Penulis: Ustadz Arif hafizhahullah
Kewajiban mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tak disangsikan lagi bagi setiap muslim yang jujur dalam keislamannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sosok panutan umat Islam dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Sejarah telah mencatat bagaimana kegigihan dan kesabaran beliau dalam
berdakwah, sehingga beliau pantas menjadi pemimpin para nabi dan para
rasul.
Umat telah merasakan bagaimana
kesungguhan dan keseriusan beliau demi tersampaikannya hidayah kepada
mereka. Rasa belas kasih kepada umat beliau mendasari setiap dakwah yang
diajarkan. Benar-benar umat merasakan kasih sayang beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjadi saksi akan semua itu. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya),
“Sesungguhnya telah datang kepada
kalian seorang rasul dari bangsa kalian, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keselamatan dan hidayah) untuk
kalian, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Barang siapa yang membaca sejarah kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti akan tumbuh kecintaan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hukum mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bagian dari ibadah yang sangat mulia dan wujud kesempurnaan dan
kejujuran iman seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
فَوَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِلاَيُؤْمِنُأَحَدُكُمْحَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْهِمِنْوَالِدِهِوَوَلَدِهِوَالنَّاسِأَجْمَعِينَ
“Dan demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian beriman hingga aku
lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 69, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Mana yang didahulukan antara kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kecintaan terhadap dirinya sendiri?
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, kemudian Umar bin al-Khaththab mengatakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkaulah yang lebih aku cintai dari segalanya kecuali terhadap diriku sendiri.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ،وَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِ،حَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْكَمِنْنَفْسِكَ
“Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya.Hingga aku (Rasulullah) lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri.”
Maka sahabat Umar berkata: “Maka sekarang Demi Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekarang wahai Umar (engkau telah menggetahui dan telah mengucapkan ucapan yang benar).” (HR. al-Bukhari no. 6632)
Ibnu Baththal, al-Qadhi Iyadh
dan selain keduanya mengatakan, “Cinta terbagi menjadi 3 macam. Pertama,
cinta pemuliaan dan penghormatan seperti kecintaan kepada orang
tua.Kedua, cinta belas kasih seperti kecintaan kepada anak. Ketiga,
cinta persamaan dan kebaikan seperti kecintaan kepada sesama manusia.
Maka terkumpullah semua kecintaan itu terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 2/15)
Merasakan Manisnya Buah Keimanan
Wahai saudaraku, ketahuilah
bahwa keimanan itu memiliki rasa yang manis dan lezat. Kalau demikian,
tentunya setiap mukmin pasti ingin merasakannya.Lalu bagaimana caranya?
Di antara caranya adalah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi
yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌمَنْكُنَّفِيهِوَجَدَحَلاَوَةَالإِيمَانِ:
أَنْيَكُونَاللهُوَرَسُولُهُأَحَبَّإِلَيْهِمِمَّاسِوَاهُمَا،وَأَنْيُحِبَّالمَرْءَلاَيُحِبُّهُإِلَّالِلهِ،وَأَنْيَكْرَهَأَنْيَعُودَفِيالكُفْرِكَمَايَكْرَهُأَنْيُقْذَفَفِيالنَّارِ
“Tiga hal, barangsiapa yang tiga hal
tersebut ada pada dirinya, pasti ia akan merasakan manisnya keimanan;
Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya,
mencintai seseorang tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah, dan
ia tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka
dilemparkan kedalam api neraka.” (HR. al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 67, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dengan Apa Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Wahai saudaraku, ketahuilah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bukan sebatas pengakuan saja. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka wajib memberikan kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas ilmu dan amalan yang benar, kalau tidak dilandasi dengan ilmu
dan amalan yang benar maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam masalah ini, realita umat Islam terbagi dalam beberapa kelompok,
Pertama, kelompok yang ghuluw yaitu mereka yang dalam mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melampaui batasan-batasan syariat. Mengagungkan dan mengangkat beliau hingga mencapai martabat ilahiyyah (peribadatan kepada selain Allah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَتُطْرُونِي،كَمَاأَطْرَتْالنَّصَارَىابْنَمَرْيَمَ،فَإِنَّمَاأَنَاعَبْدُهُ،فَقُولُواعَبْدُاللهِ،وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berbuat melampaui
batas terhadap diriku sebagaimana kaum nashrani telah melampaui batas
terhadap Isa bin Maryam, sesungguhnya aku adalah hamba Allah, maka
ucapkanlah (bahwa aku) adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 3445, dari sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu)
Maksudnya, beliau adalah hamba
Allah, sebagai makhluk manusiawi yang tidak berhak untuk diibadahi,
namun beliau dimuliakan karena berposisi seorang rasul (utusan) Allah
yang wajib diikuti syariatnya.
Kedua, kelompok yang mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengada-adakan acara-acara perayaan dan peringatan-peringatan yang tidak dikenal dan tidak pernah diamalkan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama salaf (selain hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adhha).
Kedua, kelompok yang mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengada-adakan acara-acara perayaan dan peringatan-peringatan yang tidak dikenal dan tidak pernah diamalkan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama salaf (selain hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adhha).
Di masa khilafah Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
ada seorang Yahudi bertemu dengan sang khalifah Umar, seraya
mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian telah membaca
sebuah ayat dalam kitab kalian (al-Qur’an), kalau sekiranya ayat itu
turun kepada kami niscaya akan kami jadikan hari turunnya ayat itu
sebagai hari Ied. Umar bertanya, “Ayat apa itu? Ia menjawab, ayat
الْيَوْمَأَكْمَلْتُلَكُمْدِينَكُمْوَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْنِعْمَتِيوَرَضِيتُلَكُمُالْإِسْلَامَدِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
Islam sebagai agama kalian, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atas kalian
dan telah Ku-ridhai Islam agama kalian.” (al-Maidah: 3)
Kata Umar, “Demi Allah sungguh
aku tahu kapan hari diturunkan ayat itu kepada Rasulullah, dan kapan
waktu diturunkannya kepada Rasulullah, ayat itu turun di waktu sore pada
hari Arafah bertepatan dengan hari Jum’at. (HR. al- Bukhari no. 45, Muslim no. 3017, dan Ahmad no. 188)
Dari kisah ini, kenapa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikannya sebagai hari besar, untuk dirayakan dan diperingati? Kenapa khalifah Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali ridwanullah ‘alaihi ajmain
tidak menjadikannya sebagai hari bersejarah yang pantas untuk diadakan
perayaan dan peringatan? Kenapa al-Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad
tidak juga merayakannya dan memperingatinya?
Peristiwa perang Badr adalah
peristiwa yang amat menentukan eksistensi umat Islam waktu itu. Sehingga
Rasulullah berdoa, “Ya Allah penuhilah apa yang Engkau janjikan
kepadaku, Ya Allah jika Engkau binasakan pasukan ini Engkau tidak akan
diibadahi lagi di muka bumi ini”.
Peristiwa penaklukan kota
Mekkah (Fathu Makkah) juga peristiwa yang amat besar dalam sejarah
Islam, sebagai hari kemenangan dan kejayaan umat Islam.
Pertanyaannya, kenapa para
sahabat Rasulullah dan para ulama terkemuka setelahnya tidak
menjadikannya sebagai hari-hari besar umat Islam? Apakah mereka tidak
mencintai Rasulullah? Apakah para ulama semisal al-Imam Malik,
asy-Syafi’i dan Ahmad tidak menghargai perjuangan Rasulullah dan para
shahabanya?
Kalau para shahabat Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali ridwanullah ‘alaihi ajmain, mereka semua merasa lapang dan cukup dengan ketentuan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak ada hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adhha dalam setahun,
serta hari Jum’at dalam seminggu, apakah kita tidak merasa lapang dan
cukup sebagaimana perasaan lapang dan cukupnya para shahabat Rasulullah?
Kalau para ulama kita semisal
al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Sufyan ast-Tsauri, Malik,
asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama lainnya sudah merasa lapang dan cukup
dengan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
amalan para shahabatnya, apakah kita tidak merasa lapang dan cukup
sebagaimana perasaan lapang dan cukupnya para ulama tersebut?
Marilah kita perhatikan perkataan yang sangat mulia dan indah dari al-Imam Malik rahimahullah salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
لَنْتَصْلُحَهذِهِاْلأُمَّةإِلَّابِمَاصَلُحَأَوَّلهُاَ
“Tidak akan menjadi jaya umat ini kecuali dengan prinsip, cara, dan metode yang ditempuh oleh generasi awal (salaf) umat ini.”
Ketiga, kelompok yang mendasari kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ilmu dan amalan yang benar. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah. Mereka benar-benar menjaga perintah dan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya),
Ketiga, kelompok yang mendasari kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ilmu dan amalan yang benar. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah. Mereka benar-benar menjaga perintah dan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya),
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika
kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Rasulullah),
niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berarti mencintai Allah, tidaklah Allah menjadikan seseorang sebagai
nabi atau rasul melainkan dari hamba-Nya yang sangat dicintai-Nya,
terlebih lagi beliau sebagai khalilullah (kekasih Allah).
Tolok ukur kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya bukan pada semangat memperbanyak amalan tanpa mengikuti
rambu-rambu syariat, tetapi terletak pada kesungguhan dalam mengikuti
petunjuk dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan ayat di atas, “Ayat yang mulia ini menjadi hakim terhadap
siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, ternyata ia tidak berada di
atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia dusta dalam pengakuannya itu. Sampai ia mengikuti syariat dan agama yang dibimbingkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh amalan, perbuatan, dan perkataan. Sebagaimana telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْعَمِلَعَمَلاًلَيْسَعَلَيْهِأَمْرُنَافَهُوَرَدُّ
“Barangsiapa yang beramal/beribadah
dengan berbagai amal/ibadah apapun yang tidak didasarkan atas petunjukku
maka pasti tertolak.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/32)
Wahai sauadaraku,
perhatikanlah nasehat yang amat berharga dari panutan kita yaitu al-Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah,
مَنِاسْتَحْسَنَفَقَدْشَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik
suatu amalan (berdasarkan logika, perasaan dan semangat tanpa dasar ilmu
yang benar) sungguh ia telah membuat syariat (baru).”
Wahai saudaraku, dengan
demikian terjawablah pertanyaan di atas, dengan apa mencitai Rasulullah?
Dengan ilmu dan amalan yang benar, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an
dan as-Sunnah serta penerapan salaful ummah.Wallahu a’lam.
Sumber :