Senin, 26 Januari 2015

Hakikat Kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sang Khairul Anam

Hakekat kecintaan kepada Rasul


Penulis: Ustadz Arif hafizhahullah

Kewajiban mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tak disangsikan lagi bagi setiap muslim yang jujur dalam keislamannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok panutan umat Islam dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sejarah telah mencatat bagaimana kegigihan dan kesabaran beliau dalam berdakwah, sehingga beliau pantas menjadi pemimpin para nabi dan para rasul.  
Umat telah merasakan bagaimana kesungguhan dan keseriusan beliau demi tersampaikannya hidayah kepada mereka. Rasa belas kasih kepada umat beliau mendasari setiap dakwah yang diajarkan. Benar-benar umat merasakan kasih sayang beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjadi saksi akan semua itu. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya),
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari bangsa kalian, berat terasa olehnya penderitaan  kalian, sangat menginginkan (keselamatan dan hidayah) untuk kalian, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
          Barang siapa yang membaca sejarah kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti akan tumbuh kecintaan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hukum mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
          Mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagian dari ibadah yang sangat mulia dan wujud kesempurnaan dan kejujuran iman seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِلاَيُؤْمِنُأَحَدُكُمْحَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْهِمِنْوَالِدِهِوَوَلَدِهِوَالنَّاسِأَجْمَعِينَ
“Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian beriman hingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 69, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
          Mana yang didahulukan antara kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kecintaan terhadap dirinya sendiri?
          Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, kemudian Umar bin al-Khaththab mengatakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkaulah yang lebih aku cintai dari segalanya kecuali terhadap diriku sendiri.”
          Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ،وَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِ،حَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْكَمِنْنَفْسِكَ
“Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya.Hingga aku (Rasulullah) lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri.”
Maka sahabat Umar berkata: “Maka sekarang Demi Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekarang wahai Umar (engkau telah menggetahui dan telah mengucapkan ucapan yang benar).” (HR. al-Bukhari no. 6632)
          Ibnu Baththal, al-Qadhi Iyadh dan selain keduanya mengatakan, “Cinta terbagi menjadi 3 macam. Pertama, cinta pemuliaan dan penghormatan seperti kecintaan kepada orang tua.Kedua, cinta belas kasih seperti kecintaan kepada anak. Ketiga, cinta persamaan dan kebaikan seperti kecintaan kepada sesama manusia. Maka terkumpullah semua kecintaan itu terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 2/15)
Merasakan Manisnya Buah Keimanan
          Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa keimanan itu memiliki rasa yang manis dan lezat. Kalau demikian, tentunya setiap mukmin pasti ingin merasakannya.Lalu bagaimana caranya? Di antara caranya adalah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌمَنْكُنَّفِيهِوَجَدَحَلاَوَةَالإِيمَانِ: أَنْيَكُونَاللهُوَرَسُولُهُأَحَبَّإِلَيْهِمِمَّاسِوَاهُمَا،وَأَنْيُحِبَّالمَرْءَلاَيُحِبُّهُإِلَّالِلهِ،وَأَنْيَكْرَهَأَنْيَعُودَفِيالكُفْرِكَمَايَكْرَهُأَنْيُقْذَفَفِيالنَّارِ
“Tiga hal, barangsiapa yang tiga hal tersebut ada pada dirinya, pasti ia akan merasakan manisnya keimanan; Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, mencintai seseorang tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah, dan ia tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan kedalam api neraka.” (HR. al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 67, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dengan Apa Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
          Wahai saudaraku, ketahuilah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bukan sebatas pengakuan saja. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka wajib memberikan kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ilmu dan amalan yang benar, kalau tidak dilandasi dengan ilmu dan amalan yang benar maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
         
Dalam masalah ini, realita umat Islam terbagi dalam beberapa kelompok, 

Pertama, kelompok yang ghuluw yaitu mereka yang dalam mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melampaui batasan-batasan syariat. Mengagungkan dan mengangkat beliau hingga mencapai martabat ilahiyyah (peribadatan kepada selain Allah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَتُطْرُونِي،كَمَاأَطْرَتْالنَّصَارَىابْنَمَرْيَمَ،فَإِنَّمَاأَنَاعَبْدُهُ،فَقُولُواعَبْدُاللهِ،وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berbuat melampaui batas terhadap diriku sebagaimana kaum nashrani telah melampaui batas terhadap Isa bin Maryam, sesungguhnya aku adalah hamba Allah, maka ucapkanlah (bahwa aku) adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 3445, dari sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu)
          Maksudnya, beliau adalah hamba Allah, sebagai makhluk manusiawi yang tidak berhak untuk diibadahi, namun beliau dimuliakan karena berposisi seorang rasul (utusan) Allah yang wajib diikuti syariatnya. 

Kedua, kelompok yang mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengada-adakan acara-acara perayaan dan peringatan-peringatan yang tidak dikenal dan tidak pernah diamalkan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama salaf (selain hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adhha).
          Di masa khilafah Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ada seorang Yahudi bertemu dengan sang khalifah Umar, seraya mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian telah membaca sebuah ayat dalam kitab kalian (al-Qur’an), kalau sekiranya ayat itu turun kepada kami niscaya akan kami jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari Ied. Umar bertanya, “Ayat apa itu? Ia menjawab, ayat
الْيَوْمَأَكْمَلْتُلَكُمْدِينَكُمْوَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْنِعْمَتِيوَرَضِيتُلَكُمُالْإِسْلَامَدِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan Islam sebagai agama kalian, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan telah Ku-ridhai Islam agama kalian.” (al-Maidah: 3)
          Kata Umar, “Demi Allah sungguh aku tahu kapan hari diturunkan ayat itu kepada Rasulullah, dan kapan waktu diturunkannya kepada Rasulullah, ayat itu turun di waktu sore pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum’at. (HR. al- Bukhari no. 45, Muslim no. 3017, dan Ahmad no. 188)
          Dari kisah ini, kenapa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikannya sebagai hari besar, untuk dirayakan dan diperingati? Kenapa khalifah Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali ridwanullah ‘alaihi ajmain tidak menjadikannya sebagai hari bersejarah yang pantas untuk diadakan perayaan dan peringatan? Kenapa al-Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad tidak juga merayakannya dan memperingatinya?
          Peristiwa perang Badr adalah peristiwa yang amat menentukan eksistensi umat Islam waktu itu. Sehingga Rasulullah berdoa, “Ya Allah penuhilah apa yang Engkau janjikan kepadaku, Ya Allah jika Engkau binasakan pasukan ini Engkau tidak akan diibadahi lagi di muka bumi ini”.
          Peristiwa penaklukan kota Mekkah (Fathu Makkah) juga peristiwa yang amat besar dalam sejarah Islam, sebagai hari kemenangan dan kejayaan umat Islam.
          Pertanyaannya, kenapa para sahabat Rasulullah dan para ulama terkemuka setelahnya tidak menjadikannya sebagai hari-hari besar umat Islam? Apakah mereka tidak mencintai Rasulullah? Apakah para ulama semisal al-Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad tidak menghargai perjuangan Rasulullah dan para shahabanya?
          Kalau para shahabat Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali ridwanullah ‘alaihi ajmain, mereka semua merasa lapang dan cukup dengan ketentuan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adhha dalam setahun, serta hari Jum’at dalam seminggu, apakah kita tidak merasa lapang dan cukup sebagaimana perasaan lapang dan cukupnya para shahabat Rasulullah?
          Kalau para ulama kita semisal al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Sufyan ast-Tsauri, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama lainnya sudah merasa lapang dan cukup dengan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amalan para shahabatnya, apakah kita tidak merasa lapang dan cukup sebagaimana perasaan lapang dan cukupnya para ulama tersebut?
          Marilah kita perhatikan perkataan yang sangat mulia dan indah dari al-Imam Malik rahimahullah salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
لَنْتَصْلُحَهذِهِاْلأُمَّةإِلَّابِمَاصَلُحَأَوَّلهُاَ
“Tidak akan menjadi jaya umat ini kecuali dengan prinsip, cara, dan metode yang ditempuh oleh  generasi awal (salaf) umat ini.” 

Ketiga, kelompok yang mendasari  kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ilmu dan amalan yang benar. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah. Mereka benar-benar menjaga perintah dan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya),
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
          Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti mencintai Allah, tidaklah Allah menjadikan seseorang sebagai nabi atau rasul melainkan dari hamba-Nya yang sangat dicintai-Nya, terlebih lagi beliau sebagai khalilullah (kekasih Allah).
          Tolok ukur kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya bukan pada semangat memperbanyak amalan tanpa mengikuti rambu-rambu syariat, tetapi terletak pada kesungguhan dalam mengikuti petunjuk dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
          Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “Ayat yang mulia ini menjadi hakim terhadap siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, ternyata ia tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia dusta dalam pengakuannya itu. Sampai ia mengikuti syariat dan agama yang dibimbingkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh amalan, perbuatan, dan perkataan. Sebagaimana telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْعَمِلَعَمَلاًلَيْسَعَلَيْهِأَمْرُنَافَهُوَرَدُّ
“Barangsiapa yang beramal/beribadah dengan berbagai amal/ibadah apapun yang tidak didasarkan atas petunjukku maka pasti tertolak.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/32)
          Wahai sauadaraku, perhatikanlah nasehat yang amat berharga dari panutan kita yaitu al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah,
مَنِاسْتَحْسَنَفَقَدْشَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (berdasarkan logika, perasaan dan semangat tanpa dasar ilmu yang benar) sungguh ia telah membuat syariat (baru).”
          Wahai saudaraku, dengan demikian terjawablah pertanyaan di atas, dengan apa mencitai Rasulullah? Dengan ilmu dan amalan yang benar, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah serta penerapan salaful ummah.Wallahu a’lam.


Sumber : 

Rabu, 21 Januari 2015

ILMU ADALAH TAKUT KEPADA ALLAH


Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal hafizhahullah


Ilmu adalah Takut kepada Allah 
 “Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.” (Fathir: 28) 

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Sesungguhnya hanyalah.”
Lafadz ini menunjukkan pembatasan. Pembatasan dalam satu kalimat bermakna istitsna’ (pengecualian/pengkhususan). Adapun istitsna’ dalam konteks kalimat penafian, menurut jumhur ulama, mengandung makna penetapan (itsbat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 16/177)
“Ulama.”
Ia adalah bentuk jamak dari alim. Yang dimaksud adalah orang yang berilmu tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mengerti tentang hukum halal dan haram. Inilah yang dimaksud ilmu apabila disebut secara mutlak (tanpa pengait) dalam kitabullah dan sunnah Rasul Shallallahu `alaihi wa sallam. Ini pula ilmu yang jika kita mempelajari dan mengamalkannya akan mendapat keutamaan. Hal ini karena selain ilmu syariat, tidak ada perbedaan dalam mengetahuinya antara seorang mukmin dan kafir.

Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menunjukkan dua perkara:
1. Ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala), Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan.
Hal ini menumbuhkan sikap pengagungan, pemuliaan, rasa takut kepada-Nya, rasa cinta, berharap, bertawakal, dan ridha dengan ketetapan-Nya, serta bersabar atas musibah yang menimpa.
2. Berilmu tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa berbagai keyakinan, amalan, dan ucapan, baik yang lahir maupun batin. (Lihat Fadhlu Ilmis Salaf, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali Rahimahullah, hlm. 73)
Syaikhul Islam Rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “Mereka adalah para ulama yang beriman kepada apa yang dibawa oleh para rasul. Merekalah yang takut kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, 16/177)

Tafsir Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang yang alim (berilmu). Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang jahil.
Rasa takut manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan seseorang kepada Rabbnya.
Mujahid Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, orang yang alim adalah yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Beliau Rahimahullah juga berkata, “Orang yang fakih adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Cukuplah rasa takut seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang kepada-Nya sebagai kejahilan.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya, orang fakih yang sebenar-benarnya adalah orang yang tidak menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak memberi kemudahan kepada mereka untuk bermaksiat kepada-Nya, tidak memberi rasa aman kepada mereka dari siksaan-Nya, serta tidak menyebabkan manusia meninggalkan al-Qur’an dan mencari alternatif selainnya. Sesungguhnya, tidak ada kebaikan dalam satu ibadah yang tidak dibarengi ilmu, tidak pula ada kebaikan pada satu ilmu yang tidak terkandung pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur.” (Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir Ibnu Katsir tatkala menjelaskan ayat ini)
Syaikhul Islam Rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Tidaklah seseorang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dia seorang alim. Oleh karena itu, setiap yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dialah alim. Demikianlah konteks ayat ini. Para ulama salaf dan kebanyakan para ulama mengatakan bahwa setiap alim berarti dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ayat yang lain juga menunjukkan bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti dia jahil.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Aliyah Rahimahullah, ‘Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.” (an-Nisa: 17)
Mereka (para sahabat Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam) berkata kepadaku, ‘Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia jahil.’
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan yang lainnya dari kalangan ulama tabi’in dan yang setelahnya, rahimahumullah.” (Majmu Fatawa, 16/176—177)
As-Sa’di Rahimahullah berkata, “Semakin seseorang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, semakin besar pula rasa takut kepada-Nya. Rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebabkannya meninggalkan kemaksiatan serta mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayyinah: 8) (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah para ulama yang memiliki ma’rifat (pengetahuan) tentang-Nya. Hal ini karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang kepada Yang Mahaagung, Mahakuasa, dan Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dengan asmaul husna, semakin bertambah dan sempurna pengetahuan seseorang kepada-Nya. Maka dari itu, rasa takut kepada-Nya pun semakin bertambah dan semakin kuat.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “Maknanya, tidak ada yang takut kepada-Nya selain seorang alim. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwa setiap yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti dia adalah seorang alim, sebagaimana firman-Nya di dalam ayat yang lain,
(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (az-Zumar: 9)
Rasa takut (khasy-yah) selalu mengandung sifat berharap (raja’). Jika tidak demikian, dia akan menjadi seorang yang berputus asa (dari rahmat-Nya). Sejalan dengan itu, perasaan berharap mengharuskan adanya rasa takut, sebab ketiadaan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang merasa aman (dari kemurkaan-Nya). Jadi, orang yang memiliki rasa takut dan berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah para ulama yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 7/21)

Tanda Ilmu adalah Khasy-yah
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu yang hakiki, yang akan memberi manfaat kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan rasa takut seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, para nabi, orang-orang saleh, para shiddiqin, dan para syuhada, memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih daripada selain mereka yang tingkat keimanannya lebih rendah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan bahwa apabila Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin, beliau memerintah mereka dengan sesuatu yang mampu mereka lakukan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak seperti engkau, wahai Rasulullah. Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni apa yang telah lalu dari dosamu dan yang akan datang.” Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam marah mendengar hal itu hingga kemarahan tersebut tampak di wajah beliau Shallallahu `alaihi wa sallam, lalu bersabda:

إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللهِ أَنَا
“Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’alaadalah aku.” (HR. al-Bukhari, 1/20)

Dalam riwayat Muslim Rahimahullah dengan lafadz,
وَاللهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلهِِ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي
“Demi Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang paling berilmu dengan apa yang aku tinggalkan.” (HR. Muslim no. 1110)

Dalam riwayat Muslim Rahimahullah dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhuma,
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang paling bertakwa di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya.” (HR. Muslim no. 1108)

Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menggandengkan rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ilmu.
Al-Allamah asy-Syinqithi Rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi bahwa nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah orang yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan paling mengetahui tentang hak-hak dan sifat-sifat-Nya, serta pengagungan yang menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersamaan dengan itu, mereka menjadi hamba yang paling banyak ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang paling takut serta berharap mendapat rahmat-Nya.” (Adhwaul Bayan, 2/325)
Tumbuhnya rasa khasy-yatullah dalam diri seorang hamba akan memberikan pengaruh pada keimanan dan amalannya. Di antara pengaruh tersebut adalah:
  1. Ia akan semakin giat menjalankan ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
  2. Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik di keramaian maupun saat sendirian.
  3. Senantiasa mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
  4. Tidak memasukkan ke dalam perutnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  5. Merasa yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang durhaka.
  6. Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan agama.
Gelar Bukan Ilmu
Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah jika dia memiliki banyak hafalan dan riwayat. Sebagian lagi ada yang menyangka bahwa tanda seorang alim adalah jika dia memiliki gelar akademis seperti Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini adalah pemahaman yang keliru.
Jika seseorang memiliki semua yang disebutkan, namun ilmu yang dimilikinya tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah yang baik dalam kehidupannya—dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya—, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang dimilikinya justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya. Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam Malik Rahimahullah berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/555)
Abu Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu ada tiga: (1) seorang yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, (2) seorang yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan (3) seorang yang berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perintah-Nya, dialah yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah orang yang mengerti sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah mengingatkan para pelajar yang belajar agama di bangku universitas, “Hal yang menyedihkan di zaman kita sekarang ini adalah yang menjadi tolok ukur menentukan keilmuan manusia adalah gelar-gelar. Anda punya gelar, maka Anda akan diberi pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar tersebut. Bisa jadi, seseorang bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai pengajar di sebuah universitas, padahal dia adalah orang yang paling jahil.
Sementara itu, ada seorang pelajar setingkat sekolah menengah yang jauh lebih baik darinya, dan ini kenyataan. Sekarang ini, ada orang yang bergelar doktor namun dia tidak mengerti ilmu sedikit pun. Bisa jadi, dia lulus dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan ilmu tersebut belum melekat pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai pegawai karena memiliki ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu yang baik, lebih baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu kali daripada doktor ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak mengajar di perguruan tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436).
Wallahul muwaffiq.

Sumber:  

Prinsip Dakwah Salaf

Prinsip Dakwah Salaf :

1. Kembali kepada Al Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalih Radhiyallahu ‘Anhum sebagai pengamalan firman Allah ‘Azza wajalla,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Qs. An-Nisaa: 115)
Dan juga sebagai implementasi dari firman Allah Ta’ala:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al Baqarah: 137)
2. Tashfiyah / mensucikan kehidupan kaum muslimin dari noda-noda kesyirikan dalam berbagai bentuknya, memperingatkan dari bid’ah yang mungkar dan pemikiran-pemikiran batil yang menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin, membersihkan sunnah nabi dari riwayat-riwayat dha’if dan palsu yang mengotori kemurnian islam dan menghambat kemajuan kaum muslimin demi menunaikan amanah ilmiyah seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المْبُطْلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجْاَهِلِيْنَ
“Agama ini dibawa pada setiap penerusnya oleh orang-oang adilnya, mereka melenyapkan penyimpangan orang-orang yang melampau batas dan tipu daya para pengekor kebatianl serta menghilangkan takwilnya orang-orang jahil”.

Juga sebagai realisasi firman Allah Ta’ala :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Qs. Al Maidah: 2)

3. Membina kaum muslimin di atas agama mereka yang haq, mengajak mereka untuk mengamalkan hukum-hukum agama islam dan berhias diri dengan keutamaan dan akhlak islam. Yang demikian akan memberikan jaminan untuk mendapatkan ridha Allah dan merealisasikan kebahagian dan keluhuran. Itu semua merupakan bentuk perwujudan sifat yang Allah sematkan terhadap kelompok yang selamat dari kerugian,

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan mereka saling mewasiatkan dengan kebenaran dan kesabaran”. (Qs. Al Ashar: 3)

Dan juga sebagai ketundukan terhadap perintah Allah Ta’ala,
وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Akan tetapi (dia berkata):”Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (Qs. Ali Imran: 79)

4. Menghidupkan metode ilmiyah yang islami dan benar dengan bimbingan Al Qur’an dan As-Sunnah di atas manhaj Salafush Shalih, dan melenyapkan kebekuan taqlid madzhab serta membuang fanatik hizbi (kelompok) yang membelenggu akal kebanyakan kaum muslimin. Serta mewujudkan ukhuwah islamiyah diatas akidah dan manhaj Ahlus Sunnah sebagai pelaksanaan terhadap firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا (آل عمران:103)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. (Qs. Ali Imran: 103)

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

كُوْنوُاْ عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً
“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”.
5. Tidak memprovokasi kaum muslimin untuk melawan pemerintahnya meski mereka lalim, tidak melalui minbar-minbar khutbah atau pun melalui sarana-sarana lainnya, karena yang demikian menyelisihi sunnah Salafus Shalih, juga sebagai aplikasi dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِيْهِ عَلاَنِيَةً وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa maka janganlah menampakkannya terang-terangan di hadapan massa, namun gaetlah tangannya (yakni dengan empat mata / rahasia), jika dia mau mendengar maka itulah (yang diharapkan), jika tidak mau mendengarnya maka dia telah menunaikan kewajibannya”.
Inilah prinsip dakwah salaf.
wallahu a'lam

sumber: 

Keutamaan Ilmu Salaf dan Kitab-kitab Mereka

Oleh : Asy Syaikh Robi' bin Hadi Al Madkholiy -hafidzohullah-

Wahai saudaraku!

Sesungguhnya Al Imam Al Hafidz Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin bin Ahmad bin Rajab Al Hanbali telah menulis sebuah kitab yang berjudul: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf (Keutamaan Ilmu Salaf di atas Ilmu Khalaf).

Kitab ini sangat terkenal dan telah dimanfaatkan oleh umat Islam serta telah di tahqiq (diteliti).

Didalam kitab tersebut, beliau rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat. Berikut ini saya akan menyadurkan beberapa ucapan dan ungkapan beliau.

Ibnu Rajab di dalam kitabnya setelah menjelaskan apa yang dimaksud ilmu yang bermanfaat, lalu beliau menyebutkan bagian yang kedua (yaitu ilmu yang tidak bermanfaat pada hal. 16) dengan mengatakan:

“Sungguh Allah telah menceritakan tentang suatu kaum yang telah diberi ilmu, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat buat mereka. Inilah ilmu yang bermanfaat pada zatnya saja, akan tetapi pemiliknya tidak bisa mengambil mafaat darinya. Allah subhanahu wa ta’alai berfirman:

“Perumpamaan orang yang dipikulkan kepadanya taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah seperti (seekor) keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (Al Jumu’ah: 5)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka ayat-ayat Kami (yakni pengetahuan tentang isi Al Kitab) kemudian mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda) maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah.” (Al a’raf: 175-176)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Allah membiarkan dia sesat berdasar ilmu-Nya.” (Al Jatsiyah: 23)

(Saya membawakan) dalil ini berdasarkan ulama yang menafsirkan kata: ‘ala ‘ilmin (di atas ilmu), dengan: “Ilmu orang yang telah disesatkan oleh Allah.”

Di antara ilmu ada yang disebutkan oleh Allah, tetapi dalam rangka mecela ilmu tersebut, yaitu seperti ilmu sihir.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Danmereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, adalah baginya kerugian di akhirat.” (Al Baqarah: 102)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka tatkala datang kepada mereka Rasul-Rasul (yang diutus kepada mereka) dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikapung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Ghafir/Al Mukmin: 83)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah orang-orang yang lalai.” (Ar Rum: 7)

Didalam As Sunnah juga telah menjelaskan pembagian ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan meminta kepada Allah ilmu yang bermanfaat.

Di dalam shahih Muslim dari sahabat Zaid bin Arqam bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Ya Allah, aku meminta perlindungan-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah merasa puas dan do’a yang tidak dikabulkan.”[10]
Kemudian Ibnu Rajab rahimahullah berkata lagi (pada hal. 51):

“Dan diantara perkara yang diingkari oleh ulama salaf adalah jidal (perdebatan), khisham (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah) dalam masalah-masalah yang jelas halal dan haramnya.

Karena ini bukanlah jalannya para Imam Islam, akan tetapi jalan yang dibuat oleh orang-orang yang setelah mereka, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama-ulama Iraq dan Khurasan dalam perselisihan yang terjadi antara mazhab Syafi’i dan Hanafi.

Mereka mengarang kitab-kitab dalam masalah khilafiyah (perbedaan pendapat), memperluas masalah pembahasan dan memperdebatkannya dalam kitab tersebut.

Semuanya itu adalah perkara baru yang diada-adakan dan perkara ini akan menyebabkan mereka tersibukkan dengannya sehingga melupakan ilmu yang bermanfaat.

Semuanya itu telah diingkari oleh salaf, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits marfu’ (hadits yang riwayatnya sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) yang terdapat dalam kitab Sunan:

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah datang petunjuk kepadanya kecuali setelah diberikan kepada mereka ilmu jidal (debat).”

Kemudian beliau shallallahu’alaihi wa sallam membacakan (firman Allah subhanahu wa ta’ala):
“mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az Zukhruf: 58)[11]
Sebagian dari ulama salaf mengatakan: “Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah akan bukakan baginya pintu beramal dan menutup baginya pintu jidal (debat). Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi seorang hamba, maka Allah menutup baginya pintu beramal dan membukakan baginya pintu jidal.”[12]

Imam Malik rahimahullah berkata: “Saya mendapati penduduk negeri ini (yakni Madinah), mereka membenci perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini.”[13]

Yang dimaksud beliau rahimahullah adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah-masalah jidal, khisam dan mira’.

Imam Malik sangat membenci banyak berbicara dan berfatwa. Beliau rahimahullah berkata: “setiap mereka berbicara seperti onta yang kehausan, mereka berkata dia demikian, dia demikian (seperti orang yang) mengigau yang tidak jelas pembicaraannya.”

Bahkan beliau rahimahullah tidak mau menjawab dalam banyak permasalahan, kemudian beliau menukilkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh urusannya ada di tangan Rabb-ku.” (Al Isra’: 85)
Kemudia beliau rahimahullah berkata: “Rasulullah tidak memberikan jawaban dalam masalah itu.”

Ditanyakan kepada beliau rahimahullah: “Apakah seorang dikatakan alim tentang sunnah padahal dia selalu memperdebatkannya?”

Beliau rahimahullah menjawab: “Tidak, akan tetapi sampaikanlah sunnah kepadanya kalau dia mau menerima, jika dia tidak mau menerima hendaklah diam.”

Beliau rahimahullah pernah berkata: “Al Mira’ (saling membantah) dan Al Jidal (saling berdebat) terhadap ilmu akan menghilangkan cahaya ilmu tersebut.”

Beliau rahimahullah berkata: “Debat terhadap masalah ilmu akan dapat mengeraskan hati dan mewariskan kedengkian.”

Dan beliau berkata dalam masalah-masalah yang ditanyakan kepadanya: “Saya tidak mengetahuinya.”

Jalan Imam Malik ini diikuti oleh Imam Ahmad dalam permasalahan ini. Dan telah datang larangan agar jangan banyak bertanya, memperdalam masalah yang keliru, dan permasalahan yang belum terjadi. Permasalahan ini sangat panjang kalau dijabarkan.

Adapun perkataan ulama salaf seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq, mereka di dalam membahas permasalahan fiqih dan menetapkan hukumnya mengatakan dengan perkataan yang pendek, ringkas, dan difahami maksudnya tanpa harus berbicara panjang lebar dan bertele-tele.

Demikian pula ketika mereka membantah pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah dengan bantahan yang lemah lembut dan menggunakan ungkapan yang baik. Dan hal ini cukup bagi orang yang memahaminya, jika dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan ahlul kalam (orang yang hanya pandai berbicara).

Terkadang ucapan ahlul kalam sangat panjang lebar dan tidak mengandung unsur kebenaran, tidak seperti yang dikandung oleh ucapan ulama salaf dengan ucapan yang ringkas dan pendek.

Adapun diamnya mereka (ulama salaf) dari banyak berdebat dan membantah, bukan karena mereka bodoh atau lemah untuk berbuat itu, akan tetapi diamnya mereka karena ilmu dan takut kepada Allah.

Sebaliknya, semakin luas dan banyaknya pembicaraan orang-orang selain ulama salaf, bukan berarti mereka ahli dan menguasai ilmunya, akan tetapi ini semua karena mereka senang berbicara dan kurangnya sifat wara’ (rendah hati).

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata ketika mendengar orang yang sedang berdebat: “Mereka itulah orang-orang yang telah bosan dari beribadah, orang-orang yang telah lemah akal, dan sedikit sifat wara’-nya sehingga mereka memperdebatkan dalam masalah tersebut.”[14]

Ja’far bin Muhammad berkata: “Berhati-hatlah kalian berdebat di dalam masalah agama, karena hal ini akan menyibukkan hati dan akan menimbukan sifat kemunafikan.”[15]

Umar bin ‘Abdul Aziz berkata: “Apabila kamu mendengar Al Mira’ (bantah membantah), maka ringkaskanlah.”

Dan beliau rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai arena (sumber) perdebatan, maka dia akan sering berpindah.”[16]

Dalam kesempatan yang lain beliau berkata: “Salafus Shalih (orang-orang terdahulu yang shalih),mereka berhenti karena ilmu, dan mereka diam karena ilmu pula, serta mereka sangat mampu kalau mereka mau mencarinya.”

Dan masih banyak lagi ucapan ulama salaf yang semakna dengan ucapan ini. Orang-orang sekarang banyak yang terfitnah dengan permasalahan ini. Mereka menyangka bahwa orang banyak bicara, suka berdebat, dan membantah dalam masalah agama lebih berilmu dibandingkan dengan orang yang tidak demikian. Ini termasuk dari kebodohan mereka semua.

Lihatlah kepada para pembesar shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan ulama-ulama mereka seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit, ucapan mereka lebih sedikit daripada ucapan Ibnu Abbas, padahal mereka lebih pandai darinya.

Begitu juga ucapan tabi’in lebih banyak dari ucapan shahabat, padahal shahabat lebih berilmu dari mereka. Dan ucapan para tabi’ut tabi’in lebih banyak dari ucapan tabi’in padahal tabi’in lebih mengetahui dari tabi’ut tabi’in.

Ilmu itu bukan karena banyak meriwayatkan dan tidak pula karena banyak pendapat-pendapat, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang terdapat di dalam hati, sehingga seorang hamba dapat mengetahui yang al haq dengan yang bathil. Semua ini diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan ringkas dan dapat mencapai apa yang dimaksud.

Dan Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, telah diberi oleh Allah dengan sifat Jawami’ul Kalim (Ucapan yang singkat tetapi dapat mencapai apa yang dimaksud) dan ucapan-ucapan yang sangat ringkas.

Berdasarkan inilah, banyak terdapat larangan (di dalam agama) yang melarang banyak berbicara dan banyak mengutip ucapan berita yang belum jelas kebenarannya (qiila wa qoola).[17]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali ia sebagai penyampai (apa yang datang dari Allah) dan sesungguhnya banyak berkata itu adalah dari setan.”[18]

Apabila Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkhutbah, maka beliau berkhutbah dengan singkat, ringkas dan sedang.[19]

Dan seandainya ada seseorang yang ingin menghitung ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, niscaya dia pasti akan mampu menghitungnya.[20]

Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya sebagian dari bayan (keterangan) adalah sihir.”[21]

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan yang demikian adalah dalam rangka mencela perbuatan tersebut, bukan dalam rangka memuji sebagaimana yang disangka oleh (sebagian) orang. Barangsiapa yang mengamati yang demikian itu, maka dia akan mengatahui dengan pasti.

Dala riwayat Imam At Tirmidzi dan selain beliau dari shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma secara marfu’ (sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam):

“Sesunggunya Allah sangat membenci seseorang yang banyak bicara dan bersilat lidah sebagaimana sapi yang menggerak-gerakkan lidahnya.”[22]

Masih banyak hadits-hadits yang marfu’ dan mauquf (ucapan shahabat) yang lain seperti ucapan Umar, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Aisyah dan selain mereka yang semakna dengan di atas.

Wajib diyakini, bahwa tidak setiap orang yang banyak ucapan dan pembicaraannya dalam masalah ilmu adalah lebih berilmu daripada orang yang tidak demikian.

Kita telah diuji dengan adanya orang-orang jahil yang meyakini terhadap sebagian orang-orang sekarang yang gemar menyibukkan diri dalam masalah banyak bicara adalah lebih berilmu dari orang-orang sebelumnya.

Bahkan diantara mereka meyakini pada seseorang karena banyaknya keterangan dan ucapannya adalah lebih pandai dari orang-orang sebelumnya dari kalangan shahabat dan orang-orang sesudah mereka.

Ini termasuk penghinaan terhadap kemuliaan shalafus shalih, berprasangka buruk terhadap mereka dan menisbatkan mereka kepada kebodohan dan kepada orang-orang yang kurang ilmunya. La haula wala quwwata illa billah.

Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu tentang para shahabat:

“Sesungguhnya mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling dala ilmunya dan paling sedikit Takalluf-nya.”[23]
Diriwayatkan juga atsar (riwayat) yang seperti ini dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang setelah para shahabat adalah orang-orang yang sedikit ilmunya dan lebih banyak takalluf-nya.

Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu juga berkata: “Sesungguhnya kalian berada pada zaman, dimana ulama kalian banyak dan para khatibnya (penceramah) sedikit dan akan datang pula kepada kalian suatu zaman, dimana ulamanya sedikit dan para khatibnya banyak. Orang yang terpuji adalah orang yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya. Dan sebaliknya, orang yang tercela adalah orang yang kurang ilmunya dan banyak bicaranya.”

(Selesai ucapan ibnu rajab Al Hanbali Al Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf -ed).

Wahai saudaraku se-Islam;
Saya (penulis) telah banyak mengutip ucapan Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, dan saya yakin bahwa faedah yang kita –sebagai penuntut ilmu- dapat darinya adalah sangat besar, jika kita membandingkannya secara teliti antara ilmu salaf dan ilmu khalaf (orang-orang yang datang belakangan).

Diantara haedah-faedahnya adalah:

1. Ilmu ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.

2. Ilmu yang bermanfaat kadang-kadang diketahui oleh orang-orang yang tidak bisa mengambil manfaat darinya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Allah menyesatkannya di atas ilmu.” (Al Jatsiyah: 23)

3. Kebencian dan pengingkaran ulama salaf terhadap ilmu jidal (perdebatan), khisam (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah) dalam masalah agama.

4. Al Mira’ dan Al Jidal (perdebatan dan bantah-membantah) adalah perkara bid’ah.

5. Imam Malik rahimahullah sangat membenci orang yang banyak bicara dan berfatwa. Beliau menyerupakan orang-orang yang banyak bicara dalam masalah agama seperti binatang yang kehausan.

6. Ulama salaf sederhana dalam hal ibarah (menyampaikan pembicaraan) dan mereka sangat memperhatikan sunnah daripada jidal. Apabila mereka membantah para penyelisih terhadap sunnah, mereka membantahnya dengan cara lemah lembut dan dengan sebaik-baik bantahan tanpa bertele-tele.

7. banyak ucapan dan pernyataan orang sekarang yang tidak menunjukkan kalau mereka memiliki kekhususan dalm bidang ilmu yang dimiliki oleh salaf, akan tetapi yang tampak adalah mereka senang berbicara, ingin mendapat pujian (dari manusia) dan juga menunjukkan sedikitnya sifat wara’-nya.

8. Al Hafizh Ibnu Rajab telah meneliti dan beliau mendapatkan bahwa ucapan shahabat lebih sedikit daripada ucapan tabi’in, ucapan tabi’in lebih sedikit dari ucapan tabi’ut tabi’in dan seterusnya. Dan semuanya ini memiliki arti dan makna.

9. Khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam shalat jumat adalah sederhana artinya, ringkas dan padat, tetapi sunnah ini telah dilalaikan oleh kebanyakan khatib Jum’at sekarang ini.

10. Memakai kalimat-kalimat yang sulit dalamberbicara dan berpura-pura berkata fasih, serta banyak berbicara dalam masalah agama dan segala hal yang berkaitan dengannya. Hal ini bukan suatu sifat yang terpuji dalam pandangan ulama salaf, akan tetapi ini merupakan sifat yang tercela.

11. Adanya unsur penipuan dari seseorang yang banyak berbicara dan panjang khutbahnya sehingga keluar dari tujuan khutbah jum’at tersebut. Semua ini dilakukan untuk menarik perhatian orang. Dan tidak akan tertipu dari orang-orang yang seperti itu kecuali orang-orang yang ganjil dan lemah akal.

Dari sini kita mengetahuiperbedaan jalan yang telah ditempuh oleh para ulama Rabbaniyun. Tujuan dan niat mereka sangat lurus dalam memberikan bimbingan (kepada umat) dibanding jalan yang ditempuh oleh sebagian penuntut ilmu.

Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka dan memberi taufik-Nya kepada kita sehingga kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, tetap selalu terkait dengan manhaj slafus shalih ridwanullah ajma’in, kembali kepada ulama dengan (niat) yang ikhlas dan jujur, agar terwujudnya persatuan pemilik al haq dan supaya jiwa mereka menjadi bersatu.

Dan juga agar terwujud tolong menolong dalam kebaikan, bukan tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.

Wabillahittaufiq.


Foot note:


[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang.


[10]. Lihat kitab Shahih Muslim (4/2088).


[11]. HR. At Tirmidzi (5/363), hadits no. 3253), dan beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”, Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah (haditsz no. 48), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/252-256), Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak pada tafsir surat Az Zukhruf dan beliau berkata: “Sanadnya shahih”, serta disepakati oleh Adz Dzahabi, semuanya dari jalan shahabat Abu Umamah (Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf –ed).


[12]. Ini adalah pernyataan Ma’ruf Al karakhi yang diriwayatkan oleh abu Nu’aim dalam Al Hilyah (8/361), Al Khatib dalam Iqtidha’ul ‘Ilmi (hal. 80) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi.


[13]. Diriwayatkan oleh Al Khatib dalam kitab Al Faqih wal Mutafaqih (2/9) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi.


[14]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd (hal. 272), dan Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilyah (2/156) dengan Tahqiq ustadz Al ‘Ajmi.


[15]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (3/198) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi.


[16]. Perkataan beliau: “Maka dia akan sering berpindah”, maksudnya adalah berpindah dari satu pemahaman atau madzhab ke pemahaman atau madzhab yang lain. Diriwayatkan oleh Ad Darimi (1/91) dan Al Ajurri dalam Asy Syari’ah (hal. 56-57).


[17]. Ibnu Rajab rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits yang telah dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari (3/340), (5/68), (10/405), (11/306), dan Imam Muslim (3/1340 dan 1341). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari shahabat Al Mughirah bin Syu’bah secara marfu’ dengan tahqiq Ustadz al ‘Ajmi berbunyi:


“sesungguhnya Allah membenci kalian (untuk melakukan) 3 perbuatan, yaitu: banyak mengutip ucapan (berita) yang belum jelas kebenarannya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”


[18]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (11/163-164) dan ini termasuk dari mursal Mujahid dan dia dha’if (lemah) karena mursal, sebagaimana dikatakan oleh pentahqiqnya, Ustadz Al ‘Ajmi.


[19]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/591) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi dari shahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata:


“Saya shalat (jum’at) bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka shalat beliau sedang dan khutbahnya juga sedang (waktunya).”


[20]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/2296) dari hadits Aisyah radhiyallahu’anha bahwa dia berkata:


“Seandainya ucapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits dihitung (oleh seseorang), maka dia pasti dapat menghitungnya.”


[21]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz:


“Sesungguhnya di antara susunan kata-kata yang indah terdapat sihir.” (HR. Bukhari-Muslim dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma –ed).


[22]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/165 dan 187), Abu Dawud (5005), At Tirmidzi (2583), dan lafadz hadits ini adalah miliknya. Hadits ini ditahqiq oleh Ustadz Al ‘Ajmi.


[23]. Takalluf adalah membebani diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat –ed.



Sumber: 
Adwa'un 'ala Kutubis Salafi fil Aqidah
Penerjemah: Abu Usamah ibnu Rawiyah An Nawawi
http://www.albayyinah.or.id/2013/11/keutamaan-ilmu-salaf-dan-kitab-kitab.html

Mengapa Harus Bermanhaj Salaf

Oleh: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk. Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234).

Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
                         `
Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita: “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59) Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:

(1) Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7) Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

(2) Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat. Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

(3) Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).

Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

--------------

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

(1) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

(2) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

(3) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:

1. bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.

2. kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79).

Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam inimenempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya. Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:

1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.

2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.

3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.

4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:

1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).

2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil melalui kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).

3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).

4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil melalui kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)

5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.

Wallahu a’lamu bish shawaab.




(Sumber) :

Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Oleh : Asy Syaikh Robi' bin Hadi Al Madkholiy -hafidzohullah-

Diantara para da’i, ada yang selalu mengelak untuk memakai istilah salafiyah dan mereka hanya terfokus dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal mereka mengaku beraqidah salaf.
Mereka hanya memperkenalkan sifat dakwahnya dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka menyatakannya berkali-kali dalam muhadharah-muhadharah (ceramah-ceramah) dan majelis ilmu mereka.
Demikianlah, tatkala mereka tidak mau memakai istilah salafiyah, maka ini termasuk dari bukti keagungan dan kemuliaan Allah, agar dakwah yang haq (benar) berbeda dengan segala yang mengotorinya dan agar tersating dari segala kerancuan dan noda-noda.

Adapun penjelasannya mengapa istilah Ahlus sunnah wal Jama’ah mulai berkembang (dan muncul) adalah ketika fitnah-fitnah pada saat itu mulai berbenih bid’ah-bid’ah. Untuk itu, jama’ah kaum muslimin yang berpegang dengan sunnah terbedakan dengan yang lainnya. Sehingga mereka dikatakan Ahlus Sunnah, sedang lawannya disebut Ahlul Bid’ah. Yang berpegang dengan sennah disebut juga dengan Al Jama’ah. Istilah ini merupakan asal nama mereka, yang terpisah dari hawa nafsu dan kebid’ahan.

Adapun pada masa kini, setiap kelompok dan aliran yang berbeda-beda memakai istilah ahlus Sunnah wal Jama’ah. Anda menyaksikan banyak kelompok yang menamakan diri –meski aturan-aturan yang mereka pakai berasal dari mereka sendiri- dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sampai-sampai sejumlah tarekat sufi memakai istilah ini begitu juga Asy’ariyah, Maturidiyah, Barlawiyah dan yang semisalnya mengaku (dan mengatakan): “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Bersamaan dengan itu mereka takut kalau memakai dan mensifati dakwah mereka dengan istilah salafiyah. Mereka berusaha menjauh dari manhaj salaf, sekalipun hanya sebatas nisbah (menyandarkan) apalagi mewujudkan manhaj salaf (dalam amal perbuatan).

Oleh karena itu, syiar ahlus Sunnah adalah mengikuti salafus shalih dan meninggalkan segala macam kebid’ahan dan perkara-perkara yang baru (dalam agama).[4]
Barangsiapa yang mengingkari, bahkan melecehkan salaf dan tidak mau mengikutinya, maka harus dibantah dan diluruskan ucapannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak ada kehinaan bagi siapa saja yang memperjuangkan mazhab salaf, menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu berdasar kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya mazhab salaf adalah pasti benar.”[5]
Saya bertanya-tanya, mengapa sebagian saudara kita terus memakai istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka enggan untuk memakai istilah salafiyah.

Kita yakin bahwa mereka berada di atas aqidah salaf. Mereka menimba kebersihan aqidah tersebut, bahkan mereka tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga dan berbagai tingkat pendidikan tersebut.
Saya katakan, mengapa mereka tidak mencukupkan saja dengan memakai kata muslimin, kalau seandainya mereka takut atau khawatir akan mengantarkan kepada perpecahan, menurut pendapat mereka?!
Apabila mereka membolehkan menisbatkan diri dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka tidak ada larangan jika memakai nama salafiyah sebagai nisbat kepada salafus shalih, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Akan tetapi saya katakan: “Tidak tersembunyi lagi, mengapa mereka terus menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka ingin menampakkan toleransi dan kelemahlembutannya kepada para penyelisih manhaj salaf serta jalannya. Hal ini bertujuan agar luas ruang lingkupnya, bersemangat untuk mewujudkan kuantitas bukan kualitas, dan mengikuti jama’ah sebelumnya hanya sebagai uji coba.”

Saya telah mendengar sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada dakwah dan kebaikan, bahwa mereka ingin menghilangkan lambang-lambang dan penamaan-penamaan ini secara menyeluruh. Dan mereka masukkan juga di dalamnya nama salafiyah dengan dalil bahwa semua nama-nama dan lambang-lambang ini akan menjurus kepada perpecahan dan kelompok-kelompok. Keinginan dan tujuan ini di dalamnya mengandung sisi kebenaran dan kebathilan. Kita sepakat atas penghapusan setiap syiar-syiar yang diada-adakan dan mengandung kebid’ahan. Bahkan kebanyakan syiar-syiar tersebut tidak diketahui kecuali baru-baru saja, sekitar lima puluh tahunan belakangan ini dan sebagiannya bahkan tidak sampai umurnya tercatat oleh zaman (karena setelah itu hilang). Akan tetapi syiar salafiyah dan ahlus Sunnah bukan kelompok hizbiyah (kelompok yang menyelisihi sunnah) dan tidak pula bergabung dengan kelompok apapun. Salafiyah atau Ahlus Sunnah merupakan warisan pendahulu generasi pertama agama Islam ini.
Syiar salafiyah merupakan jalan yang paling dasar untuk memahami Islam. Tidak boleh disamakan dengan syiar-syiar yang muncul di zaman belakangan ini.

Mayoritas ulama yang menulis dalam masalah aqidah menetapkan nama ini, diantaranya:
1. Al Hafidz Ismail at Taimi Al asbahani, beliau adalah ulama abad kelima. Beliau mengulang-ulang penyebutan madzhab salaf (dalam kitabnya) sampai tidak terhitung.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ketika beliau melihat sebagian orang yang menyelisihi aqidah yang lurus, seperti Asy’ariyah yang menamakan diri dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka beliau mempergunakan nama as salaf untuk membedakan dengan kelompok bid’ah tersebut. Sebab, bagaimanapun juga kelompok Ahlul Bid’ah tidak mau menamakan diri dengan nama salafiyah.

Saya telah menelaah kitab Al Fatawa Al Hamawiyah dan saya menemukan pengulangan kata as salaf lebih dari tiga puluh tiga kali. Apakah (dengan itu) Syaikhul Islam (di anggap) sebagai pemecah belah umat ataukah orang yang pendek akalnya? Lebih aneh lagi, sebagian penuntut ilmu yang juga memuliakan Syaikhul Islam dan manhajnya, bahkan mereka banyak bersandar dengan kitab-kitab beliau, lebih mengutamakan maslahah dengan cara meninggalkan penamaan salafiyah dan mencukupkan diri dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena hal ini termasuk syiar yang luas cakupannya dan ini tidak diingkari oleh seorang pun di kalangan kaum muslimin pada saat sekarang. Manhaj salaf bukanlah hasil karya orang-orang zaman sekarang, akan tetapi manhaj salaf, Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits, atau Ahlul Atsar terdapat di dalam wahyu yang diturunkan (Al Qur’an dan As Sunnah) dengan penafsiran dan pengamalan generasi yang pertama lagi utama, yaitu generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Termasuk salah satu perbuatan yang menyimpang dan salah satu bentuk kedzaliman adalah menyamakan manhaj salafi dengan syiar-syiar baru dan bid’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan meletakkan neraca (keadilan) supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan (penuh) keadilan dan janganlah kalian mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 7-9)
Termasuk kekeliruan yang fatal dan pendeknya akal (seseorang), apabila manhaj salaf dimasukkan dalam ruang lingkup syiar hizbiyun dan kebid’ahan. Siapa saja yang mengucapkan ucapan ini, hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, menginstrospeksi diri, dan membersihkan dirinya dari hawa nafsu.
Cukuplah untuk membentah ucapan tersebut kita lontarkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Beritahukanlah kepada kami, siapakah yang mendirikan manhaj salaf ini?
2. Kapan manhaj salaf didirikan?
3. Apakah anda berani mengatakan bahwa manhaj salaf adalah sebuah manhaj yang mengandung di dalamnya kesalahan-kesalahan, sebagaimana keadaannya manhaj bid’ah?

Bertaqwalah wahai muslim;
Janganlah engkau terpengaruh untuk menentang dan sombong dihadapan al-haq (kebenaran) serta menolaknya dan engkau memalsukan hakikat-hakikat yang kokoh. Ketahuilah bahwa manhaj salaf tidak didirikan oleh si Fulan sepenjang zaman. Akan tetapi, manhaj salaf adalah aqidah yang murni, syari’at yang kokoh, pengajaran-pengajaran Ilahiyah yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Manhaj ini telah dipraktekkan oleh beliau bersama para sahabat beliau dan diikuti oleh orang-orang yang mengikutinya dalam kebaikan sehingga menjadi hujjah yang terang dan jalan yang jelas, yang malamnya seperti siangnya. Tidak ada seorangpun yang menyeleweng darinya kecuali binasa. Tidak ada seorangpun yang membencinya kecuali akan menjadi hina, sebagaimana yang telah diancamkan oleh Allah di dalam Al Qur’an dengan firman-Nya:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115) 

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun (yang memimpin kalian) adalah seorang budak Habasyi. Maka barangsiapa yang hidup dari kalian (di masa) itu dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk setelahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru (dalam masalah agama), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” Dalam riwayat lain ada tambahan: “Dan setiap kesesatan tempatnya dineraka.”[6] 

Syaikh Al Allamah Bakar Abu Zaid berkata di dalam mtab beliau: Hukmul Intima’ hal. 30 dan halaman berikutnya:

“Kaum muslimin dari kalangan para shahabat sebelum munculnya benih-benih perselisihan dan perpecahan tidak memiliki nama untuk membedakan mereka. Kemudian setelah itu muncul kelompok-kelompok sesat yang dihimpun dalam lafadz ahlul ahwa –dinamakan demikian karena mereka dikuasai oleh hawa nafsu- dan dihimpun dalam lafadz ahlul bida’ –hal ini dikarenakan mereka mengikuti apa yang bukan dari agama- serta tercakup dalam lafadz ahlu syubhat –karena mereka menyamarkan perkara kebenaran dengan kebathilan-.
Ketika munculnya kelompok-kelompok tersebut, yang menisbatkan dirinya kepada Islam tetapi sebenarnya terpisah dari tulang punggung kaum muslimin, maka muncullah penamaan untuk mereka (para sahabat dan para pengikutnya) yang syar’i dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Penamaan ini beasal dari syari’at (Allah subhanahu wa ta’ala), begitu pula dengan nama Al Jama’ah, Jama’atul Muslimin, Al Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat), dan Ath Thaifah Al Manshurah (golongan yang ditolong).
Dinamakan seperti ini, dikarenakan mereka konsisten berpegang dengan sunnah dihadapan Ahlul Bid’ah. Oleh sebab itulah maka terjadi ikatan dengan generasi pertama umat ini sehingga mereka disebut juga: as salaf, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar (kelompok yang mengikuti atsar) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Nama-nama yang mulia ini telah menyelisihi (dan membedakan diri) dengan nama kelompok-kelompok sempalan apapun juga. Ini dapat dilihat dari beberapa sisi:

Pertama:
Penyandaran ini tidak terpisah sesaat pun dari umat Islam, dikarenakan pembentukannya di atas manhaj Nabawi. Nama ini mencakup seluruh kaum muslimin yang berada di atas jalan generasi yang pertama dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam pengambilan ilmu, memahaminya dan berdakwah kepadanya.
Tidak terbatas dengan peredaran sejarah tertentu, akan tetapi wajib dipahami bahwa perjalanannya terus berlangsung sepanjang kehidupan dan selama Firqatun Najiyah yang berada dalam barisan Ahlul Hadits dan sunnah. Merekalah pemilik manhaj ini, dan terus ada sampai datangnya hari kiamat. Sebagaimana hal ii terdapat di dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Terus menerus (akan ada) sekelompok dari umatku tertolong di atas kebenaran, tidak akan memudharatkannya siapa saja yang menyelisihi dan merendahkan mereka.”[7]

Kedua:
Semua nama-nama ini mencakup Islam seluruhnya, karena Islam adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka tidak memakai nama khusus yang menyelisihi, menambahi atau mengurangi dari apa yang ada di dalam Al qur’an dan As Sunnah.

Ketiga:
Semua nama-nama ini diantaranya ada yang terambil dari sunnah yang shahih dan diantaranya tidak dipakai kecuali dalam rangka menghadapi manhaj-manhaj ahli hawa nafsu dan kelompok-kelompok sesat. Hal ini dalam rangka untuk membantah mereka, menjauhkan diri dari bergaul bersama mereka dan bersikap keras terhadap mereka.
Ini disebabkan munculnya bid’ah mereka yang berbeda dengan istilah As Sunnah. Diantaranya ketika mereka menjadikan hasil pemikirannya sebagai hakim, ketika mereka berbeda dengan istilah al hadits serta al atsar dan ketika bertebaran kebid’ahan-kebid’ahan serta hawa nafsu-hawa nafsu mereka telah berbeda dengan istilah salaf.

Keempat:
Meletakkan al wala’ (loyalitas), al bara’ (berlepas diri), al mu’awanat (Pembelaan) dan al mua’adat (permusuhan) di atas Islam bukan selainnya, tidak di atas satu lambang tertentu atau lambang yang telah ada, akan tetapi di atas Al Qur’an dan As Sunnah semata.

Kelima:
Nama-nama ini tidak menggiring mereka ke dalam lingkaran fanatisme kepada individu tertentu, kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Para pengikut kebenaran dan As Sunnah tidak memiliki contoh kecuali (hanya mencontoh) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang ucapannya bukan berasal dari hawa nafsunya, akan tetapi dengan wahyu yang telah diturunkan kepadaya. Beliaulah yang wajib kita benarkan terhadap segala apa yang diberitakannya dan mentaati apa saja yang diperintahkannya.
Hal ini tidak dimiliki oleh selain beliau, bahkan setiap orang bisa saja diambil dan ditinggalkan ucapannya kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Maka jelaslah semuanya, bahwa orang yang pantas menjadi Al Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) adalah Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah. Mereka tidak memiliki ikutan yang mereka fanatik kepadanya, kecuali hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.”[8]

Memang benar, bahwa ulama salafiyin dulu maupun sekarang, mereka sangat jauh dari fanatisme terhadap para imam dan masyaikh (para syaikh). Merekalah yang paling tunduk dalam mengikuti dalil dan burhan (petunjuk), dan lebih bersemangat (untuk mencari ilmu, mengamalkan dan mendakwahkan) sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang shahih.
Berbeda dengan para pengikut kelompok-kelompok yang mendasari pemikiran-pemikiran mereka di atas ketatan mutlak )kepada pemimpinnya), yang bila dilihat dengan kacamata Islami, maka dia (pemimpinnya) tidak berhak untuk dijadikan sebagai tempat bertanya, memberi hujjah atau dimintai dalil dan keterangan.
Adapun dari apa yang telah terjadi dari perilaku sebagian orang yang demikian itu jika mereka menisbatkan dirinya kepada dakwah salafiyah, alhamdulillah ini jarang terjadi serta sedikit jumlahnya. Maka jika yang ditanya itu adalah orang yang jahil (bodoh) tentang hakikat jalannya salaf, tentunya cercaan itu akan kembali kepada si jahil tersebut.
Bagaimana pendapat kalian jika kalian melihat perilaku umat Islam yang telah dikritik oleh Orang-orang Nasrani bahwa sebagian mereka terjatuh dalam perbuatan dzalim, keji, intimidasi, melampaui batas dan jelek, apakah setelah itu cercaan yang seperti ini akan mengenai Islam? Naudzubillah.
Demikianlah pula dengan ucapan yang berasal dari para penganut akal dengan mengatakan: “Setiap jama’ah memiliki kesalahan tanpa terkecuali manhaj salaf.” Sungguh dia telah mencampur adukkan antara yang haq dan bathil. Dan hal ini tidak muncul dari mereka kecuali dari kebodohan yang nyata.
Dan masih ada kebodohan dalam bentuk lain, yaitu “berdalil dengan kuantitas”, artinya bahwa jalan Fulan ini banyak yang mengikutinya (tanpa melihat) apakah jalan itu benar atau tidak. Mereka mencerca salafiyin karena sedikit pengikutnya dan mereka (penganut akal) berbangga karena pemikiran-pemikiran dan buku-buku mereka laku di pasaran.
Banyaknya pengikut tidak bisa dijadikan dalil kebenaran. Begitu pula sedikitnya pengikut tidak bisa jadi bukti ketidakbenaran, karena hal ini tidak ada dasarnya, baik dari kacamata syari’at ataupun secara kenyataan.

Adapun dalil dari syari’at;
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al An’am: 116)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dantidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit.” (Hud: 40)

Adapun secara kenyataan;
Bahwa orang-orang kafir berlipat-lipat jumlahnya dibanding dengan orang-orang Islam. Bahkan orang nasrani lebih banyak dari kaum muslim. Sertengah juta orang-orang barat berkumpul di lapangan untuk menyaksikan, mendengarkan seorang penyanyi, berdansa dan berdrama.
Pada sebagian acara-acara TV seperti drama dan nyanyian-nyanyian disaksikan pada waktu yang bersamaan oleh kurang lebih sepuluh juta orang. Sebagian buku-buku nujum (ilmu sihir) dibeli kurang lebih oleh sepuluh juta orang. Yang menghadiri acara kelahiran Al Badawi adalah masyarakat yang sangat banyak sampai mencapai dua juta orang. Apakah masuk akal, kalau kita beralasan karea banyaknya penggemar menunjukkan bahwa jalan mereka adalah benar dan mereka adalah orang-orang yang dicintai di sisi Allah. Inilah ukuran orang-orang jahil dan orang-orang yang tertipu.
Adapun para penganut al Haq mengetahui bahwa sedikit-banyak jumlah pengikut bukanlah sebagai ukurang. Bahkan, terkadang yang sedikit jumlahnya lebih dekat kepada kebenaran. Artinya bahwa pemegang al Haq itu sedikit. Rasulullah bersabda:

“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat terdahulu, maka aku melihat seorang Nabi dengan pengikutnya (dengan jumlah) rahthun (dibawah sembilan di atas tiga) dan seorang Nabi bersama satu pengikut atau dua orang serta seorang Nabi tidak membawa pengikut sama sekali.”[9] 

Apakah bolehseseorang menghakimi para Nabi, dengan mengatakan bahwa jalan mereka salah atau mereka gagal dalam berdakwah?! Semoga Allah melindungi kita (dari ucapan jelek ini).
Termasuk perkara yang dimaklumi, seperti yang telah dijelaskan di dalam hadits-hadits yang shahih bahwa para pengikut dajjal dari penduduk bumi ini banyak sekali. Hal ini dikarenakan kuat dan kerasnya kedustaan serta penyesatannya dan sangat sedikit yang kokoh di atas keimanan.
Para pengikut manhaj salaf akan semakin bertambah kokoh dan kuat serta meyakini kebenaran manhaj Allah dari Rasul-Nya yang murni, ketika melihat manusia terpecah berkeping-keping dan melihat kepada pengikut manhaj-manhaj sesat yang sangat banyak jumlahnya.
Mereka mengetahui, bahwa keadaan Islam sekarang dalam keadaan asing sebagaimana asingnya ketika pertama kali datang. Mereka mengetahui bahwa orang yang berpegang dengan bimbingan agama di masa sekarang ini seperti orang yang memegang bara api, karena sedikitnya para pengikut al haq dan banyaknya pengikut kebatilan dan juga karena kedzaliman ahli kebatilan terhadap pengikut al haq yang sedikit jumlahnya.
Semuanya ini tidakmembawa mereka kepada sikap putus asa serta lari dari Rahmat Allah. Tidak pula menjadikan mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam menyampaikan (Kebaikan), berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar.
Mereka bahkan terdorong untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini merupakan udzurnya (dihadapan Allah). Mereka selalu mengingat firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada siapa saja yang engkau cintai, dan akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al Qashash: 56)
Dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Demi Masa. Sesungguhnya semua manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang yang saling berwasiat dalam kebaikan dan orang-orang yang saling berwasiat dalam kesabaran.” (al Ashr: 1-3)
Di dalam ayat ini ada dalil yang menunjukkan terlalu banyak orang-orang yang merugi dan binasa serta sedikitnya orang-orang yang berhasil menang.
Kita minta kepada Allah agar memberikan kita kekokohan (iman) dan terus menerus berada di atas al haq (kebenaran).
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatat sesudahj Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 8)


Foot Note:
[4]. Lihatlah kitab Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah (1/364), karya Al Ashbahani
[5]. Majmu’ Fatawa (4/149), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ru’yatun Waqi’iyah fil Manahij Ad Da’wiyah (hal. 21-23), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid
[6]. Sunan Abi dawud (5/13), At Tirmidzi dengan Syarah Tuhfatul Ahwadzi (7/438), Ibnu Majah (1/15) dalam Al Muqaddimah, Ahmad (4/126-127), dan Al Hakim dalam Kitabul ‘Ilmi (1/95-97). Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Silsilah Ash Shahihah (2/647).
[7]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz:
“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang senantiasa tampil di tas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka (atas perbuatan) orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari-Muslim, dan lafadz hadits ini adalah lafadz milik Imam Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920 –ed).
[8]. Sampai disini ucapan Syaikh Bakar abu Zaid, semoga Allah memberi berkah dalam umur beliau dan memberikan manfaat pada ilmu beliau.
[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang.


Sumber:
Adwa'un 'ala Kutubis Salafi fil Aqidah
Penerjemah: Abu Usamah ibnu Rawiyah An Nawawi
http://www.albayyinah.or.id/2013/11/salafiyah-dan-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html