Jumat, 27 Maret 2020

ENAM POIN PENTING TERKAIT BULAN SYA'BAN

Oleh asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin

Wahai kaum muslimin, kita berada di bulan Sya’ban. Kami akan menjelaskan tentangnya dalam enam poin. Kami akan menjelaskan di dalamnya apa yang wajib atas kami untuk menjelaskannya. Kita memohon kepada Allah agar memberikan rizki kepada kami dan kepada Anda semua ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

Poin pertama : Puasa Sya’ban

Apakah bulan Sya’ban memiliki kekhususan untuk dilakukan padanya puasa, dibanding bulan-bulan lainnya?

Jawabannya : Iya. Sesungguhnya dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa padanya (pada bulan Sya’ban, pen). Hingga beliau berpuasa pada Sya’ban semua kecuali sedikit (yakni beberapa hari saja yang tidak berpuasa).

Atas dasar ini, termasuk sunnah adalah seseorang MEMPERBANYAK PUASA PADA BULAN SYA’BAN, dalam rangka mentauladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Poin kedua : Puasa Nishfu Sya’ban (Pertengahan Sya’ban)

Yakni berpuasa pada hari pertengahan Sya’ban secara khusus. Maka dalam masalah ini, ada beberapa hadits lemah, tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak boleh diamalkan. Karena segala sesuatu yang tidak sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka TIDAK BOLEH SESEORANG UNTUK BERIBADAH KEPADA ALLAH DENGANNYA.

Atas dasar ini, tidak boleh dilakukan puasa pada pertengahan Sya’ban secara khusus. Karena amalan itu tidak ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang tidak ada dasarnya MAKA ITU BID’AH.

Poin ketiga : Tentang Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban

Dalam masalah ini juga ada hadits-hadits yang lemah, tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atas dasar itu, malam Nishfu (pertengahan) Sya’ban kedudukannya seperti malam pertengahan Rajab, atau pertengahan Rabi’ul Awal atau akhir, atau pertengahan Jumada, dan bulan-bulan lainnya. Tidak ada kelebihan untuk malam tersebut –yakni malam Nishfu Sya’ban – sedikitpun. KARENA HADITS-HADITS YANG ADA TENTANGNYA ADALAH LEMAH.

Poin Keempat : Mengkhususkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Qiyamullail.

Ini juga merupakan BID’AH. Tidak ada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau dulu mengkhususkan malam tersebut dengan Qiyamullail.

Namun, malam tersebut kedudukannya seperti malam-malam lainnya. Apabila seseorang sudah terbiasa melaksanakan Qiyamullail, maka silakan dia melakukan Qiyamullail pada malam tersebut, melanjutkan kebiasaannya pada malam-malam lainnya. Apabila seseorang bukan kebiasaannya Qiyamullail, maka DIA TIDAK BOLEH MENGKHUSUSKAN MALAM NISHFU SYA’BAN DENGAN QIYAMULLAIL, karena itu tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang lebih jauh dari ini, bahwa sebagian orang mengkhusus qiyamullail pada malam ini dengan jumlah rakaat tertentu, yang tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jadi, KITA TIDAK MENGKHUSUSKAN MALAM NISHFU SYA’BAN DENGAN QIYAMULLAIL

Poin Kelima :Benarkah Ada Penentuan Takdir Pada Malam Tersebut?

Maknanya : Apakah Pada malam tersebut (yakni Nishfu Sya’ban) ditentukan Takdir pada tahun tersebut?

Jawabannya : TIDAK. Malam itu bukanlah Lailatul Qadar. Adapun Lailatul Qadar ada pada bulan Ramadhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Kami menurunkannya” yakni al-Qur`an.

“Seseungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur`an) pada Lailatul Qadar. Apakah yang kalian tahu tentang lailatul Qadar? Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (al-Qadar : 1-3)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman juga, “Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya al-Qur`an.” (al-Baqarah : 185)

Atas dasar ini, Lailatul Qadar itu ada pada bulan Ramadhan. Karena malam tersebut merupakan malam yang Allah menurunkan al-Qur`an. Al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. 

Maka pastilah, bahwa Lailatul Qadar itu pada bulan Ramadhan, bukan pada bulan-bulan lainnya. Termasuk malam Nishfu Sya’ban, malam itu bukanlah malam Lailatul Qadar.

Pada malam Nishfu Sya’ban tidak ada penentuan Takdir apapun yang terjadi tahun tersebut. Namun malam tersebut adalah seperti malam-malam lainnya.

Poin Keenam : Membuat Makanan pada hari pertengahan Sya’ban.

Sebagian orang membuat makanan pada hari pertengahan Sya’ban, untuk dibagikan kepada kaum fakir, dengan mengatakan, “Ini atas makan malam dari Ibu”, “Ini makan malam dari ayah”, atau “Ini makan malam dari kedua orang tua”. Ini juga BID’AH. Karena itu tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Inilah enam poin yang aku ketahui. Mungkin saja masih ada hal-hal lain yang tidak aku ketahui, yang wajib atasku untuk menjelaskannya kepada Anda semua.

Aku memohon kepada agar menjadikan kami dan Anda semua termasuk orang-orang yang menebarkan Sunnah dan meninggalkan Bid’ah, menjadikan kami dan Anda semua para pembimbing yang mendapat hidayah, serta menjadikan kami dan Anda semua termasuk orang-orang yang bertauladan dan mengambil bimbingan dari bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Join & Share :
https://t.me/salafy_gelumbang

Sumber :
WA Miratsul Anbiya
https://salafy.or.id/blog/2014/05/28/enam-poin-penting-terkait-bulan-syaban/

Atsar ID | Arsip Fawaid Salafy
Telegram : t.me/atsarid
Twitter: twitter.com/atsarid
Line : https://line.me/R/ti/p/%40bqg5243o
YT : https://www.youtube.com/c/AtsarID
Website: www.atsar.id

Sabtu, 21 Maret 2020

WABAH VIRUS CORONA, SALAFY SEBAGAI PEMBEDA

Beberapa waktu sebelum meminta ijin kepada khalifah Utsman bin Affan agar diperbolehkan untuk pindah domisili ke Rabadzah, sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhum memberi pernyataan :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ؛ لَوْ أَمَرْتَنِي أَنْ أَقْعُدَ؛ لَمَا قُمْتُ , وَلَوْ أَمَرْتَنِي أَنْ أَكُونَ قَائِمًا؛ لقُمْتُ مَا أَمْكَنَتْنِي رِجْلَايَ , وَلَوْ رَبَطْتَنِي عَلَى بَعِيرٍ لَمْ أُطْلِقْ نَفْسِي حَتَّى تَكُونَ أَنْتَ الَّذِي تُطْلِقُني

“Demi Allah Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Andaikan Anda perintahkan saya untuk duduk, tidak akan mungkin saya berdiri. Kalau Anda perintahkan saya untuk berdiri, pasti saya berdiri selagi kedua kakiku mampu tegak. Apabila Anda ikat saya di atas seekor unta, saya tidak akan melepaskan ikatan itu sampai Anda sendiri yang melepaskannya”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani dalam  At Ta'liqaat Al Hisan No.5933

Demikianlah prinsip Salafy!
 
Apapun cibiran yang diterima, walau banyak cemoohan yang disematkan, meskipun tuduhan keji ini dan itu diarahkan, Itu semua tidak dipedulikan

Sebab tidak ada pertimbangan duniawi, tidak pula tendensi materi, semua adalah ketundukan pada syari'at, kepatuhan sempurna pada pesan-pesan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam

Mendengar dan taat pada pemerintah adalah syari'at Islam yang amat agung. Yaitu taat dalam perkara yang ma'ruf, bukan dalam kemaksiatan.

Mendengar dan taat pada himbuan, kebijakan maupun ketetapan pemerintah merupakan solusi untuk banyak problematika kehidupan

Terlepas dari kekurangan yang ada pada suatu pemerintahan, prinsip ini selalu dipegang oleh Salafy di setiap zaman

Lihatlah sahabat Abu Dzar di atas! 

Kepatuhan yang luar biasa, ketundukan yang hebat, patuh dan tunduk pada penguasa

Wabah virus Corona semakin hari semakin mengkhawatirkan, bertambahnya waktu bertambah pula kecemasan.

Bukan hanya teori namun fakta, bukan sebatas prediksi tetapi sudah nyata, bukan cuma isu tetapi telah terbukti

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah proses penyebaran wabah virus Corona ini. Banyak upaya dilakukan agar penyebarannya terminimalisir

Konsep isolasi dijalankan, langkah karantinan dikerjakan, bahkan pilihan lockdown mulai dipertimbangkan. Ini semua sebagai bentuk ikhtiar dan menempuh sebab, yang itu diajarkan dalam Islam.

Pemerintah Indonesia melalui saluran-saluran informasi resmi mengajak dan menghimbau untuk melakukan Social Distancing Measures, apa itu? 

Ringkasnya adalah bekerja di rumah, belajar di rumah dan ibadah di rumah.

Kita diajak untuk membatasi gerak, menjauhi keramaian dan kerumunan

Kita diminta untuk lebih banyak di rumah, tidak kemana-mana kecuali benar-benar darurat.

Hal ini sangat efektif untuk meminimalisir penyebaran wabah virus Corona (Covid-19) dengan ijin Allah Ta'ala.

Mendengar dan taat kepada pemerintah adalah prinsip yang menjadi karakter khas Salafy di sepanjang zaman. Sikap dan pernyataan sahabat Abu Dzar dalam riwayat di atas sudah cukup mewakili sikap kaum Salaf, bagaimana mereka selalu mendengar dan taat kepada pemerintah

Jika ada yang bertanya, bukankah mendengar dan taat kepada pemerintah hanya kepada yang bijak dan adil ?

Bukankah saat itu yang berkuasa dan menjadi khalifah adalah sahabat Utsman bin Affan yang sudah pasti adil dan bijak ?

Pertama : 
Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menerapkan Social Distancing Measures apakah termasuk kebijakan yang baik atau jelek, benar atau salah ? 

Kita tentu sepakat bahwa kebijakan ini adalah kebijakan yang baik dan benar, bahkan kebijakan ini sesuai dengan arahan dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam

Beliau bersabda dalam hadits Usamah bin Zaid riwayat Bukhari Muslim :

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه

“Jika kalian mendengar ada wabah penyakit thaun di suatu daerah, janganlah datang ke sana. Jika terjadi wabah penyakit thaun di suatu daerah sementara kalian berada di sana, janganlah meninggalkan daerah tersebut karena ingin menyelamatkan diri”

Demikian juga Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam pernah berpesan, ”Larilah menghindar dari orang yang sakit kusta sebagaimana engkau lari menghindar dari harimau”

Ringkasnya, kita diajarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam agar menjaga diri dan mengisolasi diri supaya tidak tertular sebuah penyakit.

Nah, himbauan Pemerintah Indonesia adalah himbauan yang benar dan baik

Lalu apa alasan kita untuk menolaknya ? 

Apa alasan kita untuk tidak melaksanakan ?

Kedua : 
Di dalam riwayat yang sama, sahabat Abu Dzar lantas berangkat ke Rabadzah. Di sana yang menjadi imam shalat adalah seorang budak. Dalam keadaan pada jaman itu, keumuman yang menjadi imam shalat adalah penguasa. Orang-orang lalu meminta Abu Dzar untuk maju menjadi imam. Namun Abu Dzar menolak

Abu Dzar mengatakan,
”Kekasihku Rasulullah telah memberi tiga wasiat untukku, salah satu wasiat beliau adalah :

أَنْ أَسْمَعَ وأُطيع - وَلَوْ لِعَبْدٍ حَبَشِيٍّ مُجَدَّعِ الْأَطْرَافِ 
 
“Agar aku mendengar dan taat kepada penguasa meskipun yang berkuasa adalah seorang budak dari Habasyah yang cacat hidung atau cacat telinga”

Ada beberapa kriteria penguasa yang tidak terpenuhi namun Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam tetap memerintahkan kita untuk mendengar dan taat

Penguasa haruslah merdeka, bukan budak sahaya

Penguasa mestinya sempurna fisik dan tidak cacat 

Artinya, selagi telah ditetapkan sebagai penguasa, sebagai pemerintah yang terpilih, maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat, apalagi jika yang diperintahkan adalah kebaikan.

Saat wabah virus Corona melanda di banyak wilayah, bahkan hampir merata, di saat inilah Salafy terlihat sebagai pembeda

Salafy selalu mendengar dan taat, siap melakukan Social Distancing Measures, siap belajar di rumah, siap bekerja di rumah, siap beribadah di rumah

Walau terkadang Salafy dituduh radikalis, anti NKRI, tidak nasionalis

Meski Salafy distigmakan sebagai kaum teroris, tak mengapa, bukan masalah, inilah konsekuensi dari kebenaran

Saat-saat seperti inilah, Salafy dapat membuktikan bahwa Salafy adalah barisan terdepan dalam melaksanakan himbauan Pemerintah

Allahul Musta'aan

Join & Share :
https://t.me/salafy_gelumbang

Sumber :
https://t.me/inifaktabukanfitnah/4221

Sabtu, 14 Maret 2020

Rukun Dakwah Salafiyyah

Oleh : Al Ustadz Muhammad Afifuddin Hafizhohullah.

Manhaj salaf, dakwah salafiyah, dibangun di atas dua rukun yang tidak mungkin terpisahkan, yaitu :

A.  AT-TA'SHIL :

Maksudnya, menjelaskan prisip-prinsip dan pilar-pilar manhaj serta dakwah di atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah...

Termasuk dalam rukun ini adalah :

(1). Penjelasan tentang prinsip-prinsip dan dasar-dasar akidah Islamiah salafiyah yang terangkum dalam rukun iman yang enam.
(2). Penjelasan tentang prinsip-prinsip dan dasar-dasar ibadah yang disyariatkan dari syarat ikhlas dan mutaba’ah, serta yang terangkum dalam rukun Islam yang lima.
(3). Memerintahkan segala yang ma’ruf baik akidah, ibadah, adab, muamalah, maupun aspek kehidupan lainnya. Hal ini disebut dengan amar ma’ruf.
(4). Al-Wala, yaitu berloyalitas dan mencintai secara syar’i pihak-pihak yang Allah ‘azza wa jalla perintahkan untuk dicintai, yaitu para nabi dan rasul, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama sunnah, ulama salaf, dan kaum mukminin yang dikenal berpegang dengan sunah dan dikenal kesalehannya, serta tidak dikenal kebid’ahan, kefasikan, dan kejahatannya.
(5). At-ta’dil, yaitu memuji dan menyebutkan kebaikan dan keadilan pihak-pihak yang secara syar’i layak untuk di-ta’dil, baik kalangan para saksi, para rawi, maupun para pelaku dakwah dan kaum muslimin secara umum.
 

B. AT-TAHDZIR :

Maksudnya, memperingatkan umat dari bahaya orang, golongan (sekte), pemahaman, kitab, dan semisalnya yang bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah...

Termasuk dalam rukun ini adalah:

(1). Menjabarkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada dasar-dasar akidah salafiyah secara detail pada setiap masalah, bab, dan sekte.
(2). Membongkar praktik-praktik dan ragam bentuk kesyirikan yang ada di tengah masyarakat.
(3). Menyingkap tabir kebid’ahan dan ragam kesesatan yang menyimpang dari sunnah.
(4). Mencegah dari segala bentuk kemungkaran, disebut nahi munkar.
(5). Al-Bara’, yaitu berlepas diri dari pihak yang diperintah oleh syariat untuk di-bara’, seperti iblis, orang kafir, zionis-salibis dan ragam sekte kafir lain, kaum zindiq (munafik), ahli bid’ah dengan beragam paham dan sektenya, serta orang-orang yang dikenal dengan kebid’ahan, kefasikan, dan kejahatannya.
(6). Al-Jarh, yaitu mengkritik atau memaparkan kejelekan, cacat, dan penyimpangan pihak-pihak yang secara syar’i layak di-jarh, baik kalangan saksi, para rawi, pelaku dakwah, maupun muslimin secara umum.

--------------------

Secara umum, hampir tidak ada pihak yang merasa gelisah, terhantui, bahkan mengingkari rukun yang pertama. Sebab, sifatnya adalah pemaparan prinsip dan dasar-dasar kebaikan dan kebenaran disertai dengan dalil-dalil yang sahih dari al-Qur’an dan as-Sunnah berikut penjelasan para ulama...

Di kancah dakwah, banyak dijumpai kaum hizbiyin yang ikut tampil menerangkannya walau hakikatnya hanya kamuflase untuk menipu umat. Mereka mengajarkan Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyahkarya Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, bahkan mengajarkan Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan merambah kitab Tafsir Ibnu Katsir...

Apalagi para GPS (Golongan Pengaku Salaf), kajian-kajian mereka nyaris mirip dengan kajian-kajian Ahlus Sunnah salafiyin, dari sisi kitab yang dikaji dan tampilan lahirnya...[1].

Yang merasa gelisah dan terhantui adalah kaum Sufi dan saudara kembarnya, Rafidhah, yang tergabung dalam GAW (Gerakan Anti Wahhabi)..[2]...

Akan tetapi, tatkala rukun yang kedua disuarakan dan diamalkan, atau yang pertama disertai dengan yang kedua (secara bersamaan), terjadilah ‘kegaduhan’ seolah-olah ‘kiamat’ hendak terjadi...Suara-suara sumbang dan lontaran-lontaran syubhat terdengar sangat nyaring dan bertubi-tubi. Anehnya, ini tidak hanya muncul dari mulut para GAW, tetapi muncul lebih deras dan ganas dari para GPS...

Berikut ini cuplikan syubhat²  dan suara-suara sumbang yang menggambarkan kegelisahan dan ketakutan mereka :

(1). Mengapa harus dengan kalimat Manhaj? Apa tidak cukup dengan kalimat al-Haq?..

(2). Bantah saja bid’ahnya, tidak usah menyebut orangnya..!..

(3). Cukup dibetulkan kesalahannya, tidak perlu menghukumi orangnya!”..

(4). Tidak ada hajr (pemboikotan) selain pada lima macam kebid’ahan!” Maksud mereka ialah Jahmiyah, Murji’ah, Rafidhah, Qadariyah, dan Khawarij !..

(5). Hajr tidak mungkin dipraktikkan di zaman sekarang karena Ahlus Sunnah minoritas!”..

 (6). “Kalau tidak ada kemaslahatan nya,hajr   menjadi gugur dan tidak disyariatkan, kita harus memakai cara ta’lif (lembut)!”..

(7).Tidak boleh divonis bid’ah kecuali sekte-sekte dari masa lalu.”..

(8). Membicarakan yayasan-yayasan bid’ah tidak akan ditanya di alam kubur!”...

(9).Menerima dana dari yayasan bid’ah adalah kecerdasan!”..

(10). Adillah wahai, akhi! Sebutkan juga kebaikan-kebaikannya, jangan hanya menyebutkan kejelekannya! Antum zalim!”..

(11).Mereka (Ahlus Sunnah) hanya sibuk dengan tahdzir! Pekerjaannya hanya men-tahdzir.”..

(12).“Tinggalkan sebab-sebab perpecahan!” Yang dimaksud adalah tidak boleh membicarakan penyimpangan dan kesesesatan hizbiyin karena akan menimbulkan perpecahan di tengah-tengah muslimin...

(13). Kita tidak boleh taklid dengan Syaikh Fulan dan Syaikh Allan!” Maksudnya ialah menolak fatwa dan tahdzir ulama sunnah terhadap kesesatan dan penyimpangan tokoh-tokoh bid’ah...

(14). Mereka (hizbiyin) juga mendakwahkan tauhid! Radio mereka menyerukan dakwah tauhid! Ustadz-ustadz mereka juga mengajarkan Kitab at-Tauhid!”..

(15). Tahdzir itu cukup 5-10 menit saja!” Maksudnya adalah meremehkan Amalan Tahdzir dan mengingkari kemungkaran terhadap bid’ah dan ahli bid’ah...[3]...

Untuk lebih lanjut silahkan buka dan  baca link di bawah ini :

https://asysyariah.com/rukun-dakwah-salafiyah/

----------------------
Catatan kaki :
[1] ,GPS (gerakan pengaku salafy ) diantara nya ialah para Halabiyyun/Rodjaiyyun, Hajuriyyun, dll.. kelompok yang menyimpang  manhaj nya,namun masih mengaku salafy.

[2],GAW ( gerakan anti wahaby )diantaranya kelompok sufy ,tabligh,LDDI,Hizbut tahrir, dll... kelompok yang menyimpang dari manhaj salaf,namun tidak mengaku salafy ,bahkan membenci manhaj salaf.

[3], orang yang Alergi terhadap pembahasan² manhajiyyah, seperti pembahasan Tahdzir, Tabdi',atau Rudud..dan dia menyukai pembahasan²  yang lembut, seperti masalah Rumah tangga,fiqih dll..atau di istilahkan oleh para ulama dengan sebutan kaum Mumayyiah.

Join & Share :
https://t.me/salafy_gelumbang

Sumber :
https://asysyariah.com/rukun-dakwah-salafiyah

TURUT SERTA  MENYEBARKAN,  :
📟 GABUNG CHANNEL TELEGRAM
https://t.me/BANTAHANilmiyyah/936


•┈┈•┈┈•⊰✿📖📖📖✿⊱•┈┈•┈┈•

Jumat, 13 Maret 2020

ALERGI ( FOBIA ) TAHDZIR , SEBUAH PERGESERAN DALAM BERMANHAJ.

Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Dari beberapa pembahasan dapat diketahui, betapa mulia kedudukan tahdzir terhadap kebatilan dan pengusungnya..Betapa mulia pula kedudukan para ulama yang bergerak di bidang ini... Hal ini mengingatkan kita akan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ، وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu agama ini akan terus dibawa oleh orang-orang adil (terpercaya) dari tiap-tiap generasi; yang selalu berjuang membersihkan agama ini dari pemutarbalikan pemahaman agama yang dilakukan orang-orang yang menyimpang, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang jahil.” (HR . al-Khatib al-Baghdadi dalam Syaraf Ash-habil Hadits hlm. 11. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih 1/82)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Segala pujian kesempurnaan hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah menjadikan di setiap masa fatrah (kekosongan) dari para rasul sisa-sisa manusia dari kalangan ahli ilmu (ulama), menyeru orang-orang yang tersesat kepada petunjuk (al-huda) dan bersabar atas segala gangguan yang bersumber dari mereka..

Mereka menghidupkan orang-orang yang mati (hatinya) dengan Kitabullah dan menerangi orang-orang yang buta (mata hatinya) dengan cahaya (ilmu) yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Betapa banyak korban iblis yang mereka hidupkan kembali. Betapa banyak pula orang yang tersesat tak tahu jalan yang mereka tunjuki..

Betapa besar jasa mereka bagi umat manusia, namun betapa jelek sikap manusia terhadap mereka. Mereka membela Kitabullah dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang jahil, yaitu orang-orang yang mengibarkan bendara-bendera bid’ah dan melepas ikatan (menebarkan) fitnah.

Mereka adalah orang-orang yang berselisih tentang Kitabullah, menyelisihinya, dan sepakat untuk menjauhinya. Mereka berbicara atas nama Allah subhanahu wa ta’ala, tentang Allah subhanahu wa ta’ala, dan tentang Kitabullah tanpa ilmu. Mereka berkata dengan ucapan yang mutasyabih (samar) dan menipu orang-orang jahil (bodoh) dengan hal-hal yang menjadi syubhat bagi mereka.

Maka dari itu, kami berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari fitnah-fitnah (yang ditebarkan oleh) orang-orang yang menyesatkan itu.” (Muqaddimah ar-Rad ‘ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah)

Sampai-sampai ketika al-Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Siapakah yang lebih Anda sukai, seseorang yang rajin berpuasa, shalat, dan i’tikaf, ataukah yang menjelaskan keadaan ahli bid’ah?”

Beliau menjawab, “Jika seseorang berpuasa, shalat, dan i’tikaf amalan itu untuk pribadinya. Namun, jika menjelaskan keadaan ahli bid’ah, manfaatnya untuk umat Islam. Inilah yang lebih utama.” (Majmu’ Fatawa 28/231)

------------------

Akan tetapi sayang, di antara umat Islam ada yang alergi dengan tahdzir tersebut. Ada yang dari kalangan pengusung kebatilan dan para pengikutnya, ada yang dari kalangan ahli ibadah, ada pula yang dari kalangan orang berilmu, bahkan mengaku berjalan di atas manhaj salaf[1] ...

Mereka merasa risih dengan tahdzir terhadap kebatilan dan pengusungnya, bahkan tidak suka sama sekali. Meskipun tahdzir itu berasal dari ulama sunnah atau kibar ulama yang berkedudukan mulia. Alasannya bermacam-macam. Adakalanya karena pembelaan terhadap tokoh yang dikagumi atau fanatisme golongan. Adakalanya karena didominasi perasaan (baca: hawa nafsu). Adakalanya pula karena meyakininya ghibah. Semua itu merupakan bentuk pergeseran dalam bermanhaj. Wallahul Musta’an.

Melihat sejarahnya, alergi tahdzir bukanlah penyakit baru. Sejak zaman dahulu ada orang-orang yang alergi dengan tahdzir. Padahal tahdzir terhadap individu atau kelompok menyimpang yang dilakukan oleh para ulama Ahlus Sunnah yang mulia tidak lain bertujuan untuk memberi nasihat, bukan menjatuhkan kredibilitas atau pencemaran nama baik.Sebagai mana yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan para tabi’in yang merupakan generasi terbaik umat ini. Apakah mereka telah terjatuh dalam ghibah? Apakah mereka telah berbuat zalim? Tentu jawabannya, “Tidak. Sekali-kali tidak.”

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Sebagian orang yang tidak paham (berilmu) telah mencela ulama hadits karena perkataan/vonis mereka terhadap para perawi. Sungguh, kami telah mendapati sejumlah imam dari kalangan tabi’in membicarakan (baca: mentahdzir) tokoh-tokoh yang menyimpang.

Antara lain, al-Hasan al-Bashri dan Thawus yang mentahdzir Ma’bad al- Juhani; Sa’id bin Jubair yang mentahdzir Thalq bin Habib; Ibrahim an-Nakha’i; dan Amir asy-Sya’bi yang mentahdzir al-Harits al-A’war.

Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-Auza’i, Abdullah bin al-Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Waki’ bin al-Jarrah, Abdurrahman bin Mahdi, dan ulama selain mereka bahwa mereka membicarakan dan memvonis lemah (baca: mentahdzir) orang-orang yang berhak mendapatkannya.

Menurut kami, tidaklah mereka melakukannya—wallahu a’lam—kecuali sebagai nasihat bagi umat Islam. Kami tidak meyakini bahwa tindakan mereka itu dilakukan untuk menjatuhkan kredibilitas seseorang atau mengghibahinya.

Kami meyakini bahwa semua itu dilakukan dalam rangka menjelaskan sisi lemah (penyimpangan) mereka agar diketahui oleh umat. Mengingat, sebagian mereka ada yang pelaku bid’ah, ada yang tertuduh memalsukan hadits, dan ada yang lalai serta banyak kesalahan dalam meriwayatkan.” (Syarh ‘Ilal at- Tirmidzi 1/43-44)

Abdullah bin al-Imam Ahmad berkata, “Abu Turab an-Nakhsyabi mendatangi ayahku, lantas ayahku mengatakan, ‘Fulan lemah, dan fulan tsiqah (terpercaya).’

Abu Turab berkata, ‘Wahai syaikh, janganlah Anda mengghibahi ulama!’

Ayahku berpaling ke arahnya seraya mengatakan, ‘Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan ghibah’.” (Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi karya al-Imam Ibnu Rajab 1/349-350)

Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Al-Mu’alla bin Hilal dialah orangnya, hanya saja dia berdusta dalam meriwayatkan hadits.”

Sebagian orang sufi berkata kepada beliau, “Hai Abu Abdirrahman, Anda berbuat ghibah!”

Beliau berkata, “Diam kamu! Jika kita tidak menjelaskan (keadaannya), bagaimana mungkin akan terbedakan antara yang haq dan yang batil?!” (al-Kifayah, al-Khathib al-Baghdadi hlm. 45)

Alergi tahdzir, bisa jadi dalam bentuk rasa risih, bahkan tidak suka, terhadap kitab-kitab rudud (bantahan terhadap kebatilan dan pengusungnya) yang ditulis oleh para ulama yang mulia.

Di antara syubhat yang bergulir; membaca kitab-kitab rudud dapat mengeraskan hati, tidak perlu menyibukkan diri dengan kitab-kitab rudud karena masih banyak disiplin ilmu yang harus dipelajari dan dihafalkan, kesalahan kita masih banyak sehingga jangan sibuk dengan kesalahan orang lain, dan yang semakna dengan itu.

Asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah ketika ditanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang tentang orang yang mengatakan bahwa kitab-kitab rudud (bantahan terhadap kebatilan dan pengusungnya) dapat mengeraskan hati?”

Beliau menjawab, “Tidak benar. Justru meninggalkan bantahan terhadap kebatilan itulah yang akan mengeraskan hati. Manusia akan hidup di atas kesalahan dan kesesatan sehingga hati mereka menjadi keras. Adapun jika kebenaran dijelaskan dan kebatilan pun dibantah maka inilah yang akan melembutkan hati tanpa diragukan lagi.”[2]..

Betapa pentingnya keberadaan kitab-kitab rudud di tengah umat. Para penuntut ilmu tidak boleh jauh darinya, demikian pula orang yang berilmu, bahkan orang awam sekalipun sangat membutuhkannya.

Asy-Syaikh al-‘Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Tuntutlah ilmu! Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu, dan upayakanlah segala hal yang dapat membantu dalam menuntut ilmu.

Di antara hal-hal yang akan membantu kalian untuk mendapatkan ilmu yang lurus adalah kitab-kitab rudud (bantahan terhadap kebatilan dan pengusungnya). Sungguh, kitab-kitab rudud merupakan bagian yang terpenting dalam menuntut ilmu. Seorang yang tidak mengetahui kitab-kitab rudud, meskipun telah menghafal banyak ilmu, sungguh dia— barakallahu fik—berada di atas sikap yang tidak jelas (bingung). Kami benar-benar telah melihat banyak orang yang memiliki ilmu namun kemudian terjerumus dalam kesesatan!”[3]...

Hal senada disampaikan oleh asy-Syaikh al-‘Allamah Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali rahimahullah kepada seorang pemula dalam menuntut ilmu, “Nasihatku untuknya adalah hendaklah mendalami agama ini dalam hal akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj yang dia berjalan di atasnya.

Di antaranya adalah kitab-kitab rudud yang berisi bantahan as-salaf ash-shalih dan ulama yang mengikuti jejak mereka terhadap pengusung hawa nafsu dan bid’ah, dan betapa banyaknya bid’ah di setiap masa dan tempat. Maka dari itu, tidak boleh seseorang menghalangi orang lain mendengar kitab-kitab rudud, menulisnya, mengambil faedah darinya, dan membacanya dengan alasan masih minim keilmuannya tentang thaharah dan shalat. Sebab, agama ini sempurna. Sebagaimana wajib bagi kita mempelajari akidah dan fikih ibadah, wajib pula bagi kita mempelajari manhaj dan as-Sunnah agar kita beramal dengannya dan mengenal lawannya, yaitu bid’ah, supaya terhindarkan darinya.”[4]...

Demikianlah sajian Rubrik Manhaji kali ini, semoga dapat memberikan pencerahan bagi saudara-saudaraku seiman terkhusus dalam permasalahan tahdzir. Jadi, judul di atas Ketika Tahdzir Dipersoalkan berubah dengan sendirinya menjadi Ketika Tahdzir Tak Perlu Dipersoalkan.

Wallahu a’lam bish-shawab

------------------------

Catatan kaki :
[1] ,,Mereka adalah orang-orang yang lembek dalam bermanhaj (al-mumayyi’ah). Sikap-sikap mereka seringkali menguntungkan para pengusung kebatilan (ahlul bathil) dan memojokkan para pengusung kebenaran (ahlul haq). Dengan sebab inilah mereka disebut al-mukhadzdzilah. Mereka menjadi jembatan bagi para pengusung kebatilan untuk menebarkan kebatilannya di tengah-tengah umat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membersihkan umat dari orang-orang yang seperti ini.
[2],,(http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=127625)
[3] ,,  (http://koo.re/nShqT)
[4] ,, (http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=134687)

Join & Share :
https://t.me/salafy_gelumbang

Sumber :
https://asysyariah.com/ketika-tahdzir-dipersoalkan/

TURUT SERTA  MENYEBARKAN,  :
📟 GABUNG CHANNEL TELEGRAM
https://t.me/PenyimpanganRodjaTV/521


•┈┈•┈┈•⊰✿📚📚📚✿⊱•┈┈•┈┈•