Minggu, 24 Maret 2019

NASEHAT DAN ARAHAN-ARAHAN KEPADA UMAT ISLAM UNTUK MEWASPADAI JAMA’AH – JAMA’AH TAKFIRIYAH (yang mengkafirkan kaum muslimin dan pemerintahnya)

✍Asy-Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah

~ Pertanyaan : Sungguh umat Islam telah melewati berbagai musibah dari apa yang dilakukan oleh sekte-sekte atau jamaah takfiriyah (TERORIS) yang sesat, maka apa yang anda nasehatkan kepada umat ini dalam menghadapi peristiwa ini secara khusus?

~ Jawaban : Saya nasehatkan kepada umat Islam secara umum untuk berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan berjalan di atas bimbingan para salafusaleh dan juga selalu taat kepada pemimpin muslim dan bersama jamaah kaum muslimin dan jangan menyempal dari mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

وعليكم بالجماعة فإن يد الله مع الجماعة

“Wajib bagi kalian untuk selalu bersama jamaah karena tangan Allah selalu bersama jamaah.”

Maka barang siapa yang menyempal dari jama’ah kaum muslimin maka dia akan terseret ke neraka.

Hadits ini juga semakna dengan apa yang sering kalian dengarkan pada khutbah jum’at dari atsar-atsar yang diriwayatkan bukan dari pendapat-pendapat yang baru dimunculkan.

Dan ucapan-ucapan yang memiliki pengaruh hanya bisa didapatkan melalui khutbah-khutbah yang berisi atsar-atsar yang menganjurkan untuk berpegang teguh kepada jamaah, untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemerintah dan selalu bersama jamaah kaum muslimin.

Maka wajib bagi mereka para pemuda untuk semangat mempelajari ilmu agama.

Dan alhamdulillah, media-media untuk mendapatkan ilmu sangat dimudahkan, bisa didapatkan di masjid-masjid yang di sana ada para ulama mengajarkan ilmu, bisa juga dengan melalui pendidikan Islam yang formal yang di sana akan mendapat bimbingan yang benar bagi para pemuda dan penjelasan manhaj yang benar.

Maka tidak ada jalan keselamatan dari fitnah-fitnah ini dan dari para da’i-da’i sesat kecuali dengan ilmu yang bermanfaat yang dengannya dia bisa membedakan antara haq dan batil, antara petunjuk dan kesesatan, yaitu dengan ilmu yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

http://t.me/salafy_gelumbang

Sumber :
http://alfawzan.af.org.sa/node/15551

Kunjungi || http://forumsalafy.net/nasehat-dan-arahan-untuk-mewaspadai-jamaah-takfiriyah/

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://bit.ly/ForumSalafy

Sabtu, 16 Maret 2019

ALLAHU AKBAR… (Di Balik Orang-orang Besar Ada Seorang Ibu Yang Mendidiknya)

لله درها
ﺃﺭﺳﻞ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻳﺔ ـ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ – ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻷﻣﻪ، ﻳﻌﺘﺬﺭ ﻟﻬﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻦ ﺑُﻌْﺪِﻩِ ﻋﻨﻬﺎ ﻷﻳﺎﻡ ﻭﺇﻗﺎﻣﺘﻪ ﻓﻰ ﻣﺼﺮ ﻟﺒﻌﺾ ﺷؤﻮﻥ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ..
ﻓﻠﻤﺎ ﻭﺻﻠﺘﻬﺎ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺭﺩﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﻪ ﻓﻘﺎﻟﺖ :
ﻭﻟﺪﻱ ﺍﻟﺤﺒﻴﺐ ﺍﻟﺮﺿﻲّ/ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ..
ﻭﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﺮﻛﺎﺗﻪ ﻭﻣﻐﻔﺮﺗﻪ ﻭﺭﺿﻮﺍﻧﻪ ..
ﻓﺈﻧﻪ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻟﻤﺜﻞ ﻫﺬﺍ ﺭﺑﻴﺘﻚ، ﻭﻟﺨﺪﻣﺔ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﺬﺭﺗﻚ، ﻭﻋﻠﻰ ﺷﺮﺍﺋﻊ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﻠﻤﺘﻚ …ﻭﻻ ﺗﻈﻨﻦَّ ﻳﺎﻭﻟﺪﻱ ﺃﻥ ﻗﺮﺑﻚ ﻣﻨﻲ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻲ ﻣﻦ ﻗﺮﺑﻚ ﻣﻦ ﺩﻳﻨﻚ ﻭﺧﺪﻣﺘﻚ ﻟﻺﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺷﺘّﻰ ﺍﻷﻣﺼﺎﺭ ..
ﺑﻞ – ﻳﺎ ﻭﻟﺪﻱ – ﺇﻥَّ ﻏﺎﻳﺔ ﺭﺿﺎﺋﻲ ﻋﻠﻴﻚ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﻻ ﺑﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻣﻪ ﻟﺪﻳﻨﻚ ﻭﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ..
ﻭﺇﻧﻲ – ﻳﺎﻭﻟﺪﻱ – ﻟﻦ ﺃﺳﺄﻟﻚ ﻏﺪﺍً ﺃﻣﺎﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﺑﻌﺪﻙ ﻋﻨﻲ، ﻷﻧﻲ ﺃﻋﻠﻢ ﺃﻳﻦ ﻭﻓﻴﻢ ﺃﻧﺖ ..
ﻭﻟﻜﻦ – ﻳﺎ ﺃﺣﻤﺪ – ﺳﺄﺳﺄﻟﻚ ﺃﻣﺎﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺣﺎﺳﺒﻚ ﺇﻥ ﻗﺼّﺮﺕ ﻓﻲ ﺧﺪﻣﺔ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺧﺪﻣﺔ ﺃﺗﺒﺎﻋﻪ ﻣﻦ ﺇﺧﻮﺍﻧﻚ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ …
ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻚ، ﻭﺃﻧﺎﺭ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ ﺩﺭﺑﻚ، ﻭﺳﺪﺩ ﺧﻄﺎﻙ، ﻭﺟﻤﻌﻨﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻳﺎﻙ ﺗﺤﺖ ﻇﻞ ﻋﺮﺵ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ، ﻳﻮﻡ ﻻ ﻇﻞ ﺇﻻ ﻇﻠﻪ ..
ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﺮﻛﺎته”.

ﻣﺠﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ( 48 / 28 )

Imam Ibnu Taimiyah mengirim surat kepada ibunya, meminta udzur karena jauhnya beliau dari sang ibu. Untuk beberapa hari beliau tinggal di Mesir untuk kepentingan dakwah dan urusan agama.
Ketika surat sampai pada ibunda beliau maka sang ibu pun menjawab,

Anakku tercinta yang diridhai, Ahmad bin Taimiyah, Wa ‘alaikas salam wa rahmatullah wa barakatuh wa maghfiratuh wa ridhwanuh….

Sungguh demi Allah, untuk seperti ini aku mendidikmu, untuk berkhidmat pada Islam dan Muslimin. Aku nadzarkan dirimu, aku ajarkan padamu syariat agama ini.

Wahai anakku…
Jangan sekali-kali engkau sangka bahwa kedekatanmu padaku lebih aku senangi daripada kedekatanmu pada agamamu dan khidmatmu pada Islam dan Muslimin di berbagai negeri.

Bahkan wahai anakku…
Puncak keridhaanku padamu sebatas apa yang engkau berikan untuk agamamu dan Muslimin.

Wahai anakku…
Sungguh esok aku tak akan menanyaimu di hadapan Allah tentang jauhmu dariku, karena aku tahu di mana dan apa yang engkau kerjakan.

Akan tetapi, wahai Ahmad…
Akan aku tanya dan aku perhitungkan engkau di hadapan Allah jika engkau kurang dalam berkhidmat untuk agama Allah, untuk pengikut-Nya dari saudara-saudaramu kaum muslimin.
Semoga Allah meridhaimu dan menerangi jalanmu dengan kebaikan, serta meluruskan langkahmu.
Semoga Allah menyatukan aku dan engkau dibawah ‘Arsy Ar-Rahman di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. (Majmu Fatawa: 28/48)

Al-Ustadz Usamah Mahri berkata, “Ya Allah jadikan ibu para thullabul ilmi seperti ibu Syaikhul Islam, amiiin…

رحمه الله ورحم أمه. وأسكنهم فسيح جناته”

(Faedah ilmiah dari al-Ustadz Usamah Mahri hafizhahullah
  
Sumber :
http://bit.ly/thoriqussalaf
http://forumsalafy.net/allahu-akbar-di-balik-orang-orang-besar-ada-seorang-ibu-yang-mendidiknya/

Rabu, 13 Maret 2019

MENDOAKAN AMPUNAN BAGI KEDUA ORANGTUA DI DALAM SHOLAT


 Ditulis oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafizhahulloh

Urwah bin az-Zubair rahimahullah adalah seorang Tabi’i, murid dari sekian banyak Sahabat Nabi. Banyak mengambil ilmu dari bibinya, Aisyah (istri Nabi) radhiyallaahu anha. Beliau adalah salah satu dari 7 Ahli Fiqh Madinah di masanya, yang selalu diajak musyawarah oleh Khalifah Umar bin Abdil Aziz.
Di dalam sholat, beliau tidak melupakan doa untuk kedua orangtuanya, yaitu az-Zubair bin al-Awwam (sang ayah) dan Asma’ bintu Abi Bakr, ibu beliau.
Di dalam sujud, Urwah bin az-Zubair membaca doa:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ، وَلِأَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْر
Ya Allah, ampunilah az-Zubair bin al-Awwaam dan Asmaa’ bintu Abi Bakr (riwayat Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnafnya serta al-Baihaqiy dalam Syuabul Iman, dinukil oleh Ibnul Mundzir dalam al-Awsath)
Demikianlah semestinya, di dalam sujud, setelah membaca bacaan yang disunnahkan di dalam sujud, kita bisa memperbanyak doa, di antaranya doa ampunan untuk kedua orangtua kita. Boleh dengan menyebut nama, atau tanpa menyebut nama, seperti dengan menyatakan:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
Wahai Rabbku, ampunilah aku dan orangtuaku
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“ Paling dekatnya seorang hamba kepada Allah adalah pada waktu dia sujud, maka perbanyaklah doa (pada saat itu) “(H.R Muslim dari Abu Hurairah)
Wallaahu A’lam

Sumber :https://salafy.or.id/blog/2019/02/11/mendoakan-ampunan-bagi-kedua-orangtua-di-dalam-sholat/

Sabtu, 09 Maret 2019

Beribadah Hanya kepada Allah

Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala
tidak kepada yang Lain

            Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang
didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak
rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak
umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala
peribadahan kepada selain Allah.

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.”
(An-Nahl: 36)

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah
setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan
meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid.
 Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan
(mentauhidkan) Allah dalam ibadah.

Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan
memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka
azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah
pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah
kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh:
 1-3)

Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai
berikut:

“Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku
takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.”
(Hud: 26)

Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam:

“Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata,
“Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada
bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah
mengada-adakan saja.” (Hud: 50)

Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam:

“Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata,
 “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada
bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah
menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya).” (Hud: 61)

Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam:

“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya
aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah)
 yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah
kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu
kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada
kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28)

Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam:

“Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah
kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang
menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72)

Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada
satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada
 sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah.

Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya,

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku
tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20)

Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting.
Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus
para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis
pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi
sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat
kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar
(neraka).

Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini.
Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘alaihis salaam dalam
firman-Nya,

“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang
berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad: 19)

Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang
(kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu
 yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari
kiamat.

Makna Laa ilaaha illallah

Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan
lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan
di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang
maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya.

Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para
rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah
semata.

Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna:

– لاَ (Laa)   : Tidak ada, atau tiada

– إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk
 beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan,
pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan
harapan, serta penyerahan diri.

Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain
ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi)

– إلاَّ (illa)   : kecuali, atau melainkan

– الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah
 yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi
 atas seluruh makhluk-Nya.”

Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya
adalah

لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله

“Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.”

Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi
selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa
seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam
hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah,
Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka
ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah
yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)

Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla
satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada
yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun mereka adalah ilah yang
batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata
penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian
mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk
(menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.”
(An-Najm: 23)

Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di
 atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu:

“Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian
sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.”

Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi,
kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (Az-Zukhruf: 26)

Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa
ilaha illallah.

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang
 ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa
para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama
hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak)
kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan
(hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka
serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada
 Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud)
selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”;
“Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah
kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha
illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut
 dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar
mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan
Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah
(peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu
yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu
tersebut.

Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula
bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna
kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad
min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah).

Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar
mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya,
 namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa
ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah.
Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat,
ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat
memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya
 itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia
lantunkan dalam do’a dan dzikirnya.

            Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : http://mahad-assalafy.com/beribadah-hanya-kepada-allah/
Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl: 36) Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah. Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh: 1-3) Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut: “Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26) Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam: “Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (Hud: 50) Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam: “Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud: 61) Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam: “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28) Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam: “Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72) Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah. Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20) Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka). Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘alaihis salaam dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad: 19) Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat. Makna Laa ilaaha illallah Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya. Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna: – لاَ (Laa) : Tidak ada, atau tiada – إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri. Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi) – إلاَّ (illa) : kecuali, atau melainkan – الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.” Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله “Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.” Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62) Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (An-Najm: 23) Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu: “Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.” Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (Az-Zukhruf: 26) Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah. Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut. Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah). Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam do’a dan dzikirnya. Wallahu a’lam bish shawab. Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

Continue reading at http://mahad-assalafy.com/beribadah-hanya-kepada-allah/ | Ma'had As-Salafy
Beribadah Hanya kepada Allah oleh mahad · ١٠ رجب ١٤٣٣ Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl: 36) Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah. Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh: 1-3) Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut: “Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26) Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam: “Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (Hud: 50) Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam: “Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud: 61) Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam: “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28) Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam: “Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72) Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah. Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20) Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka). Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘alaihis salaam dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad: 19) Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat. Makna Laa ilaaha illallah Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya. Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna: – لاَ (Laa) : Tidak ada, atau tiada – إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri. Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi) – إلاَّ (illa) : kecuali, atau melainkan – الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.” Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله “Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.” Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62) Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (An-Najm: 23) Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu: “Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.” Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (Az-Zukhruf: 26) Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah. Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut. Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah). Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam do’a dan dzikirnya. Wallahu a’lam bish shawab. Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

Continue reading at http://mahad-assalafy.com/beribadah-hanya-kepada-allah/ | Ma'had As-Salafy
Beribadah Hanya kepada Allah oleh mahad · ١٠ رجب ١٤٣٣ Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl: 36) Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah. Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh: 1-3) Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut: “Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26) Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam: “Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (Hud: 50) Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam: “Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud: 61) Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam: “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28) Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam: “Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72) Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah. Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20) Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka). Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘alaihis salaam dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad: 19) Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat. Makna Laa ilaaha illallah Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya. Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna: – لاَ (Laa) : Tidak ada, atau tiada – إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri. Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi) – إلاَّ (illa) : kecuali, atau melainkan – الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.” Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله “Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.” Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62) Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (An-Najm: 23) Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu: “Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.” Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (Az-Zukhruf: 26) Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah. Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut. Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah). Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam do’a dan dzikirnya. Wallahu a’lam bish shawab. Continue reading at http://mahad-assalafy.com/beribadah-hanya-kepada-allah/ | Ma'had As-Salafy