Oleh : Al Ustadz Luqman Ba'abduh Hafizhollahu Ta'la
Dahulu, orang-orang Arab jahiliah memiliki keyakinan yang
salah terhadap bulan Shafar. Mereka menganggap bahwa bulan kedua
penanggalan hijriyah tersebut adalah bulan sial dan bisa mendatangkan
bencana. Sehingga pada bulan itu, mereka tidak mau melakukan aktivitas
yang biasa mereka lakukan pada bulan-bulan lainnya, seperti pernikahan
dan lain sebagainya.
Mitos Bulan Shafar di Negeri Ini
Sangat disayangkan, kepercayaan dan tradisi Arab jahiliah tersebut
masih dianut oleh sebagian umat Islam di dunia, termasuk sebagian kaum
muslimin di negeri ini. Menurut mereka, bulan Shafar memiliki sifat yang
hampir sama dengan bulan sebelumnya, yaitu bulan Muharram (Suro).
Diyakini bahwa kedua bulan ini merupakan bulan yang penuh bala’,
malapetaka, dan membawa sial. Sebagian umat Islam di negeri ini masih
mempercayai bahwa bulan Muharram dan Shafar dipenuhi dengan hal-hal yang
bersifat ketidakberuntungan. Sehingga mereka pun beranggapan bahwa
bulan tersebut merupakan saat yang tidak baik untuk mengadakan
acara-acara penting semacam pernikahan, khitanan, membangun rumah,
pindah rumah, dan sebagainya.
Bahkan di beberapa tempat, saat memasuki bulan Shafar, sebagian orang
menyibukkan diri dengan melakukan tirakat dan bershadaqah hingga
berlalunya bulan ini. Lalu pada puncaknya, yaitu pada hari Rabu terakhir
bulan Shafar, mereka melaksanakan berbagai ritual dalam rangka memohon
kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan
dari bencana dan malapetaka, bahkan sebagiannya menuliskan rajah-rajah
tertentu di kertas lalu dimasukkan ke dalam bak mandi, sumur, dan
tempat-tempat penampungan air lainnya. Walaupun banyak kalangan yang
menilai bahwa ritual seperti ini merupakan penyimpangan karena tidak
pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak sedikit kaum muslimin yang masih saja meneruskan dan melestarikannya.
Thiyarah Telah Dihapus oleh Islam
Dalam kamus syari’at, anggapan atau keyakinan di atas dinamakan dengan tathayyur atauthiyarah,
yaitu menganggap datangnya kesialan (nasib buruk) semata-mata
bersandarkan pada apa yang dilihat, didengar, atau dengan bersandarkan
pada waktu tertentu. (Lihat al-Qaulul Mufid).
Contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan bersandarkan
pada apa yang dilihat adalah sebagaimana juga kebiasaan orang Arab
jahiliah, bahwa ketika hendak bepergian atau melakukan aktivitas
tertentu, mereka menerbangkan seekor burung. Kemudian dilihat apakah
burung tersebut terbang ke arah kanan atau ke arah kiri. Kalau ke arah
kanan, mereka meyakini adanya keberuntungan sehingga mereka meneruskan
aktivitasnya. Dan sebaliknya, kalau ke arah kiri, mereka
mengurungkannya. Karena mereka menganggap hal ini pertanda akan
datangnya nasib buruk kalau mereka tetap melanjutkan aktivitasnya.
Adapun contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata bersandarkan
pada apa yang didengar adalah keyakinan bahwa orang yang mendengar suara
burung tertentu berarti sebentar lagi akan mengalami nasib buruk, atau
setidaknya akan mendengar berita yang tidak disukainya.
Sedangkan contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan
bersandarkan pada waktu tertentu adalah beranggapan bahwa pada
waktu-waktu tertentu, seseorang tidak boleh mengadakan acara semacam
pernikahan, khitanan, atau yang lainnya karena hal itu tidak akan
membawa keberuntungan bagi yang punya hajat. Biasanya waktu-waktu yang
dimaksud di sini adalah bulan Muharram, Shafar, hari Rabu, malam Jum’at,
dan sebagainya.
Orang-orang Arab jahiliah sejak dahulu terus berada di atas aqidah
dan kepercayaan yang menyimpang ini. Dikatakan menyimpang karena nampak
sekali bahwa orang yang terjatuh ke dalam perbuatan thiyarah menunjukkan lemahnya iman dan tauhid dia kepada Allahsubhanahu wa ta’ala. Hal ini disebabkan karena orang yang melakukan thiyarah berarti
telah meyakini bahwa kejelekan dan nasib buruk yang menimpa itu tidak
lain disebabkan oleh makhluk, baik waktu, tempat, ataupun kejadian yang
dilihat atau didengar. Sementara ia lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa
sebenarnya segala yang menimpa hamba itu, dari nasib yang baik maupun
yang buruk merupakan ketentuan dan taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.Kalau Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak,
maka musibah, bencana, dan kesialan itu pasti akan datang dan bisa
menimpa siapapun, kapanpun dan di manapun hamba berada.
Musibah itu datang bukan karena mendengar suara burung hantu atau
burung gagak. Nasib buruk itu menghampiri seseorang bukan karena melihat
kucing hitam di tengah jalan yang ia lewati. Demikian pula
ketidakharmonisan rumah tangga itu bukan disebabkan pernikahan yang
dilangsungkan di bulan Muharram atau bulan Shafar.
Thiyarah ini terus menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab
jahiliah, hingga datanglah Islam yang kemudian meluruskan keyakinan yang
bengkok ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada
(kesialan) pada bulan Shafar, tidak ada (kesialan) pada burung hantu.” (HR. al-Bukhari no. 5717, dan Muslim no. 2220)
Hadits ini merupakan sanggahan terhadap mitos dan kepercayaan
orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya
tanpa adanya taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada burung hantu,”
mengandung penghapusan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, yaitu
apabila burung tersebut hinggap di rumah mereka, maka mereka akan
mendapat kesialan, seraya mengatakan, “Burung ini membawa kabar buruk
tentang aku atau salah seorang penghuni rumahku.” Sehingga ia pun
meyakini bahwa dirinya atau salah satu anggota keluarganya akan tertimpa
musibah, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menepis dan membantah keyakinan ini.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar,” adalah bantahan terhadap orang-orang jahiliah dahulu yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti bulan-bulan lainnya.
Dalam Islam, tidak ada bulan maupun hari yang dianggap buruk atau
mendatangkan kesialan karena semua itu adalah sebatas anggapan manusia
semata. Tidak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan -walaupun
sedikit- tentang hari baik maupun hari buruk. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan
bahwa bencana yang menimpa itu justru terjadi akibat dari perbuatan
manusia itu sendiri, bukan karena hari sial atau yang semisalnya. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan
apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syura: 30)
Akibat Thiyarah
Seseorang yang sudah terbiasa melakukan thiyarah, maka hidup
ini akan terasa sempit baginya. Dia akan selalu dihinggapi oleh rasa
khawatir. Perasaan takut akan bernasib sial selalu terbayang di
benaknya. Setiap kali mendengar atau melihat pemandangan yang tidak
disukainya, muncul anggapan bahwa itu pertanda ia akan bernasib sial.
Sehingga ia pun takut untuk melakukan aktivitasnya ketika itu.
Setiap kali akan mengadakan acara tertentu, ia pun memilih hari-hari
yang menurut keyakinannya adalah hari baik, sehingga iapun benci, anti,
dan bahkan terkadang sampai mencela hari, bulan, maupun waktu-waktu
tertentu lainnya yang dianggap hari nahas.
Barangsiapa yang menganggap sial waktu tertentu atau mencelanya, maka
sungguh berarti ia telah mencela dan menganggu Dzat Yang
menciptakannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Anak Adam (manusia) menyakiti-Ku, (dengan) mencela waktu.
Padahal Aku adalah pengatur waktu, Aku yang membolak-balikkan malam dan
siang.” (HR. al-Bukhari no. 4826 dan Muslimno. 2246)
Bangsa Arab jahiliah dahulu terbiasa menyandarkan berbagai musibah
dan kesusahan yang mereka alami kepada waktu tertentu. Sehingga ketika
terjadi musibah, mereka pun mencela waktu saat terjadinya musibah
tersebut. Dalam hal ini, berarti mereka telah mencela Allahsubhanahu wa ta’ala, Dzat yang menciptakan dan mengatur waktu.
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengabarkan bahwa sebanyak 70.000 orang dari umatnya akan masuk ke
dalam surga secara langsung tanpa melalui proses hisab (perhitungan
amalan) dan tanpa merasakan adzab di neraka terlebih dahulu. Di antara
ciri mereka adalah tidak pernah melakukan thiyarah (HR. al-Bukhari no. 6541, dan Muslim no. 220). Berarti orang yang melakukan thiyarah akan terhalangi dari meraih keutamaan ini.
Akhir Kata
Semestinya bagi umat Islam untuk memperbanyak doa, zikir, dan amal
shalih di setiap waktunya. Tidak hanya di bulan Shafar saja, namun juga
di bulan-bulan yang lain. Di samping itu, kemaksiatan dan segala bentuk
kemungkaran harus dijauhi. Apalah artinya seseorang rajin beribadah,
namun ia masih tetap saja bergelimang dengan maksiat, riba, tidak jujur,
menipu, menggunjing tetangga, korupsi, bermain suap, kesyirikan, dan
keengganan dalam menjalankan sunnah Rasul jelas merupakan kemungkaran
yang akan mendatangkan bencana dan murka Allah. Allah berfirman
(artinya), “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).” (Ar-Rum: 41)
Para pembaca rahimakumullah. Tidaklah musibah itu datang karena mengadakan acara hajatan di bulan Shafar. Tidak pula azab Allah subhanahu wa ta’ala itu
menimpa karena tidak menjalankan ritual khusus di bulan Shafar.
Sebaliknya, ketika bencana itu tidak menimpa seseorang, maka bukan
karena ia telah menunaikan semua prosesi ritual di bulan Shafar yang
diada-adakan sendiri tanpa ada bimbingan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketahuilah bahwa adzab Allah subhanahu wa ta’ala, bencana,
dan bala’ itu tidak akan turun menimpa hamba selama hamba tersebut
beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar dan bersyukur kepada-Nya
dengan sebenar-benarnya syukur. Allah berfirman (artinya),“Mengapa Allah akan menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisa`: 147)
Di antara bentuk keimanan yang benar adalah menjauhkan diri dari segala bentuk thiyarah. Yakin bahwa tidak ada hari, tanggal, atau bulan tertentu yang dapat mendatangkan kesialan. Segala musibah yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tentukan
pasti akan menimpa siapapun, kapanpun, dan di manapun tanpa ada
hubungannya sedikitpun dengan waktu atau keadaan tertentu.
Demikian pula banyak beristighfar (meminta ampun), akan mencegah datangnya azab Allahsubhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan tidaklah Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)
Maka hendaknya masing-masing kita mengoreksi diri, sudahkah iman ini
dan keyakinan kita benar dan bersih dari segala yang mengotorinya?
Sudahkah diri ini bersyukur atas nikmat yang selama ini dirasakan?
Sudahkah hati ini jujur dalam meminta ampun, bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan kembali ke jalan-Nya?
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber :