Jumat, 15 Juli 2016

ISLAM RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM BUKAN AGAMA TERORIS

Penulis : Al Ustadz Ruwaifi', LC hafizhohullohu

Situasi dan kondisi pada hari-hari ini cukup memprihatinkan. Dimana Islam diopinikan sebagai agama teroris, dan teroris identik dengan umat Islam terkhusus orang-orang yang dipandang “militan”. Wallahul Musta’an.

Indahnya Agama Islam
Para pembaca, ketahuilah bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam dan bukan agama teroris. Dengan misi inilah Allah mengutus Rasul-Nya Muhammad . Sebagaimana dalam firman-Nya :
” Dan tiadalah kami mngutus kamu, malainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” ( Al Anbiyaa’: 107)
Karena beliau adalah Rasulullah (utusan Allah) yang selalu membacakan ayat-ayat Allah kepada umatnya, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka al kitab(Al Qur’an) dan Al Hikmah, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri. Ia membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab ( Al Qur’an) dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum ( kedatangan Nabi) itu, mereka berada dalam kesesatan yang nyata (Ali Imran : 164 )
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Agama kebaikan dan bukan agama perusak. Demikianlah wasiat Allah kepada Rasulullah dan juga kepada seluruh kaum muslimin sebagaimana dalam firman-Nya : ” Dan berbuat baiklah ( kepada orang lain ) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di ( muka ) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan ( Al Qashash : 77 )
Sehingga hanya agama Islam yang diridhai oleh Allah, dan siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama baginya, maka tidak akan di terima oleh Allah dan di akhirat menjadi orang yang merugi. Sebagaimana firman Allah :
” Sesungguhnya agama ( yang diridhai ) disisi Allah hanyalah Islam.” ( Ali Imran : 19 )
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu ) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi (Ali Imran : 85 )
Bahkan Allah berwasiat : ” Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” ( Ali Imran : 102 )
Demikianlah keagungan agama Islam. Agama kebenaran dan rahmat bagi semesta alam, bukan agama teroris. Betapa indahnya agama Islam….
Kebencian Musuh-Musuh Islam
Ketika cahaya Islam menerangi kegelapan peradapan umat manusia sejak 1439 silam, maka musuh-musuh Islam tiada henti membencinya. Upaya-upaya memadamkan cahaya itu pun senantiasa dilakukan. Allah berfirman : ” Meraka berupaya untuk memadamkan cahaya ( agama ) Allah dengan mulut ( ucapan-ucapan ) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik benci.” ( Ash Shaff : 8-9 )
Para pembaca, maka dari itu orang-orang kafir dan musyrik dari berbagai macam jenisnya sangat berkepentingan untuk menjalankan program jahat tersebut. Yahudikah, Majusikah, Kristenkah, dll. Cobalah anda buka catatan sejarah, niscaya akan terucap sebuah pengakuan , maka benar Allah dengan segala firman-Nya”. Program inipun dijalankan oleh orang-orang munafik (orang-orang yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kebencian terhadap Islam). Hari-hari mereka berisikan makar terhadap orang-orang yang beriman, sebagaimana firman Allah:
“Dan (diantara orang-orang musyrik itu) ada orang-orang yang membangun masjid untuk menimbulkan kemudharatan bagi orang-orang beriman untuk kekafiran dan memecah belah intern orang-orang yang beriman serta melakukan pengintaian untuki (kepentingan) orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka benar-benar bersumpah: “Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (At Taubah:107)
Demikianlah jaringan tentara iblis dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Orang-orang kafir menggunakan kekuatannya, harta dan kedudukannya, sedangkan orang-orang munafik menggunakan kelihaian kata-katanya yang berbisa untuk memojokkan dan menjatuhkan mental kaum muslimin.
Sebagaimana firman Allah : ” Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akanni’mat Allah ( yang telah dikaruniakan ) kepadamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu lihat, Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan…. S/d …. Tipu daya ” ( Al Ahzaab : 9- 12 )
Kreasi dan inovasi mereka pun selalu muncul untuk konspirasi jahat tersebut, sesuai dengan masa dan eranya. Tak luput, paad era kita ini isu ” Terorisme” ternyata cukup ampuh untuk memojokkan dan menjatuhkan mental kaum muslimin. Walaupun sejarah telah mencatat bahwa Allah selalu melindungi Islam dan kaum muslimin dalam berbagai fitnah dan gejolak yang mereka munculkan itu.
Terorisme bukan dari Islam
Keberadan syariat jihad fi sabilillah ( perang dijalan Allah ) yang demikian mulia dalam agama Islam, benar-benar sebagai monster yang mengerikan bagi orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sehingga merekapun berupaya mengopinikan di dunia internasional sebagai terorisme. Sementara dilain pihak, ada oknum-oknum dari kaum muslimin yang berlebihan bahkan sesat di dalam memahami makna jihad fi sabillah. Sehingga dalam sudut pandang mereka yang radikal itu, bom bunuh diri, peledakan-peledakan bom di tempat keramaian yang banyak di kunjungi turis, dan aksi-aksi terror lainnya di negeri-negeri kaum muslimin merupakan bagian dari jihad fiisabillah.
(lihat rincian bahasanya pada edisi-edisi mendatang insya Allah ).
Sbut saja kasus bom Bali I dan II , para aktornya yakin seyakin-yakinnya bahwa perbuatan mereka adalah jihad. Demikian pula halnya dengan Dr. Azhari, Nurdin. M. Top dan sejenisnya, mereka meyakini bahwa itu adalah jihad. Padahal tidaklah demikian ajaran yang digariskan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Karena ajaran Rasulullah dan para shahabatnya adalah rahmat bagi semesta alam. Lalu ajaran siapakah itu ?
Jawabannya adalah ajarannya kaum khawarij yang dinyatakan oleh Rasulullah ” anjing-anjingnya penduduk neraka”. Dengan modal semangat keislaman yang tinggi, dan minimnya ilmu agama yuang murni dari Rasulullah dan para shahabatnya. Rujukan keilmuan mereka didalam menyikapi situasi dan kondisi saat ini adalah buku-buku sayyid Qutb, Abul A’la Al Maududi, Salman Al Audah, Safar Hawali dan sejenisnya dari neo-khawarif, akhirnya timpanglah pola pikir dan gerakan-gerakan mereka. Tak pelak, mayoritas pemerintah-pemerintah kaum muslimin di dunia ini.divonis telah murtad, para ulama’ Ahlus Sunnah abad ini divonis sebagai antek-antek Barat sementara dengan bangganya mereka mengklaim dirinya sebagai ” para mujahidin”. Jihad apakah yang mereka lakukan ?! sungguh perbuatan mereka itu lebih pantas disebut terorisme dan mereka lebih pantas disebut teroris. dari pada kebaikan yang mereka inginkan. ( untuk lebih jelasnya bacalah buku ” Mereka Adalah Teroris” karya Al Ustadz Luqman bin Muhammad ba’abduh, dengan tebal 720 Halaman, terbitan pustaka Qaulan Sadida – Malang ).
Para pembaca, adanya oknum-oknum seperti diatas yang membawa lebel Islam dimanfaatkan betul oleh orang-orang kafir dan orang-orang munafik ( baca: Amerika dan antek-anteknya ). ” Batalyon Opini” merekapun dengan gencarnya menebarkan isu terorisme dan kaum muslimin adalah para teroris. Hingga akhirnya tertanam suatu paradigma yang salah di tengah masyarakat, bahwa cirri-ciri teroris adalah selalu berpakaian muslim ( jubah, gamis, sorban dll>, berjenggot, pakaian di atas mata kaki, rajin shalat berjamaah, dan kaum wanitanya berbusana muslimah,
Subhanallah… padahal itu semua adalah tuntunan nabi, bahkan diantara konsekuensi seseorang yang mengatakan muslim atau muslimah.
Demikianlah makar musuh-musuh yang tiada henti, Namun kita yakin suatu hari pasti akan sirna. Sebagaimana firman Allah :
“Dan ( ingatlah ), ketikan orang -orang kafir ( Quraisy ) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap, memenjarakanmua tau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipudaya dan Allahlah yang menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” ( Al Anfaal:30 )

Penutup
Sebagai penutup, kami ( sebagai pribadi musilm ) ingin menyampaikan beberapa nasehat ( masukan ) kepada seluruh. Kaum muslimin baik rakyat ataupun penguasa:
1. seluruh komponen kaum muslimin hendaknya selalu memperdalam agama islam yang murni, yang bersumber dari Rasulullah dan para shahabatnya, dengan suatu harapan agar Allah selalu membimbing kita dalam menyikapi perubahan situasi dan kaondisi atau wolak-waliknya jaman.
2. kaum muslimin hendaknya bersabar dan bertawakal kepada Allah dalam menghadapi segala fitanahan murahan musuh-musuh Islam, serta tidak mudah terpengaruh dengan prinsip khawarij teroris dan penampilan ” kepahlawanan ” aktor-aktor mereka. Karena meraka telah jauh menyimpang dari jalan Rasulullah .
3. sebagaimana pula para penguasa kaum muslimin yang mulia baik sipil ataupu militer, hendaknya tidak mudah di provokasi dan diadu-domba dengan kaum muslimin sikap bijak, jeli dan teliti selalu dituntut sebelum ” menangkap ” orang -orang yang diidentifikasikan sebagai teroris ( alias tidak pukul rata ). Karena semua tindakan kelak dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Sang Raja di Raja, dan Tuhan Semesta Alam.

Semoga Allah selalu membimbing pemerintah kita diatas jalan yang lurus, menjauhkan mereka dari segala makar musuh-musuh Islam, musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin, dan memudahkan mereka untuk menegakkan keadilan, ketentraman dan kesejahteraan umat. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Sumber :
http://mahad-assalafy.com/2016/07/10/islam-rahmat-bagi-semesta-alam-bukan-agama-teroris/

Bahayanya Pemikiran Takfir Sayyid Quthub

Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis di sini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya hisab karena perhitungan akan hal tersebut akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.

Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum Muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayyid Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum Muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum Muslimin kepada gerakan, keberanian, dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya permikiran Sayyid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. ”Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewangan dan bahaya pemikiran.

Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum Muslimin serta untuk kebaikan Sayyid Quthb sendiri, yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosa beliau, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum Muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayyid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.

KERANCUAN PEMAHAMAN SAYYID QUTHB TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”

Pemikiran takfir Sayyid Quthb merupakan akibat dari aqidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid La Ilaaha Illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan Al-Hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al Hukumah Al Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al Kasymiri (seorang ulama’ Salaf India) berkata : ”Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al Hukumah Al Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)

Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayyid dalam bukunya Al Adalah Al Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal.182 cet.12 : ”Sesungguhnya perkara yang meyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini aqidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya La ilaaha illallah, yaitu La hakimiyah illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintah-Nya.

Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al Qashash : Huwallahulladzi la ilaaha illahuwa. Dia berkata : ”Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar”. (Fi Zhilalil Qur’an 5/2707).

Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An Nas bahwa Al Ilah adalah Al Musta’li, Al Mustauli, Al Mutasallith (Fi Zhilalil Qur’an 6/4010) yang semuanya bermakna kurang lebih sama yaitu ”Yang Menguasai”.

Demikian Sayyid mempersempit makna illah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu “Yang Berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayyid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama’ Ahlus Sunnah.

Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan surat Al Qashash di atas : ”Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu – wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam – adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepada-Nya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia”. (Tafsir Ath Thabari 20/102)

Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan : ”Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/398)

Demikianlah para ulama’ Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma’ wa sifat. Adapun pemahaman Sayyid bahwa al ilah adalah al hakim atau al musta’li, al mustauli dan al mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama’ Salaf?

Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah (yaitu mengakui bahwa Allah Penguasa dan Pencipta telah diakui juga oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah).

Allah berfirman tentang mereka :

“Katakanlah : ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’, Katakanlah : ’Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah : ’Siapa pemilik langit yang tujuh dan Pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah : ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa?’. Katakanlah : ’Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’. Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah : ’(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ ” (Al Mukminun 84-89)

Lupakah Sayyid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhid ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman :

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : ’Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’ ” (Al Anbiya 25)

Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah serta mencakup puji-pujian lisan seperti tashbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka menghambakan diri dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Anehnya Sayyid Quthb membawa nama arab dan bahasa arab dalam “pemahamannya” itu. Dia berkata : ”… bahwasanya mereka (orang-orang arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa itu makna ilah dan makna laa ilaah illallah … . Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi (Fi Zhilal 2/1005)

Dia juga berkata dalam halaman berikutnya : ”Laa Ilaaha Illallah sebagaimana dipahamai oleh orang arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu : Tidak ada hakimiyah kecuali dari Allah serta tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah” (Fi Zhilal 2/1006).

Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata : ”Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayyid kepada bahasa arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa arab ataupun selain mereka. Bahkan al ilah menurut orang arab adalah al ma’nud (yang diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … . Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum kepadanya”. (Adlwa’ Islamiyah hal. 63)

Orang-orang arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya Ilah (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan Ilah-Ilah. Seperti Latta yang berbentuk kuburan. Uzza yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah padanya, tetapi mereka tidak mereka menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim atau hakimiyah.

Demikian pula dimasa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tapi mereka tidak menamakannya dengan ilah.

Ingat! Yang kita bantah disini bukan kewajiban bertahkim pada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayyid Qutb yang mengatasnamakan bahasa arab dan orang-orang arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam bahasa arab bahwa makna ilah adalah hakim.

KABURNYA PEMAHAMAN SAYYID TERHADAP RUBUBIYYAH DAN ULUHIYYAH

Kadang-kadang Sayyid menafsirkan makna uluhiyyah dengan rububiyyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayyid berkata dalam tafsir surat Ibrahim 52 : “Makna Al Ilah adalah Dzat yang berhak menjadi rabb yaitu yang menghakimi, yang memiliki, yang berbuat, yang membuat syari’at dan yang mengarahkan. (Fi Zhilalil Qur’an : 4/2114)

Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyyah adalah dalam masalah rububiyyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama’ Ahlussunnah. Dia mengatakan : ”Perkara uluhiyyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyyah, khususnya jahiliyyah arab. Hanya saja yang menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyyah. Yaitu masalah penerapan dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Zhilal)

Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayyid tidak dapat membedakan antara uluhiyyah dan rububiyyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayyid terhadap Rububiyyah dan Uluhiyyah dan sempitanya pandangan Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah ini?

PENGKAFIRAN SAYYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya : ”Termasuk dalam ruang lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk kedalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ pada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian walaupun mereka tidak meyakini uluhiyyah seorangpun kecuali Allah tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan- keistimewaan ketuhanan pada selain Allah dan beragama dengan hakimiyah pada selain Allah.” (Fi Zhilal)

Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Rabi’ bahwa hampir pada semua tulisan Sayyid dalam tafsir Fii Zhilalil Qur’an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang melampaui batas dalam terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang memberikan sifat-sifat uluhiyyah dan ubudiyyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyyah. Dan penafsiran Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah tidak keluar dari hakimiyyah, kekuasaan, dan kepemimpinan semata.

Juga ucapan Sayyid ketika menafsirkan surat Yusuf 106 :

”Tidaklah kebanyakan mereka beriman pada Allah kecuali dalam keadaan musyrik.” (Surat Yusuf 106)

Setelah Sayyid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan : ”Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syari’at yang dijadikan oleh manusia sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk pada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutupi[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan pada pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara yang jelas yang muncul dari penguasa para hamba. Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan pada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah.” (Fi Zhilalil Qur’an 4/2023)

Dalam ucapan Sayyid diatas terdapat dua bahaya besar. Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syari’at dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al Qur’an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah khususnya dalam masalah kesyirikan.Hal ini terjadi karena Sayyid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata : “Sesungguhnya kesyirikan mereka ( jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tapi dalam masalah hakimiyah” (Fi Zhilal : 3/1492)

Sungguh aneh pemahaman Sayyid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum islam dan belum menerapkan Al Hakimiyah di negaranya? Kalau menurut pemahaman Sayyid berarti dia tetap kafir karena menurutnya kesyirikan hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan pada masalah keyakinan!

Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika mendengar raja Najasyi meninggal :

“Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari habasyah. Marilah kemari ! Shalatkanlah dia!” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)

Bagaimanakah pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid den beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!

ANGGAPAN SAYYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP

Saudarakau kaum muslimin, sesungguhnya Sayyid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai kaum Muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan Esok) : ”Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan Islami dalam masyarakat yang Islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang Islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang Islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti … .”

Tenang sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayyid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu : ” … kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih tetap menginginkan untuk menjadi Muslimin.”

Lihat dia menyebut kaum Muslimin dengan ungkapan : ”Orang-orang yang ingin menjadi Muslimin”!

Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al Adalah Al Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah : ”Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan hari ini, di bawah cahaya ketetapan Ilahi terhadap pemahaman dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaaan dien ini … sesungguhnya keberadaan dien ini telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum Muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam Hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syari’at Allah semata dalam segala aspek kehidupan. Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkanya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi Muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin. Sesungguhnya musuh-musuh dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi Muslimin?” (Al Adalah Al Ijtima’iyah hal. 183-184)

Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayyid yang berbahaya di aataranya anggapan beliau bahwa :

Kehidupan Islam telah tiada
Bahkan wujud Islam telah berhenti
Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam
Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah
Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayyid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!

UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARI PADA ORANG KAFIR LAINNYA

Sayyid Quthb berkata : ”Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari Laa Ilaaha Illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau kelompok pensyariatan ataupun oleh masyarakat…” (fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

Bahkan lebih kejam lagi dia berkata : ”… yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat Laa Ilaaha Illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan. Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam dien Allah”. (Fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

Lihatlah betapa beraninya Sayyid mengkafirkan kaum Muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?

MASJID MENURUT SAYYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH

Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayyid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus 87 :

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya : ’Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.’ ” (Surat Yunus 87)

Dia berkata : ” … inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok Mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, ketika fitnah telah merata, thoghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir’aun pada masa ini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara :

Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya, dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan ‘kelompok mukmin’ yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan, dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah ‘kelompok Muslim’ sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadahyang suci. (Fi Zhilalil Qur’an 3/1816) ”
Apa yang akan terjadi kalau dakwah Sayyid seperti ini dibiarkan ? Jelas penafsiran yang bathil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Neo Khawarij dengan gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud ‘kelompok Mukmin’, ‘kelompok Muslim’ dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat aqidah dan pemikiran Sayyid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.

JALAN KELUAR MENURUT SAYYID

Islam telah lenyap, Muslimin telah murtad, masyarakat Muslimin telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah … . Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi ‘kelompok muslim’? Dengarlah apa kata Sayyid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini : “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok Muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan :

” … atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…” (Al An’am 65)

Kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang disekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah … .” (Fi Zhilalil Qur’an 2/1125)

Inilah jalan keluar menurut Sayyid, yaitu dengan menjadi khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Tidakkah Sayyid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulama’nya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah Sayyid tidak melihat di sampingnya seorang ulama’ yang berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbun Al Khatib rahimahullah?!

PEMIKIRAN TAKFIR SAYYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN (IM) SENDIRI

Sesungguhnya pemikiran takfir Sayyid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka :

Berkata Yusuf Al Qardlawi dalam bukunya Awliyat Al Harakah Al Islamiyah : “Dalam fase ini muncul buku-buku ‘Asy Syahid’ Sayyid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat (Islam) dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fiqh dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia … ” (Awliyat hal. 110)

Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar IM dalam kitabnya Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Haq hal. 115: “Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir di kalangan Ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu”.

Berkata Ali Gharishah, salah seorang tokoh besar IM, sebagai berikut : “Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara … bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain … .” (Al Ittijahat Al Fikriyah Al Mu’ashirah hal. 279)

Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayyid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari ‘kawan’ satu harakah, selalu diiringi dengan basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Al Qardlawi setelah ucapannya di atas, dia berkata : ” … Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif.” (Awliyat hal. 110)

Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jama’ah apa, dia hanya mengatakan ‘kelompok kecil’ dan ‘kelompok besar’.

Saudara-saudaraku kaum Muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan hizbnya dengan prinsip mereka yang terkenal : ‘KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA’. Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, Salafiyyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?

SIKAP SAYYID TERHADAP ‘UTSMAN BIN ‘AFFAN RADLIALLAHU ‘ANHU

Ikhwani fiddin a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfr Sayyid Quthb bukan permasalahn sepele. Sikap pengkafiran seluruh manusia karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk? Pemikiran Sayyid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan khawarij dan syi’ah, khususnya terhadap ‘Utsman bin ‘Affan dan Mu’awiyah radliallahu ‘anhuma. Sayyid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah ‘Utsman radliallahu ‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata : “Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab). Adapun masa ‘Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al Adalah hal. 206). Mengapa? Hal ini setelah Sayyid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang ‘Utsman sebagai berikut : “Sesungguhnya diantara kejelekan yang muncul adalah bahwa ‘Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayyah di dalamnya.” (Al Adalah (dalam terbitan Pustaka Salman) hal. 270)

Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada ‘Utsman, yaitu setelah Sayyid menyebutkan cerita-cerita tentang ‘Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa ‘Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Mu’awiyah dan Al Hakam radliallahu ‘anhuma dan selainnya. Kemudian dia berkata : ” … Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dalam ruh Islam ini. Khalifah dengan ketuaan dan kepikunannnya tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati ‘Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayyah … .” (Al Adalah hal. 187, cet. kelima dan secara makna pada cet. ke-12 hal. 159, dan dalam terjemahan Pustaka Salman hal. 272)

Sebaliknya Sayyid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh ‘Utsman. Dia berkata : ” … akhirnya, terjadilah pemberontakan atas’Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan.Tetapi bagi yang memandang ini dengan ‘kaca mata Islam’ dan merasakan urusan ini dengan ‘ruh Islam’, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ‘ruh Islam’ dan arahannya daripada sikap ‘Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah.” (Al Adalah hal.189 cet. ke-5 dan hal. 161, 162 cet. ke-12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya
pada cetakan terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba’ dan dalam terjemahannya hal. 275)

Seharusnya dia mengucapkan : “Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya … .” Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Adapun pandangan Sayyid adalah pandangan Syi’ah, Khawarij dan Ahli Bid’ah!

Semoga Allah menyelamatkan kaum Muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka padanya. Amin.

______________________________

[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya, dia mengikuti kebiasaan orang-orang kafir Barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi?

(Dikutip dari tulisan Ustadz Muhammad Umar as Sewed, Majalah Salafy, Edisi XVI/Dzulhijjah/1417 H/1997 M)

Sumber :

http://salafy.or.id/blog/2003/08/27/bahayanya-pemikiran-takfir-sayyid-qutub/

Kamis, 14 Juli 2016

KESUDAHAN BAGI PARA PENENTANG SUNNAH NABI

Di dalam Al Qur’an Allah banyak menceritakan tentang adzab yang menimpa kaum-kaum terdahulu. Tentu saja cerita-cerita tersebut bukan sekedar cerita belaka. Namun di balik itu semua hendaknya kita dapat mengambil sebuah pelajaran yang berharga, ternyata adzab tersebut terjadi karena penentangan mereka terhadap sunnah (ajaran) para Rasul.
Allah pun memberikan ancaman-Nya kepada para penentang sunnah Rasul-Nya yang terakhir yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, di dalam firman-Nya yang artinya:
“Berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah dia (Rasul) akan menimpa kepadanya fitnah atau adzab yang pedih”. (An Nuur: 63)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hendaklah takut siapa saja yang menyelisihi syari’at Rasul secara lahir maupun batin untuk tertimpa fitnah dalam hatinya berupa kekafiran, kemunafikan, bid’ah atau tertimpa adzab yang pedih di dunia dengan dihukum mati, had, dipenjara atau yang lainnya.”
Maka tidak diperkenankan bagi seorang muslim menentang sunnah Rasulullah ? karena mengikuti ucapan seseorang walaupun orang itu memiliki kedudukan yang sangat mulia, sebagaimana Ibnu Abbas ? berkata: “Sungguh aku sangat khawatir hujan batu akan menimpa kalian, aku mengatakan: “Telah berkata Rasulullah”, sedangkan kalian mengatakan: “Telah berkata Abu Bakar dan Umar”. (H.R Ahmad)
Lallu bagaimana kiranya dengan orang-orang yang menolak sunnah (perintah) Rasulullah ? dengan sekedar mengikuti perkataan pimpinan organisasi, partai, adat, atau AD/AR sebuah organisasi ?

BAHAYA MENENTANG SUNNAH NABI
Diantara bahaya-bahaya yang bisa menimpa seseorang yang menetang sunnah Rasul ? adalah:
1. Terjerumus ke dalam kesesatan dan dimasukkan ke jahanam. Allah berfirman yang artinya:
“Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan kaum mukminin, maka Kami biarkan ia berpaling ke dalam kesesatan yang telah dia tempuh sendiri lalu Kami masukkan dia ke dalam jahannam, sedangkan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa’: 115)
2. Akan di usir dari Haudh (telaga) Rasulullah di hari kiamat nanti, padahal barangsiapa yang meminum darinya tidak akan haus selama-selamanya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim.
3. Tertolaknya amalan ibadah. Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (tertolak) amalan kalian , sedangkan kalian tidak menyadari”. (Al-Hujurat: 2)
Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Lalu bagaimana dengan orang yang mendahulukan selain perkataan, dan petunjuk Rasulullah ?! Bukankah, lebih akan terhapus amalnya sedangkan ia tidak menyadarinya ?!” (Al Waabilus Shoyyib: 24)
4. Menggugurkan dan membatalkan keimanan. Allah berfirman yang artinya;
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa berat hati terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ( An Nisaa’: 65)

BENTUK-BENTUK PENENTANGAN TERHADAP SUNNAH RASULULLAH Diantara bentuk penentangan terhadap sunnah Rasulullah ? yang bisa disebutkan dalam kajian kali in adalah:
1. Mencukupkan Al Qur’an tanpa petunjuk As Sunnah, sebagaimana yang dilakukan sekte Qur’aniyyun yang lebih pantas disebut sekte Inkarus Sunnah, hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah , yang artinya:
“Dan segala perkara yang diperintahkan Rasul (Sunnah) maka ikutilah dan segala perkara yang dia larang maka jauhilah”. (Al Hasyr: 7)
Rasulullah ? sendiri telah memberitakan akan munculnya suatu kelompok yang meremehkan sunnah (hadits)nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Miqdam bin Ma’di Karib, Rasulullah ? bersabda:
“Dikhawatirkan seseorang duduk bertelekan di atas sofanya (dalam keadaan sombong), ketika dibacakan sebuah hadits dariku dia mengatakan: “Cukup antara kami dan kalian Kitabullah (Al Qur’an). Apa yang kita dapati di dalamnya suatu yang halal maka kita halalkan dan suatu yang haram maka kita haramkan. Beliau mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya apa yang Rasulullah haramkan seperti apa yang Allah haramkan. (H.R Ibnu Majah)
2. Menolak hadits-hadits ahad selain mutawatir dalam masalah aqidah walaupun hadis-hadits tersebut shohih, sebagaimana yang disebarkan oleh sekte Mu’tazilah. Faham ini berkembang ketika masuknya ilmu filsafat di tengah-tengah umat Islam.
3. Mendahulukan akal di atas sunnah Rasulullah, seperti yang dilakukan Mu’tazilah, Aqlaniyyun ( para pendewa akal), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan para ahli filsafat. Allah melarang perbuatan mereka dalam firman-Nya yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan ucapan siapapun terhadap ucapan Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hujurat: 1)
4. Taqlid terhadap madzhab, golongan, partai, atau adat tertentu sebagaimana kebiasaan orang-orang musyrikin terdahulu. Allah mencela sifat yang demikian dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan jika dikatakan kepada mereka (orang-orang musyrikin): “Ikutilah apa yang telah Allah turunkan (Al Qur’an dan As Sunnah)”, maka mereka menjawab: “Bahkan kami tetap mengikuti apa yang telah ditempuh nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)

SIKAP PARA SAHABAT TERHADAP PENENTANG SUNNAH RASUL
Berkata Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu: “Janganlah engkau meninggalkan satu amalan pun yang dilakukan Rasulullah, kecuali engkau beramal dengannya. Sungguh aku sangat khawatir, jika engkau meninggalkan amalan yang diperintahkan oleh Rasulullah, maka engkau akan menyimpang (dari al haq)”.
Dari Abu Qatadah berkata: “Kami pernah di sisi ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu dalam suatu rombongan dan di antara kami terdapat Busyair bin Ka’ab. Maka pada suatu hari ‘Imran berbicara kepada kami, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sifat malu itu baik semuanya”. Maka Busyair bin Ka’ab berkata: “Sesungguhnya kami mendapati di sebagian kitab atau hikmah bahwa dari malu itu ada yang merupakan ketentraman dan penghormatan kepada Allah, tetapi pada malu itu juga ada kelemahan.” Maka ‘Imran pun marah sampai merah kedua matanya dan berkata: “Tidakkah kamu melihat aku, aku mengajak bicara kepadamu dengan hadits dari Rasulullah, sedangkan kamu menentangnya!!” (Muttafaqun ‘alaihi)

BEBERAPA FAKTA TENTANG ADZAB ALLAH DI DUNIA BAGI PARA PENENTANG SUNNAH
1. Dari Salamah bin Al-Akwa’, bahwasanya seseorang pernah makan di sisi Rasulullah dengan tangan kirinya. Maka beliau berkata: “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang menjawab: “Saya tidak bisa.” (Maka) beliau berkata: “Kamu tidak akan bisa (selamanya).” Tidak ada yang menghalangi dia (untuk makan dengan tangan kanannya) melainkan sifat sombong. Berkata (Salamah bin Al-Akwa’): “Maka orang itu pun (akhirnya) tidak bisa mengangkat tangan (kanan)nya ke mulutnya (selamanya).” (HR. Muslim no.2021)
2. Dari Abu Yahya As-Saajii dia berkata: “Kami berjalan di lorong-lorong kota Bashrah menuju ke rumah salah seorang Ahli Hadits, maka aku mempercepat jalanku dan ada seseorang di antara kami yang jelek sesat pemahaman agamanya, berkata: “Angkatlah kaki-kaki kalian dari sayap-sayapnya para Malaikat, jangan kalian mematahkannya”, (seperti orang yang istihza`/memperolok-olok)”, maka (akhirnya) kaki orang tersebut tidak bisa melangkah dari tempatnya sehingga kering kedua kakinya dan kemudian roboh.” (Bustaanul ‘Aarifiin, Al-Imam An-Nawawi hal.92). Maksud dari orang tersebut hendak mengolok-olok hadits Rasulullah ? yang diriwayatkan sahabat Abu Darda’ ?, bahwa Rasulullah ? bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَبْتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقُا إِلَى الْجَنَّةِ، وَ أّنَ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنَحَتِهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Jannah (surga) dan sesungguhnya para Malaikat mengkaparkan sayap-sayapnya untuk seorang penuntut ilmu ketika mereka suka kepada apa yang ia lakukan.” (H.R. Abu dawud dan At Titmidzi)
PENUTUP
Sehingga tidak pantas bagi setiap muslim untuk tidak mengindahkan sunnah Nabinya, apalagi sampai menghinakannya setelah melihat bagaimana pedihnya akibat orang-orang yang menentang As Sunnah sebagaimana yang diberitakan Al Qur’an, atau hadits-hadits Nabi serta bagaimana sikap para sahabat kepada mereka.
Wallahu ‘a’lam

HADITS-HADITS LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman, Rasulullah bertanya:
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِيْ كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي
“Dengan apa kamu memutuskan suata perkara? Mu’adz menjawab: “Saya memutuskan dengan Kitabullah (Al Qur’an). Rasulullah bertanya: “Kalau seandainya tidak ada di dalam Al Qur’an? Mu’adz berkata: “Saya memutuskan dengan As Sunnah? Rasulullah bertanya: “Kalau seandainya tidak ada? Mu’adz berkata: “Saya berijtihad dengan pendapatku”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan yang lainnya)
Hadits ini lemah karena terdapat tiga illat (sebab kelemahan):
1. Yang benar adalah mursal, hadits ini bukan datang dari Mu’adz akan tetapi datang dari murid-murid Mu’adz.
2. Tidak diketahui siapa murid-murid Mu’adz tersebut (Majhul) ?.
3. Ada seorang rawi yang bernama Al Harits bin Amr. Ibnu Hazm dan Adz Dzahabi berkata: “Dia adalah seorang yang majhul (tidak diketahui siapa dia ?, dan tidak ada satu pun yang meriwayatkan hadits ini kecuali dari jalannya).
Sehingga hadits ini dilemahkan para Ahlu Hadits diantaranya: Al Imam Al Bukhari, At Tirmidzi, Ibnul Jauzi, Ibnu Hazm, Al Hafizh Ibnu Hajar dan yang lainnya. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah no. 881, karya Asy Syaikh Al Albani)

Sumber :

http://mahad-assalafy.com/2016/07/14/kesudahan-bagi-para-penentang-sunnah-nabi/

Asy-Syariah Edisi Khusus “AWAS! KOMUNISME BANGKIT KEMBALI” ebook

Judul: Majalah Asy-Syariah Edisi Khusus “AWAS! KOMUNISME BANGKIT KEMBALI” ebook
Penerbit: Oase Media
Fisik: e-book
Harga: Gratis

Sinopsis Majalah :

Komunisme belum mati. Ibarat ilalang, setiap kali dibabat, ia tetap saja tumbuh. Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai representasi komunisme di Indonesia, meski secara fisik sudah mati, tetapi tetap hidup sebagai ideologi. Di masa lalu, PKI pernah menjadi partai besar, bahkan disebut-sebut yang terbesar di luar Uni Soviet dan China. Wajar jika sisa kekuatannya tidak bisa dipandang remeh. Anak biologis mereka yang dididik secara komunis atau kader-kader militannya, akan melanjutkan “estafet” ideologinya, berupaya mengembalikan kejayaan PKI.

Bermetamorfosa ke mana-mana, diiringi pemutarbalikan fakta sejarah, penyusupan/infiltrasi, agitasi dan propaganda, upaya untuk kembali menghidupkan paham komunisme tidak lagi hanya retorika.

Reformasi yang kebablasan memberi peluang munculnya multiideologi, termasuk komunis yang terus unjuk gigi. Maraknya simbol palu arit di berbagai tempat dan peristiwa, kelompok-kelompok diskusi yang membela “HAM” PKI, konsolidasi kader PKI melalui kongres, temu raya, dll., hingga munculnya buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” menjadi bukti keberanian komunis untuk eksis.

Selengkapnya…. silakan unduh dan simak *E-Book GRATIS* ini !

Link: 

https://market.android.com/details?id=book-9t1CDAAAQBAJ

SEBARKAN SEMAMPUNYA !!!

Pelajaran dari Sejarah Munculnya Khawarij

Sungguh, dengan mengenali sejarah generasi awal Khawarij akan menumbuhkan sikap waspada terhadap mereka. Sebab, mereka akan senantiasa muncul, hingga Dajjal muncul di tengah-tengah mereka, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cikal bakal mereka yang paling awal adalah seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah. Jenggotnya tebal, tulang pipinya menonjol, kedua matanya cekung, dahinya timbul, dan kepalanya gundul. Dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang membagi ghanimah(harta rampasan perang) Perang Hunain, “Berbuat adillah, wahai Muhammad!”— atau—“Bertakwalah engkau, wahai Muhammad!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata kepadanya, “Siapa lagi yang akan menaati Allah kalau aku bermaksiat kepada-Nya? Allah telah memercayaiku (untuk diutus) terhadap penduduk bumi, namun kalian tidak memercayaiku?”

Lelaki itu kemudian berpaling. Setelah itu, ada seorang sahabat yang hadir—disebutkan bahwa dia adalah Khalid bin al-Walid—meminta izin kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sungguh, dari tulang sulbi orang itu akan keluar sekelompok orang yang membaca al-Qur’an, namun tidakmelampaui tenggorokan mereka. Merekamembunuh para pemeluk Islam, namunmembiarkan para penyembah berhala.Mereka keluar dari Islam sebagaimanamelesatnya anak panah dari binatangburuannya. Jika aku mendapati mereka,sebagaimana kaum Ad diperangi.” (HR.Muslim)

Awal munculnya mereka dalam bentuk kelompok ialah pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Terjadi perselisihan antara mereka dan Aliradhiallahu ‘anhu, ketika Ali menunjuk orang sebagai hakim dalam perselisihannya dengan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhumadalam rangka menjaga agar darah kaum muslimin tidak ditumpahkan.

Sepulang dari Syam setelah peristiwa Shiffin, Ali radhiallahu ‘anhu memasuki Kufah. Saat memasuki Kufah, sekelompok pasukannya memisahkan diri dari Aliradhiallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa jumlah kelompok itu sekitar 16 ribu orang atau 12 ribu orang. Ada juga yang menyebutkan jumlah kurang dari itu.

Mereka memisahkan diri dari Ali lalu memberontak kepada beliau. Mereka mengingkari Ali radhiallahu ‘anhu dalam beberapa masalah. Ali radhiallahu ‘anhulalu mengutus Abdullah bin Abbasradhiallahu ‘anhuma untuk menemui mereka untuk berdialog dalam beberapa masalah tersebut dan membantah syubhat mereka. Urusan yang mereka persoalkan sebenarnya tidak ada hakikatnya. Sebagian mereka rujuk kepada kebenaran, namun sebagian yang lain tetap bersikeras dalam kesesatan mereka.

Selanjutnya, Ali radhiallahu ‘anhu sendiri yang keluar menemui mereka yang tersisa. Beliau radhiallahu ‘anhu terus-menerus berdialog dan mendebat mereka hingga mereka kembali bersama Ali radhiallahu ‘anhu ke Kufah. Mereka kemudian mulai menentang ucapan beliau dan memperdengarkan cercaan terhadap beliau. Selain itu, ayat-ayat tentang syirik dan kekafiran terhadap Allah mereka tujukan kepada diri Ali radhiallahu ‘anhu.

Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan, suatu hari Ali radhiallahu ‘anhu sedang berpidato. Ketika itu, berdirilah salah seorang Khawarij dan berkata, “Wahai Ali, engkau telah berbuat syirik dalam agama Allah dengan (menunjuk) manusia (sebagai hakim). La hukma illa lillah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Lantas bersahutanlah suara dari setiap sudut, “La hukma illa lillah, la hukma illa lillah.”

Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Ini adalah kalimat yang benar, tetapi yang diinginkan dengannya adalah kebatilan.”

Beliau kemudian berkata, “Kalian memiliki hak atas kami untuk kami tidak menghentikan pemberian fai’ selama tangan kalian masih (berbai’at) bersama kami, kami tidak menghalangi kalian mendatangi masjid-masjid Allah, dan kami tidak akan memulai memerangi kalian sampai kalian sendiri yang memulai memerangi kami.”

Setelah itu, kaum Khawarij berkumpul di tempat tinggal Abdullah bin Wahb ar-Rasibi. Abdullah bin Wahb berpidato di hadapan mereka dengan ucapan yang menggugah mereka. Dia menumbuhkan sikap zuhud terhadap dunia, mendorong mereka untuk urusan akhirat dan surga, dan memberi semangat mereka untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Setelah, itu naiklah Hurqus bin Zuhair berpidato, dilanjutkan oleh Zaid bin Hishn, yang juga menyemangati mereka untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Dia membaca beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya firman Allah ‘azza wa jalla,

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shad: 26)

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤

“Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)

Demikian pula ayat yang selanjutnya, yang menyebutkan “mereka itu adalah orang-orang yang zalim” dan “mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.

Setelah itu, dia berkata, “Aku mempersaksikan bahwa orang-orang yang kita dakwahi, orang-orang yang sama kiblatnya dengan kita, bahwa mereka telah mengikuti hawa nafsu, mencampakkan hukum al-Qur’an, zalim dalam hal ucapan dan amalan, serta bahwa berjihad melawan mereka adalah sebuah keharusan bagi kaum mukminin.”

Menangislah seseorang di antara mereka yang bernama Abdullah bin Sakhbarah. Dia pun memprovokasi mereka untuk melakukan pemberontakan. Dia berkata, “Tikamlah wajah dan kening mereka dengan pedang, sehingga ditaatilah Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “Manusia jenis ini adalah keturunan Adam yang paling aneh. Mahasuci Dzat yang telah menciptakan makhluk-Nya beraneka ragam sesuai dengan kehendak-Nya, dan telah terdahulu dalam takdir Allah Yang Mahaagung.

Betapa bagusnya ucapan sebagian salaf, bahwa mereka (Khawarij) lah yang disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahfi: 103—104)

Ringkasnya, mereka yang bodoh, sesat, celaka dalam hal ucapan dan perbuatan ini, bersepakat untuk memberontak di tengah-tengah kaum muslimin. Mereka bersepakat pergi menuju Madain untuk merebutnya kemudian berlindung di dalamnya. Mereka pun mengirim utusan kepada saudara-saudara dan teman-teman mereka yang memiliki pemikiran serupa di Basrah dan kota lainnya. Orang-orang tersebut memenuhi ajakan tersebut dan bergabung dengan mereka.

Zaid bin Hishn berkata, “Madain tidak mampu kalian kuasai. Di sana ada pasukan yang tidak mampu kalian hadapi, yang akan menghalangi kalian memasukinya. Buatlah kesepakatan dengan teman-teman kalian untuk pergi ke arah jembatan Sungai Jaukha. Janganlah kalian keluar dari Kufah secara berkelompok, tetapi seorang demi seorang agar tidak ada yang menyadari kalian.”

Mereka menulis surat terbuka kepada penduduk Basrah dan kota lainnya yang memiliki pemikiran dan tindakan yang sama dengan mereka. Mereka mengirimkan pesan tersebut agar bergabung di sisi sungai, agar mereka menjadi satu kekuatan menghadapi manusia.

Setelah itu, mereka keluar secara sembunyi-sembunyi, seorang demi seorang, agar tidak diketahui. Jika ada yang tahu, tentu mereka akan dihalangi sehingga tidak bisa memisahkan diri dari ayah, ibu, paman, dan seluruh kerabat sehingga mereka memutus tali silaturahim.

Dengan kebodohan, pendeknya akal, dan sedikitnya ilmu, mereka berkeyakinan bahwa perbuatan mereka ini membuat Allah ‘azza wa jalla—Rabb langit dan bumi—ridha. Mereka tidak tahu bahwa tindakan mereka tersebut termasuk salah satu dosa besar yang membinasakan, problem berat, dan kesalahan. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka merupakan hasil hiasan Iblis—yang terlaknat, diusir dari langit, dan telah memancangkan tonggak permusuhan kepada bapak kita, Adam dan keturunannya selama ruh mereka masih ada dalam jasad. Hanya Allah sajalah Dzat yang kita minta untuk melindungi kita dengan daya dan upaya dari-Nya. Sesungguhnya, Dialah Dzat yang mengabulkan doa-doa.

Sekelompok orang berhasil menyusul sebagian anak dan saudara mereka lantas memulangkannya, memberi pelajaran, dan menyatakan buruknya perbuatan orang-orang tersebut. Di antara mereka ada yang kemudian istiqamah di atas kebenaran, namun ada pula yang melarikan diri. Yang melarikan diri kemudian bergabung dengan Khawarij. Dia pun ditimpa kerugian hingga hari kiamat.

Kaum Khawarij yang tersisa ini akhirnya pergi ke tempat yang direncanakan. Penduduk Basrah dan kota lainnya yang mereka kirimi pesan dahulu memenuhi ajakan mereka. Mereka semua berkumpul di Nahrawan. Mereka memiliki kekuatan dan menjadi pasukan tersendiri. Mereka berani dan berkeyakinan bahwa perbuatan mereka ini adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Sungguh, amat buruklah sangkaan dan kesalahan mereka.

Ketika Ali radhiallahu ‘anhu sedang menyiapkan pasukan menuju Syam dan berpidato memberi semangat pasukannya, sampai kepada beliau berita bahwa Khawarij telah membuat kerusakan di muka bumi, menumpahkan darah yang tidak boleh ditumpahkan, merampok di jalan, dan menganggap halal para wanita.

Di antara yang mereka bunuh ialah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Khabbab radhiallahu ‘anhu. Mereka menawan Abdullah dan istrinya yang sedang hamil. Mereka bertanya, “Siapa engkau?”

Abdullah menjawab, “Aku Abdullah bin Khabbab, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalian telah membuatku takut.”

Mereka berkata, “Engkau tidak apa-apa. Sampaikanlah hadits yang pernah engkau dengar dari ayahmu.”

Abdullah berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Aku mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتَكُونُ فِتْنَةٌ، الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ، وَالْقَائِمُ خُيْرٌ مِنَ الْمَاشِي،وَالْمَاشِي خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي

“Akan terjadi fitnah, orang yang duduk saat itu lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari kecil.”

Mereka lalu mengikat tangan Abdullah. Ketika sedang berjalan bersama beliau, mereka pun mendapati seekor babi milik kafir dzimmi. Sebagian mereka membunuhnya dan merobek kulitnya. Sebagian yang lain berkata, “Mengapa kalian lakukan ini, padahal babi itu milik seorang kafir dzimmi?” Yang membunuh babi tersebut kemudian pergi menuju kafir dzimmi pemilik babi, dan meminta kehalalan perbuatannya dan membuatnya ridha.

Ketika Abdullah masih bersama mereka, ada buah kurma yang jatuh dari pohon. Salah seorang mereka memungutnya lantas memasukkannya ke dalam mulut. Ada yang berkata kepadanya, “(Engkau mengambil dan memakannya) tanpa izin dan tanpa harga?”

Dia pun segera mengeluarkan kurma tadi dari mulutnya. Namun, bersamaan dengan sikap wara’ ini, mereka membunuh Abdullah bin Khabbab, seorang sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah sikap wara’ dusta ini.

Setelah itu, mereka mendatangi istri Abdullah. Istri Abdullah berkata, “Aku sedang hamil. Tidakkah kalian takut kepada Allah?”

Mereka tetap membunuhnya, bahkan kemudian merobek perutnya untuk mengeluarkan janinnya.

Ketika sampai kepada kaum muslimin bahwa begitulah perbuatan mereka, kaum muslimin khawatir apabila pergi ke Syam dan sibuk berperang dengan penduduknya, sementara kaum Khawarij tertinggal di sekitar rumah dan negeri mereka dengan perbuatan tersebut.

Ali radhiallahu ‘anhu pun mengirim al-Harits bin Murrah al-‘Abdi sebagai utusannya kepada Khawarij. Namun, mereka membunuhnya tanpa peringatan. Ketika hal ini terdengar oleh Ali radhiallahu ‘anhu, beliau bertekad kuat untuk pergi menghadapi Khawarij terlebih dahulu sebelum pergi ke Syam. Beliau dan pasukannya berangkat dan berkumpul di sana.

Ali radhiallahu ‘anhu kembali mengirim utusan untuk menyampaikan, “Serahkan para pembunuh saudara kami agar kami balas membunuhnya (dengan qishash). Setelah itu, kami akan tinggalkan kalian dan pergi ke negeri Arab. Semoga setelah itu Allah mengarahkan hati kalian kepada sesuatu yang lebih baik daripada apa yang sekarang kalian berada di atasnya.”

Mereka menjawab, “Kami semua yang membunuh saudara-saudaramu. Kami anggap halal darah kalian dan darah mereka (yang telah kami bunuh).”

Qais bin Sa’d kemudian menemui mereka. Ia menasihati mereka tentang urusan besar dan kesalahan berat yang telah mereka lakukan. Namun, nasihat tersebut tidak bermanfaat.

Demikian pula Abu Ayyub al-Anshariradhiallahu ‘anhu. Beliau memarahi dan mencela mereka. Namun, tidak bermanfaat juga. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri yang mendatangi mereka. Beliau radhiallahu ‘anhu menasihati dan menakut-nakuti mereka. Beliau radhiallahu ‘anhu peringatkan dan mengancam mereka. Di antara ucapan beliau kepada mereka, “Sungguh, hawa nafsu kalian telah membujuk kalian. Kalian telah membunuh kaum muslimin. Demi Allah, kalau kalian membunuh seekor ayam milik mereka, sungguh hal itu sangat besar dosanya di sisi Allah. Lantas bagaimana halnya dengan darah kaum muslimin?”

Mereka tidak menjawab kecuali saling menyeru di antara mereka, “Jangan kalian berdialog dengannya. Jangan kalian berbicara dengannya. Bersiaplah untuk bertemu dengan Rabb ‘azza wa jalla. Bergegaslah, bergegaslah menuju surga.”

Inilah seruan Khawarij, baik di masa silam maupun sekarang. Mereka pun maju dan membentuk barisan untuk berperang. Mereka bersiap sedia untuk bertempur. Mereka berdiri untuk memerangi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersama beliau.

Kaum Khawarij beramai-ramai menuju Aliradhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhutelah menyiapkan pasukan berkuda dan pemanah di depan beliau, barisan pejalan kaki di belakang pasukan berkuda. Beliau berkata kepada pasukannya, “Tahanlah diri kalian, sampai mereka yang lebih dahulu menyerang.”

Kaum Khawarij datang seraya mengatakan, “La hukma illa lillah. Bergegaslah, bergegaslah menuju surga.”

Mereka pun menyerang pasukan berkuda yang disiapkan oleh Ali radhiallahu ‘anhu. Sebagian pasukan berkuda tersudut ke kanan, sebagian lagi ke arah kiri. Mereka pun dihadapi oleh pasukan pemanah dengan anak panah yang diarahkan ke wajah mereka. Setelah itu, pasukan berkuda menyerang mereka dari arah kanan dan kiri. Kemudian pasukan pejalan kaki menyerang mereka dengan tombak dan pedang. Pasukan Ali radhiallahu ‘anhu berhasil membunuh kaum Khawarij yang lantas bergelimpangan menjadi mayat di bawah kaki-kaki kuda. Terbunuhlah pimpinan mereka Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, Hurqus bin Zuhair, Syuraih bin Aufa, dan Abdullah bin Sakhbarah. Semoga Allah menjelekkan mereka.

Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhumengatakan, “Aku menusuk seorang Khawarij dengan tombak dan aku tembuskan hingga ke punggungnya. Aku katakan kepadanya, ‘Bergembiralah engkau, wahai musuh Allah, dengan neraka.’ Ternyata si Khawarij ini menjawab, “Engkau akan tahu nanti, siapa yang lebih pantas masuk ke dalamnya’.” Bayangkan, dia katakan hal itu kepada seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ali radhiallahu ‘anhu pun mulai berjalan di antara mayat mereka dan berkata, “Kejelekan bagi kalian. Sungguh, yang menipu kalian telah memudaratkan kalian.”

Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang telah menipu mereka?”

Ali menjawab, “Setan, dan jiwa yang selalu memerintah kepada kejelekan. Jiwa itu menipu mereka dengan angan-angan dan menghias-hiasi kemaksiatan untuk mereka. Jiwa itu memberitahu bahwa mereka akan membantunya.”

Ali radhiallahu ‘anhu kemudian memerintahkan agar kaum Khawarij yang terluka dikembalikan kepada kabilah mereka masing-masing untuk diobati. Jumlah mereka sekitar empat ratus orang. Ali radhiallahu ‘anhu membagi-bagi senjata dan barang yang tersisa dari mereka.

Ali radhiallahu ‘anhu kemudian keluar untuk mencari seorang lelaki yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda kaum Khawarij. Kedua lengan atau salah satunya seperti payudara wanita. Beliau radhiallahu ‘anhu menemukannya di sebuah lubang di tepi sungai, bersama dengan 40 atau 50 mayat lainnya. Ketika menemukannya, Ali radhiallahu ‘anhu pun sujud kepada Allah dengan sujud yang lama, sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah menyebutkan kepada kita ciri-ciri Khawarij dan pahala yang besar bagi yang membunuh mereka di bawah komando pemerintah, atau terbunuh oleh mereka. Aliradhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَمِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَالدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّفِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan keluar di akhir zaman nanti, sekelompok orang yang masih muda umurnya dan berpemikiran bodoh (tidak punya hikmah). Mereka mengatakan ucapan makhluk yang terbaik. Mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat keluar dari agama ini sebagaimana halnya melesatnya anak panah dari binatang buruannya. Apabila kalian mendapati mereka, bunuhlah mereka. Sebab, orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah pada hari kiamat.”

Demikian pula hadits-hadits lainnya. Dari peristiwa ini kita ketahui bahwa:

Perjuangan Khawarij adalah untuk mendapatkan kekuasaan dan dunia.Mereka menujukan ayat-ayat tentang kekafiran dan kesyirikan kepada pemerintah.Mereka mengafirkan hakim sekaligus orang yang berhukum kepadanya.Mereka tidak akan ridha terhadap seorang hakim, seadil apa pun dia, apabila bukan dari kelompok mereka dan sejalan dengan pemahaman mereka.

Mereka tidak ridha dengan pembagian dan hukum yang ditentukan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga tidak ridha terhadap Utsman radhiallahu ‘anhu seingga mereka membunuh beliau. Mereka juga tidak ridha dengan Aliradhiallahu ‘anhu dan para sahabat terbaik yang bersama beliau. Bagaimana mungkin mereka akan ridha terhadap pemerintah-pemerintah kita sekarang ini?

Mereka menipu manusia dengan penampilan religius, slogan amar ma’ruf nahi mungkar, dan upaya perbaikan. Akan tetapi, sungguh mereka adalah orang yang paling jauh dari hakikat agama dan sunnah.Mereka tidak segan menumpahkan darah kaum muslimin.

Mereka membunuh orang yang tidak bersalah, wanita, sampaipun bayi yang masih dalam kandungan. Hal ini sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Abdullah bin Khabbab radhiallahu ‘anhu.

Disebutkan pula dalam hadits, “Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan para penyembah berhala.”

Peristiwa ini tidak hanya terjadi sekali, tetapi berulang. Apabila kita melihat kenyataan kita sekarang, engkau dapati kaum Khawarij terus-menerus ada.

Bahkan, kaum Khawarij sekarang lebih jelek daripada generasi yang terdahulu. Kaum Khawarij terdahulu menampakkan shalat, ibadah, dan membaca al-Qur’an, secara lahiriah. Adapun Khawarij sekarang tidak memiliki agama. Agama mereka adalah penipuan dan khianat. Bacaan mereka pun bukan al-Qur’an, melainkan nasyid-nasyid provokatif.

Ketika kaum Khawarij terdahulu meninggalkan ulama dari kalangan para sahabat radhiallahu ‘anhum, bahkan mengafirkannya, mereka pun sesat dan menyimpang. Ini merupakan sebab terbesar jatuhnya seseorang dalam kesesatan. Demikian pula Khawarij masa kini, ketika mereka mencela dan mengafirkan ulama kita, mengatakan bahwa ulama kita sebagai budak penguasa dan sebutan jelek lainnya, mereka pun menyimpang dan sesat.

Oleh karena itu, berpegang teguhlah dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau akan berjalan di atas ashshirathal mustaqim (jalan yang lurus).

Semoga Allah mengokohkan kita di atas as-Sunnah. Kita berlindung kepada Allah dari segala keburukan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Semoga Allah memberikan keamanan di negeri kita dan menjadikannya—serta negeri-negeri kaum muslimin yang lain—sebagai negeri yang baik dan damai.

(Dipetik dari khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Dr. Khalid bin Dhahwi bin azh-Zhafiri di Masjid as-Sa’idi, Jahra, Kuwait, 25 Syawwal1435 H/ 22 Agustus 2014 M)

Sumber :
http://asysyariah.com/pelajaran-dari-sejarah-munculnya-khawarij/

Selasa, 12 Juli 2016

KETIKA SUNNAH NABI DIOLOK OLOK

Oleh : Al-Ustadz Qomar Suaidi hafizhohullohu

Istihza’ (mengolok-olok) Sunnah Nabi berarti mengolok-olok Islam. Ini adalah perbuatan besar namun dinilai oleh sebagian orang sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang dianggap lelucon yang menggelikan sehingga seolah-olah ketika melakukannya tidak menanggung dosa atau tanggung jawab apapun. Padahal perbuatan itu dinilai oleh syariat sangat berbahaya dalam segala keadaannya.
Terjadi di zaman Nabi ketika beliau bersama kaum muslimin pergi menuju perang Tabuk maka dalam sebuah majlis seseorang berkata: “Kami tidak melihat ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan penakut seperti para pembaca Al Qur’an kita itu (dia maksudkan para sahabat Nabi).” Maka seseorang menanggapinya: “Kamu dusta, bahkan kamu adalah munafik. Saya benar-benar akan sampaikan kepada Rasulullah.” Maka berita itu sampai kepada Rasulullah dan turunlah ayat Al Qur’an kepada beliau. Abdullah bin Umar ? mengatakan: “Saya melihat orang itu bergelanyut pada tali unta Rasulullah dan kakinya tersandung-sandung batu sambil mengatakan: “Wahai Rasulullah kami hanya main-main.” Namun Rasulullah terus membacakan ayat: “Apakah dengan Allah , ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya kalian memperolok-olok? Jangan kalian cari udzur, kalian telah kafir setelah iman kalian” (At Taubah: 65-66) [Hasan, HR Ibnu Abi Hatim dan Ath Thabari dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, 108]
Mengomentari masalah ini Asy Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengatakan: “Para ulama telah bersepakat atas kafirnya orang yang melakukan sesuatu darinya, maka barangsiapa yang mengolok-olok Allah atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau Agama-Nya, maka dia telah kafir secara ijma’ (kesepakatan para ulama) walaupun main-main dan tidak memaksudkan mengolok-oloknya .” (Taisir Al ‘Azizil Hamid hal. 617)
Hal yang serupa ditegaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, katanya: “Barangsiapa mengolok-olok sesuatu dari kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya yang shahih atau melecehkannya atau merendahkannya, maka dia telah kafir terhadap Allah Yang Maha Besar.” (Taisir Al Karimir Rohman, 343)
Bahkan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Barangsiapa mengolok-olok salah satu dari As Sunnah berarti ia mengolok-olok semuanya, karena yang terjadi pada orang tersebut (pada kisah di atas-red) bahwa mereka mengolok-olok Rasul dan para shahabatnya sehingga turunlah ayat ini. Kalau begitu mengolok-olok perkara ini saling terkait.” (Kitabut Tauhid, 39)
Lalu bagaimana kalau mengolok-olok ilmu dan orang yang berilmu apakah termasuk dalam hukum ini ?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjelaskan masalah ini, katanya: “Yang benar dalam masalah ini adalah dirinci. Kalau mengolok-olok ilmu syariat atau orang yang berilmu karena ilmunya maka yang demikian merupakan kemurtadan, tidak ada keraguan dalam masalah itu karena itu adalah perbuatan merendahkan dan meremehkan sesuatu yang Alloh agungkan dan mengandung penghinaan dan pendustaan terhadapnya. Adapun mengolok-olok orang yang berilmu dari sisi lain seperti pakaian atau ambisinya terhadap dunia atau kebiasaannya yang tidak sesuai dengan kebiasaan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat, atau sebab yang serupa dengan itu maka yang semacam ini tidak sampai murtad karena perbuatannya ini tidak berkaitan dengan agama tetapi berkaitan dengan perkara lain.” (footnote Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz terhadap Fathul Majid hal. 526)
Bila demikian bahayanya mencela Sunnah Nabi, maka para ulama menjadikan ukuran hidayah dengan istiqomahnya seseorang di atas As Sunnah. Sebaliknya mereka menilai seseorang yang mencela Sunnah Nabi berarti perlu diragukan keistiqomahannya di atas hidayah.
Al Imam Al Barbahari mengatakan: “Jika kamu dengar seseorang mencela As Sunnah atau menolak As Sunnah atau mencari selain As Sunnah, maka tuduhlah dia pada keislamannya dan jangan kamu ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah, hal. 51, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Abul Qosim Al Ashbahani mengatakan: “Ahlus Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan bahwa jika seseorang mencela As Sunnah maka semestinya ia perlu diragukan keislamannya.” (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Ayyub As Sikhtiyani berkata: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan As Sunnah lalu dia mengatakan: “Tinggalkan kami dari yang ini dan beri tahu kami degan Al Qur’an, maka ketahuilah bahwa dia itu sesat.” (Miftahul Jannah, hal. 137)
Orang yang melakukan perbuatan semacam ini berada dalam keadaan yang sangat berbahaya sehingga Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi maka dia berada di atas jurang kebinasaan.” (Tabaqat Al Hanabilah, 2/15, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Semestinya ketika melihat sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan dan sesuai dengan Sunnah Nabi, jangan sampai kita mengolok-olok atau menghina, merendahkan, mengejek, atau menjadikannya bahan tertawaan atau semacamnya. Walaupun As Sunnah itu bertentangan dengan adat istiadat atau kita menganggapnya asing dan aneh serta belum bisa melakukannya. Mestinya kita mendukung dan meminta ampun kepada Allah karena belum bisa melaksanakannya, bukan malah mengejek.
Semoga Allah selalu memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu melakukan apa yang ia ridhai dan cintai.

Sikap Ulama Salaf Terhadap Penentang Sunnah
Para ulama Salaf (shahabat Rasulullah dan orang yang mengikuti jejak mereka) adalah orang-orang yang sangat tinggi ghirah-nya (semangatnya) terhadap Sunnah Nabi. Mereka makmurkan jiwa mereka dengan As Sunnah sehingga tatkala muncul dari seseorang sikap menyangkal As Sunnah atau enggan untuk tunduk terhadap aturan As Sunnah, secara spontan mereka ingkari dengan pengingkaran yang tegas sebagai nasehat dan peringatan. Hal itu nampak jelas dalam kisah-kisah yang sampai kepada kita, diantaranya:
Ketika Abdullah bin Umar mengatakan, saya mendengar Nabi bersabda:
“Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid jika mereka minta ijin ke sana”
maka Bilal bin Abdillah mengatakan: “Demi Allah aku sungguh-sungguh akan melarang mereka.” Maka Abdullah bin Umar menghadap kepadanya dan mencaci makinya. (Yang meriwayatkan kisah ini mengatakan : “Saya tidak pernah mendengar dia mencaci maki seperti itu sama sekali.”). Dan mengatakan, aku katakan kepadamu ”Bersabda Rasulullah“ lalu kamu katakan “Demi Allah aku akan melarang mereka ?!” (Shahih, HR Muslim no.988)
Kejadian lain dialami oleh sahabat Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau menyebutkan bahwa Nabi melarang menukar satu dirham dengan dua dirham dan ada seseorang yang mengatakan: “Menurut saya tidak mengapa ?!”. Maka beliau berkata: “Demi Allah jangan sampai ada satu atap menaungi saya dan kamu.” (Shahih, HR Ad Darimi 1/118 dan Ibnu Majah 1/20 no. 18, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, Ta’dhimus Sunnah, 37). Demikian pula yang dialami oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri dengan seorang penyangkal As Sunnah.
Begitu tegas sikap para shahabat Nabi terhadap orang-orang yang menyangkal hadits. Hal ini tidak lain karena kedalaman ilmu mereka tentang kedudukan Sunnah Nabi dalam syariat dan tentang bahayanya sikap penentangan semacam ini, serta dibarengi dengan kecemburuan yang tinggi terhadap As Sunnah. Sepintas lalu sikap mereka itu tampak begitu keras atau kaku dan tak kenal kompromi, dan barangkali dipandang oleh sebagian orang tidak pantas dilakukan. Tetapi cobalah kita menengok sejenak bahwa contoh tersebut adalah perbuatan para shahabat Nabi, orang-orang terbaik umat ini dengan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Justru yang tidak pantas adalah ketika kita mengatakan bahwa perbuatan mereka itu tidak pantas. Penilaian seperti itu tentu karena kurangnya ilmu tentang kedudukan Sunnah Nabi, juga karena ghirah keagamaan yang lemah dari dalam hati sanubari dan karena tidak memahami bahayanya perbuatan lancang semacam ini.
Allah ? berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujurat: 1)
Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri sekaligus berhati-hati karena kita hidup di zaman yang kondisinya sangat jauh dari norma-norma kenabian. Sunnah Nabi begitu asing untuk kita terapkan sehingga didapati hakekat-hakekat permasalahan telah terbalik, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat anak kecil menjadi besar itu menyeliputi kalian ? Bahkan manusia justru menjadikan (sesuatu yang bukan Sunnah) sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya akan dikatakan: “Sunnah telah ditinggalkan.” Orang-orang bertanya kepada Ibnu Mas’ud: ”Kapan itu terjadi ?” Diapun menjawab: “Jika ulama kalian telah meninggal dunia, pembaca Al Qur’an semakin banyak tapi orang-orang yang paham agama semakin sedikit, pimpinan kalian semakin banyak, orang yang jujur semakin sedikit, dan dunia dicari dengan menggunakan amalan akhirat serta selain ilmu agama (semakin banyak) dipelajari.” (Shahih, Riwayat Ad Darimi: 1/64 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan)

Sumber :
http://mahad-assalafy.com/2016/07/11/ketika-sunnah-nabi-diolok-olok/

```MENGAPA MEREKA MEMBENCI SAUDI?```

▪ ROFIDHOH DAN SHUFIYYAH

Mereka membenci Saudi karena (di Saudi) tidak ada kesyirikan padanya, tidak ada kuburan yang diibadahi dan tidak ada peribadatan kepada makhluk dari selain Allah.

▪ HAROKIYYUN DAN PARTAI-PARTAI PERGERAKAN

Mereka membenci Saudi karena kerajaan tersebut berhukum dengan kitab dan sunnah, dan dikarenakan (di Saudi) TIDAK ADA pemilu padanya, tidak ada partai-partai, dan undang-undang barat sebagaimana ini yang diserukan oleh orang-orang pergerakan.

▪ ORANG-ORANG SEKULER DAN LIBERAL

Mereka membenci Saudi karena tidak ada tabarruj (bersoleknya wanita di depan pria ajnabi/yang bukan Mahram) padanya, tidak ada sufur (pamer aurot), tidak ada bioskop, tidak ada ikhtilat, dan tidak ada kebebasan berhubungan dengan wanita serta tidak ada pemisahan agama dengan negara.

▪ ORANG-ORANG YAHUDI DAN NASHRANI

Mereka membenci Saudi karena (di Saudi) tidak ada gereja untuk orang-orang Nashoro padanya, tidak ada pula tempat peribadatan orang-orang Yahudi.


〰〰〰〰
🇸🇦 Ringkasnya Saudi Merupakan Negeri Tauhid ..

Semoga Allah Menjaga Kerajaan Saudi Arabia (KSA) baik Tentaranya, Rakyatnya dan Penguasanya ..

Sumber:

Channel Telegram Syaikh Muhammad bin Romzan al Hajiry حفظه اللّٰه

Dikutip dari | @dinulqoyyim
ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
🔍 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
قناتنا في برنامـــج [تيليجــــــرام]
للإشتراك : افتح الرابط واضغط على إشتراك👇

💾 Channel Telegram:
👉🏽bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF]
🏀  www.alfawaaid.net