Sabtu, 27 September 2014

Aku Siap Memenuhi Panggilan-Mu ya Allah

jabal-rahma

Keutamaan Haji


Para pembaca rahimakumullah, di antara syiar Islam yang mulia nan agung adalah haji ke Baitullah. Berbondong-bondong umat Islam dari seluruh penjuru dunia untuk memenuhi panggilan haji. Mereka berkumpul dan bersatu padu untuk mengagungkan nama Allah yang Mahabesar tanpa merisaukan perbedaan bahasa, bangsa, dan warna kulit. Maha benar firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya),
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 27-28)
Haji sebagai bentuk taqarrub (ibadah) yang agung di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa, karena ia termasuk salah satu dari lima rukun Islam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Agama Islam dibangun di atas lima rukun, bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah semata, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan shaum di bulan Ramadhan.” (HR. al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 20)
Haji sebagai penebus dosa-dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa berhaji karena Allah semata, dengan tidak berbuat keji dan kefasikan (dalam ibadah hajinya), niscaya ia kembali seperti di hari ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350, dari sahabat Abu Hurairah z)
Haji yang mabrur membawa pelakunya ke dalam Jannah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Antara satu umrah dengan umrah berikutnya merupakan penebus dosa-dosa antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan al-jannah (surga).” (HR. al-Bukharino. 1773 dan Muslim no. 1349, dari sahabat Abu Hurairah z)

Hukum Menunaikan Haji dan Umrah

Awal mula ibadah haji disyariatkan di masa Nabi Ibrahim. Kemudian dikukuhkan kembali dan disempurnakan di masa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tepatnya pada tahun 9 H. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/30)
Menunaikan haji adalah wajib bagi yang mampu, berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijma’.
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97)
Di dalam As-Sunnah, telah diketahui bahwa ibadah haji termasuk salah satu dari lima rukun Islam, cukuplah hal ini menunjukkan bahwa haji merupakan kewajiban yang sangat ditekankan.
Al-Wazir dan lainnya berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwasanya ibadah haji itu diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah yang baligh lagi mampu, dan dilakukan sekali dalam seumur hidup.” (Taudhihul Ahkam 4/31)
Adapun hukum umrah, yang dikuatkan oleh al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullaah adalah wajib hukumnya. Beliau berdalil dengan hadits Jibril ketika bertanya kepada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, di antara jawaban beliau adalah Engkau menunaikan haji dan umrah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1 dan ad-Daruquthni no. 2708 dari shahabat Ibnu Umar h, ad-Daruquthni berkata, “Isnadnya kokoh (riwayat/haditsnya shahih).”

Haji dan Umrah Diwajibkan Sekali dalam Seumur Hidup

Ibadah haji dan umrah wajib ditunaikan sekali dalam seumur hidup bagi yang telah memenuhi syarat wajibnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian haji. Maka berdirilah al-Aqra’ bin Habis seraya mengatakan, ‘Apakah haji itu wajib ditunaikan setiap tahun, wahai Rasulullah?’ Maka beliau pun menjawab, kalau aku katakan iya, niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahunnya, dan bila diwajibkan tiap tahun niscaya kalian tidak akan bisa menunaikannya, atau kalian tidak akan mampu menunaikannya, haji itu hanya sekali, barang siapa yang menunaikannya lebih dari itu maka dia telah melakukan tathawwu’ (ibadah sunnah/tambahan dari yang diwajibkan).” (HR. Abu Dawud no. 1721, an-Nasa’i no. 2620, Ibnu Majah no. 2886, danal-Hakim dengan lafadz darinya no. 3155, al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim,” dan dibenarkan oleh adz-Dzahabi, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’4/150)

 Syarat-syarat Haji

Seseorang diwajibkan untuk memenuhi panggilan Allah, berhaji ke Baitullah Makkah bila telah melengkapi syarat-syaratnya. Yaitu, beragama Islam, berakal sehat, mencapai usia baligh, merdeka bukan hamba sahaya, dan mempunyai kemampuan.

 Bagaimana Kriteria Mampu Tersebut?

Al-Allamah al-Faqih Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullaah telah menjelaskan tentang kriteria orang yang dikatakan mampu untuk menunaikan haji. Beliau berkata, “Mempunyai kemampuan dalam bentuk harta dan fisik (kesehatan). Yakni bila seseorang memiliki harta yang dapat mencukupinya berangkat haji berikut kepulangannya, serta segala kebutuhannya dalam perjalanan haji. Yang dimaksud dengan harta ini adalah harta yang tersisa setelah dikurangi pembayaran hutang, nafkah-nafkah yang bersifat wajib, segala kebutuhan makan, minum, nikah, tempat tinggal dan perabotnya dan apa yang dibutuhkan berupa kendaraan dan buku-buku ilmu agama. Hal ini berdasarkan firman Allah,” … kemudian beliau menyebutkan ayat tersebut. (Manasik Haji dan Umrah, karya asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullaah)
Wahai saudaraku –semoga Allah merahmati kita semua- syarat berikutnya khusus tertuju bagi kalian kaum wanita muslimah baik yang muda atau pun yang tua adalah wajib berangkat bersama dengan mahramnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita melainkan harus disertai mahramnya dan janganlah seorang wanita bersafar (pergi keluar daerah) melainkan bersama mahramnya pula. Ada seorang lelaki berdiri bertanya, ‘Wahai Rasulullah, istriku hendak berhaji, sementara aku ditugaskan untuk berjihad.’ Maka beliau menjawab, ‘Kembalilah dan berhajilah bersama istrimu.” (HR. al-Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341, dari sahabat Ibnu Abbas h)
Wahai saudaraku, bersikaplah kalian tawadhu’ dan tunduk kepada kebijaksanaan dari Allah dan Rasul-Nya. Segala ketetapan Allah dan rasul-Nya itu tentu dan pasti adalah demi kebaikan kalian. Renungkanlah dan amalkanlah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa,
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)

 Kiat Meraih Haji Mabrur

Wahai saudaraku rahimakumullah, bagi yang Allah mudahkan untuk bisa berangkat, kami doakan semoga Allah menerima dan menjadikan haji kalian adalah haji yang mabrur. Saudaraku ingatlah haji itu ibadah yang agung yang membutuhkan bekal yang cukup besar. Perhatikanlah dan amlakanlah wasiat-wasiat berikut ini, niscaya kalian akan meraih haji mabrur.
1. Niatkanlah ikhlas karena Allah.
Allah tidak akan menerima sebuah ibadah bila diniatkan untuk tujuan-tujuan yang lainnya. Tinggalkan niat yang jelek, berhaji untuk menaikkan status, agar dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Haji”. Bukan untuk itu wahai hamba Allah, takutlah kalian kepada Allah, niatkanlah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah subhaanahu wa ta’aalaa bukan untuk mencari sanjungan dari manusia.
2. Berilmu sebelum beramal
Para pembaca, sebelum berangkat haji, belajarlah terlebih dahulu, berbekal harta saja tidaklah cukup untuk melakukan perjalanan suci menuju Baitullah, tetapi bekal ilmu juga mutlak dibutuhkan. Karena amal ibadah bila tidak mencocoki sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga tidak bermafaat (tertolak).
Aisyah x meriwayatkan sebuah hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal tidak di atas petunjukku niscaya akan tertolak.” (HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dengan lafadz darinya, dari sahabat Aisyah x)
Ilmu itu akan menuntun pelakunya dalam menunaikan manasik haji sesuai yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menghindarkan dari berbagai macam kekeliruan. Dalam momentum hajjatul wada’, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan khusus kepada umatnya, agar mereka menunaikan manasik haji sesuai dengan tuntunan beliau. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim no. 1297 dan al-Baihaqi no. 9524 dengan lafadz darinya)
Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullaah berkata, “Sudah seharusnya bagi seseorang yang hendak berhaji untuk mempelajari dan mendalami segala yang disyariatkan tentang haji dan umrah. Dan hendaknya ia juga menanyakan hal-hal yang belum dipahami (kepada seorang yang berilmu) agar ibadah yang ditunaikannya benar-benar di atas bashirah (ilmu).” (at-Tahqiq wal-Idhah hal. 13)
3. Bersikaplah ramah, ucapkanlah kata-kata yang lembut saat berjumpa dengan saudara-saudaramu seislam. Hindarkan dari kata-kata kotor dan keji, niscaya Allah subhaanahu wa ta’aalaa akan membantu kalian menunaikan haji dengan penuh khusyu’ dan mendapatkan pahala yang besar dari sisi-Nya. (lihat hadits keutamaan haji)
4. Berbekallah dari harta yang halal dan baik. Sesungguhnya Allah itu baik, dan Allah tidak menerima amalan melainkan yang baik pula. Kebaikan dari sisi manasiknya dan kebaikan bekal dari rezeki yang halal.
Akhir kata, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabatnya, dan seluruh para pengikutnya.

Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Arif hafizhahullaahu ta’aalaa

Sumber : 

Rabu, 10 September 2014

AWAS!!! Deklarasi "Khilafah Islamiyyah Khayalan" di Iraq!!!


Baru-baru ini,  orang-orang dungu dari kalangan Khawarij di Iraq, membikin “kejutan” baru lagi dengan mendeklarasikan apa yang mereka sebut sebagai “Khilafah Islamiyyah” sebagai ganti dari ad-Daulah al-Islamiyyah fi al-Iraq wa asy-Syaim (DAIS) atau Islamic State in Iraq and Syam (ISIS). “Khilafah Islamiyyah” merupakan sebuah nama yang benar-benar mengundang simpati kaum muslimin secara luas. Membuat banyak pihak terkecoh dan terpesona, bahkan tertipu dengannya. Sehingga tidak jarang dari mereka yang turut mengelu-elukan, dan menganggap bahwa asy-Syaikh Abu Bakar al-Baghdadi al-Husaini yang dibai’at dan dinobatkan sebagai khalifah tersebut, benar-benar sebagai khalifah Islam. Tanpa mereka (kaum muslimin tersebut) mengetahui apa hakekat sebenarnya “Daulah Islamiyyah” atau pun “Khilafah Islamiyyah” itu, yang didirikan tidak lain oleh orang-orang khawarij. Belum apa-apa,  sudah ada pernyataan, bahwa mereka bersumpah akan menghancurkan Ka’bah jika berhasil menguasai Arab Saudi. Mereka menyatakan Ka’bah menyebabkan seseorang “menyembah batu selain Allah”.  Lahaula wala Quwwata illa billah!

Sebenarnya orang-orang khawarij yang selama ini menyerukan “jihad” di Iraq dan di Syam itu terpecah belah dalam banyak kelompok/parta/pergerakan, dan terjadi persaingan antar mereka. Tentu saja kita tahu, siapa dan bagaimana sepak terjang Khawarij salama ini. Iya, tidak lain mereka adalah kelompok-kelompok teroris, yang selama ini banyak merugikan dan memberikan citra yang buruk terhadap Islam dan kaum muslimin. Akibat berbagai tindakan dan aksi mereka selama ini yang ternyata tidak selaras dengan Syari’at Islam. Walhasil, sebenarnya kelompok Khawarij – dengan berbagai macam pecahan dan variasinya – adalah kelompok sempalan dan sesat dari Islam.
Sementara itu, di sisi lain, kalangan Islamphobia, baik dari kalangan Islam Liberal, Sekuler, atau pun lainya, menunjukkan sikap anti dan kebenciannya dengan “Daulah Islamiyyah” yang baru diproklamirkan tersebut. Momen ini benar-benar mereka jadikan kesempatan untuk menghantam kaum muslimin dan menjatuhkan nama baik Islam.

Alhamdulillah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah pihak yang paling tenang dalam menghadapi berbagai fitnah dan kemelut yang terjadi. Mereka tidak gampang tertipu dan “terseret arus”. Karena Ahlus Sunnah memiliki pedoman yang jelas dalam menyikapi berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan kontemporer kekinian. Para ‘ulama Ahlus Sunnah senantiasa tegar tampil dalam tataran International, memberikan bimbingan kepada kaum muslimin.
Menyikapi “gegap-gempita” lahirnya “Khilafah Islamiyyah” ini, berikut kami bawakan penjelasan dari Dua ‘Ulama Besar Ahlus Sunnah masa ini: asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah dan asy-Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah.

Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah.
Tatkala disampaikan kepada beliau apa yang terjadi di kalangan orang-orang dungu di negeri Haramain, yaitu mereka ikut-ikutan membait Abu Bakr al-Baghdadi sebagai Khalifah kaum Muslimin. Maka asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-’Abbad mengatakan, “Mereka telah membait syaithan!!”

Sumber :


Asy-Syakh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah
Pertanyaan : Mohon penjelasan tentang Khilafah Islamiyah yang dideklarasikan kemarin.

Jawab :
Wahai saudaraku. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Telah tampak berbagai kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum : 41)
Kerusakan ini, disebabkan oleh sikap esktrim (radikal) atau, sebaliknya disebabkan oleh sikap lembek (deradikal).

Pertama : at-Tafrith (Deradikal) : Yang dilakukan oleh orang-orang mulhid, sekuler, dan liberal. Orang-orang yang mengajak kepada kejelekan, kekotoran, kefajiran, kebebasan, dan kedungungan. Ini bagian pertama.
Kedua : al-Ifrath (Radikal) : Yang dilakukan oleh orang-orang khawarij dan semua kelompok yang berjalan di atas manhaj (prinsip) mereka.

Hari ini orang-orang dungu tersebut memdeklarasikan berdirinya Daulah “Khilafah Islamiyyah” khayal!! Ini sudah “cerita lama” yang sudah kami ketahui sejak 80 tahun lalu!! Mereka membaiat khalifah sirriyyah (sembunyi-sembunyi/rahasia) berdasarkan manhaj mereka yang bejat itu. Masing-masing mereka memiliki baiat sirriyyah untuk orang-orang yang majhul (tidak dikenal).

Hari ini mereka memproklamirkan – dan sudah sangat sering mereka memproklamirkan – kemudian apabila sang proklamator dibunuh atau hilang, mereka akan mendatangkan khalifah baru lagi!! Ini semua mirip dengan “Mahdi” versi Rafidhah – wal’Iyya dzu billah.

Khilafah yang dideklarasikan ini kata mereka adalah Khilafah untuk kaum muslimin semuanya!! Demikian mereka mengklaim, bahwa itu untuk kaum muslimin. Setelah mereka menyembelih dan melakukan berbagai hal terhadap saudara-saudara kita di Iraq. Padahal, baik dia (negara khayal ini) maupun rival mereka yaitu kaum Syi’ah Rafidhah, dua pihak ini sebenarnya sama-sama tidak menginginkan kebaikan untuk umat Islam!!

Maka wajib atas kita untuk mentahdzir (memperingatkan dan waspada) dari dua jenis ini, kelompok ini (pendiri “Khilafah Islamiyyah” ini) dan juga lawan mereka, yaitu kaum Rafidhah. Dua jenis kelompok ini sama-sama di atas kejelekan yang berkepanjangan. Semuanya di atas kesesatan. Semuanya sama-sama sepakat secara diam-diam untuk memusuhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Maka waspadalah dari bai’at khurafat ini. Kedustaan yang mereka namakan “Khalifah Muslimin masa ini”. Dia ini adalah Dajjal, Pendusta, termasuk Para Du’at Kebatilan. Dia telah menyembelehi kaum muslimin di Syam, dan sekarang dia datang menyembelehi kaum muslimin di Iraq!! Dia bekerjasama dengan Thaghut Syam dalam menyembelehi kaum muslimin. Oleh karena itu thaghut Syam membiarkan dia, tidak memeranginya.

Kemudian sekarang, seluruh kekuatan jelek bersatu, dan Barat ada dibelakang mereka dengan segala dukungan. Para penyeru kejelekan dalam barisan yang dinamakan sebagai “Daulah Khilafah!” “Daulah Rafidhah”, semua nama-nama ini sekarang berupaya menyambar Islam dan Muslimin.

Maka kita memohon kepada Allah – Tabaraka wa Ta’ala – agar meninggikan kalimat-Nya, membela agama-Nya, menumpas orang-orang jelek dari kalangan para ahlul bid’ah, pengekor hawa nafsu, dan para musuh agama dari jenis manapun, baik para radikalis maupun deradikalis. Mereka itu semua adalah para Dajjal, hati-hatilah kalian jangan sampai kagum dan tertipu dengan mereka!!

Sebagaimana pula aku telah mewasiatkan kepada penduduk Iraq kemarin, demikian pula telah aku wasiatkan kepada penduduk negeri lain sejak lama :
Yaitu, hendaknya mereka tinggal di rumah masing-masing. Kalau mereka diserang/dizhalimi, maka silakan membela diri. Barangsiapa yang terbunuh demi membela harta, kehormatan, atau jiwanya, maka dia syahid.
Namun jangan ikut berperang bersama kelompok-kelompok/partai-partai itu semua. Mereka semua itu berada di atas kesesatan. Baik Daulah Rafidhah, atau Daulah Syam dan Iraq (DEAS/ISSI), ataupun Daulah “Khilafah Khayalan” .

Mereka itu semua adalah lawan Ahlus Sunnah, janganlah kita tersibukkan dengan mereka. tidak ada kepentingan kita terhadap mereka. Bahkan, kita tetap beribadah kepada Allah, belajar, dan mendalami agama Allah, terus demikian hingga akhir hayat.

Ditranskrip dari Pelajaran Syarh “Ushulus Sunnah” al-Imam Ahmad, pelajaran ke-3 tanggal 3 Ramadhan 1435 H / 1 Juli 2014.

Sumber :

Kamis, 04 September 2014

Wasiat Berharga Untuk Setiap Muslim

Ditulis Oleh : Ustadz Muhammad Rifqi

المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda: “Jadilah engkau (hidup) di dunia ini seakan-akan seperti orang asing atau orang yang safar (orang yang melakukan perjalanan).”
Ibnu Umar berkata, “Apabila engkau berada di waktu sore maka jangan tunggu waktu pagi dan apabila engkau berada di waktu pagi maka jangan menunggu waktu sore, manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. al-Bukhari no. 6416)
Para pembaca yang berbahagia.
Sungguh, ini merupakan untaian kata yang sangat indah dan ringkas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam, yang di dalamnya terkandung banyak pelajaran berharga dan akan menjadi pedoman bagi kita semua di dalam menjalani kehidupan dunia. 

Orang asing adalah seorang yang tinggal di sebuah negeri yang bukan negeri asalnya karena adanya suatu urusan maka diapun akan bersiap-siap untuk berangkat dari negeri tersebut kapan saja urusannya selesai dan kembali ke negeri asalnya, adapun orang yang safar adalah orang yang sedang melakukan suatu perjalanan yang melewati berbagai negeri dan tidak bermukim pada negeri yang dia lewati sampai dia menyelesaikan perjalanannya. Maka negeri asing dan negeri yang dilewati adalah sebagai permisalan dunia, sementara keberangkatan atau perjalanannya adalah menuju akhirat. Yang demikian ini bisa dilakukan dengan cara mengingat kematian, mengurangi angan-angan dan mempersiapkan diri menuju akhirat dengan melakukan amalan saleh. (Lihat Fathul Qowi al-Matin hal. 131-132)
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan bimbingan dan arahan untuk menjadikan dan menempatkan jiwa pada keadaan seperti orang asing atau orang yang safar. (Lihat Subulus Salam juz 2, hal. 645) 

Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan, “Makna hadits ini adalah janganlah engkau condong kepada dunia, jangan menjadikannya sebagai tempat tinggal yang permanen dan jangan sampai jiwamu membisikkan kepadamu untuk tinggal selama-lamanya di dunia serta jangan sampai engkau bergantung kepadanya sebagaimana orang asing yang tidak bergantung kepada selain negeri asalnya.” (Lihat Fathul Bari juz 11, hal. 234) 

Hendaklah seorang mukmin menjadikan kehidupannya di dunia berada pada salah satu dari 2 keadaan: ibarat keadaan orang asing yang tinggal di negeri asing yang kesibukannya hanyalah mempersiapkan bekal untuk kembali ke negeri asalnya (akhirat), atau ibarat keadaan orang yang safar yang tidak memiliki tempat tinggal sama sekali bahkan siang dan malamnya dia gunakan untuk berjalan menuju negeri tujuannya. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan wasiat kepada sahabat Ibnu Umar RadhiyAllahu ‘Anhuma agar menjadi salah satu dari 2 keadaan dalam menjalani kehidupan dunia. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 378)

Kehidupan seorang mukmin di dunia hendaklah seperti orang asing yang tidak berkhayal untuk bermukim di negeri yang asing. Hatinya tidaklah bergantung dengan negeri yang asing tersebut akan tetapi hanya bergantung pada negeri yang dia akan kembali padanya. Tinggalnya dia di dunia semata-mata hanyalah dalam rangka mempersiapkan bekal untuk kembali ke negeri asalnya yaitu akhirat. Atau seperti orang yang safar yang terus berjalan menempuh perjalanan hingga mencapai batas akhir perjalanan. 

Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin dalam kehidupan dunia adalah orang yang sedih dan susah, semangatnya adalah sebatas mempersiapkan perbekalan.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 378-379)

Dan barangsiapa yang keadaannya demikian ketika di dunia, maka tidaklah dia bersemangat kecuali semata-mata dalam rangka mempersiapkan bekal yang bermanfaat ketika dia kembali ke negeri asalnya. Maka dia pun tidak akan bersaing dengan penduduk negeri yang dia tinggal terasing di negeri tersebut dalam rangka memperebutkan kedudukan. Demikian pula tidaklah dia bersedih dikarenakan kerendahan dirinya dihadapan mereka.

Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Seorang mukmin adalah ibarat orang asing, tidaklah dia bersedih dikarenakan rendah kedudukannya di kalangan mereka dan dia pun tidak akan ikut bersaing di dalam memperebutkan kedudukan. Dia memiliki kepentingan sendiri sementara orang lain pun memiliki kepentingan sendiri.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 379) 

‘Atha as-Sulaimi Rahimahullah berkata dalam doanya: “Ya Allah rahmatilah keasinganku dalam kehidupan dunia, dan rahmatilah kesendirianku dalam kehidupan alam kubur serta rahmatilah tempat berpijakku kelak tatkala berada di hadapan-Mu.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 379)
Setelah mendengar wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam, Ibnu Umar RadhiyAllahu ‘Anhuma pun memberikan 2 wasiat:
1. Apabila engkau berada di waktu sore maka jangan menunggu waktu pagi dan apabila engkau berada di waktu pagi maka jangan menunggu waktu sore.
2. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.

Pendekkanlah Angan-Anganmu 

Wasiat pertama yaitu “apabila engkau berada di waktu sore maka jangan menunggu waktu pagi” maksudnya adalah segeralah engkau beramal sebelum datang waktu pagi dan jangan katakan aku akan beramal besok saja karena bisa jadi engkau akan meninggal dunia sebelum datang waktu pagi. Demikian pula “apabila engkau berada di waktu pagi maka jangan menunggu waktu sore” maksudnya adalah beramallah dan persiapkan bekal berupa amal saleh karena bisa jadi engkau akan meninggal dunia sebelum datang waktu sore. (Lihat Syarh al-’Arba’in lil ‘Utsaiminv hal. 391)
Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah mengatakan, “Hadits ini berisi anjuran untuk memendekkan angan-angan dalam kehidupan dunia. Dan tidak pantas bagi seorang mukmin untuk menjadikan dunia sebagai tempat tinggal permanen yang dia merasa nyaman di dalamnya. Akan tetapi hendaknya seorang mukmin di dalam menjalani kehidupan dunia ini ibarat seorang musafir yang mempersiapkan perbekalan untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 377)
Maka janganlah kalian –wahai saudaraku- menunda-nunda untuk beramal, apabila berada di waktu pagi maka jangan menunggu datangnya waktu sore atau apabila berada di waktu sore maka jangan menunggu datangnya waktu pagi. Betapa banyak orang yang masih hidup di waktu pagi namun tidak mendapati lagi waktu sore, sebaliknya betapa banyak orang yang masih hidup di waktu sore namun tidak mendapati lagi waktu pagi. Betapa banyak orang yang memakai pakaian namun tidaklah sempat dia melepaskannya kecuali orang yang memandikan jenazahnya. Betapa banyak orang yang pergi dari keluarganya dalam keadaan keluarganya telah mempersiapkan makan siang dan makan malamnya namun dia belum sempat memakannya. Betapa banyak orang yang tidur namun dia tidak sempat bangun dari peraduannya. Sehingga tidak boleh bagi seseorang untuk panjang angan-angan. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin lil ‘Utsaiminv juz 3, hal 458) 

Manfaatkanlah Waktu Luangmu 

Wasiat kedua yaitu “manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu” maksudnya adalah sebagai seorang muslim hendaklah bersegera untuk beramal saleh kapanpun dia mampu untuk melakukannya yaitu tatkala dia dalam kondisi sehat sebelum datangnya penghalang seperti sakit dan usia senja dan hendaklah mengisi umur kehidupannya dengan amal-amal saleh sebelum datangnya kematian secara tiba-tiba maka ia pun akan berpindah dari negeri amalan (dunia) menuju negeri pembalasan (akhirat). (Lihat Fathul Qowi al-Matin hal. 132-133)
Maka hendaklah diri kita untuk bersegera melakukan amal-amal saleh sebelum datangnya beberapa perkara yang akan menghalangi untuk beramal saleh seperti sakit, kematian atau munculnya tanda-tanda kiamat besar yang ketika itu tidaklah akan diterima amalan seorang hamba. Dan kapan saja datang penghalang yang menghalangi diri seseorang dengan amalannya, maka tidak ada lagi yang tersisa baginya kecuali kerugian dan penyesalan dalam hatinya, dan diapun akan berangan-angan untuk kembali kepada keadaan yang dia bisa melakukan amalan. Namun sayang, angan-angannya tidak bermanfaat sedikitpun.
Sebagaimana keadaan orang-orang kafir tatkala kematian datang menjemput:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Wahai Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS. al-Mukminun: 99-100)

Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan wasiat,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ
“Ada 2 nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengannya yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari no. 6412)
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam pernah memberikan wasiat kepada seorang pemuda, “Gunakanlah 5 kesempatan sebelum datangnya 5 penghalang: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang kemiskinanmu, waktu luangmu sebelum datang kesibukanmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. al-Hakim no. 7846, Shahihul Jami’ no. 1077)

Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam juga pernah berwasiat,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سِتًّا: طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، أَوِ الدُّخَانَ، أَوِ الدَّجَّالَ، أَوِ الدَّابَّةَ، أَوْ خَاصَّةَ أَحَدِكُمْ أَوْ أَمْرَ الْعَامَّةِ
“Bersegeralah beramal sebelum datangnya 6 perkara: terbitnya matahari dari arah barat, munculnya asap, munculnya hewan yang bisa berbicara, kematian dan hari kiamat.” (HR. Muslim no. 2947)

Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah berkata, “Apabila matahari telah terbit dari barat maka para malaikat akan menutup buku-buku catatannya dan meletakkan pena-penanya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 390)

Sa’id bin Jubair Rahimahullah berkata, “Setiap hari dari kehidupan seorang mukmin maka itu adalah keuntungan baginya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, juz 2, hal. 391)
Asy-Syaikh al-’Utsaimin Rahimahullah berkata, “Sepantasnya bagi seorang yang berakal, selama dia masih hidup dan diberi kesehatan hendaklah bersemangat untuk beramal sebelum kematian datang menjemput maka akan terputuslah amalannya.” (Lihat Syarh al-’Arbai’in lil ‘Utsaimin hal. 393)
Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : 
http://buletin-alilmu.net/2014/04/24/wasiat-berharga-untuk-setiap-muslim/

Tidak Ada Paksaan Dalam Beragama, Bukan Legalisasi Kebebasan Beragama


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Tidak ada paksaan untuk beragama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 256)
Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Memeluk agama Islam berarti memilih jalan hidup yang benar, yang dapat mengantarkan kepada kehidupan bahagia, di dunia dan akhirat. Tidak ada satu pun agama yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala Pemilik alam semesta ini kecuali agama Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Agama apapun selain Islam, maka pemeluknya adalah orang-orang yang terjatuh dalam kekufuran di dunia ini, sebelum akhirnya di akhirat nanti ia akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam dan kekal di dalamnya. Itulah kerugian yang nyata sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya),
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Tentu, agama Islam yang dimaksud di sini adalah agama Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul terakhir yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi. Siapapun yang enggan menyambut seruan dakwah beliau, kemudian mengingkari risalah dan ajaran beliau, maka ia termasuk orang-orang yang terancam sebagai penghuni neraka selama-lamanya. Walaupun seseorang mengaku pengikut ajaran Nabi Musa maupun Nabi Isa ‘alaihimas salam dan mengimani dua rasul yang mulia tersebut, maka keimanannya tidaklah bermanfaat kalau ia tidak beriman terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memeluk agama Islam yang beliau serukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya (Demi Allah), tidaklah ada seorang pun di kalangan umat manusia ini, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang (risalah kenabian)ku, kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku diutus dengannya (risalah agama Islam), kecuali ia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153)
Maksud hadits ini adalah bahwa siapapun di kalangan umat manusia ini, baik orang-orang Yahudi (yang mengaku beriman kepada Nabi Musa ‘alaihis salam) maupun orang-orang Nasrani (yang mengaku beriman kepada Nabi Isa ‘alaihis salam), ketika mendengar serta mengetahui tentang kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mendengar pula dakwah dan seruan Islam, kalau ternyata mereka tidak mau masuk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah orang-orang kafir yang pasti akan menjadi penghuni neraka karena mereka mati dalam keadaan berada di atas kekafiran.
Inilah yang harus diyakini oleh setiap muslim. Kebenaran mutlak ada pada agama Islam yang ia peluk. Jangan ada sedikit pun keraguan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Salah Memahami Ayat ke-256 Surah Al-Baqarah
Musuh-musuh Islam senantiasa berupaya memurtadkan umat Islam dari agamanya. Kalau tidak mampu mengajak seorang muslim menjadi nonmuslim (murtad), minimalnya dapat menanamkan keraguan pada umat Islam tentang agamanya. Mereka tebarkan di tengah-tengah umat ini pemikiran dan pemahaman bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar, setiap orang bebas memilih dan memeluk agama apapun tanpa ada paksaan, bahkan Islam membebaskan bagi siapa saja untuk tidak beragama.
Mereka melakukan perbuatan jahat itu bukan tanpa dalil. Ayat ke-256 surah Al-Baqarah mereka comot sebagai senjata untuk menebarkan pemikiran yang menyimpang tersebut. Akibatnya, tidak sedikit dari umat Islam yang salah dalam memahami ayat di atas, sehingga terjebak dalam lumpur hitam pluralisme agama, yaitu suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di dalamnya. (Lihat Keputusan Fatwa MUI no. 7/MUNAS VII/MUI/II/2005)
Benarkah Ayat ke-256 Surah Al-Baqarah Menjamin Kebebasan Beragama?
Tentu jawabannya tidak. Ini jika kebebasan beragama di sini mengandung makna bahwa setiap orang bebas memeluk agama yang diingini karena semua agama sama dan semua pemeluknya akan masuk surga.
Kemudian bagaimana dengan ayat di atas? Bukankah tidak adanya paksaan dalam beragama Islam, berarti seseorang bebas memilih agama yang dikehendaki dan selain Islam juga sebagai agama yang sah?
Para pembaca rahimakumullah, bagaimanakah sesungguhnya penjelasan ulama ahli tafsir tentang ayat di atas?
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Tidak ada paksaan untuk beragama (Islam)” bermakna janganlah kalian memaksa seorangpun untuk memeluk agama Islam karena agama Islam ini telah jelas tanda dan bukti (kebenaran)nya, sehingga tidak perlu bagi seseorang untuk dipaksa memeluknya. Orang yang diberi hidayah oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk memeluk agama Islam, dilapangkan dadanya, dan dicerahkan pandangannya, maka ia akan memeluknya dengan ilmu yang nyata. Namun, orang yang hatinya dibutakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, pendengaran dan pandangannya telah ditutup oleh-Nya subhanahu wa ta’ala, maka tidak ada manfaat baginya memasuki agama Islam ini dalam keadaan terpaksa. (Tafsir Ibnu Katsir).
Penafsiran semakna juga diungkapkan oleh al-Imam Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam karena memang (dalam memeluk Islam ini) tidak perlu pemaksaan, karena pemaksaan itu biasanya tidak terjadi kecuali pada perkara yang samar dan tersembunyi tanda-tandanya atau pada perkara yang dibenci. Adapun agama (Islam) yang lurus ini telah jelas sekali tanda-tanda (kebenaran)nya. Telah diketahui pula jalan yang benar dan jalan yang sesat. (Diringkas dari Taisirul Karimirrahman).
Dari penjelasan dua ulama ahli tafsir di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama Islam ini dilatarbelakangi oleh dua hal:
Pertama, bahwa Islam tidak mengajarkan dan bahkan melarang pemeluknya memaksa orang nonmuslim untuk masuk agama Islam karena telah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat. Jalan yang benar adalah Islam, dan jalan yang sesat adalah selain Islam. Sehingga dalam memilih jalan Islam yang benar ini tidak perlu pemaksaan.
Sama halnya, ketika sudah jelas mana yang madu dan mana yang racun, maka tidak perlu memaksa seseorang untuk memilih madu. Bukan suatu tindakan yang bijak manakala seseorang memaksa orang lain untuk memilih satu di antara dua minuman yang disodorkan kepadanya itu, sementara orang tadi sudah tahu mana minuman yang akan memberikan manfaat dan keselamatan, dan mana minuman yang akan membinasakannya. Ya, tidak ada paksaan atas seseorang untuk memilih segelas madu, karena sudah demikian jelasnya antara madu dan racun, serta akibat dari mengonsumsi masing-masing jenis minuman tersebut. Silakan memilih minuman yang diinginkan, namun akibatnya akan ditanggung sendiri.
Ketika seseorang memilih jalan yang benar, pasti ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat. Demikian sebaliknya bagi orang yang memilih jalan yang sesat. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri telah memberikan pilihan kepada hamba-hamba-Nya apakah ingin menjadi mukmin ataukah kafir, namun tentu pilihan tersebut mengandung konsekuensi sebagaimana disebutkan dalam ayat-Nya (artinya),
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb kalian, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.” (Al-Kahfi: 29)
Orang kafir, termasuk orang zalim yang terkena ancaman dalam ayat di atas. Silakan memilih kekafiran, namun azab Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan dirasakan.
Kedua, istilah pemaksaan itu biasanya digunakan pada sesuatu yang tidak disukai. Sementara, Islam menghendaki pelakunya benar-benar lapang dada dan tulus ketika memeluk agama ini. Dengan itu ia benar-benar siap untuk berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta tunduk dalam menjalankan syariat dan hukum-Nya.
Berbeda dengan orang yang memeluk Islam dengan terpaksa. Pasti ia akan merasa keberatan dan cenderung tidak menerima hukum dan syariat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan. Maka ia akan enggan menerapkan aturan dan norma agama yang telah digariskan dalam Islam. Orang yang seperti ini tidak akan membawa manfaat sama sekali, baik bagi dirinya sendiri terlebih lagi bagi umat Islam.
Catatan Sejarah
Sejarah mencatat bahwa masuk Islamnya generasi pertama umat ini (para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak dengan paksaan. Shahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para shahabat yang lain dengan lapang dada menerima Islam karena mereka melihat kebenaran padanya dan kebatilan pada agama yang sebelumnya mereka anut. Mereka masuk ke dalam agama Islam karena hidayah Allah subhanahu wa ta’ala, bukan karena paksaan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan, peperangan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, bukan dalam rangka memaksa musuh agar masuk Islam, akan tetapi karena musuhlah yang terlebih dahulu memerangi umat Islam.
Demikian pula ketika umat ini dipimpin oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada di antara rakyatnya yang bukan muslim. Namun mereka tetap memiliki hak hidup di wilayah kaum muslimin dengan membayar jizyah (semacam upeti) sebagai bentuk jaminan perlindungan terhadap mereka. Tidak pernah disebutkan dalam catatan sejarah bahwa para khalifah tersebut memaksa mereka untuk memeluk agama Islam.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah

Sumber :