Selasa, 31 Maret 2015

Prinsip dan Ciri-ciri Syi’ah dan Rafidhah

Prinsip dan Ciri-ciri Syi'ah dan rafidhahAl Ustadz Muhammad Afifuddin as Sidawy
 
Dari sekelumit fakta sejarah kita dapat menyimpulkan adanya ciri khas pada syi’ah yang dari situ dapat diketahui bahwa seseorang memiliki paham Syi’ah atau Rafidhah.




Di antaranya adalah:
  1. Lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib dalam hal keutamaan dari pada Utsman bin Affan. Ini adalah pemahaman syi’ah yang ringan, pelakunya tidak dihukumi sesat.
Yang dihukumi sesat adalah yang mendahulukan Ali di atas Abu Bakar dan Umar dalam hal keutamaannya dan yang menghujat kekhalifahan para Khulafaur Rasyidin.
  1. Ghuluw dalam mencintai Ali dan keturunannya.
  2. Mencela bahkan mengkafirkan para sahabat terkhusus Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Aisyah, Abu Hurairah.
  3. Memiliki keyakinan Raj’ah.
  4. Memiliki keyakinan Al-Bada.
  5. Memiliki keyakinan reinkarnasi (tanasukhiyah).
  6. Memiliki keyakinan hululiyyah
  7. Memiliki keyakinan tajsim dan tasybih
  8. Pengagungan terhadap kuburan tokoh-tokoh mereka.
  9. Nikah mut’ah.
  10. Memilki pemahaman mu’tazilah dalam berakidah.
  11. Memiliki pemahman qadariyah dalam bab takdir.
Berikut ini daftar tambahan ciri-ciri lain Rafidhah atau syi’ah yang disebutkan para ulama:
  1. Tahrif (mengubah-ubah makna dan lafal) Al-Quran, bahkan mereka mengaku memiliki mushhaf Fatimah 60 juz.
  2. Menafsirkan semua ayat-ayat yang berisi pujian dan keutamaan dengan Ali dan keturunannya, sementara ayat-ayat yang berisi kecaman dan ancaman dengan Abu Bakr, Umar dan ‘Aisyah .
  3. Prinsip Taqiyyah (zhahirnya lain dengan batinnya) dalam kondisi mereka lemah atau minoritas, yang sesungguhnya adalah nifak (kemunafikan).
  4. Tidak mengucapkan “Amin” dalam shalat, sebagian mereka mengucapkanخَانَالأَمِينketika salam, sebagai ganti ucapan salam dalam shalat.
  5. Mengakhirkan buka puasa hingga munculnya bintang-bintang di langit.
  6. Mengakhirkan maghrib hingga munculnya bintang-bintang.
  7. Menggugurkan kewajiban jihad hingga keluarnya Al-Mahdi-nya mereka.
  8. Menggugurkan masa ‘iddah bagi wanita.
  9. Mereka tidak mengusap sepatu (المَسْحُعَلَىالخُفَيْنِ)
  10. Mereka tidak menggunakan liang lahad dalam mengkuburkan jenazah dan mengharuskan syiqq. [1]
  11. Selalu menjamak shalat, hingga mereka hanya shalat di 3 waktu.
  • Menambahkan lafadz adzan:
أَشْهَدُأَنَّعَلِيًاوَلِيُالله 
  • Juga lafadz :
حَيَّعَلَىخَيْرُاْلعَمَل

12.  Mengagungkan pembunuh Umar yaitu seorang budak bernama Abu Lu’luah Al-Majusiy.
Dan masih banyak lagi yang lain dan rata-rata mereka mengadopsinya dari Yahudi.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Referensi:
  1. Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah
  2. Al-Farqu bainal Firoq, Abdul Qadhir bin Thahir Al-Isfirayiniy
  3. Al-Milal wan Nihal, Muhammad Abdul Karim Asy-Syihristaniy.
  4. Asy-Syi’ah wa At-Tasyayyu’, Ihsan Ilahi Dhahir
  5. Al-Ilhad Al-Khumainiy, Muqbil bin Hadiy Al-Wadi’iy
  6. Syarah Aqidah Wasithiyah, Khalil Harras
Catatn Kaki;
1). Syiqq: Bentuk galian kuburan tempat mayit
 
Sumber:  
Majalah Qudwah Edisi 23
.

Selasa, 24 Maret 2015

Mana yang lebih utama : MENJALANKAN PERINTAH ATAU MENJAUHI LARANGAN?


Pertama, secara umum menjalankan perintah lebih utama dibandingkan menjauhi larangan. Pahala menjalankan perintah lebih besar dibandingkan pahala menjauhi larangan. Dosa tidak menjalankan perintah lebih besar dibandingkan dosa akibat menjalankan larangan. Ini kaidah secara umum.
Walaupun perintah itu bertingkat-tingkat dan larangan juga bertingkat-tingkat. Pada sebagian larangan ada yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan kadar perintah, sehingga meninggalkan larangan dalam hal itu lebih utama dibandingkan menjalankan perintah. Contoh: menjauhi perbuatan zina lebih besar kadar pahalanya dibandingkan menjalankan perintah melakukan qiyaamul lail. Kaidah ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fataawa. Beliau menyatakan:

أَنَّ جِنْسَ فِعْلِ الْمَأْمُورِ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ جِنْسِ تَرْكِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَأَنَّ جِنْسَ تَرْكِ الْمَأْمُورِ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ جِنْسِ فِعْلِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَأَنَّ مَثُوبَةَ بَنِي آدَمَ عَلَى أَدَاءِ الْوَاجِبَاتِ أَعْظَمُ مِنْ مَثُوبَتِهِمْ عَلَى تَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ وَأَنَّ عُقُوبَتَهُمْ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبَاتِ أَعْظَمُ مِنْ عُقُوبَتِهِمْ عَلَى فِعْلِ الْمُحَرَّمَاتِ
Jenis mengerjakan hal yang diperintahkan lebih agung dibandingkan jenis meninggalkan hal yang dilarang. Dan jenis meninggalkan hal yang diperintahkan lebih besar dibandingkan jenis mengerjakan hal yang dilarang. Pahala Anak Adam dalam mengerjakan kewajiban lebih besar dibandingkan pahala meninggalkan hal yang diharamkan. Akibat (dosa) karena meninggalkan kewajiban lebih besar dibandingkan mengerjakan hal yang diharamkan (Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah ( 20/85)).
Selanjutnya beliau menjelaskan kaidah itu dengan menyatakan bahwa ilmu dan niat itu terkait dengan sesuatu yang akan diwujudkan (amal), bukan sesuatu yang tidak ada (meninggalkan amalan). Artinya, mewujudkan sesuatu (menjalankan perbuatan) itu lebih diharapkan dibandingkan meniadakan sesuatu. Menjalankan perintah itulah asal dari tujuan syariat, sedangkan meninggalkan larangan adalah penyempurna untuk mencapai tujuan itu.
Setelah itu beliau menyebutkan alasan-alasan yang menunjukkan bahwa kaidah ini benar. Tidak tanggung-tanggung beliau menjelaskan sebanyak 22 alasan (sisi pendalilan). yang setiap sisinya disebutkan dalil-dalilnya. Berikut akan disebutkan 4 alasan saja yang disarikan dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tersebut:

1.Kebaikan yang paling agung adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan keburukan yang paling besar adalah kekafiran. Iman adalah suatu hal yang harus diwujudkan. Seorang tidak bisa dikatakan beriman secara dzhahir kalau dia tidak menampakkan ushul (pokok) keimanannya yaitu syahadat Laa Ilaaha Illallah. Dia tidak disebut sebagai mukmin secara batin jika tidak meyakini syahadat itu dalam hatinya dan menghilangkan keraguan itu secara lahir dan batin. Selain itu ia harus mewujudkan iman itu dengan amal sholih. Sedangkan kekafiran adalah tidak beriman, sama saja apakah kekafiran itu dalam bentuk meyakini hal yang berlawanan dengan keimanan atau mengucapkan sesuatu hal yang berlawanan dengan keyakinan, atau tidak meyakini maupun tidak mengucapkan keimanan (misalkan tidak bersyahadat).

2.Perbandingan dosa antara ayah Jin (Iblis) dengan ayah manusia (Adam). Mana yang lebih besar dan lebih dahulu dosanya? Jawabannya adalah : Iblis. Iblis tidak melaksanakan perintah karena menentang dan sombong. Ia tidak mau melaksanakan perintah untuk bersujud. Sedangkan dosa Adam adalah dosa kecil yaitu mengerjakan suatu hal yang dilarang: makan dari suatu pohon.

3.Dalam madzhab Ahlussunnah: seseorang Ahlul Qiblat (muslim) tidak dikafirkan karena melakukan suatu dosa atau mengerjakan perbuatan tertentu (kemaksiatan) seperti zina, mencuri, minum khomr, selama kemaksiatan itu tidak mengandung sikap meninggalkan keimanan. Kalau itu mengandung sikap meninggalkan keimanan, maka ia kafir seperti tidak beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, kebangkitan setelah kematian. Termasuk kafir juga jika ia tidak meyakini wajibnya sesuatu hal yang wajib yang telah jelas dan mutawatir serta tidak meyakini haramnya sesuatu hal yang haram yang telah jelas dan mutawatir.

4.Dosa akibat menjalankan hal yang dilarang bisa dihapus dengan melakukan sesuatu yang diperintahkan, yaitu taubat dan mengiringinya dengan melakukan kebaikan-kebaikan (amal sholih). Kedua : dari sisi pelaksanaan dan hambatan di sekeliling, sering kali lebih berat meninggalkan larangan karena untuk menjalankan perintah masih ada keringanan sesuai keadaan (sebagaimana pendapat Imam Ahmad). Bagi yang tidak bisa sholat dengan berdiri bisa dengan duduk. Jika tidak bisa dengan duduk, bisa dengan berbaring. Perintah dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Tapi meninggalkan larangan-larangan (keharaman) ada banyak tantangan dan godaan, seperti bujukan hawa nafsu dalam diri, bisikan syaithan, sebab-sebab duniawi, teman yang buruk yang mempengaruhi, keinginan meniru orang-orang sekeliling yang tidak istiqomah dalam al-haq, dan sebagainya. Kata Ibnul Qoyyim, masing-masing unsur semacam ini adalah penarik yang kuat. Bagaimana kalau semua unsur itu bergabung? Tentunya akan lebih berat penghalang meninggalkan hal yang diharamkan. Karena itu, seorang yang sangat berat godaan untuk mengerjakan kemaksiatan dan ia mampu bersabar menahan dirinya agar tidak jatuh dalam keharaman, pahalanya sangat besar dan akan mendapat ampunan dari Allah:

كُتِبَ إِلَى عُمَرَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ رَجُلٌ لَا يَشْتَهِي الْمَعْصِيَةَ وَلَا يَعْمَلُ بِهَا أَفْضَلُ أَمْ رَجُلٌ يَشْتَهِي الْمَعْصِيَةَ وَلَا يَعْمَلُ بِهَا ؟ فَكَتَبَ عُمَر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَهُونَ الْمَعْصِيَة وَلَا يَعْمَلُونَ بِهَا ” أُولَئِكَ الَّذِينَ اِمْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبهمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَة وَأَجْر عَظِيم
Ditulis surat (pertanyaan) kepada Umar. (Isinya adalah) Wahai Amirul mukminin manakah yang lebih utama: (pertama) ada seseorang yang tidak ingin berbuat kemaksiatan, dan ia tidak melakukan kemaksiatan atau (Kedua) orang yang ingin berbuat maksiat dan ia tidak mengerjakannya? Maka Umar radhiyallahu anhu menulis surat (jawaban) : Sesungguhnya orang yang ingin (ada dorongan) berbuat maksiat tapi tidak ia kerjakan maksiat itu, (inilah yang lebih utama). (Firman Allah Ta’ala): << Mereka itu adalah orang-orang yang Allah uji hati mereka untuk bertaqwa, bagi mereka ampunan dan pahala yang agung (Q.S al-Hujuraat ayat 3)(riwayat Ahmad dalam az-Zuhud dengan sanad yang shahih sampai Mujahid).
Menahan diri dari berbuat maksiat menjadikan seseorang sebagai orang yang paling beribadah kepada Allah:

اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
Berhati-hatilah (jangan terjerumus) ke dalam hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau termasuk manusia yang paling beribadah (kepada Allah)(H.R atTirmidzi, dihasankan al-Albaniy)

Menahan diri dari berbuat maksiat itu lebih utama dibandingkan beribu-ribu kali memperbanyak amal ibadah yang nafilah. Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu anhu menyatakan:

لرد دانق من حرام أفضل من مائة ألف تنفق في سبيل الله
Mengembalikan satu Daniq (1/6 dirham) yang haram itu lebih utama dibandingkan berinfaq 100 ribu (dirham) di jalan Allah Seperti perkataan Abdullah bin al-Mubarok (salah seorang atbaut Tabiin):

لَأَنْ أَرُدَّ دِرْهَمًا مِنْ شُبْهَةٍ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِمِائَةِ أَلْفٍ وَمِائَةِ أَلْفِ وَمِائَةِ أَلْفٍ حَتَّى بَلَغَ سِتُّمِائَةِ أَلْفٍ

Seandainya saya mengembalikan satu dirham dari syubhat (meragukan kehalalannya) itu lebih aku sukai dibandingkan saya bershodaqoh sebanyak 100 ribu, 100 ribu, 100 ribu,…sampai 600 ribu (dirham)(riwayat Ibnu Abid Dunya dalam al-Wara’) Seorang yang menjaga diri untuk tidak terjatuh ke dalam riba atau penghasilan yang haram sebesar seribu rupiah, itu lebih baik dan lebih utama dibandingkan ia bershodaqoh sebesar 600 juta rupiah! Maimun bin Mihron –seorang tabi’i salah satu murid Sahabat Ibnu Abbas– berkata:

الذكر ذكران ذكر الله باللسان حسن وأفضل من ذلك أن يذكر الله العبد عند 
المعصية فيمسك عنها

Dzikir itu ada 2 macam. Dzikir (mengingat) Allah dengan lisan adalah baik. Tapi yang lebih utama dari itu adalah seorang mengingat Allah ketika akan berbuat maksiat kemudian dia menahan diri dari hal itu (riwayat Ibnu Abid Dunya dalam al-Wara’) Umar bin Abdil ‘Aziz –seorang Tabi’i- menyatakan:

ليس تقوى الله بصيام النهار ولا بقيام الليل والتخليط فيما بين ذلك ولكن تقوى الله ترك ما حرم الله وأداء ما افترض الله فمن رزق بعد ذلك خيرا فهو خير إلى خير

Bukanlah dinamakan taqwa kepada Allah dengan puasa siang hari dan qiyaamul lail di malam hari serta mencampurkan kedua hal itu. Akan tetapi taqwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa yang diharamkan Allah dan menjalankan hal yang diwajibkan Allah. Barangsiapa yang diberi rezeki untuk beramal kebaikan lebih dari itu, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan (riwayat al-Baihaqy dalam az-Zuhud, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq).

KESIMPULAN Dari penjabaran di atas, kita bisa mengambil faidah kesimpulan dari pernyataan Ibnu Rojab al-Hanbaliy rahimahullah:
والظاهر أن ما ورد من تفضيل ترك المحرمات على فعل الطاعات إنما أريد به على نوافل الطاعات وإلا فجنس الأعمال الواجبات أفضل من جنس ترك المحرمات لأن الأعمال مقصودة لذاتها والمحارم مطلوب عدمها ولذلك لا تحتاج إلى نية بخلاف الأعمال وكذلك كان جنس ترك الأعمال قد تكون كفرا كترك التوحيد وكترك أركان الإسلام أو بعضها على ما سبق بخلاف ارتكاب المنهيات فإنه لا يقتضي الكفر Y
Yang nampak jelas adalah : bahwa meninggalkan hal yang diharamkan lebih utama dibandingkan mengerjakan ketaatan itu berlaku hanya untuk ketaatan yang nafilah (sunnah). Kalau dari sisi jenis, mengerjakan amal kewajiban lebih utama dari meninggalkan hal yang diharamkan. Karena amalan-amalan itu dimaksudkan secara dzatnya. Sedangkan hal-hal yang diharamkan, diharapkan ketiadaannya. Yang demikian tidak membutuhkan niat. Berbeda dengan melakukan perbuatan (membutuhkan niat, pent). Demikian juga, meninggalkan suatu amalan, kadangkala mengakibatkan kekufuran. Seperti meninggalkan tauhid dan meninggalkan rukun-rukun Islam atau sebagiannya –sebagaimana yang telah disebut sebelumnya-. Berbeda dengan melakukan hal yang dilarang, yang tidak sampai menyebabkan kekufuran (Jaami’ul Uluum wal Hikaam (1/96))
Ibnu Rojab rahimahullah juga menyatakan:

وحاصل كلامهم يدل على اجتناب المحرمات وإن قلت فهي أفضل من الإكثار من نوافل الطاعات فإن ذلك فرض وهذا نفل

Kesimpulan ucapan mereka (para Ulama) menunjukkan bahwa meninggalkan hal-hal yang diharamkan meski sedikit itu lebih utama dibandingkan memperbanyak mengerjakan ketaatan yang sunnah (nafilah). Karena yang itu (meninggalkan yang haram) adalah wajib sedangkan yang ini adalah nafilah (Jaami’ul Uluum wal Hikaam (1/96)) Demikianlah rangkuman dan tambahan penjelasan yang mayoritas diambil dari 3 referensi utama: Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah, Thoriqul hijrotayn karya Ibnul Qoyyim, dan Jaami’ul Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rojab al-Hanbaliy. Wallaahu A’lam.

Sumber : 

Minggu, 22 Maret 2015

Dakwah Salaf, Dakwah Hikmah

Semua tentu sepakat, salaf adalah generasi terbaik dari umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Diawali dari para sahabat yang merupakan murid-murid langsung Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ditempa keimanan mereka dalam “madrasah” beliau shallallahu alaihi wasallam. Kemudian para sahabat mengajarkan Islam kepada generasi berikutnya yaitu tabi’in, para tabi’in lantas menularkan ilmunya kepada tabi’ut tabi’in, demikian seterusnya sehingga Islam sampai kepada kita ini.
Lantas apa yang didakwahkan atau diletakkan pertama kali oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dada-dada mereka sehingga mereka demikian tunduk kepada syariat, demikian mudah menerima kebenaran, serta demikian teguh memegang ajaran Islam?

Jawabannya tak lain adalah tauhid. Yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pertama kali adalah memurnikan akidah mereka, memerdekakan mereka dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah subhanahu wata’ala, serta menutup segala celah yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Tauhid inilah sesungguhnya misi yang juga diemban oleh seluruh rasul sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dakwah tauhid layaknya lahan subur yang dipupuk, sehingga pohon keimanan bisa tumbuh, akarnya menancap kokoh serta berbuah ketakwaan yang tinggi.

Ketakwaanlah yang membuat Allah subhanahu wata’ala menolong mereka, menjadikan musuh-musuh mereka gentar, dan Islam menjadi wibawa. Sehingga amat salah kalau ada anggapan bahwa ketertinggalan Islam disebabkan teknologi. Teknologi memang penting namun bukan yang terpenting. Nyatanya, umat Islam waktu itu justru mampu mengalahkan bangsa-bangsa dengan peradaban yang lebih tinggi. Demikian juga anggapan bahwa Islam tertinggal karena faktor ekonomi, padahal sebagian besar generasi salaf justru hidup dalam kesederhanaan bahkan kekurangan.

Kondisi ini menuntut kita untuk memahami dan mengamalkan agama ini dengan merujuk kepada mereka, generasi yang telah mendapat rekomendasi dari Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya—sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat dan hadits. Cara memahami agama dengan merujuk kepada salaf ini adalah metode yang pasti benar dan yang paling murni dibandingkan pemahaman agama yang lahir belakangan.
Kita, yang jauh dari masa kenabian, yang keimanan, keilmuan, dan akhlak kita tidak ada apa-apanya dibandingkan generasi salaf, semestinya menjadi pengikut atau yang meniti jejak mereka dalam beragama. Sehingga ketika membincangkan dakwah salaf, yang digarisbawahi adalah metodologi (manhaj)nya, bukan individu-individu di masa sekarang yang ada di dalamnya, terlebih mereka “sebatas” berupaya meniti jejak generasi salaf. Dengan keimanan yang tidak sebanding dengan generasi salaf, maka menjadi niscaya jika dari orang-orang belakangan yang meniti jejak mereka terdapat banyak kekurangan seperti berlaku kurang adab, acap terjatuh dalam kemaksiatan, dan sebagainya.

Maka dari itu, menjadi tidak adil, jika kebencian terhadap salafi, orang-orang yang berusaha meniti jejak generasi salaf, justru membutakan hati kita dengan merembetkan kebencian pada syariat itu sendiri, enggan untuk menerima kebenaran, walaupun dalilnya telah jelas ataupun hujjahnya demikian kokoh.
Di sisi lain, menjadi cambuk bagi kita, baik dai maupun penuntut ilmu yang berada di jalan dakwah ini, untuk tidak menyulut api fitnah, membuat manusia lari dari dakwah bahkan menentang kebenaran karena semata-mata sikap kita yang kurang adab ataupun hal-hal lain yang mungkin dianggap sepele. Semestinya kita memuliakan diri dengan Islam, sebagaimana kemuliaan itu ada pada dakwah ini, dakwah salaf yang penuh hikmah.

Sumber :
http://mahad-assalafy.com/2015/03/04/dakwah-salaf-dakwah-hikmah/
http://asysyariah.com/dakwah-salaf-dakwah-hikmah/

Minggu, 15 Maret 2015

TERASINGNYA SUNNAH DAN PENGIKUTNYA

كثيرا من الناس يتضايقون من بعض دعات السنه
BANYAK DARI KALANGAN MANUSIA YANG MERASA SEMPIT DADANYA DENGAN DAKWAH SEBAGIAN DAI-DAI SUNNAH
من محاضره غربة السنه واهلها للشيخ محمد بن هادي المدخلي حفظه الله
Diambil dari Muhadharah dengan judul:  “TERASINGNYA SUNNAH DAN PENGIKUTNYA”
Oleh : Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali


Terasingnya Sunnah dan Pengikutnyaولا يستغرب، ففي هذا الزمن لا يستغرب شيء، وأنت ترى يعني: كثيرًا من الناس يتضايقون من بعض دعاة السنة، فتارة يصفونه بالْمُنَفِّر لكثرة دعوته إلى السنة والأخذ بها، ولكثرة بغضه للبدع والتحذير منها، نعم، فإن الإنسان إذا بلغ إلى هذه الدرجة فإنه يجد أسىً في نفسه، ويجد كمدًا في نفسه وربما تضيق به الدنيا، ولكن يسليه ما يقرأه في هذه النصوص التي جاءت عن الله وعن رسوله-صلى الله عليه وسلم-.
Tidaklah asing, pada zaman ini tidaklah hal ini menjadi sesuatu yang asing lagi.
Bahkan engkau melihat, yaitu kebanyakan manusia merasa sempit dengan sebagian dai-dai sunnah.
Terkadang mereka mensifati dai tersebut dengan sebutan munaffir (orang yang membuat lari dari dakwah -pent), karena ia banyak mengajak pada sunnah dan mengambil darinya.
Juga karena kebenciannya terhadap bid’ah dan memperingatkan darinya. Iya, karena jika seseorang telah berdakwah sampai pada tingkatan ini (mengajak kepada sunnah dan memperingatkan dari bid’ah -pent), maka ia akan mendapati kesedihan yang menimpa dirinya, ia juga akan mendapatkan rasa sakit yang mendalam pada jiwanya, bahkan terkadang dunia ini terasa sempit baginya.
Akan tetapi hendaklah ia berusaha menghibur dirinya dengan apa yang ia baca dari nash-nash yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam.

فينبغي للعبد أن لا ييأس، لأن الناس لا يمكن أن يمشوا معك على طريقة واحدة، ولا يمكن أن يوافقوك في كل ما تقول، فأنت عليك أن تطلب رضا الله-تبارك وتعالى-، وعليك بأن تنظر ما كان عليه السلف الصالح-رضي الله تعالى عنهم-، فإنهم هم الأسوة بعد رسول الله-صلى الله عليه وسلم-وأصحابه وبهم القدوة، (أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ)(الأنعام/90).

Semestinya bagi seorang hamba untuk tidak putus asa. Karena tidaklah mungkin seluruh manusia dapat berjalan bersamamu pada satu jalan yang sama.
Tidak mungkin pula mereka akan mencocoki semua yang engkau katakan. Maka yang wajib atasmu adalah untuk mencari ridha Allah -Tabaraka wa ta’ala- dan juga wajib atasmu agar melihat kepada pengalaman para Salafush Shalih – radhiyallahu ‘anhum- yang mereka berada di atasnya.
Karena mereka adalah suri tauladan setelah Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, dan pada merekalah terdapat contoh yang baik.
Allah berfirman :
(أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ)(الأنعام/90)
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (al-An’am : 90)

فيجب على الإنسان أن لا ييأس، وليعلم أن هذه الدنيا وإن ابتلي فيها فهي محل عبور وليست محل قرار، وأن دار القرار عند الله هي الدار الآخرة، فإما جنة عدن-نسأل الله من فضله-، وإما نار تَلَظَّى-نسأل الله العافية والسلامة-.

Maka wajib atas setiap orang untuk tidak berputus asa. Ketahuilah, sesungguhnya dunia ini, jika engkau diberi ujian di dalamnya, maka dunia ini akan berlalu dan tidak akan kekal.
Dan sesungguhnya negeri yang kekal di sisi Allah adalah negeri Akhirat. Bisa jadi di dalam Surga ‘Adn -kita meminta pada Allah karunia-Nya-, atau bisa jadi di dalam Neraka yang menyala-nyala -kita meminta kepada Allah penjagaan dan keselamatan-.

ولهذا يقول ابن القيم كما نعلم جميعًا في الميمية: فحي على جنـات عـدن فإِنـهـا منازلك الأُولى وفيها المخيــــم ولكننا سبى العـدو، فهــل تـري نعـود إِلى أَوطاننـا ونسلــــم وقد زعمـوا أن الغريــب إذا نأي وشطت به أوطانـه فهـو مغــرم وأي اغتراب فوق غربتنــا التــي لها أضحت الأعـداء فينا تحكــم

Oleh karena itu telah berkata Ibnul Qayyim, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dalam al-Mimiyyah :
“Marilah menuju Surga ‘Adn, sesungguhnya disana adalah tempat tinggalmu yang utama, dan di dalamnya terdapat kemah-kemah.
Akan tetapi kondisi kami adalah sebagai tawanan musuh. Maka apakah  engkau memandang kami dapat kembali ke tempat tinggal kami dalam keadaan selamat?
Sungguh mereka menyangka, bahwa orang asing yang jauh dari tempat tinggalnya dan tempat tinggalnya pun jauh darinya pastilah dia seorang yang merugi. Dan keterasingan mana yang melebihi keterasingan kami, yang padanya para musuh menghakimi kami?”

ولا شك أن الإنسان إذا بلغ إلى مثل هذه المرحلة، فإنه قد يأتيه أحيانًا شيء من الضجر، ويأتيه أحيانًا شيء من الملل، ويأتيه أحيانًا شيء من اليأس، لكن المؤمن عليه أن يصبر نفسه ويسلي نفسه، وعليه أن يحتسب الأجر عند الله-تبارك وتعالى-، ويعلم أنه مهما بلغ الناس في أذيته فإنها أيام قلائل وسينتقل عن هذه الدار إلى دار القرار عند الله-تبارك وتعالى-.

Tidak diragukan lagi bahwa seseorang jika telah sampai pada tingkatan semisal ini, terkadang datang padanya rasa jemu, dan terkadang datang pula rasa bosan, bahkan terkadang datang rasa putus asa.
Tetapi wajib atas seorang Mukmin untuk bersabar dan menghibur dirinya. Wajib atasnya untuk meniatkan karena pahala di sisi Allah -Tabaraka wa ta’ala-.
Dan hendaknya ia mengetahui bahwa bagaimanapun manusia menyakitinya, maka sesungguhnya hal tersebut hanya sebentar dan ia akan berpindah dari negeri ini (dunia) kepada negeri yang kekal di sisi Allah -Tabaraka wa ta’ala (akhirat).

فعليه أن يؤمن بهذا، وعليه أن يصبر وأن يصبر نفسه على ذلك، وأن يحتسب، فإن الله-تبارك وتعالى-يأجره على هذا، وإذا تذكر ما ورد في النصوص فإنه يهون عليه ولا يستوحش بإذن الله-تبارك وتعالى-، فإن أهل العلم هم الذين أنار الله بصائرهم، ونَوَّر قلوبهم فانتفعوا بهذا العلم، فصلحوا في أنفسهم ودعوا الناس غلى الصلاح، ولو لم يَهْدِي الله بك إلا رجلًا واحدًا لكان خيرًا لك من حمر النعم.

Maka wajib baginya untuk beriman dengan hal ini, dan baginya untuk bersabar dan menyabarkan dirinya atas hal tersebut dan meniatkannya (karena Allah).
Sebab Allah -Tabaraka wa ta’ala- akan memberinya ganjaran atas hal ini. Dan jika engkau mengingat apa yang terdapat pada nash-nash, sesungguhnya hal ini mudah atasmu dan tidak membuatmu merasa enggan atas izin Allah -Tabaraka wa ta’ala-.
Karena sesungguhnya ahlul ilmi adalah orang-orang yang Allah beri cahaya terang pada penglihatan mereka dan Allah beri cahaya pada hati-hati mereka, maka mereka dapat memberi manfaat dengan ilmu ini. Mereka berusaha memperbaiki diri-diri mereka dan menyeru manusia pada perbaikan.
Meskipun Allah tidak memberi hidayah melalui dirimu kecuali hanya satu orang saja, sungguh hal itu lebih baik bagimu dari unta-unta merah.

فعليك أن تصبر في هذه الحياة، وأن تعلم أن الناس في هذا إما عالم وإما متعلم وإما همج رعاع أتباع كل ناعق، كما قال أمير المؤمنين علي بن أبي طالب-رضي الله عنه-في وصيته لكميل بن زياد، فوصف هؤلاء الهمج الرعاع أتباع كل ناعق لأنهم يميلون مع كل صايح، كلما صاح بهم صايح تبعوه لماذا؟، لأنهم لم يستضيئوا بنور العلم ولم يأووا منه إلى ركن وثيق، فلأجل هذا تجدهم يتقلبون، كلما صاح بهم صايح وكلما نعق بهم ناعق تبعوه-نسأل الله العافية والسلامة-.

Maka wajib bagimu untuk bersabar dalam kehidupan ini, dan hendaknya engkau mengetahui bahwa diantara manusia ada orang yang ‘Alim (Ulama), ada yang Muta’allim (pelajar). Dan ada pula orang yang hina, tak berakal, dan ia mengikuti setiap orang yang meneriakinya. Sebagaimana Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- berkata dalam wasiat beliau kepada Kamil bin Ziyad.
Beliau mensifati orang-orang yang hina, tak berakal, dan mengikuti setiap orang yang meneriakinya dikarenakan mereka condong kepada setiap orang yang berteriak padanya.
Setiap kali seseorang menyeru maka mereka mengikutinya. Kenapa demikan? Karena ia tidak mendapatkan cahaya ilmu dan ia tidak berlindung pada prinsip yang kokoh.
Oleh sebab itu engkau dapati mereka berubah-ubah dan tak tentu arahnya. Setiap kali ada seseorang yang meneriakinya, maka ia akan mengikutinya -kita memohon kepada Allah penjagaan dan keselamatan-.

فالواجب على دعاة السنة، وأهل السنة أن يصبروا وأن يحتسبوا، وأن يعلموا أن المخذل لن يسلموا منه، فعليهم أن يقابلوا تخذيله بقراءة هذه النصوص فإن فيها سلوة لهم بإذن الله-تبارك وتعالى-، وأما المخالف أمره أظهر وأظهر لأن أهل السنة ولله الحمد لا ينخدعون به، لا ينخدعون به.

Maka wajib atas Dai-dai Sunnah dan Ahlus Sunnah untuk bersabar dan meniatkan dakwahnya (karena Allah).
Dan hendaknya mereka tahu bahwa mereka tidak akan luput dari (bahaya) mukhadzdzil (orang yang menelantarkan -pent). Maka atas mereka untuk menghadapi penelantaran tersebut dengan membaca nash-nash, karena pada nash-nash tersebut terdapat kebahagiaan bagi mereka (Ahlus Sunnah) dengan izin Allah -Tabaraka wa ta’ala-. Adapun mukhalif (orang yang menyelisihi, ahli bid’ah,pent) maka perkaranya jelas dan gamblang, karena Ahlus Sunnah -bagi Allah segala pujian- tidaklah tertipu dengannya, tidak terpedaya dengannya.

فعلى العبد أن يتقي الله-تبارك وتعالى-في نفسه، ولا يصده مثل هذا، وليعلم أن قلة عدد لصالحين وقلة المستجيبين لهم والقابلين منهم، وكثرة المخالفين للدعاة إلى الحق، وكثرة العصاة لهم هذا لا يضر، وليس دليلًا على أنهم ما استخدموا الطرائق الصحيحة في الدعوة، فإن النبي-صلى الله عليه وسلم-قد أخبر أنه: (يأتي يوم القيامة النبي ومعه الرهط، والنبي ومعه الرهيط، والنبي ومعه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه أحد)، فهل هذا دلالة على أنه لم يحسن الدعوة؟، لا إنما هذا دلالة على فساد المدعوين.

Hendaknya seorang hamba bertakwa kepada Allah -Tabaraka wa ta’ala- pada dirinya sendiri, dan janganlah mencegahnya dalam berdakwah karena hal-hal yang semisal dengan ini. Ketahuilah bahwa jumlah orang-orang yang shalih itu sedikit dan sedikit pula jumlah orang-orang yang menerima dan mempercayai mereka.
Sebaliknya, amat banyak orang-orang yang menyelisihi dai-dai yang menyeru kepada al-Haq, dan banyak pula orang-orang yang mendurhakai mereka. Tetapi hal ini tidaklah membahayakan mereka, dan hal ini bukanlah suatu dalil yang menunjukkan bahwa mereka tidak mempergunakan cara-cara yang shahih dalam berdakwah.
Sunguh Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengkabarkan bahwa : “Akan datang pada hari kiamat seorang Nabi dan bersamanya sekelompok orang, juga datang seorang Nabi dan bersamanya kelompok yang lebih kecil, ada pula seorang Nabi  dan yang bersamanya hanya satu atau dua orang saja, bahkan datang seorang Nabi dan tidak ada seorang pun yang bersamanya”.
Maka apakah ini suatu pertanda bahwa dakwah yang dilakukan Nabi tersebut tidak baik? Tidak, itu hanyalah suatu pertanda betapa buruknya orang-orang yang didakwahi para Nabi tersebut.

فعلى العبد المسلم السني أن يتمسك بدينه، وأن يصبر ويحتسب، فإن النبي-صلى الله عليه وسلم-قد أخبر هذا التمسك في آخر الزمان، صاحبه في قبضه وتمسكه بدينه وقبضه على دينه كالقابض على الجمر، فعليه أن يقرأ هذه النصوص فإنه سيجد فيه سلوته، ولا يغتر ولا يؤثر فيه هذا الكلام الذي نسمعه هذا اليوم خاصة ممن ينتسب للأسف، أحيانًا تجد هذا الكلام وتسمعه ممن ينتسب إلى السنة، فتارة تجده يصف أهلها الصادقين الدعة إليها، الحريصين على تنقية سبيلها وطريقها من كل المخالفات صغيرها وكبيرها، تجده يصفه بالشدة، تجده يصفه بالغلو، تجده يصفه بالجراحين، هؤلاء ما عندهم إلا إسقاط الناس، طائفة المسقطين.

Hendaknya bagi seorang hamba Muslim Sunni untuk berpegang teguh dengan agamanya, dan hendaknya ia bersabar serta meniatkannya hanya karena Allah.
Sungguh Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengkabarkan keadaan orang yang berpegang teguh dengan Agama Islam di akhir zaman. Orang yang menggenggam dan berpegang teguh pada agamanya, seakan-akan seperti orang yang menggenggam bara api.
Maka hendaknya ia membaca nash-nash karena ia akan memperoleh kebahagiaan dengannya. Janganlah ia lengah dan terpengaruh dengan ucapan-ucapan ini, yang kami mendengarnya pada hari ini. Terkhusus dari orang-orang yang menyebutkannya untuk membuat kesedihan.
Terkadang engkau mendapati ucapan-ucapan seperti ini yang engkau dengar dari orang-orang yang menisbatkan kepada sunnah.
Maka engkau mendapatinya mensifati pengikut sunnah, orang-orang yang jujur dalam dakwah kepadanya, dan orang-orang yang semangat dalam memurnikan jalannya dari seluruh penyimpangan-penyimpangan, baik yang kecil maupun yang besar. Engkau mendapatinya dalam keadaan mensifati pengikut sunnah ini dengan sifat keras,  ghuluw (berlebihan), dan dengan berbagai caci makian.
Orang-orang ini, tidak ada pada mereka kecuali hanya menjatuhkan manusia. Mereka itulah kelompok musaqqithin (orang-orang yang senang menjatuhkan -pent).

انظر إلى هذه الألقاب الشنيعة التي يتظاهرون فيها بأنهم هم الحريصون على هداية الناس، وهم الحريصون على إقامة الناس على الحق، وان هؤلاء ليس لهم هم إلا الهدم، يشوهون سمعة أهل السنة الحقيقيين الصادقين، وهذا ليس بغريب، ليس بغريب فقد قيل مثل هذا في أحمد-رحمه الله-في الزمن الغابر، وقد قيل في غيره من أئمة الهدى-رحمهم الله-ولكن ما ضرهم.

Lihatlah kepada julukan-julukan yang jelek ini, yang telah mereka lekatkan pada pengikut sunnah. Dalam keadaan mereka adalah orang-orang yang semangat dalam menyampaikan hidayah kepada manusia, dan mereka juga bersemangat dalam menegakkan manusia di atas haq.
Tetapi sesungguhnya orang-orang ini, tidak ada pada mereka kecuali hanya ingin merobohkan. Mereka dengki pada reputasi Ahlus Sunnah yang benar lagi  jujur. Ini bukanlah hal yang asing, bukan sesuatu yang asing.
Sungguh telah dikatakan hal semisal ini pada Imam Ahmad -rahimahullah- pada zaman dulu, dan juga telah dikatakan pada yang selainnya dari Imam-imam pembawa petunjuk -rahimahumullah-. Namun semua ini tidak memberi madharat (bahaya) pada mereka.

فعلى الإنسان أن يقرأ أيضًا بعد كتاب الله وسنة رسوله-صلى الله عليه وسلم-وسماع هذه النصوص عليه أن يقرأ سير السلف الصالحين، الذين كانوا في هذا الباب مضرب المثل-رحمهم الله تعالى ورضي عنهم-فإن في قراءة قصصهم وأحوالهم وأخبارهم سلوة له بإذن الله-تبارك وتعالى-.

Maka atas seseorang, disamping membaca kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shalallahu ‘alaihi wa sallam- serta menyimak nash-nash ini. Hendaknya ia juga membaca kisah perjalanan para salafush shalih (pendahulu yang shalih -pent), yang pada mereka -rahimahumullah-  terdapat contoh dalam permasalahan ini.
Karena dengan mengetahui kisah, kondisi, serta keadaan mereka terdapat kebahagiaan baginya (ahlus sunnah) dengan izin Allah -Tabaraka wa ta’ala-

وليعلم أن من يقول هذه المقالات لا يضره بإذن الله-تعالى-، لأنه إنما هو مخذل، والنبي-صلى الله عليه وسلم-قد أخبر أن المخذل لا يضر، نعم يؤذيك أذىً ظاهرًا لكنه لا يضر دين الله شيئًا، والحق سينتصر والدالة له والظهور له، والغلبة له، وأشد ما يكون هذا على الإنسان كما قلت لكم من ينتسب إلى السنة أو يتظاهر بالسنة وبالعلم فيها، ولكنه يخذل عن أهلها بطرائق متعددة-فنسأل الله العافية والسلامة-.

Ketahuilah bahwa seluruh ucapan ini tidaklah memadharatkannya dengan izin Allah -Tabaraka wa ta’ala. Karena mereka hanyalah seorang mukhadzdzil, dan Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengkabarkan bahwa seorang mukhadzdzil tidak akan memberi madharat. Ya, ia memang memberimu gangguan secara dzahir, tetapi ia tidak dapat memberi madharat sedikit pun pada agama Allah. Karena al-Haq akan selalu ditolong, akan selalu tersebar, nampak, serta menang.
Dan yang paling menyakitkan dari apa yang terjadi pada manusia adalah sebagaimana yang telah aku sampaikan, bahwa ada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada sunnah, atau menampakkan dengan sunnah dan ilmu, tetapi ia menelantarkan pengikut Sunnah dengan berbagai cara. Maka kita meminta kepada Allah penjagaan dan keselamatan.

أسأل الله سبحانه وتعالى بأسمائه الحسنى، وصفاته العلى، أن يرزقنا وإياكم الفقه في الدين والبصيرة فيه، وأن يثبتنا وإياكم جميعًا على الحق والهدى، وأن يعصمنا وإياكم من الفتن ما ظهر منها وما بطن، وأن يتوفانا وهو راضٍ عنا، إنه ولي ذلك والقادر عليه.

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan Nama-nama-Nya yang terpuji dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, agar merizqikan kepada kami dan kalian kefaqihan agama dan bashirah padanya. Agar mengokohkan kami dan kalian semua di atas kebenaran dan petunjuk. Agar menjaga kami dan kalian dari fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, serta mewafatkan kita dalam keadaan Dia ridha kepada kita. Sesungguhnya Dia adalah Pelindung dari semua itu dan Dia-lah yang Maha Mampu atasnya,

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان.

Inilah yang dapat kami sampaikan. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam, serta barakah terlimpahkan kepada hamba dan rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, para shahabatnya, dam para pengikutnya dengan baik.


***
Sumber:
Alih Bahasa: Syabab Forum Salafy Indonesia
Sumber Artikel: ForumSalafy.net

Jumat, 06 Maret 2015

Hak–Hak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang Wajib Kita Tunaikan


Oleh : Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi hafizhahullah
 
Hidup di dunia tentu bukan untuk sesuatu yang sia-sia. Dalam konsep Islam, hidup di dunia tiada lain untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala semata. Itulah hakikat misi penciptaan manusia dan jin di muka bumi ini. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku. (adzDzariyat: 56)

Hak–Hak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang Wajib Kita TunaikanMisi penciptaan yang merupakan amanat berat itu telah disanggupi oleh manusia, padahal makhluk-makhluk besar semisal langit, bumi, dan gunung-gunung tak menyanggupinya, sebagaimana yang Allah Subhanahu wata’ala sebutkan dalam surat al-Ahzab: 72. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Amanat berat itu akhirnya berada di pundak setiap insan. Allah Subhanahu wata’ala Rabb alam semesta, menjadikannya sebagai ujian. Dengannya akan diketahui siapa di antara mereka yang terbaik amalannya. Allah Subhanahu wata’ala  berfirman :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
(Dialah Allah) yang telah menciptakan kematian dan kehidupan demi menguji siapakah di antara kalian yang terbaik amalannya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (al-Mulk: 2)

Ujian itu amat berat, sedangkan tabiat dasar manusia amat zalim dan amat bodoh. Dengan kasih sayang-Nya yang sangat luas, Allah Subhanahu wata’ala mengutus orang-orang pilihan (para nabi) sebagai pemberi peringatan bagi yang lalai dari amanat berat itu; sekaligus pemberi kabar gembira bagi yang menjalankannya dengan baik. Allah Subhanahu wata’ala sertakan pula kitab suci sebagai pedoman hidup bagi mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar untuk memberi putusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (alBaqarah: 213)

Semua nabi utusan Allah Subhanahu wata’ala itu benar-benar telah menunaikan tugas yang mereka emban. Tidaklah ada satu kebaikan yang mereka ketahui kecuali telah mereka tunjukkan kepada umat kepada. Tidak ada pula satu kejelekan yang mereka ketahui kecuali telah mereka peringatkan umat darinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
Sesungguhnya, tidak ada seorang nabi pun kecuali melainkan bersungguh-sungguh menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang diketahuinya. (HR. Muslim no. 1844, dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma)

Nabi Terbaik yang Diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala di Muka Bumi
Di antara para nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi terbaik yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi ini, sebagai rahmat bagi alam semesta. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta. (al-Anbiya: 107)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai keutamaan yang banyak. Berbagai keutamaan yang tak dimiliki oleh para nabi sebelumnya pun beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sandang. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam :

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي المَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّحِألََدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِعَامَّةً
Aku diberi lima karunia yang belum pernah diberikan kepada seorang (nabi) pun sebelumku: (1) aku diberi kemenangan dengan ditimpakan rasa gentar pada hati musuhku sebulan sebelum bertemu denganku; (2) dijadikan untukku bumi sebagai tempat shalat dan sarana bersuci sehingga siapa sajadari umatku yang mendapati waktu shalat hendaknya mengerjakannya di mana saja; (3) dihalalkan bagiku harta pampasan perang yang tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelumku; (4) aku diizinkan memberi syafaat (untuk segenap manusia di hari kiamat); (5) dan sungguh tiap-tiap nabi diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia. (HR. al-Bukhari no. 335,dan Muslim no. 521, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala di akhir zaman, memberi kabar gembira dan memberi peringatan, dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wata’ala. Beliau menjadi pelita yang menerangi dengan seizin-Nya. Allah Subhanahu wata’ala menutup risalah kenabian dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelamatkan manusia dari kesesatan dan mengentaskan mereka dari kebodohan. Dengan risalah (Islam) yang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bawa, Allah Subhanahu wata’alamembuka mata-mata yang buta, telinga-telinga yang tuli, dan jiwa-jiwa yang terkunci. Bumi yang dipenuhi kegelapan pun menjadi bersinar dengan risalah (Islam) yang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bawa itu. Jiwa-jiwa yang bercerai-berai menjadi bersatu dengannya, keyakinan yang bengkok menjadi lurus, dan jalan-jalan menjadi terang bercahaya. Allah Subhanahu wata’ala telah melapangkan dada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, menurunkan beban yang memberati beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, meninggikan sebutan (nama) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjadikan kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihi perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Subhanahu wata’ala mengutus beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dunia lengang dari rasul, kitab-kitab suci (yang murni) telah lenyap, syariat yang lurus telah diselewengkan. Setiap kaum bersandar kepada pendapat mereka yang paling zalim, bahkan menghukumi antaraAllah Subhanahu wata’ala dan para hamba-Nya dengan teori-teori yang rusak dan hawa nafsu.Melalui beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Subhanahu wata’ala menunjuki seluruh makhluk, menjelaskan jalan kebenaran, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, menerangi kebodohan, dan meluruskan penyimpangan yang ada di tengah-tengah mereka. Allah Subhanahu wata’ala menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pembagi surga dan neraka (maksudnya, yang menaati beliau masuk ke dalam surga dan yang menyelisihi beliau masuk ke dalam neraka, -pen.). Allah Subhanahu wata’ala juga menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pembeda antara orang yang baik dan orang yang jahat. Allah Subhanahu wata’ala menetapkan bahwa petunjuk dan keberuntungan akan diraih dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kesesatan dan kebinasaan dituai dengan menentang dan menyelisihi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
 (Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 19/102—103) 

 Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِّمَّا كُنتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ ۚ قَدْ جَاءَكُم مِّنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ () يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepada kalian cahaya dari Allah (Nabi Muhammad) dan kitab yang menerangkan (al-Quran). Dengan kitabitulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (al-Maidah: 15-16)

Demikianlah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, amanat ilahi telah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tunaikan dengan sebaik-baiknya. Segenap nasihat telah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan kepada umat. Perjuangan menegakkan kalimat Allah l telah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan dengan sebenar-benar perjuangan. Berbagai halangan dan rintangan, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam hadapi dengan penuh kesabaran. Betapa besarnya jasa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada manusia. Sebesar itu pula sesungguhnya hak-hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang wajib mereka tunaikan. Semakin kuat dalam menunaikan hak-hak beliau, berarti semakin kuat pula dalam merealisasikan syahadat, “Asyhadu anna Muhammadar rasulullah.”

Mengenal Hak-Hak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
Kata pepatah Arab, faqidusy syai la yuthihi. Artinya, seseorang yang tak punya sesuatu, tak mungkin dapat memberikan sesuatu itu. Demikian pula dalam hal ini, seseorang yang tidak mengenal hak-hak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, tak mungkin dapat menunaikan hak-hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita selaku umat Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam untuk mengenal hak-hak beliau Shallallahu `alaihi wa sallam agar dapat menunaikannya dengan baik dan tepat. Bila dicermati lebih jauh, sesungguhnya ada di antara manusia yang menunaikan hak-hak beliau Shallallahu `alaihi wa sallam namun masih belum baik dan tepat. Mereka adalah :
1. Orang yang bermudah-mudahan dalam menunaikan hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Orang yang berlebihan-lebihan dalam menunaikan hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga memposisikan beliau Shallallahu `alaihi wa sallam sejajar dengan Allah Subhanahu wata’ala. Diberikan kepada beliau sanjungan rububiyah (kekuasaan ilahi) yang sesungguhnya hanya milik Allah Subhanahu wata’ala semata.

Adapun menunaikan hak-hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dinilai baik dan tepat adalah manakala tidak keluar dari koridor “abdullah wa rasuluhu”, yakni posisi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai hamba Allah Subhanahu wata’ala dan utusan-Nya. Sebagai hambaAllah Subhanahu wata’ala beliau tidak boleh disejajarkan dengan Allah Subhanahu wata’ala. Demikian pula, sebagai utusan-Nya, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam harus dimuliakan, ditaati, dan tidak boleh diselisihi.  

Di antara hak-hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang harus ditunaikan adalah sebagai berikut.
1. Menaati segala yang diperintahkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
Menaati segala yang diperintahkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang terbesar. Ia adalah amalan mulia yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala pada banyak ayat. Bahkan, ketaatan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan realisasi ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Barang siapa menaati Rasul, sungguh dia telah menaati Allah. (an- Nisa: 80)
Menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengantarkan kepada kesuksesan yang besar. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah meraih sukses yang besar. (al-Ahzab: 71)
Hidayah dan rahmat Allah Subhanahu wata’ala pun akan diraih dengannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
Jika kalian menaati beliau, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk. (an-Nur: 54)
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Taatlah kepada Rasul, niscaya kalian dirahmati. (an-Nur: 56)
Dengannya pula kenikmatan surga akan didapatkan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang besar. (an-Nisa: 13)

2. Membenarkan segala yang dikabarkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
Setiap muslim wajib membenarkan segala yang dikabarkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik terkait dengan masa lampau, yang sedang terjadi, maupun yang akan datang. Kabar yang datang dari beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pasti benar, walaupun berlawanan dengan logika atau hawa nafsu.3 Sebab, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur kata kecuali berdasarkan wahyu Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ () إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Tidaklah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsu. Tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (an-Najm: 34)
Sebenarnya pula, logika yang sehat tidak akan bertentangan dengan berita dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam.

3. Menjauhkan diri dari segala yang dilarang oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
Segala yang dilarang oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pasti jelek dan mendatangkan murka Allah Subhanahu wata’ala. Tak mengherankan apabila Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ
Segala yang dibawa oleh Rasul kepada kalian maka ambillah, dan segala yang kalian dilarang darinya maka tinggalkanlah! (al-Hasyr: 7)
Maka dari itu, menjauhkan dari dari segala yang dilarang oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah jalan keselamatan di dunia dan di akhirat.

4. Tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala kecuali dengan syariat yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
Beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala tidak boleh dilakukan semaunya. Sebab, ibadah ialah munajat dan pendekatan diri (taqarrub) kepada Rabb alam semesta Subhanahu wata’ala. Beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala harus dilakukan dengan ikhlas karena-Nya. Demikian pula, ia harus dilakukan sesuai dengan bimbingan dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Barang siapa beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala tidak sesuai dengan bimbingan dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, amalannya ditolak oleh Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
. مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَ دّ
Barang siapa melakukan sebuah amalan (dalam agama ini) yang tidak ada perintahnya dari kami, ia tertolak. (HR. Muslim no. 1718, dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Empat hak di atas disebutkan oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau, Tsalatsatul Ushul, ketika menjelaskan konsekuensi syahadat Muhammadar rasulullah.

5. Mengikuti jejak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan dalam segenap sendi kehidupan.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad), Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (al-Ahzab: 21)

6. Menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemutus dalam segala hal yangdiperselisihkan
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabb-mu, mereka tidak beriman hingga menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa: 65)

7. Mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi kecintaan kepada siapa pun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman hingga aku menjadi yang lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan manusia semuanya. (HR. Muslim no. 70, dari sahabat Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu)

8. Membela dan tidak menyakiti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah, bagi mereka azab yang pedih. (at-Taubah: 61)
Akhir kata, demikianlah di antara hak-hak Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam yang wajib kita tunaikan. Menunaikan hak-hak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berarti merealisasikan syahadat Asyhadu anna Muhammadar rasulullah”. Lebih dari itu, dengan menunaikan hakhak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam akan diraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semoga taufik, hidayah, dan inayah Allah Subhanahu wata’ala senantiasa mengiringi kita, sehingga dimudahkan dalam menunaikan hak-hak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Amin.

Sumber: