Jumat, 29 April 2016

BILA KUBURAN DIAGUNGKAN (2)

Ditulis oleh : Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi

Bagi sebagian kaum muslimin, kuburan telah menjadi tempat yang istimewa. Bagaimana tidak, di sejumlah kuburan, terutama bila yang dikubur dianggap sebagai orang saleh dan kuburannya dianggap keramat, berduyun-duyun orang dari berbagai tempat datang untuk menyampaikan hajat kepadanya.
Kunjungan itu akan lebih ramai bila bertepatan dengan waktu yang dianggap sebagai “hari baik.” Bagaimana sebenarnya pandangan syariat terhadap masalah ini? Bolehkah kita meminta tolong kepada orang mati untuk menyampaikan hajat kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Bagaimana dengan perbuatan orang-orang yang berkunjung ke kuburan semata-mata untuk ziarah?
Prinsip kehidupan jahiliah merupakan prinsip yang menyebabkan kerusakan akal dan fitrah manusia. Oleh karena itu, kaum muslimin harus menjauhi prinsip-prinsip jahiliah itu dan berusaha mengembalikan kemerdekaan akalnya, kemudian digunakan untuk berpikir tentang sesuatu yang bisa mendatangkan maslahat bagi dirinya di dunia dan di akhirat.

Tentunya semua itu dilakukan dengan bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta melepaskan diri dari kungkungan prinsip-prinsip jahiliah yang membunuh kemerdekaan berpikir yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya.
Pembunuhan kemerdekaan berpikir itu bisa dalam bentuk perbudakan terhadap sesuatu yang tidak berakal seperti batu, pepohonan, kuburan, dan sebagainya. Akibatnya semua mashlahat hidup dan kemudaratannya harus digantungkan kepada benda-benda tersebut.

Bentuk-Bentuk Pemujaan Terhadap Kuburan

Bagi sebagian besar kaum muslimin di zaman sekarang, kuburan telah menjadi salah satu tempat yang paling sering dan paling banyak mendapat kunjungan. Mereka sering hilir mudik di kuburan tersebut, tak kalah ramai dengan tempat-tempat rekreasi dan hiburan. Bahkan terkadang kuburan itu lebih ramai daripada rumah-rumah Allah subhanahu wa ta’ala (masjid). Mereka datang dengan berbagai hajat dan tujuan.
kubur-keramat
Di antara mereka ada yang ingin lulus dalam ujian sekolah, ada yang ingin berhasil dalam cocok tanam dan perdagangan, ada yang ingin mencari berkah dan anak keturunan, dan ada pula yang berniat agar mendapatkan jodoh yang sesuai selera.
Di antara mereka juga ada yang bertujuan untuk memandikan jimat-jimat dan keris-keris pusaka, ada yang ingin kedudukannya tidak digoyang, bahkan ada di antara mereka yang mengucapkan nadzar bila telah berhasil dari sesuatu, akan keliling makam para wali yang dikunjunginya itu. Ada yang datang untuk menyucikan diri, bahkan ada yang memang berniat untuk beribadah yaitu hanya semata-mata ziarah.
Untuk keberlangsungan semua ini, setiap kuburan yang dianggap keramat dan memiliki kelebihan, dibangun dengan bangunan yang megah dan mahal yang nilainya, melebihi bangunan rumah orang yang meninggal itu semasa hidupnya. Setelah itu diangkat juru kunci sebagai pemandu setiap peziarah. Semua ini merupakan perkara yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pelakunya (yakni orang-orang yang suka mengagungkan kuburan). Terkadang beliau menyatakan, “Demikian besar murka Allah subhanahu wa ta’ala kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan mereka agar mendapatkan murka dari Allah subhanahu wa ta’ala karena apa yang mereka perbuat termasuk perbuatan maksiat. Yang demikian ini terdapat di dalam kitab-kitab Shahih. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (dengan keras) perbuatan tersebut, terkadang mengutus seseorang untuk menghancurkannya, terkadang menyebutkan bahwa hal itu termasuk dari perbuatan Yahudi dan Nasrani, terkadang beliau menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala.” Terkadang menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat ied.” Artinya menentukan waktu tertentu untuk berkumpul (di kuburan) sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para penyembah kubur. (Lihat Syarh ash-Shudur Bitahrim Raf’il Qubur hlm. 1)

Diantara bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan adalah:

Membuat bangunan di atasnya
Telah dibahas pada edisi sebelumnya tentang hukum membangun kuburan, yang pada kesimpulannya adalah diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meratakannya. Dalam riwayat al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Hayyaj al-Asadi radhiallahu ‘anhu ia berkata,

قَالَ لِي عَلِيٌّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رسول الله: أَنْ لَا تَدَعْ  تِمْثَالاً إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْراً مُشْرِفاً إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepadaku, ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku padanya? (Yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan’.”

Demikianlah pengajaran nabawi kepada Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu untuk menghancurkan segala wujud berhala dan segala yang akan mengantarkan kepadanya dalam rangka mengingkari kemungkaran. Ini menunjukkan haramnya membangun kuburan.

Berdoa padanya
Kita telah mengetahui bahwa doa adalah ibadah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau dari sahabat Abu Abdullah an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu,

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud no. 1479 dan at-Tirmidzi no. 2973 dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu)

Kalau doa itu merupakan sebuah ibadah berarti kita harus mengamalkannya di atas dua persyaratan.

Pertama: Mempersembahkan doa tersebut hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua: Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Apakah berdoa di kuburan telah memenuhi kedua syarat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui bentuk-bentuk doa di kuburan.

Berdoa Kepada Allah subhanahu wa ta’ala di Kuburan

Berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala di kuburan merupakan perbuatan yang banyak dilakukan oleh para pengagung kuburan. Hal ini mereka lakukan disertai keyakinan tertentu seperti bahwa tempat tersebut memiliki berkah, lebih-lebih kuburan para nabi dan wali. Juga berkeyakinan akan mendatangkan kekhusyukan dan cepat untuk terkabulkan.
makam-keramat-cinunuk-garut
Adanya kepercayaan-kepercayaan seperti ini telah banyak mengundang kaum muslimin untuk berdoa di sisi kuburan. Tentu perbuatan ini adalah batil karena menentukan tempat peribadatan yang tidak pernah ditentukan oleh syariat termasuk dalam sebutan mengada-ada (bid’ah). Begitu juga para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal demikian di sisi kubur imam para nabi dan rasul yaitu kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan kami yang tidak pernah datang dalam urusan tersebut maka hal itu tertolak.” ( HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)

Al-Imam Malik rahimahullah menyatakan sebagaimana yang telah dinukilkan oleh Ibnu Majisyun, “Barang siapa yang mengada-ada di dalam Islam sebuah kebid’ahan dan dia menganggap hal itu sebagai sebuah kebaikan, maka sungguh dia telah menuduh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian,’ maka segala sesuatu yang di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebagai agama, pada hari ini juga bukan sebagai agama.” (al-I’tisham, 1/49)
Berbeda dengan berdoa untuk orang yang meninggal, maka perbuatan ini ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sengaja Berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan Perantara Penghuni Kuburan
Perbuatan ini di dalam agama dinamakan tawassul. Istilah tawassul adalah istilah yang masyhur di kalangan kaum muslimin dan istilah ini telah meng-indonesia.

Tawassul memiliki makna : Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan segala apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Para ulama telah membagi tawassul dalam dua bentuk dan kedua bentuk tersebut memiliki bagian-bagian yang banyak.

Tawassul yang disyariatkan[1]
Tawassul yang tidak disyariatkan
Tawassul yang disyariatkan jelas nash-nashnya di dalam Al-Qur’an seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣٥
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (al-Maidah: 35)

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا ٥٧
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang harus ditakuti.” (al-Isra: 57)

Lalu, bertawassul dengan orang yang meninggal termasuk dalam bagian yang? Untuk menjawab pertanyaan ini harus ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama: Segala akibat ada sebabnya. Yang menciptakan dan menentukan sebab akibat adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Menjadikan suatu sebab yang tidak dijadikan sebab oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam syariat termasuk syirik kecil. Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai sebab dan perantara yang akan menyampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala termasuk di dalam bab ini. Berdasarkan sisi ini berarti perbuatan tawasul dengan orang yang telah mati termasuk dari syirik kecil.

Kedua: Jika perbuatan ini benar, niscaya tidak akan ditinggal oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kuburan imam para Rasul yaitu Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tentu akan berlomba-lomba untuk melakukannya dan tentu akan teriwayatkan dari mereka setelah itu. Berdasarkan sisi ini jelas bahwa perbuatan ini diada-adakan, termasuk perkara baru dan merupakan satu kebid’ahan di dalam agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka dia tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
(Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Fauzan, at-Tawassul hukumnya dan pembahasannya dari kumpulan-kumpulan fatwa asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)
(Jika tawassul itu sampai meminta-minta kepada ahli kubur itu sendiri, maka ini termasuk syirik besar sebagaimana pembahasan berikut, –red)

Berdoa Kepada Penghuni Kuburan
Perbuatan ini termasuk dari syirik besar kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan pelakunya mendapat ancaman-ancaman yang pedih dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا ١٨
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorang pun bersama Allah.” (al-Jin: 18)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menerangkan ayat ini, “Tidak doa ibadah ataupun doa masalah (yakni tidak boleh berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik doa ibadah maupun doa masalah), karena masjid-masjid yang merupakan tempat yang paling mulia untuk beribadah harus dibangun di atas keikhlasan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketundukan kepada keagungan-Nya dan tenteram dengan kemuliaan-Nya.” (Tafsir as- Sa’di, hlm. 990)
Di antara ancaman-ancaman yang pedih itu ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki- Nya.” (an-Nisa: 48)

وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٨٨
“Dan jika mereka menyekutukan Allah niscaya akan terlepas dari mereka apa-apa yang mereka telah kerjakan.” (al-An’am: 88)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَقِيَ اللهَ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ
“Barang siapa berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dia akan masuk ke dalam jannah dan barang siapa berjumpa dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan Allah, dia masuk ke dalam an-nar.” (HR. Muslim no. 93 dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma)

Ziarah ke Kuburan

Ziarah kubur disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Tentunya dengan syarat jangan sekali-kali dia mengucapkan di sisi kuburan sesuatu yang dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّي كُنْتٌ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا، ]فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ [، ]وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَا خَيراً[، ]فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا[
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah [karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat][2] [dan akan menambah kebaikan bagi kalian dengan menziarahinya][3] [maka barang siapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujran’ (ucapan-ucapan batil)][4].” (HR. Muslim dari sahabat Buraidah bin Hushaib radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya dan untuk bisa mengambil pelajaran. Apabila kosong dari ini maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Subulus Salam, 2/162)

Berbicara realita yang terjadi sekarang, sebagian—bahkan tidak berlebihan jika dikatakan mayoritas—kaum muslimin, telah keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh syariat dengan beberapa alasan:

Pertama: Menentukan waktu tertentu dan makam tertentu untuk tempat berziarah. Hal ini tidak mungkin dilakukan melainkan ada keyakinan yang lebih terhadap waktu dan makam tersebut. Ini dibuktikan dengan hal-hal yang dilakukan di makam tersebut seperti mencukur rambut anak, memandikan anak, membawa bunga-bunga, berzikir di sisi kuburan tersebut, tawassul dengannya, bahkan meminta segala bentuk hajat.

Kedua: Mempersiapkan perbekalan yang besar untuk melakukan ziarah dengan beraneka ragam makanan dan buah-buahan serta kurban.

Ketiga: Melakukan perkara-perkara yang haram seperti campur baur antara laki-laki dan perempuan, bahkan membawa pasangannya yang tentu saja mengakibatkan hilangnya hikmah ziarah itu sendiri yaitu mengingat akhirat dan bisa mengambil pelajaran darinya. (Bahkan ada yang mensyaratkan harus berbuat zina demi terkabulnya permohonannya, –red)

Keempat: Dilakukan berbagai macam penyembahan, ada yang dalam bentuk meminta kepada penghuninya, bernadzar berkurban untuknya dan sebagainya.
makam-sayyid-jumadil-kubro
Apakah ziarah kubur dianjurkan secara mutlak atau dilarang secara mutlak?

Jawabnya: Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:

Ziarah yang disyariatkan

Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:

Pertama: Tidak mengadakan safar (bepergian) untuk berziarah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَشُدُوا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَ ثَالَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ
الْأَقْص
“Jangan kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid al-Haram, dan Masjid al- Aqsha.” (HR. al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415, dan datang dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Dahulu kami telah melarang kalian dari menziarahi kubur. Barang siapa ingin menziarahi kubur, lakukanlah dan jangan mengucapkan hujran.” (HR. an-Nasai no. 100 dari sahabat Buraidah radhiallahu ‘anhu dan asalnya di dalam riwayat Muslim) Ibnul Atsir rahimahullah di dalam kitab an-Nihayah (5/240) mengatakan, “Al-Hujra dengan di-dhammahkan huruf ha, artinya ‘ucapan keji’.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushabi hafizhahullah mengatakan, “Lihatlah—semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatimu—bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan dan apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru (berdoa) kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala?” (al-Qaulul Mufid, hlm. 193)
Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.

Ziarah Bid’ah Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.
Ziarah Syirik Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernazar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.[5]

Dari pembagian ketiga jenis ini, bisa kita ukur dan nilai, masuk kategori mana ziarah yang dilakukan mayoritas muslimin di makam-makam terkenal di seluruh pelosok tanah air ini. Ziarah ini telah menjadi rutinitas kalangan tertentu meski dengan hajat yang berbeda. Tidak ada satu kuburan pun yang terkenal dan memiliki nilai sejarah dalam kehidupan nenek moyang kecuali setiap waktu dibanjiri oleh para peziarah. Seakanakan ia bagai Baitullah al-Haram di Tanah Suci Makkah. Dari yang tingkatan rendah dalam dunia dan agama, hingga yang memiliki kedudukan tinggi.
Akankah semua ini berakhir? Dan di manakah para da’i penyeru kepada kebenaran? Dari kebenaran mereka jauh dan dari kemungkaran mereka diam. Tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan dan ini adalah sebagian kecil daripadanya, semoga mewakili yang lain.

Dari semuanya ini tergambar:
- Betapa jauhnya muslimin dari akidah yang benar.
- Jauhnya mereka dari syariat Allah subhanahu wa ta’ala.
- Kebutuhan mereka terhadap tauhid dan dakwah tauhid.
- Jauhnya mereka dari pemahaman salafush shalih.

Wallahu a’lam.

Sumber :
http://asysyariah.com/bila-kuburan-diagungkan-bagian-2/
____________________________

[1] Lihat secara ringkas pada Asy-Syariah edisi 07, artikel Shalawat-shalawat Bid’ah
[2] Tambahan dalam riwayat al-Imam Ahmad dan Abu Dawud
[3] Tambahan dalam riwayat al-Imam Ahmad dan an-Nasai
[4] Tambahan dalam riwayat al-Imam an-Nasai
[5] Lihat kitab Ahkamul Janaiz karya asy-Syaikh Muhammad ibn Nuh Nashiruddin al-Albani, kitab al-Qaulul Mufid karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani, al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

BILA KUBURAN DIAGUNGKAN (1)

Ditulis oleh : Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi

Suatu ketika mungkin kita pernah menyaksikan sebuah bus besar membawa rombongan yang di sampingnya terdapat sebuah tulisan “Rombongan Ziarah Makam Sunan Fulan”. Mereka terkadang datang dari tempat yang jaraknya ratusan kilometer, semata hanya ingin berdoa di sisi kuburan Sunan Fulan karena memiliki keyakinan bahwa doanya akan lebih terkabul. Pemandangan seperti ini dan yang sejenisnya banyak dijumpai di sekitar kita. Padahal kalau kita mau menelaah, praktik demikian merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam. Lebih jauh lagi ia merupakan bagian dari perilaku jahiliah, yaitu amalan orang-orang sebelum Islam datang.

Dalam perjalanan hidup manusia, terkadang perlu untuk kembali menengok ke sejarah masa lampau, masa-masa sebelum datangnya cahaya Islam. Sebuah masa yang penuh dengan perilaku kejahilan dan semangat hawa nafsu, yang di dalamnya terdapat tatanan kehidupan yang didasarkan hanya pada pandangan baik akal dan “kesepakatan” orang banyak. Bukan tatanan kehidupan yang dibimbing oleh wahyu dari Dzat Yang Mahabenar.
Kita perlu menengok kepada kehidupan di masa jahiliah itu karena realita kehidupan kita di masa ini ternyata banyak memiliki kesamaan dengan realita di masa jahiliah. Padahal dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa cahaya Islam, berbagai konsep kemasyarakatan ala masyarakat jahiliah itu semestinya terhapuskan karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dengan demikian, menggali kembali hakikat alam kehidupan jahiliah bukan suatu keterbelakangan dan kejumudan berpikir, namun merupakan langkah untuk lebih maju ke depan. Merupakan suatu keterbelakangan bila kita tidak mau mempelajari berbagai praktik kehidupan jahiliah, sehingga disadari atau tidak kita telah terjatuh kepada perilaku kehidupan jahiliah itu. Tanpa sadar kita telah menjadi pendukung untuk menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka. Telah digambarkan oleh banyak sastrawan bagaimana kejahatan dan kebiadaban ala hewan dalam alam jahiliah. Yang kuat berkuasa dan yang lemah diinjak-injak, bahkan menjadi budak. Penggambaran dengan bahasa yang indah tentang kehidupan jahiliah sesungguhnya tidak mewakili pengupasan akar kejahatan tersebut, lebih-lebih jika ingin mencabutnya. Cikal-bakal kehidupan jahiliah memunculkan segala wujud kejahatan, berupa kerusakan dalam bentuk pemerkosaan hati setiap insan dengan perbuatan kezaliman yang terbesar yaitu “Kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”

Penghambaan yang keluar dari aturan Allah subhanahu wa ta’ala, penghambaan yang diiringi dengan penghinaan diri kepada sesuatu yang lebih rendah darinya. Penghambaan kepada batu, kuburan, pohon, tempat-tempat keramat, dan sebagainya, merupakan pembunuhan terhadap fitrah yang suci, yang Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan setiap hamba dengannya. Juga merupakan perusakan terhadap akal manusia yang Allah subhanahu wa ta’ala telah memuliakan dan membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Penjajahan terhadap kemerdekaan setiap insan untuk bisa langsung berhubungan dengan Rabb-nya dan perbudakan diri yang tidak pada tempatnya. Inilah kejahatan yang hakiki.

Menelaah kembali prinsip-prinsip hidup jahiliah bukan berarti ingin mengembangbiakkannya, namun semata-mata untuk membentengi diri dan memperingatkan umat untuk tidak terjatuh padanya.
Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu menyatakan,
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepadanya tentang kejahatan, khawatir menimpa diriku.” (HR . al- Bukhari dalam kitab al-Fitan bab “Bagaimana Urusan Bila Tidak Ada Jamaah” no. 6658)

‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya ikatan Islam akan putus seikat demi seikat apabila muncul di dunia Islam orang-orang yang tidak mengetahui (perkara) jahiliah.”
Seorang penyair mengatakan,
Aku mengetahui kejahatan bukan untuk melakukannya
melainkan untuk menjaga diri darinya
Barang siapa yang tidak mengenal kebaikan dari kejahatan
Khawatir dia terjatuh padanya
Semoga dengan menelaah prinsip-prinsip hidup yang rusak itu kita bisa mewanti-wanti diri, anak, dan generasi muslimin darinya[1].
Di antara sekian praktik hidup jahiliah adalah mengagungkan kuburan.

Hakikat Kematian
Kematian merupakan suatu kepastian yang telah ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada setiap yang bernyawa. Ketentuan yang tidak bisa dimajukan dan dimundurkan, yaitu berpisahnya ruh dari jasad. Perpisahan ini menggambarkan sesuatu yang tidak bisa berbicara lagi, berpikir, bergerak, melihat, dan mendengar sebagaimana tabiat kehidupan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ١٨٥
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan tentang sesuatu yang akan menimpa seluruh makhluk, bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesuatu yang ada di bumi itu akan binasa, dan tetap kekal Wajah Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.” (ar-Rahman: 26—27).
Dia, Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang Esa dan tidak akan mengalami kematian, manusia dan jin yang akan mengalami kematian, demikian juga seluruh malaikat dan para pemikul ‘Arsy Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127)
baqi
Manusia telah bersepakat bahwa bila ruh berpisah dengan jasad, maka jasad tersebut tidak bisa bergerak, berbicara, mendengar, bekerja, berdiri, dan tanda-tanda kehidupan lainnya.
Namun kerusakan akidah mereka menyebabkan terbaliknya keyakinan tersebut. Mereka meyakini bahwa orang mati itu bisa muncul lagi ke dunia, bisa berbuat sesuatu di luar perbuatan orang yang hidup, mendatangi keluarganya lalu menyapa mereka, muncul di atas kuburnya, menarik kaki orang-orang yang berjalan di atasnya, dan sebagainya. Ini semua adalah cerita-cerita khurafat yang didalangi oleh Iblis dan tentara-tentaranya untuk merusak akidah orang-orang Islam.

Bisakah si mayit mendengar dan berbuat sesuatu sehingga kita bisa menjadikan dia sebagai perantara dengan Allah subhanahu wa ta’ala atau kita bisa meminta sesuatu kepadanya?

Bisakah si mayit membantu orang yang mengalami malapetaka dan kesulitan hidup?

Tentu setiap orang akan menjawab bahwa mayit tidak akan sanggup melakukan yang demikian. Namun keyakinan banyak manusia sekarang justru sebaliknya. Begitulah bila kuburan telah diagungkan dan fitrah telah rusak.

Kerusakan Fitrah karena Cerita dan Dongeng

Perusakan fitrah setiap insan tidak akan berhenti dan terus akan berlangsung sampai hari kiamat, hingga tiap orang akan bisa menjadi santapan seruan Iblis. Oleh karena itu, mari kita melihat bahaya cerita dan dongeng yang mengandung khurafat-khurafat, di antaranya:
Menyebabkan seseorang memiliki keyakinan yang berbeda dengan kesucian fitrahnya dan memiliki keyakinan yang bertolak belakang.
Menyebabkan seseorang memiliki sifat penakut.
Melemahkan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Menjatuhkan seseorang kepada kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an,
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧٥
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti kamu dengan kawan-kawannya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali-Imran:175)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah di dalam Tafsir-nya mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat pelajaran tentang wajibnya takut hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan itu termasuk dari tuntutan keimanan. Oleh karena itu, seseorang memiliki rasa takut berdasarkan tinggi rendah imannya.

Takut yang terpuji adalah ketakutan yang menjaga seseorang dari segala keharaman Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 157)
Sesuatu yang tadinya hanya berbentuk cerita-cerita khurafat kemudian diwujudkan dalam bentuk film-film hidup, gambar-gambar, dan kengerian kuburan. Semua itu memperkuat perusakan fitrah sehingga menjadi fitrah yang mati dan kaku, hidup di hadapan cerita-cerita takhayul dan khurafat.

kubur-keramat

Jahiliah dan Kuburan
Kuburan merupakan salah satu ajang kekufuran dan kesyirikan di masa jahiliah. Terbukti hal yang demikian dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ ١٩ وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ ٢٠ أَلَكُمُ ٱلذَّكَرُ وَلَهُ ٱلۡأُنثَىٰ ٢١ تِلۡكَ إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ ٢٢
“Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-’Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (an-Najm: 19-22)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala mencerca kaum musyrikin dengan peribadatan mereka kepada patung-patung, tandingan-tandingan bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan berhala-berhala, yang mereka memberikan rumah-rumah untuk menyaingi Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Bagaimana pendapat kalian tentang al-Lata.” Al-Lata adalah sebutan untuk batu yang terukir di mana di atasnya dibangun rumah dan berada di kota Thaif. Ia memiliki kelambu dan juru kunci dan di sekitarnya terdapat halaman yang diagungkan oleh penduduk Thaif, yaitu kabilah Tsaqif dan yang mengikuti mereka. Mereka berbangga-bangga dengannya di hadapan seluruh kabilah Arab kecuali Quraisy.”
Kemudian beliau berkata, “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Mujahid, Rabi’ bin Anas, rahimahumallah mereka membaca اللاَّتَ dengan ditasydidkan ta اللاَّتَّ dan mereka menafsirkannya dengan, “Seseorang yang mengadoni gandum untuk para jamaah haji di masa jahiliah. Tatkala dia meninggal, mereka i’tikaf di kuburannya lalu menyembahnya.”
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala “Al-Latta dan Al-’Uzza.”, “Al-Latta adalah seseorang yang mengadoni gandum untuk para jamaah haji.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/35, lihat Tafsir al-Qurthubi, 9/66, Ighatsatul Lahfan, 1/184)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Al-Latta dengan bacaan ditasydidkan huruf taa adalah bacaan Ibnu ‘Abbas berdasarkan bacaan ini berarti isim fa’il (bentuk subyek) dari kata ‘latta’ (yang berbentuk) patung, ini asalnya adalah seseorang yang mengadoni tepung untuk para jamaah haji yang dicampur dengan minyak samin lalu dimakan oleh para jamaah haji. Tatkala dia mati, orang-orang i’tikaf di kuburnya lalu mereka menjadikannya sebagai berhala.” (Qaulul Mufid, 1/253)

Metode Penyesatan Setan

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Termasuk dari tipu daya setan yang telah menimpa mayoritas orang sehingga tidak ada seorang pun yang selamat-kecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah yaitu “Apa-apa yang telah dibisikkan para setan kepada wali-walinya berupa fitnah kuburan.” (Ighatsatul Lahfan, 1/182)
Yang mengawali terjadinya fitnah besar ini adalah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagaimana telah diberitakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tentang mereka,

قَالَ نُوحٞ رَّبِّ إِنَّهُمۡ عَصَوۡنِي وَٱتَّبَعُواْ مَن لَّمۡ يَزِدۡهُ مَالُهُۥ وَوَلَدُهُۥٓ إِلَّا خَسَارٗا ٢١ وَمَكَرُواْ مَكۡرٗا كُبَّارٗا ٢٢ وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا ٢٣ وَقَدۡ أَضَلُّواْ كَثِيرٗاۖ وَلَا تَزِدِ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا ضَلَٰلٗا ٢٤
“Nuh berkata, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar. Dan mereka berkata jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Yauq, dan Nasr. Dan sesungguhnya mereka menyesatkan kebanyakan manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (Nuh: 21—24)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah menyatakan, “Mereka adalah nama-nama orang saleh dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika orangorang saleh itu mati, tampillah setan menyampaikan kepada orang-orang agar mendirikan di majelis-majelis mereka gambar orang-orang saleh tersebut dan namakanlah dengan nama-nama mereka! Orang-orang pun melakukan hal tersebut dan belum disembah, sampai ketika mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan, maka gambar-gambar itu pun disembah.”
Ibnul Qayyim ‘alaihissalam menyatakan, “Bukan hanya satu ulama salaf yang mengatakan, ‘Mereka adalah orang-orang saleh dari kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal, orang-orang i’tikaf di kubur-kubur mereka lalu membuat patungpatung tersebut hingga masa yang sangat panjang, lalu menjadi sesembahan.”
Kemudian beliau mengatakan, “Mereka telah menghimpun dua fitnah yaitu fitnah kubur dan fitnah menggambar.” (Ighatsatul Lahfan, 1/184)
tangan-ke-atas
Tahapan dan metode penyesatan Iblis dan tentara-tentaranya terhadap penyembah kubur sebagai berikut:
Tahapan pertama, Bahwa membangun kuburan, i’tikaf di sampingnya termasuk wujud kecintaan kepada para nabi dan orang-orang saleh serta berdoa di sisinya cepat diterima.
Tahapan kedua, tawassul dalam berdoa dan bersumpah dengan penghuni kubur tersebut.
Tahapan ketiga, berdoa kepadanya dan menyembahnya.
Tahapan keempat, menyeru orang untuk berdoa dan beribadah kepadanya, serta menjadikannya sebagai tempat untuk merayakan hari raya.
Tahapan kelima, membela dan berjihad dalam membela perbuatan tersebut terhadap setiap orang yang mengingkari perbuatannya dan menganggap bahwa orang yang mengingkari perbuatan tersebut tidak memiliki kehormatan dan kedudukan. (lihat secara ringkas Ighatsatul Lahfan, 1/231)
Demikianlah sepak terjang Iblis dan tentara-tentaranya dalam menyusun metode penyesatan setiap insan dengan memulai dari yang paling kecil menuju yang paling besar. Program yang mereka canangkan dan jaringan yang mereka siapkan telah memakan banyak korban. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi kita darinya.

Haramnya Membangun Kubur

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Tahdzir As-Sajid (hlm. 9—20) membawakan hadits-hadits yang semuanya melarang membuat bangunan di atas kuburan. Di antara hadits tersebut antara lain,
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika di ranjang menjelang wafat beliau,
“Allah subhanahu wa ta’ala melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai sebagai masjid-masjid.” (HR . al-Bukhari, 3/156, 198 dan 8/114, Muslim, 2/67, Abu ‘Awanah, 1/399, Ahmad, 6/80, 121, 255, dan lainnya)
Hadits yang semakna dengan hadits di atas diriwayatkan dari banyak sahabat, di antaranya:
dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Al-Bukhari (2/422) dan al-Imam Muslim (2/71),
dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari (1/422, 6/386, dan 8/116) dan al-Imam Muslim (2/67),
dari Jundub bin Abdullah al-Bajali radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (2/67—68),
dari Harits an-Najrani radhiallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya sahih di atas syarat Muslim,
dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma diriwayatkan oleh ath-Thayalisi di dalam Musnad-nya (2/113) dan Ahmad (5/204),
dari Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah radhiallahu ‘anhu dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (no. 1691, 1694), ath-Thahawi di dalam Musykilul Atsar (4/13), Abu Ya’la (1/57), dan selainnya.
dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (5/184, 185),
dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1/92/2), Ibnu Hibban (no. 340 dan 341), dan selainnya,
dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu ‘Asakir,
dan dari Abu Bakar radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawaih (lihat Tahdzir as-Sajid secara rinci, hlm. 9—20).
Hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengapur kuburan, duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya.” (HR . Muslim, 3/62, Ibnu Abi Syaibah 4/134, at-Tirmidzi 2/155, dinyatakan sahih oleh al-Imam Ahmad rahimahullah, 3/339 dan 399).
Hadits yang semakna datang dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya (2/66).
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab Tahdzir as-Sajid (hlm. 22) mengatakan, “Sanadnya sahih.”
Al-Haitsami rahimahullah (3/61) mengatakan, “Semua rawinya tepercaya.”
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Jelaslah dari hadits-hadits yang telah lewat tentang bahaya menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid dan akibat bagi orang-orang yang berbuat demikian berupa ancaman yang pedih dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tahdzir as-Sajid, hlm. 21)
Kemudian beliau berkata, “Keumuman hadits (Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu) mencakup pembangunan masjid di atas kubur, sebagaimana pula mencakup pembangunan kubah di atasnya. Tentunya yang pertama (membangun masjid di atas kubur) larangannya lebih keras sebagaimana telah jelas.” (Tahdzir as-Sajid, hlm. 21)
makam-keramat-cinunuk-garut
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Hadits ini (yakni hadits ‘Aisyah) menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur-kubur orang saleh dan menggambar mereka di dalam masjid tersebut, sebagaimana dilakukan orang-orang Nasrani dan tidak ada keraguan bahwa masing-masing dari keduanya adalah haram. Menggambar anak Adam adalah haram dan membangun masjid di atas kuburan juga diharamkan sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash lain dan akan datang penyebutan sebagiannya.”
Beliau (Ibnu Rajab rahimahullah) selanjutnya berkata, “Gambar-gambar yang ada di banyak gereja yang disebutkan oleh Ummu Habibah radhiallahu ‘anha dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berada di dinding dan tidak berdimensi. Menggambar para nabi dan orang saleh untuk bertabarruk dengannya dan meminta syafaat kepadanya adalah diharamkan dalam agama Islam dan termasuk bentuk peribadatan kepada berhala. Inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah bahwa pelakunya termasuk makhluk terjahat pada hari kiamat.

Membuat gambar (nabi dan orang saleh) dengan tujuan ketika melihat gambar tersebut bisa mengambil contoh atau untuk menyucikan diri dengan cara seperti itu atau untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya adalah perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar. Pelakunya termasuk orang yang mendapat azab paling keras pada hari kiamat. Ia telah melakukan kezaliman dan menyerupai perbuatan-perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala yang para makhluk-Nya tidak sanggup untuk melakukan. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah subhanahu wa ta’ala baik pada Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tahdzir zs-Sajid, hlm. 13—14)

Makna Menjadikan Kuburan sebagai Masjid

Menjadikan kuburan sebagai masjid memiliki tiga makna:
Shalat di atas kuburan, artinya sujud di atasnya.
Sujud menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat di dalam shalat dan berdoa.
Membangun masjid di atasnya dan berniat untuk melaksanakan shalat padanya. (Tahdzir as-Sajid, hlm. 21)

Wallahu a’lam bish shawab.

Bersambung...

Sumber :

http://asysyariah.com/bila-kuburan-diagungkan/

Kamis, 28 April 2016

MENINJAU ULANG EMANSIPASI

Masalah kewanitaan dalam Islam menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan kalangan feminis. Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah dalam agama ini terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.

Adalah sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya. Makanya syariat pun memayungi perbedaan ini dengan adanya fiqh yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan fiqh yang dikhususkan bagi perempuan.

Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang mana punya ikatan yang kuat dengan anak. Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.

Hal-hal di atas bersifat kodrati, bukan label sosial yang dilekatkan (sebagaimana sering didalilkan kaum feminis). Semuanya itu merupakan tatanan terbaik yang diatur Sang Pencipta, Allah subhana wa ta'ala. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa sebagai suami istri. Namun tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja emansipasi yang mengemasnya sebagai ”kesetaraan” jender, yang mana hal itu telah diklaim sebagai simbol kemajuan di negara-negara Barat.

Para feminis dan aktivis perempuan itu seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang berbau Barat. ”Akidah” ini, sekaligus merupakan potret dari sebagian masyarakat Islam sekarang. Di mana busana, kultur, sistem politik (demokrasi) hingga makanan ’serba Barat’ telah demikian kokoh menjajah ’gaya hidup’ sebagian kaum muslimin.

Demikian juga emansipasi. Propagandanya telah memperkuat citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga -yang jamak ditekuni oleh sebagian besar muslimah-, bahwa berkutatnya wanita dalam wilayah domestik dianggap keterbelakangan sebelum bisa menapaki karir.
Falsafah ini kian diperparah dengan paham yang mendewakan kecantikan fisik. Alhasil, ada wanita yang tidak mau menyusui, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, dan sebagainya, (konon) demi semata menjaga ”bentuk tubuh”.

Sedemikian rusaknya pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan (karir).
Sejatinya, jika mau jujur, emansipasi tak lebih dari “produk gagal” dari industri peradaban Barat. Hanya karena kemasan alias silau terhadap kemajuan (fisik) Barat kemudian lahirlah pemahaman bahwa kemunduran negara-negara Islam disebabkan tidak mengikuti Barat, seakan menjadi harga mati.
Padahal kalau kita menilik sejarah, bukan teknologi atau tatanan pergaulan ala Barat sekarang yang membuat Islam jaya di masa silam. Apa arti teknologi jika tidak diimbangi keimanan. Yang terjadi, teknologi justru kemudian digunakan untuk membunuh, mengeksploitasi alam, menjajah negara lain apalagi hanya dengan dalih menangkap gembong teroris, memainkan perannya sebagai polisi dunia, serta menjerat negara berkembang dengan hutang plus (intervensi politik).
Negara Barat seakan tutup mata dengan keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya angka perceraian, meratanya seks bebas, meningkatnya homoseksualitas (karena dilegalkan), kentalnya praktik rasial (terhadap warga non kulit putih), dan sebagainya.
Makanya jika kita masih saja berkaca dengan Barat, sudah saatnya kita meninjau ulang emansipasi!

Sumber :
http://asysyariah.com

Sabtu, 16 April 2016

Anakku, Kokohkan Fondasi Hidupmu

Anakku…
Hidup di dunia hanya satu kali. Yang telah berlalu tidak mungkin akan terulang kembali. Yang telah luput pun sulit untuk bisa diraih lagi. Ingat bahwa ujian hidup selalu ada,  kian hari kian bertambah. Waspadalah kalian, karena di belakang ujian itu ada kelulusan dan kegagalan. Bercita-citalah engkau menjadi orang yang lulus dan berhasil.

Anakku…
Sungguh, terlalu banyak anak yang sebaya denganmu telah hancur masa depannya, rusak moral dan akhlaknya, terjatuh ke dalam jurang kehancuran dan kehinaan. Masa depanmu adalah masa yang sangat berharga, terlebih masa depan di akhiratmu. Masa depanmu di akhirat tidak akan didapatkan selain dengan kelurusan di dunia ini.

Anakku…
Ingatlah, kelulusan itu adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan yang berujung kalah atau menang, dan pengorbanan yang berakhir dengan untung atau merugi. Tidak sedikit orang yang kalah dan menyerah dalam perjuangannya; tidak sedikit pula yang rugi besar dalam pengorbanannya. Dengarkan pesan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam kitab suci-Nya,

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ( الكحغي : 103-104)

Katakanlah, “Maukah kami beri tahukan kepada kalian tentang orang-orang yang merugi amalnya? Yaitu orang-orang yang tersesat amalnya di dunia dan mereka menyangka telah melakukan yang terbaik.” (al-Kahfi: 103—104)

          وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا (الغرقن : ٢٣)

“Dan kami hadirkan apa yang mereka telah kerjakan dari amal-amal dan kami menjadikannya bagaikan debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)

Korbankanlah segala yang engkau miliki untuk menyelamatkan diri dan agamamu dan. Engkau tidak akan bisa bangkit berjuang dan mau berkorban apabila tidak memiliki mesin penggerak. Mesin penggerakmu tidak akan berarti besar apabila tidak ditopang dengan penyangga yang kokoh, kuat, dan handal.
Ada empat hal yang harus engkau perhatikan sebagai dasar melangkah yang akan menjadi pelitamu dalam kegelapan dan menjadi senjatamu ketika berjuang dan berkorban.

Engkau harus berilmu tentang Rabbmu, tentang Nabimu, dan agamamu dengan dalil-dalilnya.

Engkau harus berani dan kuat untuk mengamalkan ilmu yang telah engkau ketahui.

Engkau harus berani menyuarakan kebenaran yang telah engkau ilmui dan amalkan.

Engkau harus berhias dengan kesabaran baik ketika mendalami ilmu atau saat beramal dan menyuarakan kebenaran.

Empat pilar inilah yang akan menjadi pelita hidupmu dan senjatamu saat bertarung. Pada akhirnya engkau termasuk orang yang berhasil dan lulus dengan, izin Allah subhanahu wa ta’ala. Empat pilar ini telah dirangkum oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam kitab suci-Nya dalam satu surat, yaitu surat al-‘Ashr.

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡ. ( العصر : 1-3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Zadul Ma’ad (4/38), menyebutkan, “Berjuang ada empat tingkatan:
(1) berjuang melawan diri sendiri,
(2) berjuang melawan setan,
(3) berjuang melawan orang kafir, dan
(4) berjuang melawan kaum munafik.”

Adapun berjuang melawan diri sendiri ada empat tingkatan pula.

> Berjuang agar dirinya mau belajar petunjuk dan agama yang benar.
Tidak ada kemenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat selain dengannya. Jika ini luput darinya, dia akan celaka di dua negeri tersebut.

> Berjuang agar dirinya tunduk beramal setelah mengetahui ilmu.
Sebab, sebatas berilmu tanpa amal, jika tidak mendatangkan mudarat, minimalnya akan menjadi tidak berguna.

> Berjuang agar dirinya mendakwahkan ilmu tersebut dan mengajari orang yang tidak mengetahuinya.
Jika dia tidak melakukannya, niscaya dia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

> Berjuang agar dirinya bersabar menanggung beban ketika berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar dari gangguan manusia serta menanggung semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala.

Apabila telah menyempurnakan keempat tingkatan ini, dia tergolong rabbaniyyin. Telah ijma’ (sepakat) ulama salaf umat ini bahwa seorang alim tidak dikatakan sebagai rabbani sampai dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barang siapa mengilmui kebenaran, mengamalkan, dan mengajarkannya, dia dipuji dalam kehidupan penduduk langit.

Anakku…
Engkau hidup di dunia ini akan berhadapan dengan kenyataan yang pahit dan manis, yang kamu sukai dan kamu benci. Jadilah engkau orang yang memiliki hati dan dada yang lapang untuk menerimanya. Ketentuan yang engkau akan hadapi itu adalah pasti dan tidak akan berubah dan tersalah. Sebab, semua itu telah ada dalam suratan takdirmu sejak 50 ribu tahun sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi.

Anakku…
Di sinilah engkau membutuhkan fondasi hidup yang kokoh dan kuat sehingga tidak bimbang dan goyah saat berhadapan dengan kenyataan pahit yang dibenci. Fondasi hidup itu adalah akidah yang kokoh dan kuat.
Bagaimanapun badai ujian mengempas, duri-duri hidup menusuk, kerikil-kerikil tajam merintangi; apabila memiliki fondasi hidup yang kuat, engkau bagaikan karang di laut, tidak akan goyah dengan ombak yang besar. Engkau bagaikan gunung yang tinggi menjulang yang tidak akan oleng oleh badai topan. Engkau bergembira saat orang-orang dirundung kesedihan. Engkau tenang dan tenteram saat kebanyakan orang gundah gulana. Engkau selalu tersenyum saat orang banyak dirundung kesedihan dan meneteskan air mata. Engkau pun tegar dan tabah ketika kebanyakan orang dihantui ketakutan.

Anakku…
Pentingnya membangun hidup di atas fondasi akidah ini tecermin dalam beberapa nuansa sejarah yang besar.

Pengutusan Para Nabi dan Rasul

Saat dunia ini berada dalam krisis kerusakan dan kehancuran, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para nabi dan rasul untuk menjawab segala kerusakan tersebut dan melakukan perombakan dan perbaikan. Tugas besar disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang bertugas) menyerukan mereka agar beribadah kepada Allah dan menjauhi segala sesembahan selain Allah.” (an-Nahl: 36)

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa agama para rasul adalah satu, tugas yang mereka emban pun sama. Tugas mereka yang besar tersebut adalah mengajak umat untuk beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi segala bentuk penyembahan kepada selain-Nya.
Jika ada yang lebih penting dari persoalan tauhid dan akidah, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikannya mandat pertama dan utama kepada para rasul yang diutus. Saat kita tidak menemukan hal itu, berarti masalah tauhid dan akidah menjadi persoalan yang inti dan fundamental.
Kejahatan besar dalam hidup ini adalah saat sebagian kaum muslimin menganggap persoalan akidah dan tauhid sebagai qusyur (kulit agama); meremehkan dan mengentengkan permasalahannya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya menjadikannya perkara yang sangat besar dalam agama.
Sungguh, betapa jahat ucapan ini dan betapa jelek sikap tersebut. Ucapan yang akan menyebabkan seseorang kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Lantunan Doa Nabi Ibrahim

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنٗا وَٱجۡنُبۡنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ ٣٥

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, ‘Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini adalah negeri yang aman, dan jauhkanlah diriku serta anak keturunanku dari menyembah patung-patung’.” (Ibrahim: 35)

Nabi Ibrahim ‘alaihissallam adalah bapak orang-orang yang bertauhid. Semua kehidupan beliau digunakan untuk berdakwah kepada tauhidullah.
Beliau harus berhadapan dengan bapak yang kufur dan ingkar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau juga menghadapi penguasa yang menobatkan dirinya menjadi tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala. Amanat yang besar dan tugas yang berisiko tinggi beliau hadapi dengan penuh keberanian dan ketegaran, ketabahan, dan kesabaran. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan beliau sebagai qudwah hasanah dalam kehidupan manusia.

قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥٓ

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya Kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara Kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.” (al-Mumtahanah: 4)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibrahim adalah imam sebagaimana dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Baqarah (Sesungguhnya Aku menjadikanmu pemimpin atas manusia). Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan nubuwwah, menurunkan kitab-kitab, dan risalah pada anak keturunan beliau. Mereka semua dari keluarga beliau, yaitu keluarga yang telah diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala.” (Amradhul Qulub, hlm. 61)

Kendati demikian. beliau tetap mendoakan anak keturunannya agar terpelihara dan terlindungi dari perbuatan menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.

Wasiat Luqman Al-Hakim kepada Anaknya

وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣

“Dan ingatlah tatkala Luqman berkata kepada anaknya dan dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, jangan kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah itu adalah kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13)

Warisan Ya’qub kepada Putra-Putranya

أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ١٣٣

“Apakah kalian menyaksikan saat kematian mendatangi Ya’qub, saat dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kalian sembah sepeninggalku?’
Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Ilahmu dan Ilah bapak-bapakmu, yaitu Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, yaitu Ilah yang satu, dan kami kepada-Nya berserah diri.” (al-Baqarah: 133)

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Saat orang-orang Yahudi mengaku berada di atas agama Nabi Ibrahim dan Ya’qub, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengingkari mereka, ‘Apakah kalian menghadiri saat tanda-tanda kematian datang kepada Nabi Ya’qub ‘alaihissallam, ketika itu beliau menguji anak-anaknya agar menyejukkan matanya saat masih hidup dalam melaksanakan wasiat-wasiatnya.’
Mereka memberikan jawaban yang menyejukkan mata beliau yaitu, ‘Menyembah kepada Ilahmu dan Ilah bapakmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, yaitu Ilah yang satu, kami tidak menyekutukan- Nya dan tidak meninggalkan-Nya.’
Mereka menghimpun antara tauhid dan amal.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 49)

Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,

كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ يَوْمًا فَقَالَ: يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظْ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ؛ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ؛ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ؛ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ؛ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.

Suatu hari saat saya berada di belakang Rasulullah, beliau berkata, “Wahai anak, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. (Yaitu) jagalah Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu. Jagalah Allah, subhanahu wa ta’ala niscaya kamu akan menjumpai-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jika kamu meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah, jika umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan sanggup kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untukmu. Jika mereka bersatu untuk memudaratkanmu, mereka tidak akan mampu kecuali apa yang telah ditulis oleh Allah subhanahu wa ta’ala atasmu. Telah terangkat pena dan telah kering lembaran.” (HR. at-Tirmidzi no. 2440)
Pendidikan yang agung nan mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma dan sahabat yang lain serta umatnya. Ini adalah penanaman fondasi hidup yang agung dan mulia pada diri Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma yang akan menjadi cikal bakal imam dalam agama setelah itu.
Ada beberapa pelajaran berharga buat kita melalui pendidikan nabawi yang langsung dilakoni oleh imam para nabi dan rasul, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pelajaran pertama

احْفَظْ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

“Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu, dan jagalah Allah subhanahu wa ta’ala niscaya kamu akan menemukannya di depanmu.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Jagalah perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengerjakannya dan tinggalkan segala larangan-larangan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu dalam semua keadaan dan menjagamu di dunia dan di akhirat.”
Ibnu Daqiq al-‘Id rahimahullah berkata, “Jadilah kamu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.”
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Jagalah hukum-hukum dan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaga agamamu, keluargamu, hartamu, dan dirimu. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaga orang yang berbuat baik dengan sebab kebaikannya. Dari sini diketahui bahwa siapa saja yang tidak menjaga Allah subhanahu wa ta’ala, dia tidak berhak mendapatkan pemeliharaan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Di sini juga terdapat dorongan untuk menjaga hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala. (Syarah Arbain Nawawiyah, Majmu’ah Ulama, hlm. 224)
Tentu saja ini adalah nasihat besar bagi kita sebagai orang tua dan bagi para pendidik anak kaum muslimin, agar kita melindungi putra, putri, serta anak didik kita untuk tidak melanggar hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala sekecil apa pun. Jangan meremehkan dosa dan pelanggaran tersebut. Jangan suka memberi atau membuat-buat alasan untuk mereka. Misalnya, anak masih kecil dan belum dikenai dosa, anak tidak boleh dipaksa dan terlalu ditekan, atau alasan-alasan yang lain.
Saudaraku, dosa adalah masalah besar, kita tidak boleh berkompromi dengannya. Kita wajib melakukan pengingkaran terhadap dosa siapa pun yang mengerjakannya dan bagaimana pun bentuk dosa tersebut, besar atau kecil.

Pelajaran kedua

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala; dan apabila kamu minta tolong, minta tolonglah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa manusia selalu memiliki berbagai kebutuhan dalam hidupnya di dunia. Di sinilah letak pendidikan akidah, yaitu menggantungkan tawakal kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, dalam urusan kecil dan yang besar, sebagaimana firman-Nya subhanahu wa ta’ala,

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dialah yang akan memberikan kecukupan kepadanya.” (ath-Thalaq: 3)

Apabila seseorang cenderung kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala ketika membutuhkan sesuatu walaupun kecenderungan itu hanya dalam hati dan angan-angannya, seukuran itu pula dia berpaling dari Rabbnya kepada makhluk yang tidak mampu memberi mudharat dan manfaat.
Apabila engkau menginginkan bantuan, janganlah kamu memintanya kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, di Tangan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi. Dialah yang menolongmu apabila Dia menghendaki. Apabila engkau mengikhlaskan diri dalam meminta pertolongan kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya, niscaya Dia akan menolongmu. Apabila engkau meminta pertolongan kepada makhluk dan dia mampu, yakinilah bahwa itu semua sebagai sebab, dan Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang telah menundukkannya untukmu. (Syarah Arbain Nawawiyah, Majmu’ah Ulama, hlm. 225)

Pelajaran ketiga

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ؛ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah jika umat ini bersatu atau sepakat untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan sanggup memberikan manfaat kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah untukmu. Apabila mereka bersepakat untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak sanggup melakukannya kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah atasmu.”

Dari sini kita ketahui bahwa manfaat yang kita rasakan dari uluran tangan makhluk sesungguhnya bersumber dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Dialah yang telah menentukan hal itu untukmu. Selain itu, kita dianjurkan menyandarkan semua urusan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita tahu bahwa manusia tidak akan bisa memberikan satu kebaikan kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula, apabila engkau mendapatkan suatu bahaya dari seseorang, sadarilah bahwa itu adalah sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atasmu. Oleh karena itu, hendaknya engkau ridha dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala dan keputusan-Nya.
Tidak mengapa pula engkau menolak sesuatu yang membahayakanmu, karena Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan,
“Imbalan kejelakan itu adalah kejelekan yang serupa.” (Syarah Arbain Nawawiyyah, Majmu’ah Ulama, hlm. 228)

Pelajaran keempat

رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Telah terangkat pena dan dan telah kering lembaran-lembaran.”
Segala ketentuan dalam hidup ini sudah terangkum dalam catatan takdir dan telah selesai ditulis. Lembaran catatan sudah mengering dan tidak akan ada lagi perubahan dan kesalahan setelahnya. Semuanya berjalan di atas kepastian dan apa yang telah dicatat.

Beruntunglah orang-orang yang beriman dengan takdir sebagai rukun iman yang keenam. Merugilah orang-orang yang menentangnya dan tidak memercayainya.

Wallahul Muwaffiq.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdur Rahman

Sumber :

http://asysyariah.com/anakku-kokohkan-fondasi-hidupmu/

Senin, 04 April 2016