Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Asy-Syaikh
Utsaimin adalah seorang ulama yang punya perhatian besar terhadap
akidah. Karya, ceramah, dan syarah (penjelasan) beliau terhadap
matan-matan akidah sangatlah banyak, menyangkut akidah dalam bidang
uluhiyah, rububiyah, dan asma wa shifat, atau akidah secara umum. Tentu,
akidah yang beliau yakini dan dakwahkan adalah akidah salafiah Ahlus
Sunnah wal Jamaah, mengikuti para sahabat nabi. Dalam salah satu
karyanya yang berjudul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan umatnya di atas
jalan lurus yang sangat terang malamnya bagaikan siangnya.
Tidaklah
tergelincir darinya melainkan orang yang binasa. Umatnya yang menyambut
seruan Allah dan Rasul-Nya berjalan di atas jalan tersebut. Mereka
adalah makhluk pilihan Allah Subhanahu wata’ala dari kalangan para
sahabat dan tabi’in, serta yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka
menegakkan syariatnya dan berpegang dengan ajarannya serta menggigitnya
dengan gigi geraham, dalam hal akidah, ibadah, akhlak, dan adab,
sehingga mereka menjadi kelompok yang selalu unggul di atas kebenaran.
Tidak mencelakakan mereka orang yang mengacuhkan mereka atau menyelisihi
mereka, sampai datang ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan mereka
tetap di atasnya.
Kami—segala
puji bagi Allah— berjalan di atas jejak mereka. Kami mencontoh perilaku
mereka yang didukung oleh al-Qur’an dan sunnah. Kami katakan hal itu
sebagai bentuk menyebutkan nikmat Allah Subhanahu wata’ala dan
menerangkan terhadap kewajiban yang semestinya di atasnya seorang
mukmin.”
Demikian
jelas jalan yang beliau tempuh. Karya-karya beliau menjadi bukti
tentang akidah yang beliau anut. Karya yang lain dalam bab akidah sangat
banyak, kecil maupun besar, dalam bentuk syarah (penjelasan) buku-buku
akidah, Kitabut Tauhid, al-Aqidah al-Wasithiyah, dan Lum’atul I’tiqad;
atau dalam bentuk ringkasan buku akidah, semacam Fathu Rabbil Bariyah
ringkasan Hamawiyah, Taqrib Tadmuriyah ringkasan kitab Tadmuriyah; atau
buku-buku yang khusus beliau tulis dalam bab akidah, seperti Syarh
Ushulil Iman, al-Iman bil Qadar, dan al-Qawaid al-Mutsla. Ciri khas yang
sangat tampak pada tulisan-tulisan beliau adalah sangat sistematis,
sederhana, jelas, dan selalu didukung dengan dalil aqli dan naqli.
Fikih Ibadah dan Ittiba’
Sekilas,
jika seseorang melihat beliau, mungkin akan menganggap beliau sebagai
ulama Hanbali. Sebab, beliau tumbuh di lingkungan yang sarat dengan
mazhab Hanbali dan perhatian besar terhadap buku-buku ulama Hanbali.
Namun, apabila seseorang menyelami karya-karya beliau dan mendengar
pelajaran-pelajaran fikih beliau, dia pasti mengetahui bahwa beliau
adalah seorang yang sangat terikat dengan dalil dan selalu ittiba’
dengannya, serta sangat memerangi takllid buta dan fanatik golongan.
Taklid hanya dibolehkan pada kondisi tertentu. Untuk melihat hal itu
secara nyata, bisa kita baca kitab asy-Syarhul Mumti’. Betapa sering
beliau menyatakan lemahnya pendapat penulis Zadul Mustaqni’. Beliau
mengatakan, “Di antara hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atas kita,
yang hal itu di atas hak kedua orang tua kita, adalah kita memurnikan
ittiba’ kepadanya. Artinya, kita tidak boleh mendahuluinya. Jadi, kita
tidak boleh mensyariatkan dalam agamanya sesuatu yang tidak beliau
syariatkan dan tidak melampaui apa yang beliau syariatkan, atau
menyepelekan syariatnya. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah,
‘Jika kalian (benarbenar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Ali Imran: 31).”
Tentang
taklid, beliau katakan, “Dalam atsar ini terdapat peringatan dari
taklid buta dan fanatik mazhab yang tidak terbangun di atas dasar yang
selamat. Sebagian orang melakukan kesalahan yang parah, saat dikatakan
kepadanya, “Rasulullah bersabda…,” ia menjawab, “Tetapi, dalam kitab
fulan begini dan begini….” Hendaklah ia bertakwa kepada Allah l yang
berfirman dalam kitab-Nya,
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ
Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?” (al-Qashash: 65)
Allah
Subhanahu wata’ala tidak mengatakan, apa jawaban kalian terhadap fulan
dan fulan.” “Jika suatu hukum tidak tampak bagi seseorang, dia wajib
bertawaqquf. Ketika itulah taklid baru diperbolehkan dalam kondisi
darurat. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an Nahl: 43 dan al-Anbiya: 7)
Salah
satu contoh praktik beliau dalam mengikuti dalil adalah dalam hal batas
berhentinya darah di masa haid jika kurang dari satu hari, apakah
menjadi tanda suci atau tidak. Beliau mengatakan, “Yang masyhur dalam
mazhab Hanbali bahwa ‘darah berarti haid dan bersih berarti suci,’
kecuali apabila penggabungan antara keduanya melebihi masa kebiasaan
haid, berarti darah yang lewat dari masa tersebut adalah darah
istihadhah. Tetapi, dalam kitab al-Mughni disebutkan, masa suci yang
kurang dari satu hari tidak perlu dianggap. Pendapat itulah yang benar,
insya Allah. Sebab, darah itu terkadang mengalir dan terkadang berhenti,
dan mewajibkan mandi atas orang yang suci sesaat demi sesaat adalah hal
yang memberatkan. Ini adalah sebuah keberatan yang mestinya ditiadakan
berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian suatu kesempitan dalam agama.” (al-Hajj: 78)
Jadi,
atas dasar ini terhentinya darah yang kurang dari satu hari bukan
berarti suci, kecuali engkau melihat hal yang menunjukkan kesuciannya.
Misalnya, apabila kesuciannya itu di akhir kebiasaan masa haidnya atau
engkau melihat cairan lendir putih.” (Risalah Fi Dima ath-Thabi’iyyah)