ini) diturunkan tentang kaum Yahudi.”
Ath-Thabari t berkata, “Yang dimaksud adalah manusia secara umum yang terdapat dalam ayat sebelumnya (al-Baqarah: 168).” (Tafsir ath-Thabari, Tafsir al-Qurthubi)
“Mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah,” dengan ucapan dan perbuatan.
“Kami mendapati,” maknanya sama dengan kalimat وَجَدْنَا.
Penjelasan Ayat
Al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, mengatakan, “Allah subhaanahu wata'aala, mengabarkan tentang keadaan kaum musyrikin tatkala mereka diperintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, kepada Rasul-Nya. Mereka pun membenci hal itu dan berkata, ‘Justru kami mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek moyang kami.’ Mereka merasa cukup dengan mengikuti nenek moyang mereka dan berpaling dari beriman kepada para nabi-Nya, padahal nenek moyang mereka adalah manusia yang paling bodoh dan yang paling keras kesesatannya. Ini adalah syubhat yang sangat lemah untuk menolak kebenaran. Ini juga merupakan dalil bahwa mereka telah berpaling dari kebenaran dan membencinya, serta sikap ketidakadilan mereka. Seandainya mereka diberi petunjuk dan memiliki niat yang baik, tentu kebenaranlah yang menjadi tujuannya. Barang siapa menjadikan kebenaran sebagai tujuannya dan membandingkan antara kebenaran dengan yang lainnya, pasti kebenaran itu akan menjadi jelas baginya. Dia pun akan mengikutinya jika bersikap adil.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Ath-Thabari rahimahullah, tatkala menjelaskan makna ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ mengatakan, “Beramallah dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, dalam kitab-Nya kepada Rasul-Nya. Halalkanlah apa yang Dia halalkan, haramkanlah apa yang Dia haramkan. Jadikanlah beliau n sebagai imam yang kalian ikuti dan penuntun yang kalian ikuti hukum-hukumnya.” (Tafsir ath-Thabari, 3/43)
Beliau rahimahullah lalu berkata, “Wahai sekalian manusia, mengapa kalian mengikuti apa yang kalian dapati dari nenek moyang kalian dan meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Rabb kalian? Padahal nenek moyang kalian itu tidak memahami perintah Allah subhaanahu wata'aala, sedikit pun. Mereka juga tidak berada di jalan yang benar. Tidak pula mereka mendapat bimbingan petunjuk. Hal ini karena seseorang yang diikuti adalah orang yang memiliki pengetahuan terhadap sesuatu yang akan dimanfaatkan untuk dirinya. Orang yang jahil (bodoh, tidak mengetahui) tidak diikuti (dalam hal-hal yang tidak diketahuinya) melainkan oleh orang yang tidak memiliki akal dan pembeda.” (Tafsir ath-Thabari, 3/44)
Larangan Taklid
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kekuatan lafadz yang terdapat pada ayat ini menjelaskan batilnya taklid, seperti halnya firman Allah subhaanahu wata'aala, :
Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Apakah mereka tetap akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (al-Maidah: 104)
Ayat ini sangat berhubungan dengan ayat sebelumnya. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah subhaanahu wata'aala, mengabarkan tentang kejahilan bangsa Arab terhadap apa yang mereka tetapkan dengan cara pandang mereka yang bodoh, yaitu al-bahirah, as-saibah, dan al-washilah1. Lalu mereka berhujjah bahwa itu adalah urusan yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka. Mereka pun mengikutinya sekaligus meninggalkan apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, kepada Rasul-Nya dan yang diperintahkan oleh agamanya. (Tafsir al-Qurthubi, 3/15—16)
Yang dimaksud dengan taklid adalah mengikuti ucapan seseorang tanpa mengetahui dalilnya. (Majmu’ al-Fatawa, 35/233, Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah hlm. 621)
Jenis Taklid yang Tercela
Para ulama menyebutkan jenis-jenis taklid yang tercela sebagai berikut.
1. Berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah k dan memilih mengikuti nenek moyang.
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Allah l mencela orang yang berpaling dari apa yang diturunkan-Nya lalu bertaklid kepada nenek moyang. Para ulama salaf dan imam yang empat akan bersepakat bahwa taklid semacam ini tercela dan haram.”
2. Taklid kepada orang yang bukan ahlinya dengan mengambil ucapannya.
Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)
3. Taklid kepada ucapan yang menyelisihi firman Allah l dan Rasul-Nya, siapa pun dia.
Allah l berfirman:
ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (al-A’raf: 3)
4. Taklid kepada seseorang setelah jelas kebenaran dan dalilnya.
5. Taklid seorang mujtahid yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan memiliki keluangan waktu untuk membahasnya.
6. Taklid kepada seorang mujtahid dalam seluruh pendapat dan ijtihadnya. (Ma’alim fi Ushulil Fiqhi, hlm. 498)
Perbedaan antara Taklid dan Ittiba’
Para ulama membedakan istilah taklid dengan ittiba’. Ittiba’ adalah beramal dengan dalil, sedangkan taklid adalah mengikuti perkataan seseorang tanpa hujjah.
Telah dinukil dari Abu Abdillah bin Khuwaiz Mandad al-Bashri al-Maliki bahwa beliau berkata, “Makna taklid dalam syariat adalah mengambil sebuah pendapat di mana orang yang berpendapat dengannya tidak membawa hujjah. Hal ini terlarang dalam syariat. Adapun ittiba’ adalah yang ditetapkan dengan hujjah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Bar, 2/173, Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, Muhammad Ali Firqaus, 2/744—745)
Dia juga berkata pada bagian akhir kitabnya, “Setiap orang yang engkau ikuti ucapannya tanpa ada dalil yang mengharuskanmu untuk menerimanya, berarti engkau telah taklid kepadanya. Dan taklid di dalam agama Allah k tidak dibenarkan. Setiap orang yang mengharuskanmu untuk mengikuti ucapannya berdasarkan dalil, berarti engkau ber-ittiba’ kepadanya. Ittiba’ di dalam agama diperbolehkan, sedangkan taklid terlarang.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 2/173)
Al-Imam Abu Dawud t juga menukilkan ucapan al-Imam Ahmad t yang didengarnya dari beliau rahimahullah, “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi n dan dari para sahabatnya. Adapun yang datang dari kalangan tabi’in setelah mereka, dia diberi pilihan.” (Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/745)
Ibnul Qayyim t berkata tatkala menjelaskan kewajiban ber-ittiba’, “Sikap ittiba’ yang tulus kepada yang ma’shum (Rasulullah) shallallohu 'alaihi wasallam, berbeda dengan sikap membuang dan meninggalkan perkataan para ulama. Ittiba’ yang tulus adalah engkau tidak mendahulukan ucapan seseorang dan pendapatnya di atas apa yang datang dari beliau shallallahu 'alaihi wasallam, dalam keadaan apapun. Namun, hendaknya yang pertama kali engkau lihat adalah kesahihan sebuah hadits. Jika sahih, hal yang kedua adalah engkau perhatikan maknanya. Jika telah jelas bagimu, janganlah engkau berpaling darinya meskipun yang menyelisihimu adalah semua orang dari timur ke barat. Tidak mungkin umat bersepakat dalam menyelisihi apa yang dibawa oleh Nabi n. Pasti ada di kalangan umat ini yang sejalan dengan riwayat tersebut meskipun engkau tidak mengetahuinya. Maka dari itu, janganlah engkau menjadikan ketidaktahuanmu tentang orang yang sejalan dengannya sebagai hujjah untuk menolak apa yang datang dari Allah subhaanahu wata'aala, dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Hendaknya engkau tetap berpegang kepada nash. Janganlah engkau merasa lemah.” (Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/743)
Adakah Taklid yang Diperbolehkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang menjadi sikap jumhur (mayoritas) umat ini bahwa ijtihad diperbolehkan secara global dan taklid diperbolehkan secara global. Mereka tidak mengharuskan setiap orang untuk berijtihad dan mengharamkan taklid. Mereka juga tidak mengharuskan setiap orang untuk bertaklid dan mengharamkan ijtihad. Ijtihad diperbolehkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan taklid diperbolehkan bagi orang yang lemah/ tidak mampu berijtihad.” (Majmu’ al-Fatawa, 20/204)
Oleh karena itu, taklid diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Ia jahil, tidak memiliki kemampuan untuk mengenal hukum Allah subhaanahu wata'aala, dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
2. Ia bertaklid kepada orang yang dikenal berilmu dan berijtihad, dari kalangan orang yang memiliki agama dan kesalehan.
3. Kebenaran belum tampak bagi orang yang taklid ini. Ia tidak mengetahui mana yang lebih kuat dari silang pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Adapun jika telah tampak baginya kebenaran, tidak diperbolehkan lagi taklid baginya.
4. Dalam bertaklid ia tidak diperbolehkan menyelisihi nash/dalil syariat yang jelas atau ijma’ para ulama.
5. Tidak diperbolehkan bagi orang yang taklid untuk berpegang kepada pendapat satu imam dalam seluruh permasalahan. Hendaknya dia berusaha untuk mencari yang lebih mendekati kebenaran dan lebih mendekatkan dirinya kepada ketakwaan kepada Allah subhaanahu wata'aala, .
6. Tidak diperbolehkan bagi seorang muqallid (yang bertaklid) untuk berpindah dari satu pendapat ke pendapat lainnya dengan tujuan mencari pendapat yang lebih ringan dan lebih sejalan dengan hawa nafsunya. (Lihat Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, hlm. 497—498)
Syaikhul Islam t berkata, “Adapun kewajiban untuk mengikuti seluruh ucapan seseorang tanpa menyebutkan dalil tentang kebenarannya, ini tidaklah benar. Bahkan, ini adalah kedudukan Rasul n yang tidak diperbolehkan selain hanya untuk beliau n.” (Majmu’ al-Fatawa, 35/121)
Wallahul muwaffiq.
Catatan Kaki:
1 Al-bahirah adalah unta betina yang telah beranak lalu dibelah telinganya, kemudian dilepaskan. Ia tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air susunya karena air susunya dipersembahkan untuk berhala-berhala mereka. As-saibah adalah unta betina yang dilepaskan kemana pun maunya karena nadzar seseorang. Al-washilah adalah hewan yang melahirkan anak betina secara berturut-turut kemudian menjadi milik mereka. Namun, jika melahirkan jantan, menjadi milik sesembahan mereka.
Senin, 10 Maret 2014
Menjaga Kemurnian Agama Dengan Membantah Orang-Orang Menyimpang
Oleh : Ustadz Rismal hafizhahullah (sorowako)
Ikhwany
fillah Hafizhakumullah. Sesungguhnya manhaj tahdzir dari orang-orang
yang menyimpang telah diabaikan oleh sebagian orang yang mengaku
mendakwahkan ilmu dan sunnah.
Bahkan salah seorang dari mereka pernah menasehati saya dengan ucapannya ''Tinggalkanlah kalam `Alar rijaal (membantah orang-orang) dan sibukkanlah kaum muslimin dengan ilmu" Apakah mereka telah melupakan bahwa membantah orang-orang yang menyimpang termasuk ilmu dan dakwah ilallah.
Tidakkah mereka mengingat ucapan Al-Imam Ahmad Rahimahullah ketika Muhammad bin bundar Al-Jurjany berkata kepadanya :
"Sesungguhnya
berat bagiku untuk berkata 'si fulan begini dan si fulan begitu!'
Beliau menjawab"Jika engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang
jahil mengetahui yang shohih dari yang saqiim (lemah/salah)?
(Majmu'
Al-Fatawa 28/231, Syarh 'Ilal At-Tirmidzi 1/350, dengan perantaraan
kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.31 cet.Dar Al-Minhaj catatan kaki
no.31).
Al -Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata :
"Ketahuilah
bahwa menyebutkan seseorang dengan sesuatu yang tidak disenanginya
adalah diharamkan, jika maksud penyebutan tersebut semata-mata
celaan,aib,kekurangan.
Adapun
jika didalamnya terdapat maslahat bagi kaum muslimin secara umum, atau
khusus untuk sebagian dari mereka, dan maksud penyebutan tersebut dalam
rangka tercapainya maslahat tadi, maka hal tersebut tidaklah diharamkan
bahkan dianjurkan.
Sungguh
para ulama hadits telah menetapkan masalah ini di dalam kitab-kitab
mereka dalam masalah al-jarh wa at-ta'dil, dan mereka menyebutkan
perbedaan antara menjarah seorang rawi dan ghibah, dan mereka membantah
orang yang menyamakan kedua hal tersebut dari kalangan ahlul bid'ah dan
selain mereka dari kalangan orang-orang tidak luas keilmuannya.
Tidak
ada perbedaan antara mengkritik para perawi lafazh-lafazh hadits,
membedakan antara orang yang diterima periwayatan dari mereka dan yang
tidak diterima, (tidak ada perbedaan) dengan menjelaskan kesalahan orang
yang salah dalam memahami makna-makna Al-Quran dan As-Sunnah, mentakwil
(menafsirkan) sesuatu darinya tidak di atas penakwilan (yang
sebenar)nya, berpegang teguh dengan sesuatu yang tidak bisa dipegang
teguh dengannya, dalam rangka agar tidak diikuti pada apa yang dia salah
di dalamnya. Sungguh para ulama juga telah bersepakat akan bolehnya hal
tersebut.
Oleh
karena itulah engkau menjumpai dalam kitab-kitab karangan mereka di
berbagai jenis ilmu syar'i berupa tafsir, syarah-syarah hadits, fikih,
perbedaan para ulama dan selainnya, dipenuhi dengan
perdebatan-perdebatan (ilmiah) dan mereka membantah pendapat-pendapat
dari orang-orang yang lemah pendapat-pendapatnya dari para imam-imam
salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi'in, dan selain mereka, dan
tidak seorangpun dari para ulama yang meninggalkan hal tersebut, dan
tidak seorangpun yang mengklaim bahwa hal itu merupakan tikaman terhadap
orang yang dibantah pendapatnya, tidak pula celaan dan kekurangan
(aib).... kecuali jika si penulis (orang yang mengkritik) termasuk
orang yang berkata-kata kotor/keji, beradab jelek dalam ungkapan, maka
diingkari kekejian dan kejelekannya, bukan asal bantahan dan
penyelisihannya, dalam rangka menegakkan hujjah-hujjah syar'i dan
dalil-dalil mu'tabaroh.
Sebab
hal tersebut adalah para ulama seluruhnya bersepakat di atas maksud
untuk menampakkan kebenaran yang dengannya Allah mengutus rasul-Nya
Shallallahu Alaihi Wasallam, agar agama seluruhnya hanya milik Allah,
dan agar kalimat-Nyalah yang paling tinggi."
(Al-Mahajjah Al-Baidha' karya Asy-Syaikh Robi' hal.53-53, cet.Darul Minhaj).
Bahkan para ulama salaf memandang bahwa membantah ahlul bidah lebih utama daripada berpuasa, sholat, dan i'tikaf.
Ditanyakan
kepada Al-Imam Ahmad Rahimahullah :"Seseorang yang melaksanakan puasa,
sholat, l'tikaf, apakah lebih engkau sukai ataukah seseorang yang
berbicara (membantah) ahli bid'ah?" Maka beliau Rahimahullah menjawab
:"Jika dia melaksanakan puasa, sholat, dan i'tikaf, maka itu untuk
dirinya sendiri, sedangkan jika dia berbicara (membantah) ahli bid'ah
maka itu untuk kaum muslimin, dan ini lebih utama." (Majmu' Al-fatawa 28/231, dengan perantaraan kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.31 cet.Dar Al-Minhaj, catatan kaki no.22).
Bahkan
walapun orang tersebut terkenal sebagai orang yang berilmu dan memiliki
bantahan kepada sebagian ahlul bid'ah, maka hal itu tidak menghalangi
untuk membantah kesalahan dan kesesatannya. Simaklah
ucapan Al-Imam Ahmad Rahimahullah berkaitan dengan Husain Al-Karobiisy
:"Berhati-hatilah engkau, berhati-hatilah engkau dari Husain
Al-Karobiisy! Jangan engkau berbicara dengannya, jangan engkau berbicara
dengan orang yang berbicara denganya" Beliau mengucapkannya 4 atau 5
kali. Dalam tempat yang lain beliau berkata bahwa dia (Al-Karobiisy)
adalah mubtadi'. (Lihat kitab Al-Ajwibah Al-mufidah hal.31, catatan kaki no.22.
Tahukah
anda siapakah Husain Al-Karobiisy itu? Dia adalah orang yang berilmu
dan memiliki bantahan kepada ahlul bid'ah, tetapi dia terjatuh dalam
masalah al-lafzhu bil Quran.
Demikian
pula Al-Imam Abu Zur'ah Rahimahullah ketika ditanya tentang Al-Harits
Al-Muhasiby dan kitab-kitabnya, beliau berkata :"Hati-hatilah engkau
dari kitab-kitab ini, ini adalah kitab-kitab bid'ah dan kesesatan, dan
hendaknya engkau berpegangteguh dengam atsar." Tahukah siapa Al-Harits
Al-Muhasiby itu? Dia termasuk orang yang berilmu tetapi terjatuh dalam
sebagian ilmu kalam/filsafat dan membantah ahlul kalam dengan ilmu kalam
dan tidak membantah dengan sunnah. Wallahu A'lam.
Kamis, 06 Maret 2014
Sebab – Sebab Musibah
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Banyak manusia yang tidak mengetahui
tentang berbagai hal yang menjadi sebab terjadinya musibah, hikmah Allah
Subhanahuwata’ala dalam hal ini, dan berbagai pengaruh bencana serta
musibah—yang syar’i atau qadari (alami)—terhadap orang yang terkena
musibah. Yang perlu dipahami, bukanlah suatu kemestian bahwa musibah
menimpa sebagian orang karena dosa mereka lebih besar ketimbang dosa
selain mereka yang tidak terkena musibah.
Musibah yang terjadi di negeri muslim
dan tidak terjadi di negeri-negeri yang zalim, tidak menunjukkan bahwa
negeri zalim itu selamat dari bencana. Ketahuilah, bencana yang terjadi
tidak hanya berwujud gempa, tsunami, letusan gunung berapi, badai, dan
yang lainnya. Akan tetapi, bencana bisa berwujud kekacauan keamanan,
lemahnya perekonomian, menyebarnya penyakit, kebakaran yang menakutkan,
peperangan yang menghancurkan, yang semuanya berujung pada kematian
sekian ribu jiwa. Semua ini terjadi di negeri-negeri zalim yang secara
lahir selamat dari bencana alam. Berapa ratus ribu jiwa penduduk Eropa
yang mati selama dua kali perang dunia? Berapa banyak Amerika dan Rusia
kehilangan tentaranya pada tahun-tahun terakhir invasi yang mereka
lakukan?
Britania Raya (Inggris) dulu dikenal
sebagai negara yang tidak pernah matahari tenggelam di sana. Uni Soviet
terkenal dengan berpuluh-puluh negara bagiannya. Namun, tiba-tiba kedua
negara tersebut tercerai-berai menjadi negara-negara kecil. Berapa
banyak negara yang dahulu mereka cerai-beraikan serta berapa banyak
mereka dahulu melakukan penindasan dan kezaliman?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya mayoritas manusia pada hari ini
mengaitkan musibah yang terjadi—baik dalam hal perekonomian, keamanan,
maupun politik—dengan sebab yang bersifat materi saja. Tidak diragukan,
hal ini menunjukkan dangkalnya pemahaman, lemahnya keimanan, serta
kelalaian mereka dari menelaah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Sesungguhnya, di balik sebab-sebab tersebut ada sebab lain yang bersifat
syar’i. Sebab yang syar’i ini lebih kuat dan lebih besar pengaruhnya
daripada sebab-sebab yang bersifat materi. Namun, sebab yang bersifat
materi terkadang menjadi perantara untuk terjadinya musibah atau azab
karena adanya tuntutan dari sebab yang syar’i. Allah Subhanahuwata’ala
berfirman:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
”Telah tampak kerusakan di daratan dan
di lautan, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah ingin
merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Kehidupan manusia yang semakin jauh dari
bimbingan agama mengakibatkan terbentuknya pola pikir yang senantiasa
berorientasi kepada keduniaan dan materi semata. Berbagai bencana dan
musibah yang terjadi sering dicermati sebatas kejadian (fenomena) alam
dan keterkaitannya dengan materi, tanpa dihubungkan dengan kehendak
Allah Yang Mahakuasa, kemudian disebabkan oleh perbuatan tangan (dosa,
kesalahan) manusia.
Menurut para ahli geologi, bencana
adalah suatu kejadian alam. Disebut bencana apabila mengakibatkan korban
dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan,
sarana dan prasarana, serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan
dan masyarakat. Penebangan hutan menjadi penyebab utama banjir. Namun,
apabila kejadian alam itu tidak sampai mengakibatkan korban dan
penderitaan manusia, apalagi kerugian harta benda dan kerusakan
sarana/prasarana lain, kejadian alam itu disebut sebagai fenomena alam
biasa.
Bencana alam sebenarnya merupakan proses
alam dengan intensitas yang melebihi normal, seperti gempa bumi,
letusan gunung api, longsoran, dan gelombang badai.
Bencana dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, baik alam maupun oleh aktivitas manusia. Faktor alam yang
menyebabkan bencana ada yang berasal dari luar, seperti banjir, erosi,
gerakan tanah, kekeringan, dan ada yang berasal dari dalam seperti gempa
bumi, gelombang pasang, letusan gunung api (hujan abu, aliran lahar
panas dan dingin). Adapun bencana yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia, di antaranya adalah menurunnya kualitas lingkungan,
penggundulan hutan yang mengakibatkan bencana kekeringan, erosi/banjir,
gempa bumi akibat pembangunan dan penurunan tanah/amblesan, longsoran,
dan akibat tindakan manusia (yang mengembangkan wilayah tanpa berwawasan
lingkungan).
Menurut mereka, gempa bumi adalah
getaran atau goncangan yang terjadi di permukaan bumi yang biasa
disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Para ahli gempa
mengklasifikasikan gempa menjadi dua katagori: gempa intralempeng
(intraplate) yaitu gempa yang terjadi di dalam lempeng itu sendiri dan
gempa antarlempeng (interplate) yaitu gempa yang terjadi di batas antara
dua lempeng. Ditinjau dari proses terjadinya, ahli geologi membagi
gempa bumi menjadi lima jenis.
1. Gempa bumi vulkanik (gunung api)
Menurut mereka, gempa ini disebabkan
oleh aktivitas magma yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Jika
keaktifannya semakin tinggi, akan menimbulkan ledakan yang
mengakibatkan gempa bumi. Getaran terkadang dapat dirasakan oleh manusia
dan hewan di sekitar gunung berapi itu. Salah satu perkiraan meletusnya
gunung tersebut ditandai dengan sering terjadinya getaran-getaran gempa
vulkanik.
2. Gempa bumi tektonik
Menurut mereka, gempa ini disebabkan
oleh aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng-lempeng tektonik
secara mendadak, yang mempunyai kekuatan bervariasi dari sangat kecil
hingga sangat besar. Gempa bumi ini sering menimbulkan kerusakan atau
bencana alam di bumi. Getaran gempa yang kuat mampu menjalar ke seluruh
bagian bumi. Seperti yang diketahui, kulit bumi terdiri dari
lempeng-lempeng tektonik yang terdiri dari lapisan-lapisan batuan.
Tiap-tiap lapisan memiliki kekerasan dan massa jenis yang berbeda.
Lapisan kulit bumi tersebut mengalami pergeseran akibat arus konveksi
yang terjadi di dalam bumi.
3. Gempa bumi runtuhan
Biasanya terjadi di daerah kapur atau
pertambangan. Gempa bumi ini bersifat lokal dan jarang terjadi. Gempa
runtuhan atau terban adalah gempa yang terjadi karena adanya runtuhan
tanah atau batuan. Lereng gunung, pantai yang curam, kawasan tambang
atau terowongan tambang bawah tanah, memiliki energi potensial yang
besar ketika runtuh yang dapat menimbulkan getaran di sekitar daerah
runtuhan. Namun, dampaknya tidak begitu membahayakan. Justru dampak yang
berbahaya adalah akibat timbunan batuan atau tanah longsor itu sendiri.
4. Gempa jatuhan
Menurut mereka, gempa ini disebabkan
oleh benda-benda dari luar atmosfir bumi yang jatuh dan kadang sampai ke
permukaan bumi. Benda yang jatuh ini akan menimbulkan getaran bumi jika
massanya cukup besar. Getaran ini disebut getaran jatuhan dan jarang
sekali terjadi.
5. Gempa buatan
Gempa buatan ialah gempa bumi yang
disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir,
atau palu yang dipukulkan ke permukaan bumi. Suatu percobaan peledakan
nuklir bawah tanah atau bawah laut dapat menimbulkan getaran bumi yang
dapat tercatat oleh seismograf di seluruh permukaan bumi, tergantung
kekuatan ledakan. Ledakan dinamit di bawah permukaan bumi juga dapat
menimbulkan getaran meskipun efeknya sangat kecil.
Menurut catatan sejarah, letusan gunung
berapi yang paling dahsyat yang pernah diketahui dan hampir memusnahkan
generasi kehidupan di masa itu adalah letusan yang terjadi di Indonesia
dari Toba supervolcano (sekarang menjadi Danau Toba). Letusan itu tidak
bisa dibandingkan dengan apa pun yang telah dialami di bumi ini. Bahkan,
Krakatau yang menyebabkan puluhan ribu korban jiwa hanyalah sebuah
sendawa kecil jika dibandingkan dengannya. Padahal, Krakatau memiliki
daya ledak setara dengan 150 megaton TNT (Trinitrotoluena, satu jenis
bahan peledak, -red.). Sebagai perbandingan, ledakan Bom nuklir
Hiroshima hanya memiliki daya ledak 0,015 megaton. Walhasil, secara
perhitungan daya musnah bom nuklir Hiroshima 10.000 kali lebih lemah
dibandingkan Krakatau.
Tsunami, menurut sebagian orang, kata
ini berasal bahasa Jepang, tsu: pelabuhan, dan name: gelombang. Secara
harfiah berarti “ombak besar di pelabuhan.” Penyebabnya adalah
perpindahan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara
vertikal (tegak) secara tiba-tiba. Perubahan ini bisa disebabkan gempa
bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut,
longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut.
Banyak orang memandang semua kejadian di
atas dari sisi ilmu pengetahuan alam semata. Mereka menyatakan bahwa
ini hanya merupakan proses alam, tidak ada hubungannya dengan azab.
Pada hakikatnya, semua yang terjadi
tidak lepas dari kehendak Allah Subhanahuwata’ala. Dengan demikian,
musibah dan bencana bukan proses alam semata. Kalau saja proses alam itu
mampu memberi manfaat (berbuat), sungguh ia akan bermanfaat dengan
sendirinya. Proses alam tidak memiliki daya pengaruh melainkan dengan
izin Allah Subhanahuwata’ala dan kehendak-Nya. Alam yang berupa tanah
(baik yang padat, keras, tandus, bebatuan, lembek, maupun gembur),
gunung, laut, dan yang lainnya adalah makhluk Allah Subhanahuwata’ala
yang tergolong benda mati. Akan tetapi, jika Allah Subhanahuwata’ala
menghendaki bumi bernapas, akan terjadi pula.
Hal ini seperti dalam firman Allah Subhanahuwata’ala:
وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ () وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ () وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
”Dan apabila bumi diratakan, dan ia
memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan ia patuh
kepada Rabbnya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu
manusia akan mengetahui akibat perbuatannya).” (al-Insyiqaq: 3—5)
-Sesungguhnya, Allah Subhanahuwata’ala
telah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab. Kebaikan memiliki sebab,
demikian pula keburukan. Barang siapa menjalani sebab kebaikan, ia akan
dekat untuk mencapai kebaikan. Sebaliknya, siapa yang menempuh jalan
keburukan dan mengambil sebab-sebabnya, akan terjatuh padanya pula.
Sebab-sebab yang disebutkan dalam syariat menjelaskan bahwa barang siapa
yang terlibat dengannya, pantas diturunkan hukuman atasnya.
Di antara perkara yang menjadi sebab terjadinya musibah adalah sebagai berikut.
1. Syirik dan mendustakan (ajaran) para rasul
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahumullah berkata dalam nasihat beliau seputar masalah gempa bumi,
“Abu Syaikh al-Ashbahani telah meriwayatkan dari Mujahid
rahimahumullahtentang tafsir ayat:
Katakanlah, ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu.’ (al-An’am: 65)
Ia berkata, ‘Yaitu suara keras yang mengguntur, batu, dan angin.’
‘Atau dari bawah kaki kalian.’
Ia berkata, ‘Yaitu gempa bumi, dibenamkan ke dalam bumi (beserta segala sesuatu yang ada di atasnya)’.”
Tidak diragukan bahwa gempa bumi yang
terjadi pada hari-hari ini di berbagai tempat termasuk bagian dari
tanda-tanda (kekuasaan Allah Subhanahuwata’ala). Dengannya,
Allah Subhanahuwata’ala ingin menakut-nakuti para hamba-Nya. Segala yang
terjadi di alam ini—baik gempa bumi maupun yang lain—yang membahayakan
dan merugikan manusia serta menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya,
kesusahan, kerugian, hal yang menyakitkan, semua itu terjadi karena
kesyirikan dan kemaksiatan.”
Adapun para rasul,
Allah Subhanahuwata’ala menguatkan kedudukan mereka melalui ayat-ayat
yang hissi (indrawi) maupun maknawi (abstrak) dengan berbagai argumen
yang mematahkan hujjah lawan, hujjah yang tak terbantahkan, baik yang
tersebar di alam luas maupun yang terdapat di dalam jiwa manusia.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.”
(Fushshilat: 53)
Allah Subhanahuwata’ala menjanjikan
kenikmatan yang tetap kepada orang-orang yang beriman kepada para rasul.
Di sisi lain, Dia mengancam orang-orang yang menyelisihi (mereka)
dengan azab dan siksaan di dunia dan akhirat.
Di antara ayat yang memberitakan tentang peristiwa yang menimpa umat yang terdahulu adalah:
فَكَذَّبُوهُ
فَأَنجَيْنَاهُ وَالَّذِينَ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا عَمِينَ
“Maka mereka mendustakan Nabi Nuh.
Kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam
kapal (bahtera) dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata
hatinya).” (al-A’raf: 64)
2. Dosa dan kemaksiatan
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Maka masing-masing Kami siksa
disebabkan dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya
hujan batu kerikil. Di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur. Di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan
di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak
hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri.” (al-‘Ankabut: 40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahumullah berkata, “Di antara perkara yang dimaklumi bersama
tentang sebagian tanda (kekuasan) Allah Subhanahuwata’ala yang Dia
tampakkan kepada kita di segala tempat, pada diri kita, dan apa yang
dinyatakan oleh Allah Subhanahuwata’ala dalam Al-Qur’an adalah bahwa
dosa dan kemaksiatan merupakan penyebab terjadinya musibah.”
Ka’b berkata, “Gempa di bumi hanya terjadi apabila dilakukan kemaksiatan di sana.”
3. Menyuburkan riba, memusnahkan sedekah (zakat)
Dalam hadits disebutkan:
مَا مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلاَّ ابْتَلَاهُمُ اللهُ بِالسِّنِينَ
“Tidaklah suatu kaum menahan zakat,
melainkan Allah Subhanahuwata’ala menurunkan bencana musim paceklik.”
(HR. ath-Thabarani dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya)
وَلَا مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلَّا حَبَسَ اللهُ عَنْهُمُ الْقَطْرَ
“Dan tidaklah suatu kaum menahan zakat,
melainkan Allah Subhanahuwata’ala menahan dari mereka turunnya hujan.”
(HR. al-Hakim, Ibnu Majah, dan al-Baihaqi, dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu anhu)
Utsman bin Affan radhiyallahu anhu
berkata, ”Tidaklah satu kaum menghalalkan riba melainkan
Allah Subhanahuwata’ala menimpakan kefakiran dan kebutuhan kepada
mereka.”
Ibnul Qayyim rahimahumullah Dari Imran bin Hushain radhiyallahu anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada umat ini akan ada azab berupa
pembenaman (ke dalam bumi), pengubahan wujud mereka, dan hujan batu.”
Salah seorang kaum muslimin bertanya, “Kapan itu terjadi, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Apabila bermunculan biduanita, alat-alat
musik, dan khamr banyak diminum.” (HR. at-Tirmidzi)
Sumber :
Langganan:
Postingan (Atom)