Senin, 06 April 2015

Al-Jarh Wa At-Ta’dil, Upaya Menjaga Kemurnian Syariat

Al-jarh wat ta’dil adalah sebuah metode yang dipakai para ulama Ahlus Sunnah untuk menjaga kemurnian ajaran Islam. Pada intinya, ia berisi pujian terhadap segala yang bersesuaian dengan Al Qur`an dan As Sunnah serta celaan terhadap segala yang berlawanan dengan keduanya. Prinsip ini telah menjadi pedang Ahlus Sunnah bagi segenap ahlul bid’ah yang ingin melakukan perusakan terhadap agama. Tak heran banyak pengikut hawa nafsu mencoba meruntuhkan prinsip ini agar kebid’ahan mereka bisa dianggap sebagai agama. Namun sampai hari kiamat, mereka tak akan pernah mampu melakukannya.

Pengertian Al-Jarh wat Ta’dil

Secara bahasa, dengan mem-fathah-kan huruf jim (dibaca ja); jarh artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Kalau di-dhammah-kan (dibaca ju) jurh dikatakan sebagai isim dari kata kerjanya.
Adapula yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.
Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits.
Adapun ta’dil secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang sebaliknya dari jarh.
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-jarh wat ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan at-ta’dil terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, sekaligus untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.1
Kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari sini, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, inipun ditolak2. Mereka mengatakan: “Shahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu shahih matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hal 20-21).
Di antara landasan syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat ta’dil ini adalah:
Firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik. Dan mafhum3 dari ayat ini, semua berita dari orang yang tsiqah (terpercaya) diterima.
Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dijadikan dasar (hukum) tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan):
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian dia menyampaikan (kepada orang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya dari Jubair bin Muth’im, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dikatakan oleh At-Tirmidzi: “Hadits hasan.”)4
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (1/83) mengatakan: “Jadi, al-jarh (kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita atau riwayat adalah boleh. Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena adanya kebutuhan darurat yang memang mengharuskannya, demi melindungi syariat yang mulia ini.”
Kemudian beliau melanjutkan: “Wajib atas seorang kritikus untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam men-jarh (mengkritik) seseorang. Perlu adanya tatsabbut (meneliti kebenaran berita), berhati-hati, tidak bermudah-mudah dalam men-jarh orang yang (sebetulnya) selamat (bersih) dari jarh (cacat). Atau merendahkan orang-orang yang tidak tampak kekurangannya, karena kerusakan akibat jarh ini sangat besar. Dan dia akan menggugurkan semua hadits atau riwayat dari rawi tersebut, yang tentunya akan menggugurkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”5
Adapun pembahasan lebih lanjut tentang kedua perkara ini adalah dalam kitab-kitab mushthalah hadits. Sedangkan dalam pembahasan ini, kita melihat sisi lain dari penerapan al-jarh wat ta’dil ini dalam menjaga kemurnian dan kelestarian syariat Islam yang mulia ini.

Kesempurnaan Syariat Islam

Allah Subhanahu wata’ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam membawa risalah sekaligus menutup para Nabi dan Rasul. Firman Allah:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Dengan demikian, siapapun yang menganggap bahwa manusia itu harus memahami aqidah dan hukum-hukum agama mereka melalui ilmu lain yang bukan dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah berarti telah melakukan kedustaan besar. Bahkan ini sama artinya dengan menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan pendapat atau pemikiran yang dia lontarkan. Ini adalah sebesar-besar kedzaliman terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Sehubungan dengan hal ini, Al-Imam Malik bin Anas menegaskan: “Barangsiapa yang mengada-adakan satu bid’ah dalam Islam yang dianggapnya baik, berarti dia menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Padahal Allah I berfirman:
(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu), sehingga apa yang dahulu tidak diakui sebagai agama, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.” (Al-I’tisham 1/64 dalam Al-Luma’ hal. 8)
Al-Imam Asy-Syaukani t menerangkan pula: “Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Dia mencabut ruh Rasulullah r, lantas apa artinya berbagai pemikiran yang diada-adakan oleh penggagasnya?! Kalau pemikiran tersebut memang bagian dari agama (ajaran Islam) –menurut keyakinan mereka– berarti agama ini belum sempurna kecuali dengan adanya tambahan dari pemikiran tersebut. Ini jelas menentang Al Qur`an. Kemudian, kalau pemikiran tersebut bukan bagian dari agama ini –dan kenyataannya memang demikian (ed) – apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari agama?! (Al-Qaulul Mufid hal. 38 dalam Al-Luma’ hal. 9)
Allah telah mewajibkan kepada Rasulullah r untuk menyampaikan risalah ini dengan sebenar-benarnya, sebagaimana firman-Nya:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan amanah dengan penyampaian sempurna, lafadz serta makna. Beliau tinggalkan untuk umat ini kitab Allah (Al Qur`an) secara sempurna tanpa ada tambahan ataupun pengurangan. Ummul Mukminin (ibunda orang-orang beriman) Shiddiqah bintu Shiddiq ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad r menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan oleh Allah, berarti dia benar-benar telah membuat kedustaan besar terhadap Allah. Padahal Allah I telah menegaskan:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya).”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menerangkan tentang kewajibannya ini: “Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari.” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash)
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk memilah dan memilih sesuatu dari syariat ini untuk diyakini atau diamalkan, sedangkan yang lain ditinggalkan.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam Tafsir-nya (hal. 94) menerangkan makna (ke dalam Islam secara keseluruhan) artinya: Seluruh syariat agama (Islam) ini. Jangan meninggalkan sebagiannya dan jangan termasuk orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (yang ditaati, disembah, diibadahi dengan semua jenis peribadatan-pen). (Yakni), kalau syariat itu cocok dengan hawa nafsunya dia kerjakan, kalau tidak maka dia tinggalkan. Padahal, yang wajib adalah menjadikan hawa nafsu itu tunduk mengikuti ajaran syariat Islam yang mulia ini.”
Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.” (An-Nisa`: 150-151)
Kalimat (Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya) menegaskan kepada kita penekanan tentang sifat mereka, sehingga jangan ada yang menyangka keadaan demikian, artinya mereka berada di antara kekafiran dan keimanan.

Dakwah kepada As-Sunnah dan Tahdzir dari bid’ah

Salah satu prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah para pengikut salaf ialah dakwah (mengajak) kepada As-Sunnah An-Nabawiyyah. Ini adalah landasan utama persatuan dan kesatuan serta sebab bersatunya kaum muslimin. Bahkan sebagai perlindungan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
As-Sunnah adalah asas persatuan dan sumber kemuliaan, kekuatan dan kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah r adalah teladan dalam (menjalankan) agama ini. Demikian pula para sahabatnya, dimana Allah dan Rasul-Nya telah memberikan tazkiyah (pujian) kepada mereka. Bahkan Rasul-Nya r wafat meninggalkan dunia ini dalam keadaan ridha kepada para shahabatnya.
Al-Haq (kebenaran) dan hidayah serta bimbingan senantiasa ada bersama mereka, di manapun mereka berada. Mereka tidak akan bersatu (sepakat) di atas kebatilan. Berbeda dengan orang-orang selain mereka, dari berbagai kelompok sempalan yang ada, karena mereka justru bersatu di atas kebatilan dan kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t telah menerangkan: “Tidak boleh ada pembelaan (wala`, nushrah) terhadap tokoh tertentu secara umum dan mutlak kecuali hanya kepada Rasulullah r. Tidak pula kepada kelompok tertentu kecuali kepada para shahabat g. Karena sesungguhnya Al-Huda senantiasa ada bersama Rasulullah r di manapun beliau berada. Begitu pula para shahabatnya.” (Minhajus Sunnah, 5/261)
Sejumlah nash (dalil) syariat telah menguraikan anjuran dan dorongan untuk mengikuti prinsip mulia ini. Prinsip yang menjadi acuan persatuan dan kesepakatan di atas As-Sunnah dan jalan yang terang. Sehingga, tidak ada hujjah melainkan milik orang yang menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, dan tidak ada ‘ishmah (keterjagaan) dari penyimpangan kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan As-Sunnah dalam ilmu, amal, pendalilan dan pemahaman serta ittiba’ (sikap mengikuti).
Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Uswah artinya teladan. Tidak ada teladan (yang baik) kecuali Rasulullah r. Tidak ada ittiba’ kecuali (kepada) beliau, dan tidak ada keselamatan kecuali berjalan di atas jalan yang dilalui beliau.
Allah I berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Sehingga pengakuan cinta seseorang belum bisa diterima hingga dia membuktikan dan melapangkan jalannya, yaitu dengan ittiba’ serta tetap berpegang dengan As-Sunnah.
Ibnul Qayyim menjelaskan: “Ketika semakin banyak orang-orang yang mengaku cinta, mereka dituntut menunjukkan bukti nyata pengakuan cintanya itu… Maka Allah berfirman: (Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku) Akhirnya semua mundur, kecuali orang-orang yang mengikuti al-habib (Rasulullah r) dalam setiap ucapan, tindakan, dan akhlaknya.”
Allah berfirman: “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.”6 Dalam ayat ini dengan tegas dan sangat jelas Allah menyatakan bahwa hidayah itu berkaitan langsung dengan ittiba’ kepada Rasul-Nya. Dan tentunya, ghiwayah (kesesatan, penyelewengan) berkaitan langsung dengan penyimpangan dari Sunnah Rasul-Nya.
Hal ini ditegaskan pula dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah, katanya: “Rasulullah jika berkhutbah matanya memerah, suaranya meninggi, marahnya meningkat hingga seakan-akan dia (sedang) mengomando satu pasukan tentara. Beliau berkata: ‘Perhatikan esok pagi dan petang kalian!’”
Beliau berkata pula: ‘Kemudian sesudah itu (amma ba’du). Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al Qur`an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (r). Dan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah sesat.”
Rasulullah juga bersabda: “Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun kepada seorang budak Habsyi (Ethiopia). Sesungguhnya, siapa yang hidup dari kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa`ur rasyidin yang terbimbing. Peganglah dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari Al-‘Irbadh bin Sariyah)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah!” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Dari sejumlah dalil ini jelaslah bagi kita tentang keagungan As Sunnah dan kewajiban mengikuti As Sunnah. Adanya keselamatan bagi orang yang menempuh jalan yang digariskannya dan menjauhi hal-hal yang menyelisihinya. Pengertian seperti ini telah dipahami dengan tepat dan dijaga oleh para sahabat Rasulullah r dan para tabi’in. Mereka senantiasa menyampaikan hadits tentang anjuran berpegang dengan tuntunan Rasulullah r, men-tahdzir (menjelaskan akan bahaya) bid’ah, (melarang) bertetangga dengan ahli bid’ah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, dan orang-orang yang berpegang kepada ra`yu (pendapat akal pikiran semata).
Perhatikan sikap ‘Umar bin Al-Khaththab z ketika dia berkata: “Hati-hatilah dan jauhilah oleh kalian orang-orang yang menggunakan ra`yunya. Karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As-Sunnah. Mereka dilemahkan oleh hadits-hadits, hingga tidak mampu menghafalnya. Akhirnya mereka berbicara dengan ra`yu mereka, maka mereka tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni t dalam Sunan dan Al-Lalikai t dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah)
Shahabat yang mulia Ibnu Mas’ud z juga mengatakan: “Ikutilah (ajaran Rasulullah) dan jangan membuat bid’ah. Sesungguhnya kalian telah dicukupi (dalam masalah agama ini). Dan setiap bid’ah itu sesat.” (Al-Ibanah, 1/327)
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz t berkata: “As-Sunnah ialah yang telah digariskan oleh orang yang tahu bahwa menyelisihinya adalah penyimpangan. Mereka lebih mampu untuk berdebat daripada kalian.” (Al-Ibanah)
Jelaslah bagi kita bagaimana manhaj salaful ummah dalam ilmu, amal, dan dakwah. Yaitu senantiasa berpegang teguh kepada As-Sunnah, mengikuti jalannya, dan mengajak manusia kepadanya serta men-tahdzir agar menjauhi orang-orang yang menyelisihinya.
Agama Islam adalah (ajaran agama yang berisi) perintah dan larangan. Perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari semua kejahatan. Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabipun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari…” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c)
Jadi, dakwah (Islam) ini sempurna meliputi berbagai aspek. Dimulai dari yang paling utama (tauhid) kemudian yang berikutnya. Namun demikian, bukan berarti dakwah kepada tauhid harus menutup mata terhadap hal-hal lain yang terkait dengannya, yang merupakan syarat sempurnanya tujuan dakwah.
Hal ini ditegaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab t yang dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah: “Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Allah I memberi hidayah kepada kita semua menuju urusan agama kita yang lurus. Bahwa perkara yang Allah I perintahkan Rasul-Nya r mendakwahkannya dan umatnya termasuk di dalamnya, mempunyai dua landasan utama, yang tidak mungkin lepas salah satu dari yang lainnya. Keduanya ialah:

a. Perintah beribadah hanya kepada Allah I satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dorongan terhadap hal ini dan mempunyai sikap wala` yang didasari oleh perkara ini, sekaligus menyatakan kafirnya orang-orang yang meninggalkan perkara ini.
b. Peringatan tentang bahaya syirik dalam beribadah kepada Allah I, bersikap tegas dalam perkara ini dan menunjukkan sikap permusuhan yang didasari kebencian terhadap masalah (syirik) ini serta menyatakan kafirnya orang-orang yang melakukannya.7
Inilah Al-Islam, yaitu istislam (tunduk, berserah diri) kepada Allah I dengan tauhid, menaati-Nya, dan berlepas diri dari semua bentuk kesyirikan serta para pelakunya.
Sesungguhnya siapapun yang mempelajari Kitab Allah U dan Sunnah Nabi-Nya r, tentu melihat bahwa agama ini dibangun di atas dua landasan utama ini, yaitu ta`shil dan tahdzir.
Ta`shil yakni membentuk prinsip pokok tentang kebenaran (al-haq) sekaligus menerangkannya. Adapun tahdzir, yaitu memperingatkan manusia agar menjauhi berbagai bentuk kebatilan. Sebagaimana firman Allah I:
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)
Di sini, AllahI telah menyatakan bahwa tidaklah seseorang menjadi muslim (sejati) yang berjalan di atas kemuliaan dan jalan yang lurus sampai dia menghimpun kedua prinsip dasar ini. Yaitu kafir (ingkar, menentang) terhadap berbagai bentuk kebatilan dan semua yang diibadahi selain Allah I, sekaligus beriman hanya kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam uluhiyah (peribadatan), rububiyah (perbuatan-perbuatan Allah I)8, maupun dalam masalah asma‘ wa shifat (nama dan sifat-sifat Allah I).
Bahkan, seseorang tidak pula akan dikatakan sebagai muttabi’ (pengikut) Sunnah atau tuntunan Al-Mushthafa (Nabi Muhammad r) hingga dia menambahkan adanya sikap hajr (meninggalkan) dan tahdzir (memperingatkan bahaya) bid’ah dan ahli bid’ah serta membenci mereka.
Jadi, tahdzir dari orang-orang yang mempunyai penyakit zaigh (cenderung kepada kesesatan), bid’ah, dan hawa nafsu adalah salah satu prinsip dasar dari ushul (prinsip pokok) ajaran Islam. Dan ini adalah sebagai bentuk pemeliharaan bagi kemurnian syariat dan membentengi aqidah kaum muslimin dari kerusakan.
Permasalahan ini sesungguhnya telah dijelaskan oleh Allah I melalui firman-Nya:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)9
Al-Imam Asy Syaukani t dalam Fathul Qadir (2/122) menerangkan: “Di dalam ayat ini terkandung nasehat dan peringatan besar bagi mereka yang mentolerir duduk bermajelis dengan ahli bid’ah, (yaitu) orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah I, mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika dia tidak (mampu) mengingkari atau mengubah keyakinan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka. Dan ini tentu lebih mudah.”
Kemudian firman Allah U:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (An-Nisa`: 140)
Al-Imam Al-Qurthubi t dalam Tafsir-nya (5/418) menerangkan tafsir ayat ini yang maknanya: “Ayat ini menegaskan wajibnya menjauhi para pelaku maksiat, apabila terlihat kemungkaran yang mereka kerjakan. Sebab, orang yang tidak mau menjauhi mereka berarti dia ridha (senang) dengan perbuatan maksiat itu. Sedangkan ridha kepada kekafiran berarti kafir. Sebagaimana firman Allah I ini: {Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka}. Maka siapapun yang duduk bersama pelaku maksiat dan tidak mengingkari mereka, dosa mereka sama….dan apabila dia tidak mampu mengingkarinya, hendaklah dia pergi meninggalkan majelis tersebut agar tidak tergolong orang-orang yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Dan apabila telah jelas keharusan menjauhi pelaku maksiat, maka menjauhi pelaku bid’ah itu jelas lebih diutamakan…”
Semakna dengan ini adalah sabda Rasulullah r yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t dari ‘Ali bin Abi Thalib z:
“(Semoga) Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. (Semoga) Allah melaknat orang yang menyembelih untuk sesuatu selain Allah. Dan (semoga) Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Dan (semoga) Allah melaknat orang yang merubah patok batas tanah.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh t menukil perkataan Ibnul Atsir, mengatakan: “Kalau huruf dal dibaca dengan kasrah (), artinya pelaku kejahatan (jaani), kalau dibaca fathah (), artinya adalah perkara yang diada-adakan. Sehingga maknanya dalam bentuk pertama, melindungi dan membela pelaku kejahatan itu dari lawan yang menuntutnya. Adapun dalam bentuk kedua ini artinya ialah ridha dan bersabar menjalankannya. Karena sesungguhnya kalau seseorang ridha terhadap suatu bid’ah, menyetujui pelakunya dan tidak mengingkari, berarti dia telah melindungi dan membelanya.” (Fathul Majid hal. 175-176)
Dan kita tahu, bahwa bid’ah itu jauh lebih berbahaya daripada maksiat. Karena seorang pelaku maksiat, ada kemungkinan mudah untuk bertaubat. Bahkan terkadang, mereka melakukannya sembunyi-sembunyi karena tahu yang dikerjakannya itu salah dan dosa. Sedangkan pelaku bid’ah, sangat sulit diharapkan bertaubat, sebab mereka merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan merupakan ajaran agama. Oleh karena itulah Sufyan Ats-Tsauri t mengatakan bahwa bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat.
Dari sini, maka tidaklah pantas pula bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah I dan hari kemudian, untuk menjadikan jumlah mayoritas sebagai ukuran suatu kebenaran. Karena al-haq itu tidaklah dinilai dari banyak sedikitnya pengikut. Akan tetapi al-haq dinilai dan dikenal dari dalil-dalil syariat, ayat-ayat Al-Qur‘an, dan As-Sunnah.
Firman Allah I:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
Al-Wala`wa Al-Bara`
Setiap mukmin adalah wali Allah dan mereka adalah wali bagi mukmin lainnya. Sedangkan orang-orang kafir adalah musuh Allah I dan musuh orang-orang yang beriman.
Allah I telah mewajibkan agar kaum mukminin berwala` kepada sesama mukminin. Allah I tegaskan pula bahwa sikap wala` ini merupakan tuntutan atau konsekuensi dari keimanan. Bahkan dia merupakan bagian dari makna kalimat syahadat (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah).
Inilah ajaran (millah) Nabi Ibrahim u dan orang-orang yang bersama beliau. Allah I juga memerintahkan kita untuk mengikuti ajaran tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)
Memang, ayat ini adalah anjuran untuk bara` (benci) terhadap orang-orang kafir, tetapi makna atau hukumnya berlaku umum. Artinya dapat pula diterapkan kepada orang-orang yang fajir (jahat, durhaka) dan ahli bid’ah. Oleh sebab itu para pendahulu kita yang saleh dari kalangan sahabat terang-terangan menampakkan sikap bara` mereka terhadap bid’ah dan ahlinya. Sebagaimana kita maklumi hal ini dari sikap Ibnu ‘Umar c yang mengatakan: “Sampaikan kepada mereka (orang-orang Qadari10), bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” Beliau ucapkan tiga kali.11
Prinsip ini (al-wala‘ wal bara‘) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah r:
“Tiga hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik z)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menerangkan: “…perlu diketahui bahwa seorang mukmin wajib kamu cintai meskipun dia mendzalimi kamu. Dan orang kafir harus kamu benci meskipun dia berbuat baik dan memberikan sesuatu kepadamu. Karena sesungguhnya Allah I mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-kitab-Nya agar agama (ibadah) ini seluruhnya hanya diserahkan kepada Allah I, sehingga cinta kepada wali-wali-Nya dan membenci musuh-musuh-Nya…
Kemudian, apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kedurhakaan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan wala` sebatas kebaikan yang ada padanya dan berhak menerima bara` (kebencian) dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada padanya. Seperti seseorang yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman, namun juga dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari baitul mal (kas negara) untuk mencukupi kebutuhannya. Dan inilah salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berbeda dengan orang-orang Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka.”12
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Salah satu hak yang harus ditunaikan dalam prinsip Al-Wala` wal Bara` ialah amar ma’ruf nahi munkar yang juga penyempurna seluruh prinsip pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama yang Allah I perintahkan. Bahkan Allah I menjadikannya sebagai karakter para Nabi dan Rasul u, sebagai tanda bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, sekaligus sebagai bukti kebaikan dan kesuksesan mereka di dunia dan akhirat.
Allah I berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90)
Allah I berfirman tentang sifat Nabi-Nya r:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A’raf: 157)
Ayat ini menerangkan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad r. Karena Allah I memerintahkan semua kebaikan dan melarang semua kemungkaran melalui lisan beliau, menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang keji.
Allah I telah mensifati umat ini sesuai dengan sifat Nabi-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah..” (Ali ‘Imran: 110)
Dan firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah: 71)
Dalam ayat ini, Allah I menerangkan bahwa umat ini adalah umat terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada sesama manusia, karena mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia dengan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka telah menjalankannya secara sempurna, bahkan menegakkannya dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka.13
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “Menganjurkan manusia agar berpegang dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan tersebar adalah amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amalan saleh yang paling mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan mengharapkan wajah Allah I.”(Minhajus Sunnah, 5/253)
Termasuk amar ma’ruf nahi munkar adalah kritik terhadap berbagai kesalahan atau penyimpangan dan menjelaskannya kepada manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menyatakan: “Dai yang mengajak kepada satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hukuman itu kadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana para salafus saleh membunuh Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari, dan lain-lain14. Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan men-tahdzir manusia supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah I dan Rasul-Nya.”(Majmu’ Fatawa 35/414, dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah 2/485)
Oleh karena inilah menjadi wajib untuk menerangkan perihal orang-orang yang keliru dalam hadits atau periwayatan, dalam hal pemikiran ataupun fatwa. Bahkan juga mereka yang salah dalam masalah zuhud dan ibadah.15
Adapun dalil atau acuan dalam masalah ini ialah dalil-dalil yang berkaitan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tidak selayaknya bagi setiap jamaah kaum muslimin untuk merasa sesak dan sempit dadanya (menerima) kritikan atau sejenisnya. Karena hal ini adalah bagian dari pelaksanaan sikap adil yang Allah I perintahkan kepada kita, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (An-Nisa`: 135)
Al-Layy (memutar balikkan kata-kata) sama dengan dusta, sedangkan i’radh (enggan menjadi saksi) sama dengan kitman (menyembunyikan kesaksian), demikian diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Lantas bagaimana mungkin dibenarkan bagi seorang mukmin pengakuannya (dia beriman) jika diiringi sikap kitman, berlindung di balik kepalsuan sikap politik? Apalagi dikatakan oleh Abu ‘Ali Ad-Daqqaq t bahwa orang yang diam terhadap suatu kemungkaran, adalah setan yang bisu. Dan orang yang berbicara dengan suatu kebatilan adalah syaithan nathiq (setan yang pintar ngomong, red).16
Tentunya, tidak diragukan lagi, ghirah (kecemburuan) yang Allah I letakkan di dalam hati seorang mukmin terhadap apa yang diharamkan Allah I inilah yang sebenarnya menjadi motivator baginya untuk menjalankan kewajibannya ini. Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya Allah I mempunyai sifat cemburu. Dan seorang mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah I adalah seorang mukmin melanggar apa yang diharamkan Allah I terhadapnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Sehingga, jika setiap kali seorang mukmin yang ingin memperbaiki satu kekeliruan atau meluruskan suatu penyimpangan dicegah, dengan dalih bukan saatnya ‘karena orang-orang kafir tengah mengintai kelengahan kaum muslimin’, lantas sampai kapan orang diperingatkan tersebut menyadari kesalahannya dan sampai kapan orang yang sakit itu akan sembuh, lalu menjadi kuat?
Bahkan, bukanlah merupakan bentuk wala` terhadap kaum mukminin, kalau seseorang membantu17 saudaranya dalam kebatilan, padahal saudaranya itu membutuhkan bimbingan secara syar’i. Anas bin Malik z meriwayatkan dari Rasulullah r:
“Tolonglah saudaramu yang dzalim atau yang didzalimi (teraniaya).” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah. Kami jelas akan menolong yang didzalimi, lalu bagaimana kami menolong saudara kami yang dzalim?”Rasulullah r bersabda: “Yakni kamu tahan tangannya agar tidak berbuat dzalim.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Rasulullah r menerangkan pula bagaimana pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:
“Perumpamaan orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Allah dan orang yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah. Kemudian yang berada di bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang yang ada di atas mereka. Maka mereka (yang di bawah ini) berkata: ‘Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita.’
Maka seandainya orang-orang yang di atas membiarkan orang-orang yang di bawah melakukan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan binasa (tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas) menahan (mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat dan selamatlah semuanya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir z)
Dalam hadits ini menegaskan kepada kita bahwa bahaya yang terjadi kalau inkarul munkar (mencegah, menghalangi kemungkaran) ditinggalkan tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi seluruh kelompok masyarakat yang diam terhadap kemungkaran tersebut. Allah U telah mengingatkan kita bahwa azab-Nya tidak hanya menimpa orang yang dzalim semata:
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Al-Anfal: 25)
Oleh karena itu, menghadapi ahli bid’ah, menerangkan dan membongkar kebatilan mereka (juga tokoh-tokohnya) merupakan upaya perlindungan terhadap kaum muslimin, agar tidak dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menerangkan bahwa musuh-musuh Allah ada dua: dari kalangan kuffar (orang-orang kafir) dan munafikin. Dan tentunya menghadapi yang kedua ini lebih sulit.
Beliau mengatakan pula: “Apabila suatu kelompok bukan dari kalangan munafikin, namun suka mendengarkan perkataan orang-orang munafikin, telah kabur atas mereka urusan orang-orang munafikin tersebut. Sehingga dia mengira ucapan mereka adalah benar, padahal menyelisihi sunnah. Akhirnya mereka menjadi corong yang menyuarakan dan mengajak kepada bid’ah (yang dianut) orang-orang munafikin tadi. Hal ini sebagaimana firman Allah I:
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka..” (At Taubah: 47)
Maka harus diterangkan keadaan orang-orang tersebut. Fitnah yang ditimbulkan mereka lebih hebat, karena pada diri mereka ada iman yang mendorong kita wajib bersikap loyal (wala`) kepada mereka. Sementara mereka telah terjerumus ke dalam bid’ah kaum munafikin yang merusak agama ini. Sehingga, mesti ada tahdzir dari bid’ah tersebut, meskipun hal itu mengharuskan penyebutan mereka dan ta’yin (menerangkan nama tokoh-tokohnya). Bahkan kalaupun mereka tidak mengambil bid’ah itu dari kaum munafikin, namun muncul dari pendapat sendiri yang mereka anggap bahwa hal itu adalah petunjuk, kebaikan bahkan merupakan agama, tetap wajib untuk menerangkan keadaan (kesesatan) mereka.”(Majmu’ Fatawa, 28/233)
Para ulama menganggap bahwa berjihad menghadapi orang-orang seperti ini lebih utama. Yahya bin Yahya, guru Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumullah, mengatakan: “Membela As-Sunnah lebih utama daripada jihad.” Demikian pula Al-Humaidi, guru Al-Imam Al-Bukhari yang lain mengatakan: “Demi Allah, memerangi orang-orang ini (ahli bid’ah) yang menolak hadits Rasulullah r jauh lebih aku sukai daripada memerangi orang-orang kafir sebanyak mereka.”
Sehingga dikatakan oleh Ibnu Hubairah berkaitan dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri z tentang (memerangi) orang-orang Khawarij: “Hadits ini menerangkan bahwa memerangi Khawarij lebih utama daripada memerangi kaum musyrikin. Hikmahnya ialah bahwa memerangi mereka merupakan bentuk penjagaan terhadap modal pokok Islam. Sedangkan memerangi kaum musyrikin (ibaratnya seperti) mencari keuntungan. Tentunya, memelihara modal pokok jauh lebih utama.”(Fathul Bari 12/301 dalam Sittud Durar hal. 119-120)
Namun, ada yang perlu diperhatikan dalam masalah ini. Yaitu firman Allah I:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Dan firman Allah I:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 43-44)
Juga sabda Rasulullah r dari hadits ‘Aisyah x:
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu, tidaklah dia berada pada sesuatu melainkan tentu menghiasinya.” (Shahih, HR. Muslim)
Jelas di sini betapa pentingnya sikap lemah lembut. Dan sebelum itu semua, yang utama adalah ilmu. Sehingga setiap orang yang mau menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus tahu mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Jangan sampai dia justru mengingkari sesuatu yang ternyata merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) atau sebaliknya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 28/136)
Namun perlu juga kita pahami di sini, bahwa kelembutan bukan berarti kita harus diam terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz t menyatakan: “Tidak diragukan bahwa syariat Islam ini adalah syariat yang sempurna, datang membawa tahdzir terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama. Memerintahkan dakwah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debat dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syariat ini sama sekali tidak melupakan sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak lagi berguna. Sebagaimana firman Allah I:
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka..” (At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)
Dan firman Allah I:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka mendapati sikap keras dalam diri kalian.” (At-Taubah: 123)
Sikap keras ini, jika memang dibutuhkan harus dilaksanakan walaupun terhadap sesama muslim. Tidakkah kita lihat bagaimana Allah I membolehkan berperang dalam masalah ini, sebagaimana firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujurat: 9)
Bahkan terkadang seorang mukmin akan lebih keras dan tegas mengingkari kemungkaran yang ada pada saudaranya daripada terhadap musuhnya (orang kafir). Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa u mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Harun u di mana Allah I berfirman tentang hal itu:
“Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.” (Al-A’raf: 150)
Apakah ada orang yang membantah Nabi Musa u dan menganggapnya tidak mempunyai sikap wala` terhadap saudaranya Nabi Harun u, beliau berlemah lembut kepada musuhnya seorang thaghut besar, tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?
Kita lihat bagaimana Rasulullah r berbuat terhadap sebagian para shahabatnya.
Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir bin ’Abdillah dia mengisahkan bahwa Mu’adz z biasa shalat bersama Rasulullah r, kemudian dia mendatangi kaumnya dan shalat bersama mereka (sebagai imam) dan membaca surat Al-Baqarah. Ada seseorang yang memendekkan shalat (kemudian pergi). Berita ini sampai kepada Mu’adz z lalu dia mencap orang itu munafik. Laki-laki itu mengetahui perbuatan Mu’adz. Lalu diapun datang menemui Rasulullah r dan mengadu: “Ya Rasulullah, kami suatu kaum yang bekerja sendiri untuk mengairi tanaman kami. Dan Mu’adz shalat bersama kami tadi malam lalu membaca surat Al-Baqarah. Kemudian saya shalat sendiri lebih ringkas. Lantas dia menuduh saya munafik.”
Mendengar ini, Rasulullah r bersabda:
“Hai Mu’adz, apakah kamu ingin menimbulkan fitnah?” (Beliau katakan tiga kali) “Bacalah ,atau atau yang seperti itu.”
Padahal kita tahu bahwa Rasulullah r pernah berkata kepada Mu’adz, bahwa beliau mencintai Mu’adz.18
Kita bandingkan bagaimana sikap lembut beliau kepada seorang Arab badui yang kencing di masjid19. Dan bagaimana tegasnya beliau terhadap Usamah bin Zaid bin Haritsah c, hibbi (kesayangan) Rasulullah r putra hibbi Rasulullah r yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan syahadat, dan beliau berkata kepadanya:
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat(tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah)?” Saya berkata: “Dia hanya cari-cari perlindungan.” Beliau tetap mengulangi pertanyaannya, sampai saya berharap seandainya saya belum masuk Islam sebelum kejadian itu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid c)
Ini terus dijaga Usamah c sampai ketika terjadi fitnah pembunuhan terhadap Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) ‘Utsman bin ‘Affan z,, beliau tidak ikut campur di dalamnya. Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Usamah mengambil faedah dari kejadiannya bersama Rasulullah r ketika beliau mengatakan: “Bagaimana dengan kalimat (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah), hai Usamah?” Kemudian dia menahan tangannya dan tetap di rumahnya.” (As-Siyar, 2/500 dinukil dari Sittu Durar)
Lihat pula bagaimana para qudwah (teladan) kita, para shahabat Rasulullah r menyikapi kerabat mereka sendiri yang menyimpang dari tuntunan Rasulullah r dalam satu permasalahan yang sebagian kita mungkin menganggapnya masalah furu’. Inilah Ibnu ‘Umar c. Al-Imam Muslim t meriwayatkan dalam Shahih-nya:
Bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar c berkata: “Saya mendengar Rasulullah r bersabda: ‘Janganlah kamu melarang wanita (isteri) kalian ke masjid jika mereka minta izin kalian untuk ke sana.’ Tiba-tiba berkatalah Bilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar: ‘Demi Allah. Sungguh kami pasti melarang mereka.’ Kata rawi: Maka ‘Abdullah menoleh kepadanya dan mencercanya dengan cercaan yang sangat buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Kemudian dia berkata: ‘Aku sampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah r tapi kamu justeru mengatakan: Demi Allah, sungguh kami pasti melarang mereka?”
Demikianlah sebagian sikap tegas para salafus shalih terhadap orang-orang yang melecehkan Sunnah Rasulullah r meskipun itu muncul dari kerabat mereka sendiri. Inilah salah satu bukti pelaksanaan firman Allah I:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (Al-Mujadilah: 22)
Dari semua keterangan ini, makin jelaslah bagi kita kritik yang dilancarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap berbagai pemikiran yang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin bukanlah tanpa dasar. Semua ini adalah sebagai bukti kecintaan mereka terhadap saudara mereka sesama muslim. Mereka ingin diri mereka sendiri selamat dari murka Allah U, maka merekapun ingin saudara mereka selamat. Semoga Allah I memberikan taufik kepada kita untuk kembali kepada syariat-Nya yang mulia ini.
Amin.

1 Mukaddimah kitab Al-jarh wat Ta’dil Ibni Abi Hatim .
2 Namun perlu dipahami, bahkan diyakini bahwa semua hadits yang tsabit (shahih) dari Rasulullah r tidak akan bertentangan dengan Kalamullah (Al Qur`an), karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah I. Sebagaimana ditegaskan Allah I dalam ayat 3-4 surat An-Najm. Demikian juga, tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Wallahu a’lam.
1 Mukaddimah kitab Al-jarh wat Ta’dil Ibni Abi Hatim .
2 Namun perlu dipahami, bahkan diyakini bahwa semua hadits yang tsabit (shahih) dari Rasulullah r tidak akan bertentangan dengan Kalamullah (Al Qur`an), karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah I. Sebagaimana ditegaskan Allah I dalam ayat 3-4 surat An-Najm. Demikian juga, tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Wallahu a’lam.
7 Dari pengantar Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah terhadap kitab Usus Manhaj Salaf fi da’wati ilallahi karya Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi, (hal 7-8).
8 Seperti penciptaan, pengaturan dan sebagainya. Wallahu a’lam.
9 Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah (hal 141-142).
10 Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Allah I. Wallahu a’lam.
11 Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya, Al-Lalikai t dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588, ‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad t dalam As-Sunnah (2/420), dan Al-Imam Al-Ajurri t dalam Asy-Syari’ah (205).
12 Majmu’ Fatawa (28/209).
13 Majmu’ Fatawa (28/123).
14 Sebelumnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab z telah menghukum Shabigh At-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari Al Qur`an. Beliau memukul kepala Shabigh hingga bercucuran darah, kemudian memerintahkan kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun. Dikisahkan setelah itu Shabigh berubah lebih baik. Wallahu a’lam.15 Majmu’ Al-Fatawa (28/234).
16 Sittud Durar hal. 109.
17 Yakni, membiarkannya tetap tenggelam dalam kejahatan, kemaksiatan kebid’ahan. Wallahu a’lam.
18 Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (1301).
19 Shahih, HR. Ahmad (12515) dan Muslim (429) dari Anas bin Malik.

Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Sumber: 

Rabu, 01 April 2015

SEJARAH SYI’AH


Ditulis oleh: Al Ustadz Muhammad Afifuddin as Sidawy


Sejarah Syi'ahAsal kata شِيْعَةٌ diambil dari kata مُشَايَعَة yang berarti    مُتَابَعَة  dan  مُطَاوَعَة  (mengikuti dan mentaati), bentuk jama’ahnya adalah  شيع (An-Nihayah, karya Ibnu Atsir (2/244).
Kata شِيْعَةْ hanya digunakan untuk pengikut dan pembela seseorang, dikatakan فُلَانمِنْشِيْعَةُفُلَان “Fulan termasuk syi’ahnya fulan”, artinya termasuk orang yang mengikutinya.
Az-Zabidiy  menjelaskan, ”Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara adalah syi’ah, setiap orang yang membela seseorang yang lain dan menjadi hizbnya (golongannya) disebut sebagai syi’ahnya . . .” [Asy-Syi’ah wa At-Tasyayu’, hal. 27]
Pada generasi awal Islam, kata ini hanya digunakan dengan makna hakiki dan aslinya seperti yang diuraikan di atas, secara kondisi nyata kata ini digunakan untuk partai politik dan pihak yang kontra dalam beberapa permasalahan yang terkait dengan hukum dan pemerintahan.
Kata ini sendiri baru tersebar luas penggunaannya setelah terbunuhnya Khalifah Utsman  sebagai syahid. Tepatnya ketika terjadi ikhtilaf antara Ali bin Abi Thalib  dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Siapa saja pada saat itu yang berada di barisan Ali bin Abi Thalib, membela dan menolongnya disebut syi’ah Ali. (شِيْعَةُعَلِي)
Sementara yang berada dibarisan Mu’awiyah bin Abi Sufyan  dan membelanya disebut syi’ah Mu’awiyah. (شِيْعَةُمُعَاوِيَة)
Pada masa itu kata ini juga dipakai oleh persatuan dari Ali dan Bani Abbas yang menamakan dirinya sebagai  شِيْعَةُاَلِمُحَمَّد  sebagai pihak yang bersebrangan dengan شِيْعَةُبَنِيأُمَيَة yang kemudian dikenal dengan nama العُثْمَانِيَّة, sementara pihak pertama lebih dikenal dengan istilah العَلَوِيَّةْ, namun nama شِيْعَة masih melekat pada kedua belah pihak. [Asy-Syi’ah wa At-Tasyayu’, hal. 28-29]
Kondisi ini terus berlangsung selama masa pemerintahan Bani Umayyah.
Dengan berjalannya waktu dan peristiwa  nama Syi’ah kemudian menjadi istilah khusus bagi yang menunjukkan loyalitas kepada Ali bin Abi Thalib  dan keturunannya (Ahlul Bait) dan pihak yang meyakini beragam akidah tertentu yang diadopsi dari pemahaman sesat Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. Mereka menyusup ke dalam tubuh muslimin guna mengaburkan dan merusak prinsip dan  akidah-akidah Islam. [Asy-Syi’ah wa At-Tasayyu’, hal.31]
Abdullah bin Saba’ dahulu adalah seorang Yahudi yang berasal dari Shan’a – Yaman-. Ibunya adalah Saudaa’ (wanita hitam), dia biasa disebut dengan “Ibnu Saudaa’”.
Pada masa kekhilafahan ‘Utsman bin Affan , dia pura-pura masuk Islam dengan tujuan merusak Islam dari dalam. Menebarkan ragam paham dan akidah sesat dan menghembuskan nafas kebencian kepada khalifah ‘Ustman bin Affan , mencela dan memprovokasi massa untuk melakukan gerakan pemberontakan.
Ibnu Saba’ pun mengelilingi wilayah-wilayah kekuasan Islam untuk mengkampanyekan misinya , dia mulai dengan negeri Hijaz, lalu Basrah, Kufah kemudian Syam namun dia tidak berhasil menembuskan apa yang menjadi tujuannya hingga dia diusir dari Syam.
Akhirnya Abdullah bin Saba’ masuk wilayah Mesir dan tinggal di tengah-tengah  penduduk Mesir menampilkan ibadahnya dan kebaikan-kebaikannya. Di sanalah dia mendapatkan sambutan dan respon dari masyarakat Mesir, dia pun mulai menebarkan makar kejinya, menghembuskan paham sesatnya dan mengkampanyekan misi jahat.
Awal mula yang dia hembuskan adalah, “Sungguh aneh! Seseorang yang meyakini Isa bin Maryam  akan kembali (turun) ke muka bumi (di akhir zaman) tapi dia mendustakan Nabi Muhammad kembali ke muka bumi padahal beliau lebih berhak kembali dari pada Isa bin Maryam!! Masyarakat Mesirpun menerima paham sesat ini dan menyebarluaskannya di kalangan mereka.
Inilah paham raj’ah pertama yang dihembuskan Ibnu Saba’ yang kemudian dia lanjutkan keyakinan ini pada Ali bin Abi Thalib, keturunan-keturunan beliau dan imam-imam ahlul bait. Dia sebarkan paham bahwa mereka semua akan raj’ah (kembali) hidup di muka bumi untuk memerangi musuh-musuhnya.
Setelah paham pertama sukses tersebar, Ibnu Saba’ menghembuskan paham sesat berikutnya, ”Dahulu ada sekitar 1000 nabi, masing-masing nabi memiliki Washiy (yang ditunjuk sebagai pengganti nabi). Ali bin Abi Thalib adalah washiy-nya Nabi Muhammad. Bila Muhammad adalah penutup para nabi maka Ali adalah penutup para washiy.” [1]
Paham sesat inipun dengan cepat merambah dan menjalar ke tubuh muslimun terutama yang memiliki loyalitas kepada Ali bin Abi Thalib. Merekapun memuji dan mengelu-elukan Ibnu Saba’ sebagai pembela Ali. Pada masa kekhilafahan Ali diapun termasuk golongan orang yang dekat. Bahkan disebutkan dalam sebagian kitab sejarah, Ibnu Saba’ diminta duduk di bawah mimbar tempat Ali bin Abi Thalib khutbah. [Riwayat Asy-Sya’biy, dinukil oleh Abdul Qadir bin Thahir Al-Istirayiniy dalam kitabnya: Al-Farqu bainal Firaq, hal. 178, cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, tanpa tahun)
Mengambil kesempatan di posisi yang dekat inilah dia mengembangkan paham sesatnya tentang Ali bin Abi Thalib. Diapun mengkampanyekan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Nabi, bukan Muhammad , Jibril telah berkhianat dalam menyampaikan wahyu [2]. Bahkan dia juga menebarkan keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah tuhan.
Tatkala Ali bin Abi Thalib terbunuh, Ibnu Saba’ dan pengikutnya (Saba’iyyah) tidak percaya beliau telah mati, mereka yakin Ali bin Abi Thalib diangkat ke langit sebagaimana Isa bin Maryam dan akan turun dari langit menguasai seluruh dunia.
Sebagian Saba’iyyah meyakini Ali bin Abi Thalib  adalah Al-Mahdi yang dinanti.
Sebagian yang lain meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib ada di awan, petir adalah suaranya dan kilat adalah cambuknya. Sebagian mereka bila mendengar suara petir spontan mengatakan:
عَلَيْكَالسَّلَاميَاأَمِيرُالُمؤْمِنِين
“Atasmu keselamatan wahai amirul mukminin.”
Mayoritas paham ghuluw tersebut tersebar pada masa hidup Khalifah Ali bin Abi Thalib dan lebih dahsyat lagi fitnahnya sepeninggal beliau.
Tatkala paham kufur tersebut sampai ke telinga sang khalifah Ali bin Abi Thalib , beliaupun memerintahkan mereka untuk dihukum dengan hukuman berat, yaitu dibakar hidup-hidup dalam sebuah parit, sementara Ibnu Saba’ diasingkan di wilayah Saabaath-Mada-
Dari Abdullah bin Saba dan pengikutnya (Saba’iyyah) inilah bermunculan sekte-sekte Rafidhah ekstrem (غُلَاةٌ) dengan ragam paham sesat bahkan kufur, namun semuanya bersembunyi di balik kedok  “Cinta Ali dan Ahlul Bait”.
Setelah paham itu sukses diapun melanjutkan dengan menghembuskan virus sesat lainnya: “Siapakah yang lebih zalim dari pada seseorang yang tidak menunaikan wasiat Rasulullah dan menyerang washiy-nya Rasulullah?”
Dia juga memprovokasi, “Utsman telah merampas wasiat tersebut tanpa hak, washiy Rasulullah adalah Ali”. Diapun menggalakkan ‘amar ma’ruf nahi mungkar dalam artian menghujat dan mencela Khalifah Utsman dan segenap umara’ muslimin.
Fitnah inipun disambut oleh banyak pihak yang biasa membuat onar dalam negeri, munculah tokoh-tokoh gerakan reaksioner semisal Khalid bin Muljam, Sauda’, dan Kinanah bin Bisyr. Fitnah inipun disebarkan ke seluruh penjuru wilayah Islam dan berujung kepada pemberontakan terhadap Khalifah Utsman dan terbunuhnya beliau.
Dengan fitnah ini Ibnu Saba dinyatakan sebagai orang pertama yang mencela sahabat bahkan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Hal ini diakui oleh tokoh syi’ah An-Naubikhtiy, dia berkata,”Dia adalah orang pertama yang terang-terangan mencela Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat dan bara’ dari mereka semua.” Pernyataan ini juga diumumkan oleh tokoh syi’ah lain, Sa’ad bin Abdillah Al-Qummiy.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Lisanul Mizan” menukil ucapan Suwaid bin Ghafalah,”Abdullah bin Saba adalah orang pertama yang terang-terangan mencela Abu Bakar dan Umar.
Celaan mereka terhadap sahabat berlanjut hingga mereka mencela istri Nabi, ‘Aisyah, dan para pembawa riwayat-riwayat hadits nabi seperti semisal  Abu Hurairah.
Nampak dari tindakan ini makar jahat mereka yang sesungguhnya, yaitu menikam Rasulullah dan memberangus syariah Islam.
Sumber:  
Majalah Qudwah Edisi 23
———————-
Catatan Kaki:
  • Para pakar sejarah menyebutkan, semasa Ibnu Saba’ sebagai Yahudi, diapun punya paham bahwa Yahya bin Nun adalah washi-nya Musa, diapun melakukan hal serupa terhadap Ali bin Abi Thalib . (Al-Milal wan Nihal, hal. 174)
  • Pada sebagian sekte Rafidhah ekstrem sampai sekarang bila mereka selesai shalat, mereka  mengucapkan  خَانَالأَمِين  (telah berkhianat al amin -yakni Jibril-) ke kanan dan ke kiri sebagai ganti salam.

SYI’AH DAN AHLUL BAIT


Ahlul Bait” bukanlah istilah yang asing lagi di telinga sebagian kita. Bila disebut maka akan terlintas di benak tentang seseorang yang memiliki pertalian kekerabatan dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Tentu saja, ini merupakan kehormatan tersendiri bagi orang tersebut. 

SIAPAKAH AHLUL BAIT ITU ?
Ahlul Bait adalah orang-orang yang sah pertalian nasabnya sampai kepada Hasyim bin Abdi Manaf (Bani Hasyim) baik dari kalangan laki-laki (yang sering disebut dengan syarif) atau wanita (yang sering disebut syarifah), yang beriman kepada Rasul ? dan meninggal dunia dalam keadaan beriman. Diantara Ahlul Bait Rasulullah ? adalah:
1. Para istri Rasul, berdasarkan konteks surat Al-Ahzab: 33
2. Putra-putri Rasulullah (tidak dikhususkan pada Fatimah saja)
3. Abbas bin Abdul Muththolib dan keturunannya
4. Al Harits bin Abdul Muththolib dan keturunannya
5. Ali bin Abi Tholib dan keturunannya (tidak dikhususkan pada Al Hasan dan Al Husain saja)
6. Ja’far bin Abi Tholib dan keturunannya
7. Aqil bin Abi Tholib dan keturunannya
(untuk lebih rincinya, silahkan lihat kitab “Syiah dan Ahlul Bait dan Minhajus Sunnah An Nabawiyyah”)

KEDUDUKAN AHLUL BAIT
Kedudukan Ahlul Bait di sisi Allah dan Rasul-Nya amat mulia. Diantara kemulian itu adalah:
1. Allah bersihkan Ahlul Bait dari kejelekan. Dia ? berfirman yang artinya: “Hanyalah Allah menginginkan untuk membersihkan kalian (wahai) Ahlul Bait dari kejelekan dan benar-benar menginginkan untuk mensucikan kalian.” (Al Ahzab: 33)
2. Perintah Rasul ? untuk berpegang dengan bimbingan mereka. Beliau bersabda:
يَا أَيُهَا النَّاسُ إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا: كِتَابَ اللهِ وَ عِتْرَتِي أَهْلَ بيْتِيْ
“Wahai manusia sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu kepada kalian yang apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Ahlul Bait-ku.”(H.R. At Tirmidzi dengan sanad shahih)
Oleh karena itu tidaklah ragu lagi, bahwa Ahlul Bait memiliki kedudukan yang sangat istimewa di sisi Allah dan Rasul-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan tidak ragu lagi bahwa mencintai Ahlul Bait adalah wajib”. Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Dan termasuk memuliakan Nabi ? adalah berbuat baik kepada keluarga dan keturunan beliau”.
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat memuliakan Ahlul Bait baik dari kalangan para sahabat sendiri maupun para tabi’in.
Demikianlah hendaknya sikap seorang muslim kepada mereka. Wajib atas dirinya untuk mencintai, menghormati, memuliakan dan tidak menyakiti mereka.
Namun sudah barang tentu, tolok ukur kecintaan terhadap mereka semata-mata karena iman dan kekerabatan mereka dengan Rasul ?. Tanpa iman tidak akan bermanfaat sama sekali kekerabatan seseorang dengan Rasul ?. Allah ? berfirman yang artinya:
“Yaitu di hari (hari kiamat) yang harta dan anak keturunan tidak lagi bermanfaat. Kecuali seseorang yang menghadap Allah dengan hati yang lurus”. (Asy Syu’ara: 88-89)
Demikian pula bila ada Ahlul Bait yang jauh dari sunnah Rasul, maka martabatnya dibawah seseorang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasul, walaupun dia bukan Ahlul Bait. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al Hujurat:13)

AHLUL BAIT MENURUT TINJAUAN SYI’AH RAFIDHAH
Tinjauan mereka tentang Ahlul Bait sangat batil dan zholim, yaitu:
- Mereka membatasi Ahlul Bait Nabi hanya 4 orang; Ali, Fatimah, Al Hasan dan Al Husain.
- Mereka keluarkan putra-putri Rasul selain Fatimah dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka keluarkan semua istri Rasul dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka keluarkan 12 putra Ali (selain Al Hasan dan Al Husain) dan 18 atau 19 putri beliau dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka keluarkan putra-putri Al Hasan dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka mengklaim bahwa keturunan Al Husainlah yang Ahlul Bait, namun tragisnya mereka keluarkan pula sebagian keturunan Al Husain dari lingkaran Ahlul Bait ketika tidak dicocoki oleh hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, mereka vonis sebagian keturunan Al Husain dengan kedustaan, kejahatan dan kefasikan, bahkan vonis kafir dan murtad pun dijatuhkan untuk mereka. Wallahul musta’an. (Lihat kitab “Syiah dan Ahlul Bait”)
Walhasil, Syiah Rafidhah mempunyai dua sikap yang saling berlawanan terhadap Ahlul Bait yaitu ifrath (berlebihan di dalam mencintai) sebagian Ahlul Bait dan tafrith (berlebihan di dalam membenci) sebagian yang lain.

FAKTA SIKAP IFRATH SYI’AH RAFIDHAH TERHADAP AHLUL BAIT
Al Kulaini di dalam Al Ushul Minal Kafi 19/197 mengatakan – dengan dusta – bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Sesungguhnya aku telah diberi beberapa sifat yang belum pernah diberikan kepada seorangpun sebelumku – sekalipun para nabi – : Aku mengetahui seluruh kenikmatan, musibah, nasab, dan keputusan hukum (yang pada manusia). Tidaklah luput dariku perkara yang telah lampau dan tidaklah tersembunyi dariku perkara yang samar.”
Di dalam kitab Al Irsyad hal. 252 karya Al Mufid bin Muhammad An Nu’man: “Ziarah kepada Al Husain –yaitu kuburnya – ? kedudukannya seperti 100 kali haji mabrur dan 100 kali umrah.”
Semakin parah lagi ketika mereka – dengan dusta – berkata bahwa Baqir bin Zainal Abidin rahimahullah berkata: “Dan tidaklah keluar setetes air mata pun untuk meratapi kematian Al Husain, melainkan Allah akan mengampuni dosa dia walaupun sebanyak buih di lautan. Dalam riwayat lain ada tambahan lafadz: ‘Dan baginya Al Jannah.” (Jala’ul ‘Uyun 2 hal. 464 dan 468 karya Al Majlisi Al Farisi)
Perhatikanlah wahai para pembaca, kecintaan kaum Syi’ah Rafidhah kepada beberapa Ahlul Bait ternyata lebih bersifat pengkultusan, bahkan menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai sekutu bagi Allah. Wallahul Musta’an !!

FAKTA SIKAP TAFRITH SYI’AH RAFIDHAH TERHADAP AHLUL BAIT
Diriwayatkan di dalam kitab Rijalul Kasysyi hal. 54 karya Al Kasysyi bahwa firman Allah yang artinya:
“Dialah sejelek-jelek penolong dan sejelek-jelek keluarga.” (Al Hajj: 13) turun tentang perihal Al Abbas (paman Rasulullah ?)
Adapun tentang saudara sepupu Rasul ? yaitu Abdullah bin Abbas, Al Qohbani di dalam kitab Majma’ur Rijal 4/143 mengatakan: “Sesungguhnya dia ini telah berkhianat kepada Ali dan telah mengambil harta (shodaqah) dari baitul mal di kota Bashrah.”
Disisi lain ketika hendak menjelekkan para istri Rasul ? tanpa malu mereka menukil secara dusta dari Abdullah bin Abbas bahwa ia pernah berkata kepada Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan Rasulullah … “ (Ikhtiyar Ma’rifatur Rijal karya At Thusi hal. 57-60)

SIKAP PARA IMAM AHLUL BAIT TERHADAP SYI’AH RAFIDHAH
Ali bin Abi Thalib berkata: “Tidaklah seseorang mengutamakan aku daripada dua syaikh (Abu Bakar dan Umar ) melainkan aku dera dia sebagai pendusta.”
Muhammad bin Ali (Al Baqir) rahimahullah berkata: “Keluarga Fathimah telah bersepakat untuk memuji Abu Bakar dan Umar dengan sebai-baik pujian.”
Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) rahimahullah berkata: “Allah ? membenci siapa saja yang membenci Abu Bakar dan Umar.”
Jelaslah, barangsiapa yang mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait, maka yang ada hanya kedustaan belaka. Lalu Ahlul Bait mana yang mereka ikuti?! Sangat tepatlah ucapan seorang penyair:
كُلٌ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا
Setiap lelaki mengaku kekasih Laila
Namun Laila tidak pernah mengakuinya

TERBUNUHNYA AL HUSAIN TIDAKLAH LEPAS DARI PENIPUAN SYI’AH RAFIDHAH
Ternyata Syiah Rafidhah menyimpan kebencian terhadap Ahlul Bait. Kebencian itu tidak hanya berupa ucapan atau tulisan belaka. Bahkan mereka telah membuktikannya dengan perbuatan, yaitu dengan ikut andilnya mereka dalam peristiwa terbunuhnya Al Husain . Terlalu panjang untuk mengungkapkan peristiwa menyedihkan itu, namun cukuplah tulisan para ulama mereka sebagai bukti atas kejahatan mereka.
Di dalam kitab Al Irsyad hal. 241 karya Al Mufid diriwayatkan bahwa Al Husain pernah mengatakan: “Ya Allah jika engkau memanjangkan hidup mereka (Syi’ah Rafidhah) maka porak-porandakanlah barisan mereka, jadikanlah mereka terpecah belah dan janganlah selama-lamanya engkau ridhai pemimpin-pemimpin mereka. Sesungguhnya mereka mengajak orang untuk membela kami, namun ternyata mereka memusuhi dan membunuh kami”.

Di dalam kitab Al Ihtijaj 2/29 karya Abu Manshur Ath Thibrisi diriwayatkan bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan Zainal Abidin pernah berkata tentang kaum Syi’ah Rafidhah di negeri Irak: “Sesungguhnya mereka menangisi kematian kami padahal siapakah yang membunuh kami, kalau bukan mereka?!”
Masihkah ada keraguan, apakah Syi’ah Rafidhah benar-benar mencintai Ahlul Bait atau hanya sekedar kedok belaka?! Coba silahkan baca dan pahami sekali lagi! Mudah-mudahan Allah ? memberikan taufiq kepada kita semua.

HADITS-HADTS PALSU DAN LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Abdullah bin Abbas
مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ
“Perumpaan Ahlul Bait-ku seperti kapal nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya pasti dia selamat dan barangsiapa yang enggan untuk menaikinya, maka dia akan tenggelam (binasa)”.
Keterangan:
Hadits ini dha’if (lemah) walaupun diriwayatkan dari beberapa sanad (jalan). Beberapa ulama pakar hadits seperti Al Imam Yahya bin Ma’in, Al Bukhari, An Nasaa’i, Ad Daruquthni, Adz Dzahabi dan beberapa ulama yang lainnya telah mengkritik beberapa rawi (periwayat) hadits tersebut. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no. 4503 karya Asy Syaikh Al Albani).

Sumber :

SYI’AH DAN PARA ISTRI RASULULLAH

Bara api kebencian terhadap para sahabat Nabi memang telah tertanam kuat di dada kaum Syi’ah Rafidhah. Bara api tersebut terus menerus menyala sehingga satu demi satu orang-orang terdekat Nabi menjadi bahan gunjingan dan cercaan mereka. Setelah Ahlul Bait beliau , kini mereka mengarahkan cercaan yang tidak kalah kejinya kepada para istri Nabi . Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan dusta kepada orang-orang yang telah mengorbankan waktu dan raganya untuk membela dakwah Nabi , setia menemani dan menghibur beliau ketika ditimpa berbagai musibah di dalam mengemban amanah dakwah.

KEDUDUKAN PARA ISTRI NABI
Alangkah mulianya kedudukan mereka tatkala Allah sendiri yang mengangkat derajat mereka di atas wanita yang lainnya. Allah berfirman yang artinya:
“Wahai istri Nabi, (kedudukan) kalian bukanlah seperti wanita-wanita yang lainnya.” (Al Ahzab: 32)
Allah telah meridhai mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang termulia, sampai-sampai melarang beliau untuk menceraikan mereka. Allah berfirman yang artinya:
“Tidak halal bagimu wahai Nabi, untuk mengawini wanita-wanita lain sesudahnya, dan tidak halal (pula) bagimu untuk mengganti mereka dengan wanita-wanita lain walaupun kecantikan mereka memikat hatimu.” (Al Ahzab: 52)
Para istri Nabi adalah ibu-ibu kaum mukminin yang tentu saja wajib untuk dimuliakan dan dihormati. Oleh karena itu para istri beliau mendapat gelar Ummahatul Mu’minin.
Allah berfirman yang artinya:
“Nabi itu lebih berhak untuk dicintai kaum mukminin daripada diri mereka sendiri, sedangkan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka (kaum mukminin).” (Al Ahzab: 6)

NAMA PARA ISTRI NABI
Telah tertulis di dalam buku-buku sejarah Islam nama-nama istri Nabi yang telah mendampingi perjuangan beliau. Mereka itu adalah:
1. Khadijah binti Khuwailid
2. Saudah binti Zam’ah
3. Aisyah binti Abi Bakr Ash Shiddiq
4. Hafshah binti Umar Al Khaththab
5. Ummu Habibah yang bernama Ramlah binti Abi Sufyan
6. Ummu Salamah yang bernama Hindun binti Abi Umayyah
7. Zainab binti Jahsyin
8. Zainab binti Khuzaimah
9. Juwairiyah binti Al Harits
10. Shafiyah binti Huyai
11. Maimunah binti Al Harits

Masing-masing mereka ini memiliki keutamaan yang tidak dimiliki lainnya, hanya saja yang paling utama diantara mereka adalah Khadijah dan Aisyah.

PARA ISTRI NABI MENURUT TINJAUAN SYI’AH RAFIDHAH
Tinjauan Syi’ah Rafidhah terhadap para istri Nabi sangat sarat dengan kebencian dan kedengkian. Hal ini sebagaimana yang mereka terangkan dalam tulisan-tulisan yang luar biasa kekejiannya. Kalau seandainya kekejian tersebut mereka tuduhkan terhadap istri seorang muslim biasa tentu orang tersebut akan murka dan marah.

Diantara kekejian itu adalah:
1. Jeleknya perangai dan akhlak para istri Rasul .
Ali bin Ibrahim Al Qummi di dalam tafsirnya 2/192 ketika menerangkan sebab turunnya ayat ke 28 dari surat Al Ahzab, mengatakan: “Sebab turun ayat itu ketika Rasulullah pulang dari perang Khaibar. Beliau membawa harta keluarga Abul Haqiq. Maka mereka (para istri Nabi) berkata: “Berikan kepada kami apa yang engkau dapatkan !” Beliaupun berkata: “Aku akan bagikan kepada kaum muslimin sesuai perintah Allah.” Marahlah mereka (mendengar itu) lalu berkata: “Sepertinya engkau menganggap kalau seandainya engkau menceraikan kami, maka kami tidak akan menemukan para pria berkecukupan yang akan menikahi kami.” Maka Allah menentramkan hati Rasul-Nya dan memerintahkan untuk meninggalkan mereka. Maka akhirnya beliaupun meninggalkan mereka.”
Sungguh tidak !! Tidak akan terlintas di benak seorang muslim pun bahwa istri seorang muslim yang taat akan mengucapkan kata-kata seperti itu kepada suaminya. Lalu bagaimana perbuatan itu dilakukan oleh istri seorang Nabi yang telah Allah puji di dalam Al Qur’an ?! Demi Allah, tidaklah mereka tulis kecuali kedustaan belaka !!.

2. Rasulullah meninggal dunia karena diracun oleh sebagian mereka.
Di dalam Tafsirul Iyasy 1/200, karya Muhammad bin Mahmud bin Iyasy mengatakan -dengan dusta- bahwa Abu Abdillah Ja’far Ash Shidiq rahimahullah pernah berkata: “Tahukah kalian apakah Nabi meninggal dunia atau dibunuh ?” Sesungguhnya Allah telah berfirman yang artinya: “Apakah jika dia (Muhammad) mati atau dibunuh, kalian akan murtad ?” (Ali Imran: 144) Beliau sebenarnya telah diberi racun sebelum meninggalnya. Sesungguh-nya dua wanita itu (Aisyah dan Hafshah) telah meminumkan racun kepada beliau sebelum meninggalnya. Maka kami menyatakan: “Sesungguhnya dua wanita dan kedua bapaknya (Abu Bakar dan Umar) adalah sejelek-jelek makhluk Allah.”

3. Mereka menghukumi bahwasanya para istri Rasul adalah pelacur.
Dinukilkan secara dusta di dalam kitab Ikhtiyar Ma’rifatur Rijal karya At Thusi hal. 57-60 bahwa Abdullah bin Abbas pernah berkata kepada Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah … “.
Diantara para istri Nabi , Aisyah -lah yang paling dibenci kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka merendahkan kehormatan istri yang paling dicintai Rasulullah tersebut dengan kedustaan-kedustaan yang nyata. Celaan kepada beliau akan mengakibatkan dua ribu lebih hadits Nabi dan beberapa ayat Al Qur’an gugur. Beliaulah wanita yang paling banyak, menghafal dan meriwayatkan hadits Nabi diantara para sahabat yang lainnya.

Beberapa celaan kaum Syi’ah Rafidhah terhadap kehormatan Aisyah:
1. Aisyah telah keluar dari iman dan menjadi penghuni jahannam. (Tafsirul Iyasi 2/243 dan 269)
2. Aisyah digelari Ummusy Syurur (ibunya kejelekan) dan Ummusy Syaithan (Ibunya Syaithan), hal ini dikatakan oleh Al Bayadhi di dalam kitabnya Ash Shirathal Mustaqim 3/135 dan 161.
3. Riwayat-riwayat beliau bersama Abu Hurairah dan Anas bin Malik tertolak di sisi Syi’ah Rafidhah (Al Khishal 1/190 karya Ibnu Babuyah Al Qumi).
4. Aisyah telah menggerakkan kaum muslimin untuk memerangi Utsman bin Affan (Minhajul Karamah hal. 112, karya Ibnu MuthahharAl Hilali).
5. Aisyah sangat memusuhi dan membenci Ali bin Abi Thalib sampai meletuslah perang Jamal (An Nushrah hal. 229 karya Al Mufid).
6. Aisyah tidak mau bertaubat dan terus menerus memerangi Ali sampai meninggal. (At Talkhishusy Syafi hal. 465-468).

Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un !! Kesesatan apa yang menghinggapi hati mereka ? Sedemikian besarkah kedengkian dan kebencian mereka terhadap para istri Nabi terutama Aisyah ?

TUDUHAN-TUDUHAN DUSTA SYI’AH RAFIDHAH KEPADA AISYAH BERKAITAN DENGAN PERANG JAMAL
1. Aisyah tidak menerima dan dengki terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman bin Affan. (Siratul A’immah Itsna Asyar 1/4222)
2. Pemberontakan Aisyah terhadap kekhilafahan Ali bin Abi Thalib dan keinginannya untuk saudara sepupunya yaitu Thalhah bin Ubaidillah menjadi khalifah. (Syarhu Nahjil Balaghah 2/460)
3. Aisyah menolak tawaran Ali bin Abi Thalib untuk damai dan pulang ke Madinah. (Al Khishal 2/377)
4. Aisyah-lah yang memulai perang Jamal melawan Ali bin Abi Thalib. (Siratul A’immah 1/456)

JAWABAN TERHADAP KEDUSTAAN MEREKA
1. Aisyah menerima bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk berbait kepada Ali bin Abi Thalib. (Al Mushannaf 7/540)
2. Keluarnya Aisyah bersama Thalhah dan Az Zubair bin Al Awwam ke Bashrah dalam rangka mempersatukan kekuatan mereka bersama Ali bin Abi Thalib untuk menegakkan hukum qishash terhadap para pembunuh Utsman bin Affan. Hanya saja Ali bin Abi Thalib meminta penundaan untuk menunaikan permintaan qishash tersebut. Ini semua mereka lakukan berdasarkan ijtihad walaupun Ali bin Abi Thalib lebih mendekati kebenaran daripada mereka. (Daf’ul Kadzib 216-217)
3. Tawaran Ali bin Abi Thalib kepada Aisyah semata-mata untuk menyatukan cara pandang bahwa hukum qishash baru bisa ditegakkan setelah keadaan negara tenang. Beliaupun sangat mengetahui bahwa Aisyah bersama Thalhah dan Az Zubair tidaklah datang ke Bashrah dalam rangka memberontak kekhilafahannya. Akhirnya hampir terbentuk kesepakatan diantara mereka. (Tarikh Ath Thabari 5/158-159 dan 190-194)
4. Akan tetapi melihat keadaan seperti ini, beberapa kaum Saba’iyah (pengikut faham Abdullah bin Saba’-pendiri Syi’ah) mulai memancing konflik diantara pasukan Aisyah dan Ali. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa salah satu pasukan telah berkhianat. Maka terjadilah perang Jamal. (Tarikh Ath Thabari 5/195-220)

PUJIAN ALI BIN ABI THALIB TERHADAP AISYAH
Di dalam Tarikh Ath Thabari 5/225 diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata di saat perang Jamal:
“Wahai kaum muslimin ! Dia (Aisyah) adalah seorang yang jujur dan demi Allah dia seorang yang baik. Sesungguhnya tidak ada antara kami dengan dia kecuali yang demikian itu. Dan (ketahuilah-pen) dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan di akhirat.”

HADITS-HADITS PALSU DAN LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Ali bin Abi Thalib :
“Jika telah datang malam Nishfu Sya’ban, hendaklah kalian shalat di malamnya dan shaum (puasa) di siang harinya, karena sejak terbenam matahari sampai terbitnya fajar Allah turun pada malam tersebut ke langit dunia. Kemudian Dia berkata: “Adakah yang meminta ampun kepada-Ku sehingga Aku ampuni dia, adakah yang meminta rizki kepada-Ku sehingga Aku beri rizki kepadanya, adakah yang tertimpa bala’ sehingga Aku hilangkan bala’ tersebut …,”
Keterangan:
Hadits ini palsu, disebabkan adanya seorang rawi yang bernama Ibnu Abi Sabrah. Al Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in dan juga Al Hafizh Ibnu Hajr menyatakan bahwa dia adalah pemalsu hadits. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no. 2132 karya Asy Syaikh Al Albani)
Al Imam An Nawawi menyatakan di dalam Al Majmu’ bahwa shalat malam Nishfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat adalah bid’ah yang munkar.

Sumber :

SYI’AH DAN TAQIYAH


Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal hafizhahullah

Syi’ah dan TaqiyahTaqiyah adalah sikap kehati-hatian dengan tidak menampakkan keyakinan yang terdapat di dalam hati di hadapan orang lain. (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 12/314)
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

Taqiyahdengan lisan, sedangkan hati tetap tenang dengan keimanannya.” Ini pula yang dikuatkan oleh Abu Aliyah, Abu Sya’tsa’, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas, dan yang lainnya. (Fathul Bari, 12/314, Tafsir Ibnu Katsir, 1/358)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (an-Nahl: 106)

لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali‘Imran: 28)

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “Taqiyah yang disebut oleh Allah ‘azza wa jalla dalam ayat ini adalah taqiyah terhadap orang-orang kafir, bukan kepada selain mereka.” (Tafsir at-Thabari, 6/316, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 806)

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan kekafiran dan takut dirinya akan dibunuh (jika tidak melakukannya), sementara hatinya tetap tenang dengan keimanan, ia tidak dihukumi kafir.” Namun, jika ia memilih dibunuh dan bersabar di atas siksaan tanpa melakukan taqiyah, hal tersebut lebih utama. Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan kekafiran dan lebih memilih dibunuh, ia mendapatkan pahala yang lebih besar di sisi Allah Subhanahu wata’ala.” (Fathul Bari, 12/314)

Adapun versi agama Syiah, Syaikh Mufid menyebutkan definisi taqiyah adalah ‘menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta menyembunyikannya di hadapan orang-orang yang menyelisihinya dan tidak menampakkan sesuatu di hadapan mereka yang dapat menyebabkan bahaya bagi agama atau dunianya.’ (Syarah Aqaidis Shaduq, al-Mufid, hlm. 261)

Sebagian lagi mengatakan bahwa taqiyah adalah seseorang mengatakan atau mengucapkan selain apa yang diyakini agar diri dan hartanya tidak ditimpa kemudaratan, atau agar kehormatannya tetap terjaga. (Muhammad Jawad, asy- Syiah fil Mizan, hlm. 48. Lihat pula Mas’alatut Taqrib, hlm. 330)

Menurut agama Syiah, melakukan taqiyah adalah salah satu rukun agama yang harus diamalkan. Ibnu Babawaih berkata, “Keyakinan kami tentang taqiyah, ia adalah kewajiban. Siapa yang meninggalkannya, kedudukannya seperti orang yang meninggalkan shalat.” (al-I’tiqadat, 114) Ash-Shadiq berkata, “Seandainya aku katakan bahwa meninggalkan taqiyah seperti meninggalkan shalat, aku benar.”
(as-Sarair, Ibnu Idris, 479; Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu Babawaih, 2/80; Ushul Madzhabis Syiah, hlm. 807) (al-Kafi, 2/219)

Bahkan, mereka menganggap orang yang tidak melakukan taqiyah adalah orang yang tidak beragama. Al-Kulaini meriwayatkan bahwa Ja’far bin Muhammad berkata, “Sesungguhnya sembilan persepuluh agama ini dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi yang tidak melakukan taqiyah.” (Ushul al-Kafi, 2/217)
Al-Kulaini juga meriwayatkan dari Abu Ja’far bahwa ia berkata, “Taqiyyah itu termasuk agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak bertaqiyyah.” Ibnu Babawaih juga mengatakan, “Taqiyyah itu wajib dan tidak boleh dihapus (hukumnya) sampai al-Qaim (Imam Mahdi, -pen.) keluar. Barang siapa meninggalkannya sebelum keluarnya al- Qaim, sungguh ia telah keluar dari agama  Allah Subhanahu wata’ala dan agama Imamiyah (Syiah Rafidhah, -pen.). Dan ia menyelisihi Allah Subhanahu wata’ala, Rasul-Nya, dan para imam.” (al-I’tiqadat, hlm. 114—115)

Mereka juga meriwayatkan dari Ali bin Musa ar-Ridha bahwa ia berkata, “Tidak ada iman bagi yang tidak melakukan taqiyah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling banyak melakukan taqiyah.” Ada yang bertanya kepadanya, “Wahai anak Rasulullah, sampai kapan?” Ia menjawab, “Sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu keluarnya al- Qaim. Barang siapa meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya al-Qaim, dia bukan dari kami.” (Ikmalu ad-Din, Ibnu Babawaih, hlm. 355; A’lam al-Wara, ath-Thabarsi, hlm. 408; Kifayatul Atsar,  Abul Qasim ar-Razi, hlm. 323. Lihat Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 808)

Jadi, wajar jika mayoritas kaum Syiah Rafidhah adalah para pendusta yang sangat mudah bersaksi palsu, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lebih-lebih lagi atas nama selain beliau. Benar apa yang  dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak melihat seseorang yang lebih berani bersaksi palsu daripada kaum Syiah Rafidhah.”(Diriwayatkan al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/208; Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 9/114; al-Kifayah, al-Khatib al-Baghdadi, hlm. 126)  

UCAPAN ULAMA TENTANG KEDUSTAAN SYIAH RAFIDHAH

Diriwayatkan dari Yunus bin Abdil A’la bahwa al-Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku membolehkan seluruh persaksian ahli bid’ah, kecuali kaum Rafidhah.” (al- Kubra, al-Baihaqi, 10/208)

Al-Imam Malik rahimahullah ditanya tentang kaum Rafidhah. Beliau menjawab, “Jangan engkau berbicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka, karena sesungguhnya mereka suka berdusta.” 

Yazid bin Harun rahimahullah juga berkata, “Hadits setiap pelaku bid’ah (bisa) dicatat selama ia tidak mengajak kepada bid’ahnya, kecuali Rafidhah, karena mereka suka berdusta.” 

 Diriwayatkan dari Muhammad bin Sa’id al-Asbahani bahwa Syarik berkata, “Aku mengambil ilmu (hadits, -pen.) dari setiap yang aku temui kecuali Rafidhah, karena mereka memalsukan hadits dan menjadikan perbuatan itu sebagai bagian dari agama.” 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ulama riwayat dan pembawa sanad telah bersepakat bahwa kaum Rafidhah adalah kelompok yang paling pendusta. Dusta pada mereka adalah hal yang klasik. Oleh karena itu, para imam Islam mengetahui ciri khas kelompok ini adalah banyak berdusta.” (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 1/60—61) 

Jelaslah bagi kita, bahwa ajaran taqiyah (baca: dusta) kaum Syiah Rafidhah adalah ajaran yang turun-temurun, diwariskan oleh para pendusta mereka melalui kitab-kitab hadits karya tokoh Rafidhah.

Sumber :  

SYI'AH DAN AL QUR'AN AL KARIM




Syi’ah dan Al Quran Al KarimAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Telah disepakati oleh kaum muslimin bahwa Allah Subhanahu wata’ala senantiasa menjaga al-Qur’an al-Karim dari berbagai upaya yang hendak mengubah dan menyusupkan ke dalam al-Qur’an sesuatu yang tidak termasuk dari al- Qur’an al-Karim tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)

Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala menantang seluruh manusia untuk mendatangkan satu surat seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wata’ala di dalam al-Qur’an,

وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ  فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), datangkanlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak dapatmendatangkan(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat mendatangkan(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (al-Baqarah: 23—24)

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakan itu), cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapasiapayang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Yunus: 38)

Maka dari itu, siapa yang berusaha meragu-ragukan keotentikan al-Qur’an al-Karim, sungguh ia telah keluar jauh dari Islam meskipun masih mengaku sebagai seorang muslim. Sebab, tidak mungkin ada seorang yang masih menjadi muslim sementara dia ragu terhadap kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah Subhanahu wata’ala yang terpelihara dan terjaga. Namun, pemeluk agama Syiah berusaha memadamkan cahaya Islam dengan lisan dan tulisan mereka yang meragu-ragukan keotentikan al-Qur’an al-Karim. Mereka melemparkan tuduhan dusta dan penuh fitnah terhadap pedoman utama Islam, al-Qur’an al-Karim. Mereka anggap telah terjadi perubahan dan pengurangan di dalamnya. Mereka mengatakan pula bahwa al-Qur’an yang sempurna berada di tangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, lalu diwariskan kepada para imam setelahnya, yang menurut mereka sekarang ini ada di tangan Imam Mahdi yang selalu mereka tunggu. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pembesar-pembesar Syiah Rafidhah dalam kitab-kitab mereka. Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah:
  • Dalam kitab al-Kafi karya Muhammad Ya’qub al-Kulaini—yang bagi kaum Syiah kedudukannya seperti kitab Shahih al-Bukhari bagi kaum muslimin—, al-Kulaini meriwayatkan dari jalur Hisyam bin Salim, dari Abu Abdillah Ja’far as-Shadiq, ia berkata,
أَنَّ الْقُرْآنَ الَّذِي جَاءَ بِهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةَ عَشَرَ أَلْفِ آَيَةٍ
“Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril ‘Alaihisslam kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam berjumlah 17.000 ayat.” (Ushul al-Kafi, karya al-Kulaini, Kitab Fadhlul Qur’an, bab an-Nawadir, 2/134)

Para ulama Syiah menyatakan riwayat mereka ini sahih. Al-Majlisi berkata, “Berita ini sahih.” (Mir’atul Uqul Syarah al-Ushul wal Furu’, 2/536) Pengarang kitab asy-Syafi Syarah Ushul al-Kafi berkata, “Berita ini dibenarkan seperti sahih.” (7/227) Sementara itu, kita mengetahui bahwa jumlah ayat al-Qur’an hanya enam ribu lebih. Artinya, hampir dua pertiga bagian yang hilang dari al-Qur’an, menurut ajaran kaum Syiah. Keyakinan adanya perubahan al- Qur’an tersebut dikuatkan lagi oleh riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam al-Kafi (1/457), dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq, -red.)  ia berkata, “Sesungguhnya kami memiliki mushaf Fatimah. Tahukah mereka, apa itu mushaf Fatimah?” Aku bertanya, “Apa itu mushaf Fatimah?” Ia menjawab, “Mushaf Fatimah dibandingkan Qur’an kalian ini lebih banyak tiga kali lipat. Demi Allah, tidak ada satu huruf pun seperti yang terdapat dalam Qur’an kalian.” Aku menjawab, “Demi Allah, ini adalah ilmu.”
  • Muhammad Shalih al-Mazindarani berkata, “Sesungguhnya ayat-ayat al- Qur’an yang berjumlah enam ribu lima ratus, dan selebihnya telah hilang karena terjadinya tahrif (perubahan).” (Syarah Jami’ alal Kafi, 11/76)
  • Al-Majlisi berkata setelah menyebutkan riwayat diatas , “Sesungguhnya berita ini, dan masih banyak lagi berita yang sahih, dengan jelas menyebutkan terjadi kekurangan dan perubahan pada al-Qur’an. Menurut saya, berita-berita dalam bab ini mutawatir secara makna.” (Mir’atul ‘Uqul, 12/525)
  • Syaikh al-Mufid berkata, “Sesungguhnya terdapat berita-berita yang masyhur, diriwayatkan dari para imamul huda dari keluarga Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, tentang adanya perubahan al-Qur’an dan apa yang dilakukan oleh beberapa orang zalim yang menghapus dan mengurangi al-Qur’an.” (Awa’il al-Maqalat, hlm. 91)
  • Abul Hasan al-Amili berkata, “Ketahuilah, kebenaran yang tidak dimungkiri berdasarkan berita mutawatir yang akan disebutkan dan berita lainnya, bahwa telah terjadi perubahan pada al- Qur’an yang ada di tangan-tangan kita sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang yang mengumpulkannya setelah wafat beliau, menghilangkan banyak kata dan ayatnya.” (Muqaddimah kedua dalam tafsir Miratul Anwar wa Misykatul Asrar hlm. 36)
  • Ni’matullah al-Jazairi berkata, “Sesungguhnya menerima pernyataan mutawatir-nya wahyu ilahi dan menetapkan bahwa seluruhnya telah turun dibawa oleh Ruh al-Amin (Jibril, -pen.) akan menyebabkan ditolaknya berbagai riwayat yang masyhur, bahkan mutawatir, yang menunjukkan dengan jelas tentang terjadinya perubahan dalam al-Qur’an, baik ucapan, kata-kata, maupun i’rabnya. Sementara itu, para sahabat kami telah sepakat akan keabsahan dan kebenaran riwayat-riwayat tersebut.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, 2/357)
  • Mulla Muhsin al-Kasyi Muhammad bin Murtadha mengatakan dalam mukadimah tafsirnya, ash-Shafi(1/32), setelah menyebutkan beberapa riwayat yang menerangkan adanya perubahan dan kekurangan al-Qur’an, “Kesimpulan dari seluruh berita ini dan yang lainnya dari berbagai riwayat yang berasal dari jalur keluarga Nabi alaihimus salam, al- Qur’an tidak lagi sempurna sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya justru ada yang menyelisihi apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, ada pula yang telah diubah, dan banyak yang dihapus. Di antara yang dihapus ialah penyebutan nama Ali dalam banyak tempat, lafadz ‘keluarga Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam’ tidak hanya sekali, dan nama-nama orang munafik di beberapa tempat, dan lainnya. Selain itu, susunannya tidak sesuai dengan susunan yang diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Ini pula pendapat Ali bin Ibrahim al-Qummi.”
  • Menurut kaum Syiah, tidak ada yang dapat mengumpulkan seluruh al- Qur’an selain Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan dalam kitab al-Kafi karya al-Kulaini (1/441), dari Jabir berkata, “Aku mendengar Abu Ja’far berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang mengaku bahwa dia telah mengumpulkan seluruh al-Qur’an sebagaimana turunnya kecuali pendusta besar. Tidak ada yang bisa mengumpulkan dan menjaganya sebagaimana yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, selain Ali bin Abi Thalib  dan para imam setelahnya’.”
  • Bahkan, pada masa ini, salah seorang tokoh Rafidhah yang bernama Husain ath-Thabarsi menulis sebuah risalah yang ia beri judul Fashlul Khithab fi Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Seluruhnya membahas tentang bukti-bukti—menurut versi kaum Syiah—yang menunjukkan perubahan al-Qur’an. Berikut ini beberapa contoh yang disebutkan dalam kitab-kitab kaum Syiah yang menuduh adanya perubahan dalam al-Qur’an—yang justru itu adalah ayat-ayat palsu Syiah.
  • Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitabnya, al-Kafi (2/372), dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ketika menyebut firman Allah Subhanahu wata’ala (al-Ahzab: 71)
  • وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فِي وِ يَالَةِ عَلِيٍّ وَوِ يَالَةِ الْأَئِمَّةِ مِنْ بَعْدِهِ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمً
  • “Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hal kekuasaan Ali dan kekuasaan para imam setelahnya, sungguh dia telah menang dengan kemenangan yang besar.”
Ia berkata, “Demikianlah ayat ini diturunkan.”
  • Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/379), dari Abdullah bin Sinan, dari Abu Abdillah q ketika menyebut firman Allah Subhanahu wata’ala (Thaha: 115),
وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ كَلِمَاتٍ فِي مُحَمَّدٍ وَعَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ وَالْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَالْأَئِمَّةِ مِنْ ذُرِّيَّتِهِم فَنَسِيَ

“Sungguh Kami telah menetapkan janji kepada Adam dari sebelumnya beberapa kalimat untuk Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam dari keturunannya, lalu dia lupa.” Abu Abdillah berkata, “Demi Allah, demikianlah ayat ini turun kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
  • Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/383), dari Muhammad bin Sinan, dari ar-Ridha  dalam menyebut firman Allah Subhanahu wata’ala (asy-Syura: 13),

كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ بِوِ يَالَةِ عَلِيٍّ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ يَا مُحَمَّدُ مِنْ وِ يَالَةِ عَلِيٍّ

“Alangkah beratnya bagi kaum musyrikin terhadap kepemimpinan Ali, apa yang engkau ajak mereka, wahai Muhammad, yaitu kepemimpinan Ali.”
Ia berkata, “Demikianlah yang terpelihara dalam al-Kitab.” Sungguh, masih banyak lagi tuduhan yang disebutkan dalam kitab-kitab kaum Syiah bahwa al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin sekarang ini telah berubah. Memang benar, di antara ulama Syiah ada yang mengingkari terjadinyaperubahan dan pengurangan di dalam al-Qur’an al-Karim. Di antara yang mengingkari adanya perubahan al- Qur’an adalah salah satu tokoh Syiah yang hidup di abad ke-4, seorang ahli hadits Syiah yang digelari ash-Shaduq. Ia bernama Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qummi. Kaum Syiah menyebutnya sebagai “pemimpin para ahli hadits” (wafat 381 H). Ia berkata, “Keyakinan kami terhadap al-Qur’an bahwa apa yang ada di antara dua sisinya, itulah yang ada di tanganmanusia dan tidak lebih dari itu. Barang siapa menisbatkan kepada kami bahwa kami mengatakan al-Qur’an lebih dari yang ada, dia telah berdusta.” (al- I’tiqadat li ash-Shaduq, dari Kitab Muhsin al-Amin, hlm. 161. Lihat Mas’alatu at-Taqrib Baina Ahlis Sunnah wa asy- Syiah, hlm. 183)

Ucapan ash-Shaduq ini telah menggugurkan tuduhan sekian banyak tokoh Syiah yang menetapkan adanya perubahan di dalam al-Qur’an, seperti al-Kulaini, Ibrahim al-Qummi, al- ‘Ayyasyi, dan lainnya. Ucapan ini memang mengandung salah satu dari tiga kemungkinan:
  1. Riwayat – riwayat yang menyebutkan adanya perubahan al- Qur’an adalah riwayat-riwayat palsu yang disusupkan ke dalam kitab-kitab Syiah tersebut oleh kaum zindiq (munafik) untuk merusak keyakinan mereka. Jika demikian, ini berarti bahwa kitab-kitab kaum Syiah tidak bisa dijadikan sebagai rujukan karena telah disusupi banyak riwayat palsu sehingga tidak lagi terpelihara. Anehnya, mereka justru menganggap kitab-kitab tersebut sebagai kitab-kitab yang sahih. Kedudukannya sepertiShahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari kitabkitab hadits kaum muslimin. Anehnya lagi, mayoritas kitab Syiah yang menjadi rujukan mereka menyebutkan berita tentang adanya perubahan pada al- Qur’an.
  2. Ucapan ash-Shaduq ini hanyalah taqiyah untuk menyembunyikan keyakinannya di hadapan kaum muslimin. Inilah yang dijelaskan oleh Syaikh Rafidhah, Ni’matullah al-Jazairi. Ia berkata, “Ya, pendapat ini diselisihi oleh al-Murtadha, ash-Shaduq, dan Syaikh Thabarsi. Mereka menghukumi bahwa apa yang ada di antara dua sisi mushaf, itulah al-Qur’an yang diturunkan, tidak ada yang lainnya, dan tidak terjadi perubahan dan pengurangan…. Yang tampak, ini mereka ucapkan dengan tujuan mendapat kemaslahatan yang banyak. Di antaranya, menutup pintu celaan terhadapnya, bahwa jika hal ini bisa terjadi pada al-Qur’an, lantas bagaimana mungkin kaidah dan hukum al-Qur’an diamalkan padahal telah terjadi perubahan di dalamnya…. Sebab, jika tidak (dibawa kepada pemahaman seperti ini), para tokoh ini telah meriwayatkan sedemikian banyak riwayat dalam karya mereka tentang terjadinya perubahan di dalam al-Qur’an dan bahwa ayat ini diturunkan demikian lalu diubah.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, 2/357—358).
  3. Ash-Shaduq telah nyeleneh karena berpendapat menyelisihi ijma’ kaum Syiah yang menetapkan adanya perubahan dalam al-Qur’an. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh mereka, Ni’matullah al-Jazairi. Ia berkata, “Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an terjaga dan terpelihara akan menyebabkan dibuangnya berita-berita yang masyhur, bahkan mutawatir, yang dengan jelas menunjukkan terjadinya perubahan pada al-Qur’an…. Padahal para sahabat kami—semoga Allah k meridhai mereka—telah sepakat tentang keabsahan dan kebenarannya.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, Ni’matullah al-Jazairi, 2/357—358).
Sumber: