Jumat, 10 Februari 2017

Mitos Valentine Day

14 Februari, adalah tanggal yang telah lekat dengan kehidupan muda-mudi kita. Hari yang lazim disebut Valentine Day ini, konon adalah momen berbagi, mencurahkan segenap kasih sayang kepada “pasangan”-nya masing-masing dengan memberi hadiah berupa coklat, permen, mawar, dan lainnya. Seakan tak terkecuali, remaja Islam pun turut larut dalam ritus tahunan ini, meski tak pernah tahu bagaimana akar sejarah perayaan ini bermula.

Sesungguhnya Allah l telah memilih Islam sebagai agama bagi kita, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Allah Subhanahu wa ta'ala juga menyatakan bahwa Dia tidak menerima dari seorang pun agama selain Islam. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Nabi Shalallohu alaihi wa sallam juga bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorangpun yang mendengar tentang aku, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”

Semua agama yang ada di masa ini –selain Islam– adalah agama yang batil. Tidak bisa menjadi (jalan) pendekatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala . Bahkan bagi seorang hamba, agama-agama itu tidaklah menambah kecuali kejauhan dari-Nya, sesuai dengan kesesatan yang ada padanya.

Telah lama, tersebar suatu fenomena –yang menyedihkan– di kalangan banyak pemuda-pemudi Islam. Fenomena ini merupakan bentuk nyata sikap taqlid (membebek) terhadap kaum Nasrani, yaitu Hari Kasih Sayang (Valentine Day). Berikut ini secara ringkas akan dipaparkan asal-muasal perayaan tersebut, perkembangannya, tujuan serta bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapinya.

Asal Muasal
Perayaan ini termasuk salah satu hari raya bangsa Romawi paganis (penyembah berhala), di mana penyembahan berhala adalah agama mereka semenjak lebih dari 17 abad silam. Perayaan ini merupakan ungkapan –dalam agama paganis Romawi– kecintaan terhadap sesembahan mereka.

Perayaan ini memiliki akar sejarah berupa beberapa kisah yang turun-temurun pada bangsa Romawi dan kaum Nasrani pewaris mereka. Kisah yang paling masyhur tentang asal-muasalnya adalah bahwa bangsa Romawi dahulu meyakini bahwa Romulus –pendiri kota Roma– disusui oleh seekor serigala betina, sehingga serigala itu memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Bangsa Romawi memperingati peristiwa ini pada pertengahan bulan Februari setiap tahun dengan peringatan yang megah. Di antara ritualnya adalah menyembelih seekor anjing dan kambing betina, lalu dilumurkan darahnya kepada dua pemuda yang kuat fisiknya. Kemudian keduanya mencuci darah itu dengan susu. Setelah itu dimulailah pawai besar dengan kedua pemuda tadi di depan rombongan. Keduanya membawa dua potong kulit yang mereka gunakan untuk melumuri segala sesuatu yang mereka jumpai. Para wanita Romawi sengaja menghadap kepada lumuran itu dengan senang hati, karena meyakini dengan itu mereka akan dikaruniai kesuburan dan melahirkan dengan mudah.

Apa Hubungan St. Valentine dengan Perayaan Ini?

Versi I: Disebutkan bahwa St. Valentine adalah seorang yang mati di Roma ketika disiksa oleh Kaisar Claudius sekitar tahun 296 M. Di tempat terbunuhnya di Roma, dibangun sebuah gereja pada tahun 350 M untuk mengenangnya.

Ketika bangsa Romawi memeluk Nasrani, mereka tetap memperingati Hari Kasih Sayang. Hanya saja mereka mengubahnya dari makna kecintaan kepada sesembahan mereka, kepada pemahaman lain yang mereka istilahkan sebagai martir kasih sayang, yakni St. Valentine, sang penyeru kasih sayang dan perdamaian, yang –menurut mereka– mati syahid pada jalan itu.

Di antara aqidah batil mereka pada hari tersebut, dituliskan nama-nama pemudi yang memasuki usia nikah pada selembar kertas kecil, lalu diletakkan pada talam di atas lemari buku. Lalu diundanglah para pemuda yang ingin menikah untuk mengambil salah satu kertas itu. Kemudian sang pemuda akan menemani si wanita pemilik nama yang tertulis di kertas (yang diambilnya) selama setahun. Keduanya saling menguji perilaku masing-masing, baru kemudian mereka menikah. Bila tidak cocok, mereka mengulangi hal yang serupa tahun mendatang.

Para pemuka agama Nasrani menentang sikap membebek ini, dan menganggapnya sebagai perusak akhlak para pemuda dan pemudi. Maka perayaan ini pun dilarang di Italia. Dan tidak diketahui kapan perayaan ini dihidupkan kembali.

Versi II: Bangsa Romawi di masa paganis dahulu merayakan sebuah hari raya yang disebut hari raya Lupercalia1. Ini adalah hari raya yang sama seperti pada kisah versi I di atas. Pada hari itu, mereka mempersembahkan qurban bagi sesembahan mereka selain Allah  Subhanahu wa ta'ala . Mereka meyakini bahwa berhala-berhala itu mampu menjaga mereka dari keburukan dan menjaga binatang gembalaan mereka dari serigala.

Ketika bangsa Romawi memeluk agama Nasrani, dan Kaisar Claudius II berkuasa pada abad ketiga, dia melarang tentaranya menikah. Karena menikah akan menyibukkan mereka dari peperangan yang mereka jalani. Maka St. Valentine menentang peraturan ini, dan dia menikahkan tentara secara diam-diam. Kaisar lalu mengetahuinya dan memenjarakannya, sebelum kemudian dia dihukum mati.

Versi III: Kaisar Claudius II adalah penyembah berhala, sedangkan Valentine adalah penyeru agama Nasrani. Sang Kaisar berusaha mengeluarkannya dari agama Nasrani dan mengembalikannya kepada agama paganis Romawi. Namun Valentine tetap teguh memeluk agama Nasrani, dan dia dibunuh karenanya pada 14 Februari 270 M, malam hari raya paganis Romawi: Lupercalia.

Ketika bangsa Romawi memeluk Nasrani, mereka tetap melakukan perayaan paganis Lupercalia, hanya saja mereka mengaitkannya dengan hari terbunuhnya Valentine untuk mengenangnya.

Syi’ar Perayaan Hari Kasih Sayang

1. Menampakkan kegembiraan dan kesenangan.
2. Saling memberi mawar merah, sebagai ungkapan cinta, yang dalam budaya Romawi paganis merupakan bentuk cinta kepada sesembahan kepada selain Allah  Subhanahu wa ta'ala

3. Menyebarkan kartu ucapan selamat hari raya tersebut. Pada sebagiannya terdapat gambar Cupid, seorang anak kecil dengan dua sayap membawa busur dan panah. Cupid adalah dewa cinta erotis dalam mitologi Romawi paganis. Maha Tinggi Allah dari kedustaan dan kesyirikan mereka dengan ketinggian yang besar.

4. Saling memberi ucapan kasih sayang, rindu, dan cinta dalam kartu ucapan yang saling mereka kirim.

5. Di banyak negeri Nasrani diadakan perayaan pada siang hari, dilanjutkan begadang sambil berdansa, bercampur baur lelaki dan perempuan.

Beberapa versi kisah yang disebutkan seputar perayaan ini dan simbolnya, St. Valentine, bisa memberikan pencerahan kepada orang berakal. Terlebih lagi seorang muslim yang mentauhidkan Allah l. Pemaparan di atas menjelaskan hakikat perayaan ini kepada kaum muslimin yang tidak tahu dan tertipu, kemudian ikut merayakannya. Mereka hakikatnya meniru umat Nasrani yang sesat, dan mengambil segala yang datang dari Barat, Nasrani, lagi atheis.

Renungan

Barangsiapa yang membaca kisah yang telah disebutkan seputar perayaan paganis ini, akan jelas baginya hal-hal berikut:

1. Asalnya adalah aqidah paganis (penyembahan berhala) kaum Romawi, untuk mengungkapkan rasa cinta kepada berhala yang mereka ibadahi selain Allah l. Barangsiapa yang merayakannya, berarti dia merayakan momen pengagungan dan penyembahan berhala. Padahal Allah l telah mengingatkan kita dari perbuatan syirik:

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (Az-Zumar: 65-66)

Allah l juga menyatakan melalui lisan ‘Isa Alaihissalam:

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun.” (Al-Ma`idah: 72)

Dan seorang muslim wajib berhati-hati dari syirik dan segala yang akan mengantarkan kepada syirik.

2. Awal mula perayaan ini di kalangan bangsa Romawi paganis terkait dengan kisah dan khurafat yang tidak bisa diterima akal sehat, apalagi akal seorang muslim yang beriman kepada Allah l dan para rasul-Nya.

Pada satu versi, disebutkan bahwa seekor serigala betina menyusui Romulus pendiri kota Roma, sehingga memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Ini menyelisihi aqidah seorang muslim, bahwa yang memberikan kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran hanyalah Allah , Dzat Maha Pencipta, bukan air susu serigala. Dalam versi lain, pada perayaan itu kaum Romawi paganis mempersembahkan qurban untuk berhala sesembahan mereka, dengan keyakinan bahwa berhala-berhala itu mampu mencegah terjadinya keburukan dari mereka dan mampu melindungi binatang gembalaan mereka dari serigala. Padahal, akal yang sehat mengetahui bahwa berhala tidaklah dapat menimpakan kemudaratan, tidak pula bisa memberikan suatu kemanfaatan.

Bagaimana mungkin seorang berakal mau ikut merayakan perayaan seperti ini? Terlebih lagi seorang muslim yang Allah l telah menganugerahkan agama yang sempurna dan aqidah yang lurus ini kepadanya.

3. Di antara syi’ar jelek perayaan ini adalah menyembelih anjing dan domba betina, lalu darahnya dilumurkan kepada dua orang pemuda, kemudian darah itu dicuci dengan susu, dst. Orang yang berfitrah lurus tentu akan menjauh dari hal yang seperti ini. Akal yang sehat pun tidak bisa menerimanya.

4. Keterkaitan St. Valentine dengan perayaan ini diperselisihkan, juga dalam hal sebab dan kisahnya. Bahkan, sebagian literatur meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi. Sehingga pantas bagi kaum Nasrani untuk tidak mengakui perayaan paganis ini yang mereka tiru dari bangsa Romawi paganis. Terlebih lagi keterkaitan perayaan ini dengan salah satu santo (orang-orang suci dalam khazanah Nasrani, ed.) mereka, masih diragukan. Bila merayakannya teranggap sebagai aib bagi kaum Nasrani, yang telah mengganti-ganti agama mereka dan mengubah kitab mereka, tentu lebih tercela bila seorang muslim yang ikut merayakannya. Dan bila benar bahwa perayaan ini terkait dengan terbunuhnya St. Valentine karena mempertahankan agama Nasrani, maka apa hubungan kaum muslimin dengan St. Valentine?

5. Para pemuka Nasrani telah menentang perayaan ini karena timbulnya kerusakan akhlak pemuda dan pemudi akibat perayaan ini, maka dilaranglah perayaan ini di Italia, pusat Katholik. Lalu perayaan ini muncul kembali dan tersebar di Eropa. Dari sanalah menular ke negeri kaum muslimin. Bila pemuka Nasrani –pada masa mereka– mengingkari perayaan ini, maka wajib bagi para ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikatnya dan hukum merayakannya. Sebagaimana wajib bagi kaum muslimin yang awam untuk mengingkari dan tidak menerimanya, sekaligus mengingkari orang yang ikut merayakannya atau menularkannya kepada kaum muslimin.

Mengapa Kaum Muslimin Tidak Boleh Merayakannya?

Sebagian kaum muslimin yang ikut merayakannya mengatakan bahwa Islam juga mengajak kepada kecintaan dan kedamaian. Dan Hari Kasih Sayang adalah saat yang tepat untuk menyebarkan rasa cinta di antara kaum muslimin. Sehingga, apa yang menghalangi untuk merayakannya?

Jawaban terhadap pernyataan ini dari beberapa sisi:

Subhanahu wa ta'ala

1. Hari raya dalam Islam adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah l. Hari raya merupakan salah satu syi’ar agama yang agung. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hari raya kecuali hari Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adh-ha. Perkara ibadah harus ada dalilnya. Tidak bisa seseorang membuat hari raya sendiri, yang tidak disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya n.

Berdasarkan hal ini, perayaan Hari Kasih Sayang ataupun selainnya yang diada-adakan, adalah perbuatan mengada-adakan (bid’ah) dalam agama, menambahi syariat, dan bentuk koreksi terhadap Allah l, Dzat yang telah menetapkan syariat.

2. Perayaan Hari Kasih Sayang merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) bangsa Romawi paganis, juga menyerupai kaum Nasrani yang meniru mereka, padahal ini tidak termasuk (amalan) agama mereka.

Ketika seorang muslim dilarang menyerupai kaum Nasrani dalam hal yang memang termasuk agama mereka, maka bagaimana dengan hal-hal yang mereka ada-adakan dan mereka menirunya dari para penyembah berhala?

Seorang muslim dilarang menyerupai orang-orang kafir –baik penyembah berhala ataupun ahli kitab– baik dalam hal aqidah dan ibadah, maupun dalam adat yang menjadi kebiasaan, akhlak, dan perilaku mereka. Allah l berfirman:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)

Nabi Shallallohu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, 3/50, dan Abu Dawud, no. 5021)

Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam perkara agama mereka –di antaranya adalah Hari Kasih Sayang– lebih berbahaya daripada menyerupai mereka dalam hal pakaian, adat, atau perilaku. Karena agama mereka tidak lepas dari tiga hal: yang diada-adakan, atau yang telah diubah, atau yang telah dihapuskan hukumnya (dengan datangnya Islam). Sehingga, tidak ada sesuatupun dari agama mereka yang bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah l.

3. Tujuan perayaan Hari Kasih Sayang pada masa ini adalah menyebarkan kasih sayang di antara manusia seluruhnya, tanpa membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir. Hal ini menyelisihi agama Islam. Hak orang kafir yang harus ditunaikan kaum muslimin adalah bersikap adil dan tidak mendzaliminya. Dia juga berhak mendapatkan sikap baik –bila masih punya hubungan silaturahim– dengan syarat: tidak memerangi atau membantu memerangi kaum muslimin. Allah l berfirman:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Bersikap adil dan baik terhadap orang kafir tidaklah berkonsekuensi mencintai dan berkasih sayang dengan mereka. Allah l bahkan memerintahkan untuk tidak berkasih sayang dengan orang kafir dalam firman-Nya:

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Sikap tasyabbuh akan melahirkan sikap kasih sayang, cinta dan loyalitas di dalam batin. Sebagaimana kecintaan yang ada di batin akan melahirkan sikap menyerupai.” (Al-Iqtidha`, 1/490)

4. Kasih sayang yang dimaksud dalam perayaan ini semenjak dihidupkan oleh kaum Nasrani adalah cinta, rindu, dan kasmaran, di luar hubungan pernikahan. Buahnya, tersebarnya zina dan kekejian, yang karenanya pemuka agama Nasrani –pada waktu itu– menentang dan melarangnya.

Kebanyakan pemuda muslimin merayakannya karena menuruti syahwat, dan bukan karena keyakinan khurafat sebagaimana bangsa Romawi dan kaum Nasrani. Namun hal ini tetaplah tidak bisa menafikan adanya sikap tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam salah satu perkara agama mereka. Selain itu, seorang muslim tidak diperbolehkan menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, yang merupakan pintu menuju zina.

Sikap yang Seharusnya Ditempuh Seorang Muslim

1. Tidak ikut merayakannya, menyertai orang yang merayakannya, atau menghadirinya.

2. Tidak membantu/mendukung orang kafir dalam perayaan mereka, dengan memberikan hadiah, menyediakan peralatan untuk perayaan itu atau syi’ar-syi’arnya, atau meminjaminya.

3. Tidak membantu kaum muslimin yang ikut-ikutan merayakannya. Bahkan ia wajib mengingkari mereka, karena kaum muslimin yang merayakan hari raya orang kafir adalah perbuatan mungkar yang harus diingkari.

Dari sini, kaum muslimin tidak boleh pula menjual bingkisan (pernak-pernik) bertema Hari Kasih Sayang, baik pakaian tertentu, mawar merah, kartu ucapan selamat, atau lainnya. Karena memperjualbelikannya termasuk membantu kemungkaran. Sebagaimana juga tidak boleh bagi orang yang diberi hadiah Hari Kasih Sayang untuk menerimanya. Karena, menerimanya mengandung makna persetujuan terhadap perayaan ini.

4. Tidak memberikan ucapan selamat Hari Kasih Sayang, karena hari itu bukanlah hari raya kaum muslimin. Dan bila seorang muslim diberi ucapan selamat Hari Kasih Sayang, maka dia tidak boleh membalasnya.

5. Menjelaskan hakikat perayaan ini dan hari-hari raya orang kafir yang semisalnya, kepada kaum muslimin yang tertipu dengannya.

(Diringkas dari makalah ‘Idul Hubb, Qishshatuhu, Sya’airuhu, Hukmuhu, karya Ibrahim bin Muhammad Al-Haqil)

1 Adalah upacara ritual kesuburan yang dipersembahkan kepada Lupercus (dewa kesuburan, dewa padang rumput, dan pelindung ternak) dan Faunus (dewa alam dan pemberi wahyu). Pada tahun 494 M, Dewan Gereja di bawah pimpinan Paus Gelasius I mengubah ritual tersebut menjadi perayaan purifikasi (penyucian diri). Dua tahun kemudian, Paus Gelasius I mengubah tanggal perayaan, dari tanggal 15 menjadi 14 Februari. (red)

Sumber :
http://asysyariah.com/mitos-valentine-day/

Metode Selamat (Bag.1)

 Oleh : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed hafidzahulloh

Metode salaf, ahlus sunnah wal jama’ah dalam memahami agama ini sangat tepat dan selamat dari berbagai macam penyimpangan.

* Dalam masalah Tauhid
Mereka, para ulama ahlus sunnah selalu mementingkan tauhid dan menjelaskan bahwa tauhid لا اله إلا الله bermakna “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah” (uluhiyyah), sebagaimana terkandung dalam ayat :

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا… النساء: 36
Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun… (an-Nisaa’: 36)

Dengan prinsip ini, mereka selamat dari kekafiran atheisme yang tidak bertuhan dan selamat pula dari paganisme yang bertuhan banyak.

* Dalam masalah Asma’ wa Sifat
Mereka, para ulama ash-habul hadits (ahlus sunnah) tidak berani berbicara tentang sifat-sifat Allah kecuali apa yang telah dikatakan oleh Allah dalam al-Qur’an dan apa-apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih. Mereka tidak berani pula menarik maknanya kepada makna lain selain apa yang terdapat pada teksnya. Karena masalah sifat-sifat Allah adalah ghaib, tidak ada seorang pun yang dapat menebak-nebak atau memikirkan dzat Allah.

لَّهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. الأعراف: 180
Hanya milik Allahlah asma’ul husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (al-A’raaf: 180)
Mereka tidak berani pula membayangkan seperti apa atau bagaimananya.
Maka di samping mereka selamat agamanya, juga selamat akalnya. Orang-orang yang mencari-cari sendiri tentang dzat Allah akan tersesat agamanya dan orang yang membayangkan seperti apa atau bagaimana Allah akan rusak akal-nya.

* Dalam masalah Ibadah
Mereka, para pengikut salafus shalih, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sunnah). Mereka tidak berani merubah-rubah, mengganti, mengurangi atau menambahi dari hasil pemikirannya sendiri. Sebagaimana para rasul memerintahkan kepada kaumnya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ. الشعراء: 144
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. (asy-Syu’araa: 144)
Yakni bertakwanya kepada Allah tetapi dengan mengikuti dan mentaati rasul-Nya. Maka tata cara ibadah menurut mereka sudah baku (tauqifiyyah) tidak bisa diubah-ubah.
Dengan demikian mereka selamat dari kebid’ahan-kebid’ahan (ajaran-ajaran baru) yang tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang pertama. Dan selamat pula dari kesesatan para pengingkar sunnah yang menciptakan agama baru.

[Insya Allah bersambung…]

Sumber :
Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 125/Th. III 22 Dzulhijjah 1427 H/12 Januari 2007 M

Amalan Tanpa Ilmu Laksana Fatamorgana

 Oleh : Al Ustadz Qomar Suaidi hafizhahulloh
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
“Orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi ‘air’ itu, dia tidak mendapati apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.”(an-Nur: 39—40)
Allah subhanahu wata’ala menyebutkan dua permisalan untuk orang-orang kafir, permisalan fatamorgana dan permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ini karena orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran itu ada dua macam. Salah satunya adalah seseorang yang mengira bahwa dirinya di atas suatu kebenaran, lalu menjadi jelas baginya saat terbukti hakikatnya berbeda dengan apa yang dia kira. Inilah kondisi orang-orang yang bodoh dan kondisi para pengikut bid’ah. Mereka mengira bahwa mereka berada di atas petunjuk dan ilmu.
Ketika hakikatnya tersingkap, menjadi jelas bagi mereka bahwa ternyata mereka tidak berada di atas petunjuk. Mereka juga tahu, keyakinan dan amal mereka yang berasal dari ilmu mereka, hanya fatamorgana yang berada di tanah datar, yang terlihat oleh mata yang memandangnya sebagai air padahal tiada nyatanya.
Demikian pula amalan-amalan yang bukan karena Allah subhanahu wata’ala dan tidak berlandaskan perintah-Nya. Si pelaku menyangkanya bermanfaat baginya, padahal tidak demikian. Amalan inilah yang dikatakan oleh Allah subhanahu wata’ala,
“Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)
Coba perhatikan, bagaimana Allah subhanahu wata’ala menjadikan fatamorgana itu di atas tanah yang datar lagi kosong, tidak ada bangunan, pepohonan, dan tumbuhan. Di situlah tempat terjadinya fatamorgana: tanah yang kosong, tidak ada sesuatu. Memang, fatamorgana itu sesuatu yang tidak ada nyatanya. Permisalan ini sesuai dengan amalan dan kalbu mereka yang kosong dari iman dan hidayah.
Perhatikanlah firman-Nya,
“Orang yang dahaga menyangkanya air….”
Artinya, ketika orang yang sangat dahaga melihat fatamorgana, mengiranya sebagai air sehingga ia mengejarnya. Tetapi, ternyata ia tidak mendapatkan apa-apa. Fatamorgana itu menipunya di saat ia sangat membutuhkan air. Demikian juga keadaan mereka. Ketika amal mereka bukan karena taat kepada Rasulshallallahu alaihi wasallam dan bukan karena Allah subhanahu wata’ala, amal mereka dijadikan laksana fatamorgana. Amalan itu akan ditampakkan kepada mereka saat mereka sangat kehausan dan sangat membutuhkannya, namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru mendapati Allah subhanahu wata’ala yang akan membalasi amal mereka dan akan memenuhi hisab mereka.
Dalam sebuah hadits tentang hari kiamat dalam kitab ash-Shahih, dari hadits sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“Lalu didatangkan Jahannam dan ditampakkan laksana fatamorgana. Dikatakan kepada Yahudi, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka mengatakan ‘Kami dahulu menyembah Uzair, putra Allah.’ Lantas dikatakan kepada mereka, ‘Kalian berdusta. Allah tidak memiliki istri dan anak, lantas apa yang kalian maukan sekarang?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau beri kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan di Jahannam. Kemudian dikatakan kepada orang-orang Nasrani, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah al-Masih, putra Allah.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian dusta. Allah subhanahu wata’ala tidak memiliki istri atau anak, lantas apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau memberi kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan….”
Inilah kondisi setiap pelaku kebatilan. “Kebaikan” mereka akan mengkhianati mereka saat mereka sangat membutuhkannya, karena kebatilan itu tidak ada nyatanya. Sama dengan namanya, batil (yang dalam bahasa Arab berarti ‘sesuatu yang akan lenyap’), jika sebuah keyakinan tidak sesuai dengan (tuntunan) dan tidak benar, yang terkait dengannya juga batil.
Demikian pula jika tujuan sebuah amalan itu batil, seperti beramal karena selain Allahsubhanahu wata’ala atau tidak di atas perintah-Nya, amalnya batil dengan sebab kebatilan tujuannya. Pelakunya akan merasa celaka karena sia-sianya amal tersebut. Ia justru akan mendapatkan kebalikan dari apa yang dia angan-angankan… Ia tersiksa dengan lenyapnya manfaat amalannya dan perolehan yang sebaliknya. Oleh karena itu, Allahsubhanahu wata’ala berfirman,
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur: 39)
Inilah permisalan seseorang yang dia mengira dirinya berada di atas petunjuk.
Macam yang kedua, adalah pemilik permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan petunjuk, namun lebih mengutamakan kegelapan kebatilan dan kesesatan daripada kebenaran tersebut. Akhirnya, menumpuklah kegelapan tabiatnya, kegelapan jiwanya, kegelapan kebodohannya, dan kegelapan kesesatan serta hawa nafsu, yang mereka tidak mengamalkan ilmu mereka sehingga mereka menjadi bodoh.
Keadaan mereka laksana seseorang yang berada di lautan yang dalam lagi tidak bertepi, sementara itu ombak meliputinya. Di atas ombak itu ada ombak lagi. Di atasnya lagi ada awan yang gelap. Jadilah ia berada di kegelapan lautan, kegelapan ombak, dan kegelapan awan. Ini seperti kegelapan yang ia berada padanya. Kegelapan yang Allah subhanahu wata’ala tidak mengeluarkannya darinya menuju cahaya iman.
Dua permisalan ini, permisalan fatamorgana yang dia kira sumber kehidupan, yaitu air, dan permisalan kegelapan-kegelapan yang berlawanan dengan cahaya, mirip dengan permisalan orang-orang munafik dan orang-orang mukmin, yaitu permisalan air dan api. Allah subhanahu wata’ala menjadikan bagian bagi mukminin dari keduanya adalah kehidupan dan cahayanya, sedangkan bagian untuk munafik adalah kegelapan yang merupakan lawan dari cahaya dan kematian yang merupakan lawan dari kehidupan.
Demikian juga orang-orang kafir dalam dua permisalan ini. Bagian mereka hanyalah fatamorgana yang menipu orang yang melihatnya—sesuatu yang tidak ada kenyataannya—dan bagian mereka adalah kegelapan-kegelapan yang berlapis-lapis.
Bisa jadi, maksud ayat ini adalah keadaan salah satu dari kelompok-kelompok orang kafir. Mereka kehilangan sumber kehidupan dan cahaya karena mereka berpaling dari wahyu. Oleh karena itu, dua permisalan ini adalah untuk satu golongan.
Namun, bisa jadi pula, maksudnya adalah macam-macam keadaan orang kafir. Permisalan pertama adalah mereka yang beramal tanpa ilmu, hanya dengan kebodohan dan baik sangka terhadap para pendahulu (nenek moyangnya). Mereka mengira telah berbuat baik. Adapun permisalan kedua adalah bagi yang lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk dan mendahulukan yang batil daripada yang haq. Mereka buta padahal sebelumnya melihatnya. Mereka pun mengingkari padahal sebelumnya mengetahui. Inilah keadaan orang-orang yang dimurkai. Adapun yang pertama adalah keadaan orang-orang yang sesat.

Sumber : 
http://asysyariah.com/amalan-tanpa-ilmu-laksana-fatamorgana/