Rabu, 30 November 2016

Hukuman Bagi Pelaku Terorisme Dalam Syari’at Islam

Dalam Keputusan Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama (Lembaga Ulama Besar) No.148 tanggal 12/1/1409 H yang dimuat oleh majalah Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy edisi 2 hal.181 dan majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi 24 hal.384-387, dikeluarkan keputusan dari Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama dan kemudian keputusan ini disetujuhi oleh para anggota majelis seperti syeikh Ibnu Bazz, syeikh Ibnu ’Utsaimin, syeikh ’Abdul ’Aziz Alu Syeikh, syeikh Sholih Al-Fauzan, syeikh Sholih Al-Luhaidan dan 12 anggota yang lainnya.

Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama dalam sidangnya yang ke-32 yang diselenggarakan di kota Thaif dari tanggal 8/1/1409 – 12/1/1409 H, berdasarkan bukti-bukti yang kuat berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi perusakan yang telah menelan korban yang sangat banyak dari kalangan orang-orang yang tidak berdosa dan telah rusak karenanya (sesuatu yang) banyak dari harta benda, hak-hak milik maupun fasilitas-fasilitas umum baik di negeri-negeri Islam maupun yang di negeri lain yang dilakukan oleh orang-orang yang lemah atau hilang imannya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang sakit dan dendam. Diantaranya menghancurkan rumah-rumah dan membakarnya baik tempat-tempat umum maupun yang khusus, menghancurkan jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan, peledakan pesawat atau membajaknya. Melihat kejadian-kejadian seperti ini, beberapa negara baik yang dekat maupun yang jauh dan karena Arab Saudi sama seperti negara-negara lainnya, memiliki kemungkinan akan diserbu oleh aksi-aksi perusakan ini. Maka Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama melihat sangat pentingnya untuk menetapkan hukuman bagi pelakunya sebagai langkah preventif untuk mencegah orang-orang dari melakukan gerakan perusakan baik gerakan tersebut dilakukan terhadap tempat-tempat umum dan sarana-sarana milik pemerintah maupun ditujukan kepada yang lainnya dengan tujuan untuk merusak dan mengganggu keamanan dan ketentraman.
Majelis telah meneliti apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa hukum-hukum syari’at secara umum mewajibkan untuk menjaga 5 perkara pokok dan memperhatikan sebab-sebab yang menjaga kelestarian dan keselamatannya, yaitu : agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Dan Majelis telah memperoleh gambaran akan bahaya-bahaya yang sangat besar yang timbul akibat Jarimah (perbuatan keji) pelampauan batas terhadap Hurumat (hak-hak suci) kaum muslimin pada jiwa, kehormatan dan harta mereka dan apa-apa yang disebabkan oleh aksi-aksi perusakan ini berupa hilangnya rasa keamanan umum dalam negara, timbulnya kekacauan dan kegoncangan dan membuat takut kaum muslimin atas dirinya maupun harta bendanya.
Allah ‘Azza wa Jalla menjaga manusia ; agama, badan, jiwa, kehormatan, akal dan harta bendanya dengan disyari’atkannya hudud (hukum-hukum ganjaran) dan uqubah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan secara umum dan khusus.
Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Ma`idah : 32).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَافٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS. Al-Ma`idah : 33).
Dan penerapan hal tersebut merupakan jaminan untuk meratakan (menyebarkan) rasa aman dan ketentraman dan mencegah orang yang akan menjerumuskan dirinya dalam perbuatan dosa dan melampaui batas tehadap kaum muslimin pada jiwa-jiwa dan harta benda mereka. Dan jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwasanya hukum muharabah (memerangi pembuat kerusakan) di kota-kota dan selainnya adalah sama, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
هُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ
“Dan berupaya membuat kerusakan di muka bumi”.
Dan Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai perusakan”. (QS. Al-Baqarah : 204-205).

Dan (Allah) Ta’ala berfirman :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.(QS. Al-A’raf : 56,85).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala : “(Allah) telah melarang membuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang membahayakannya setelah diperbaikinya karena sesungguhnya apabila perkara-perkara berjalan di atas As-Sadad (lurus dan baik) kemudian terjadi kerusakan setelah itu maka itu adalah sesuatu yang paling berbahaya atas para hamba maka (Allah) Ta’ala melarang hal tersebut”.
Dan berkata Al-Qurthuby : “(Allah) Subhanahu Wa Ta’ala melarang setiap kerusakan sedikit maupun banyak setelah perbaikan yang sedikit maupun banyak maka hal ini (berlaku)
secara umum menurut (pendapat) yang benar dari berbagai pendapat (yang ada)”.
Berdasarkan penjelasan di atas dan karena apa yang telah lalu penjelasannya melampaui perbuatan-perbuatan para perusak yang mereka itu memiliki target-target khusus dimana mereka mengejar hasilnya berupa harta benda atau kehormatan. Dan sasaran mereka (para pelaku teror itu-pen.) adalah mengganggu keamanan dan merobohkan bangunan umat dan membongkar aqidahnya dan melencengkannya dari manhaj Rabbany (manhaj yang haq).
Maka majelis dengan sepakat memutuskan (hal-hal) sebagai berikut :
Pertama : Siapa yang terbukti secara syar’i melakukan perbuatan dari perbuatan-perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan gangguan keamanan dan menganiaya jiwa-jiwa dan harta benda baik milik khusus maupun yang milik umum seperti menghancurkan rumah-rumah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah atau rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, penampungan-penampungan air, fasilitas-fasilitas umum untuk baitul mal seperti saluran-saluran/pipa-pipa minyak dan menghancurkan pesawat atau membajaknya dan yang semacamnya, maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan ayat-ayat di atas bahwasanya perusakan di muka bumi yang seperti ini mengharuskan penumpahan darah si perusak. Dan karena bahaya dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan perusakan adalah lebih besar dari bahaya dan kerusakan pembegal jalanan yang melampaui batas kepada seseorang lalu membunuh dan merampas hartanya,maka Allah telah menetapkan hukumannya dalam apa yang tersebut dalam ayat Al-Harabah (QS. Al-Ma`idah : 33 di atas-pen.).
Kedua : Bahwasanya sebelum menjatuhkan hukuman sebagaimana point di atas (yaitu dibunuh-pen), harus menyempurnakan Al-Ijra`at (urusan, administrasi) pembuktian yang lazim di Pengadilan-Pengadilan syari’at, Hai‘ah At-Tamyiz dan Mahkamah Agung dalam rangka bara`atun lidzdzimmah (pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan kehati-hatian terhadap nyawa. Dan untuk menunjukkan bahwasanya negeri ini (Arab Saudi-pen.) terikat dengan segala ketentuan syari’at untuk membuktikan kejahatan dan menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang perlunya menyebarkan hukuman ini melalui media massa.
Dan salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan shahabatnya.
 
(Dikutip dari http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=738)

Sumber :
http://salafy.or.id/blog/2009/09/21/hukuman/

Minggu, 27 November 2016

QUNUT NAZILAH UNTUK MUSLIMIN ROHINGYA MYANMAR

bismillahirrohmanirrohim
qunut-nazilah-untuk-muslimin-rohingya-myanmar

Himbauan Asatidzah Salafiyyin Terkait Himbauan Pemerintah Tentang Qunut Nazilah


الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، نبينا محمد وعلى آله وصحبه، وبعد:
Mengingat :
Peristiwa pembantaian genosida yang menimpa saudara-saudara kita seiman di Rohingya Myanmar dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan prikemanusiaan.

Himbauan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama agar kaum muslimin Indonesia melakukan Qunut Nazilah, maka :

Asatidzah menghimbau seluruh Salafiyyin di ma’had-ma’had, atau lainnya untuk melakukan Qunut Nazilah pada shalat lima waktu, sebagai perwujudan ukhuwwah Islamiyyah untuk saudara-saudara kita muslimin Rohingya Myanmar dan ketaatan kita terhadap himbauan pemerintah Indonesia.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
Rabu, 23 Shafar 1438 H – 23 November 2016 H
ttd _Asatidzah_ :

Muhammad as-Sewed
Luqman Baabduh
Qomar Suaidi
Ruwaifi bin Sulaimi
Usamah Mahri
Abdush Shomad Bawazir
Syafrudin
Muhammad Sarbini
Abdul Haq
Abdullah Nahar
Muslim Abu Ishaq
Abdurrahman Mubarak
Ihsan Abul Abbas
Askari Abu Muawiyah
Muhammad Afifuddin
Ahmad Khodim
Abdul Jabbar
Ayip Syafrudin
…………………………………

Beberapa Penjelasan Penting
1. Qunut Nazilah baru dilakukan oleh kaum muslimin ketika ada perintah atau izin dari pemerintah muslimin. Demikian menurut pendapat yang benar.
 
2. Qunut nazilah dilakukan setelah ruku’ pada rakaat terakhir. Dilakukan pada semua shalat lima waktu, baik shalat Jahriyyah maupun Sirriyyah.
Adapun pada Shalat Jum’at, maka tidak qunut. Karena do’anya bisa dilakukan ketika khutbah

3. Disyariatkan kepada para makmum untuk mengaminkan do’a qunut nazilah. Disyariatkan pula mengangkat tangan bagi imam dan makmum. Tidak perlu mengusap wajah ketika mengakhiri do’a.

4. Dalam shalat sirriyyah, do’a qunut nazilah tetap dibaca jahr (dikeraskan).

5. Dalam doa qunut nazilah tidak ada teks do’a tertentu. Maka hendaknya berdo’a dengan doa yang sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya :

اللهم انصر إخواننا المستضعفين في راهنيا
اللهم عليك بأعدائك أعداء الدين
اللهم عليك بهم فإنهم لا يعجزونك
اللهم أرنا فيهم عجائب قدرتك
اللهم أنزل عليهم بأسك الذي لا يرد عن القوم المجرمين
atau doa lainnya yang sesuai.
Lafazh di atas hanya sekedar contoh, tidak harus persis seperti itu.

6. Hendaknya do’anya tidak meluas, hanya berkaitan dengan peristiwa yang ada. Gunakan lafazh-lafazh yang mencakup, jangan berpanjang-panjang, dan jangan sampai memberatkan para makmum.

7. Suatu kesalahan apabila dalam do’a qunut nazilah membaca do’a :
اللهم اهدنا فيمن هديت …. إلخ
karena itu merupakan doa dalam qunut witr.
Tidak dibenarkan pula membaca shalawat Nabi dalam qunut nazilah.

══════ ❁✿❁ ══════


Sumber :
http://tukpencarialhaq.com/2016/11/23/qunut-nazilah-untuk-muslimin-rohingya-myanmar/#more-13780

Situs Resmi  http://www.manhajul-anbiya.net

Kamis, 17 November 2016

KEBENARAN BUKAN DIUKUR DENGAN MANUSIA, TAPI MANUSIA YANG DIUKUR DENGAN KEBENARAN

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وكثير من الناس يزن الأقوال بالرجال، فإذا اعتقد في الرجل أنه معَظَّم قَبِل أقوالَه وإن كانت باطلةً مخالفةً للكتاب والسنة، بل لا يصغي حينئذ إلى مَنْ يردّ ذلك القول بالكتاب والسنة، بل يجعل صاحبه كأنه معصوم.
وإذا ما اعتقد في الرجل أنه غير معَظَّم ردَّ أقوالَه وإن كانت حقاً، فيجعل قائل القول سبباً للقبول والرد من غير وزن بالكتاب والسنة.

“Banyak orang yang menilai perkataan dengan melihat orang-orang yang mengucapkannya, jadi jika dia meyakini bahwa seseorang itu dimuliakan, maka dia menerima ucapan-ucapannya, walaupun bathil dan bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah,

bahkan ketika itu dia tidak mau mendengarkan siapa saja yang membantah ucapan tersebut dengan al-Qur’an dan as-Sunnah,

bahkan dia menjadikan orang yang mengucapkan kebathilan tersebut seakan-akan orang yang ma’shum.

Sebaliknya; jika dia meyakini bahwa seseorang itu tidak dimuliakan, maka dia menolak perkataan-perkataannya, walaupun sesuai dengan kebenaran. Jadi dia menjadikan orang yang mengucapkan sebagai sebab diterima dan ditolaknya sebuah perkataan, tanpa menimbangnya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.”

***

[Jami’ul Masail, jilid 1 hlm. 463]

Sumber :

http://forumsalafy.net/kebenaran-bukan-diukur-dengan-manusia-tapi-manusia-yang-diukur-dengan-kebenaran/

Jumat, 11 November 2016

Ngalap Berkah Kiai dengan Dalil dan Analogi Batil

Menyedihkan, negeri yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi fenomena kesyirikan dalam soal “tabaruk” sangat banyak dijumpai.
Sebagian komunitas meyakini bahwa mata air tertentu memiliki berkah. Manusia pun berdatangan untuk singgah berendam (kungkum), mandi, atau meminumnya dengan berbagai harapan, untuk dirinya, keluarga, kesembuhan penyakit, kelancaran usaha, dan seterusnya.
Ngalap Berkah Kiai dengan Dalil dan Analogi BatilApakah Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa air tersebut diberkahi? Adakah izin dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bertabaruk dengan air tersebut? Tidak diragukan semua perbuatan dan keyakinan terhadap mata air tersebut adalah bentuk kesyirikan.
Ritual Suran di kota Solo yang sarat dengan kesyirikan juga sangat masyhur. Sebuah kirab di malam 1 Sura digelar di Kraton Surakarta Hadiningrat. Dalam acara itu “Kebo Kiai Slamet” diumbar (dilepaskan).
Ya, Kebo Bule Kiai Slamet sebagai “Cucuking Lampah” kirab di malam itu. Konon, kebo bule adalah hewan kesayangan Susuhunan dan dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Lautan manusia berebut tinja (kotoran), kencing, atau setidaknya menyentuh Kiai Slamet; ngalap berkah dari kerbau tersebut. Inikah Islam? Allahul musta’an.

Sungguh, pemandangan ini sangat menyedihkan dan menakutkan. Mengapa manusia yang telah Allah subhanahu wa ta’ala beri akal hilang akalnya? Tidakkah mereka sadar bahwa kesyirikan adalah dosa yang tidak terampuni?! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa: 48)

Masih di negeri ini pula, seorang bocah tiba-tiba tenar dengan batu “keramat” yang dimilikinya. Dialah Ponari yang namanya sempat melejit memenuhi ruang media pada 2009.
Manusia berjubel ngalap berkah dari batu milik sang bocah. Kobokan (celupan) tangannya, bahkan selokan pembuangan rumah Ponari menjadi incaran para peziarah yang demikian nekat ngalap berkah. Bahkan, beberapa pengunjung tewas karena berjubelnya manusia. Wal ‘iyadzubillah.


Tabaruk dengan Kiai/Orang Saleh

kobokanFenomena pengultusan sesosok tokoh yang dianggap saleh juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sebagian penduduk di negeri ini. Sosok itu demikian agung di mata para pengikutnya.
“Romo kiai rawuh!” Demikian seruan terdengar. Serentak para santri berdiri, dengan badan membungkuk seperti rukuk. Mereka berebut tangan sang kiai untuk menciumnya seraya berharap turunnya berkah.
Selepas kiai bermajelis, pemandangan menyedihkan lain tampak. Sisa minuman kiai atau sisa “kobokan” (cucian tangan) kiai pun diperebutkan. Masih dengan keyakinan dan harapan serupa, yaitu tabarruk (ngalap berkah).
Akal-akal manusia seakan hilang. Memang demikian ketika ketergantungan hati yang seharusnya tertuju hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian bergeser dan diberikan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Syubhat yang Harus Disingkap

Telah menjadi kebiasaan musyrikin dan pengikut hawa nafsu, mereka mendatangkan syubhat untuk membela kebatilan. Dalam masalah tabarruk (ngalap berkah) dengan orang yang dianggap saleh seperti kiai, guru tarekat, ada banyak syubhat mereka bawakan. Di antara syubhat tersebut sebagai berikut.

  1. Berdalil dengan hadits maudhu (palsu)
Di antara hadits-hadits palsu yang mereka nukilkan adalah:
  • Sebuah hadits yang diriwayatkan al-Imam ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma. Beliau radhiallahu ‘anhuma berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، الْوُضُوءُ مِنْ جَرٍّ جَدِيدٍ مُخَمِّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ مِنَ الْمَطَاهِرِ؟ فَقَالَ: لَا، بَلْ مِنَ الْمَطَاهِرِ، إِنَّ دِينَ اللهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ. قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللهِ يَبْعَثُ إِلَى الْمَطَاهِرِ فَيُؤْتَى بِالْمَاءِ، فَيَشْرَبُهُ، يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih engkau sukai, berwudhu dengan air baru dalam bejana yang tertutup atau berwudhu pada tempat wudhu umum (air wudhu yang telah terkena tangan-tangan manusia)?”
“Sungguh, yang paling aku sukai adalah berwudhu dari bejana yang dipakai umum. Sesungguhnya agama Allah subhanahu wa ta’ala itu lurus dan mudah.”
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan untuk mengambil air dari tempat wudhu umum. Beliau lalu meminumnya mengharapkan barakah dari tangan-tangan kaum muslimin.”

Dengan berbinar hati, mereka menyatakan hadits ini adalah nas yang menunjukkan bolehnya bertabarruk dengan sisa orang saleh—selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bertabarruk dengan air yang merupakan sisa tangan-tangan kaum muslimin dalam wudhu mereka.

Sungguh, hadits-hadits seperti ini dibuat oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak akidah kaum muslimin.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menegakkan Islam. Ahlul hadits—orang-orang yang selalu waspada dari penyusup yang ingin menyelipkan hadits-hadits palsu—menyepakati kebatilan (kepalsuan) hadits ini. Di antara yang mengingkarinya adalah Abu Arubah[1], Ibnu Adi[2], Ibnu Hibban[3], al-‘Iraqi dalam Takhrij Ahadits al-Ihya (1/690), asy-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah (1/12) dan asy-Syaikh Abdur Rahman al-Mu’alimi al-Yamani.[4]
  • Hadits palsu kedua yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melegalkan tabaruk syirik adalah,

إِذَا أَعْيَتْكُمُ الْأُمُورُ فَعَلَيْكُمْ بِأَهْلِ الْقُبُورِ أَوْ فَاسْتَعِينُوا بِأَهْلِ الْقُبُورِ

“Apabila menimpa kalian perkara-perkara yang menyusahkan, segeralah kalian menuju orang-orang yang telah dikubur.”
Dalam sebagian lafadz, “Mintalah bantuan kepada penghuni kubur.”

Inilah di antara hadits palsu yang digunakan kaum quburi dan Sufi— termasuk di negeri ini—untuk melariskan dagangan mereka mengultuskan kuburan-kuburan “wali”, agar manusia berbondong ngalap berkah di kuburan-kuburan tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari kedustaan mereka.
Para ulama juga bersepakat bahwa hadits ini maudhu (palsu). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menukilkan kesepakatan para ulama tersebut dalam Majmu’ Fatawa (11/293) beliau berkata,
“Hadits ini dusta dan diada-adakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut kesepakatan orang-orang yang mengetahui haditsnya. Tidak ada seorang ulama pun yang meriwayatkan hadits ini. Tidak didapatkan (hadits ini) sedikit pun dalam kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan.”
Beliau juga mengatakan dalam kitabnya ar-Radd ‘ala al-Bakri bahwa hadits tersebut la ashla lahu (tidak ada asalnya).

  • Di antara hadits palsu yang tersebar untuk melegalkan praktik tabarruk syirik adalah,

لَوْ أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ ظَنَّهُ بِحَجَرٍ نَفَعَهُ

“Seandainya salah seorang di antara kalian berprasangka baik pada batu, niscaya batu itu akan memberikan manfaat kepadanya.”

Hadits ini disebutkan oleh al-Hafizh al-‘Ajluni rahimahullah dalam Kasyful Khafa (2/152). Beliau menukilkan dari Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa hadits ini dusta. Dinukil dari Ibnu Hajar rahimahullah bahwa hadits ini, “La ashla lahu (hadits ini tidak memiliki asal).
Dinukilkan pula dari as-Sakhawi rahimahullah, “La yashih (hadits ini tidak sahih).
Beliau juga menukilkan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits palsu ini asalnya adalah ucapan para penyembah berhala yang selalu berbaik sangka pada bebatuan.”
Dalam kitabnya, Ighatsatu al-Lahafan (1/308), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Semua hadits itu sangat berlawanan dengan agama Islam, dan dipalsukan oleh orang-orang musyrik….
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam Silsilah adh-Dha’ifah hadits no. 450.

  1. Berdalil dengan qiyas
Di antara syubhat yang mereka pegangi dalam masalah tabaruk dengan orang-orang saleh (atau yang dianggap saleh) adalah qiyas.
Mereka mengiyaskan (menganalogikan) orang-orang saleh dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka katakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang saleh dan disyariatkan para sahabat bertabaruk dengan jasad beliau dan peninggalan beliau. Karena para wali juga saleh, berarti diperbolehkan pula ngalap berkah dengan mereka.
Meski tampak indah, qiyas ini adalah sebuah syubhat yang batil. Syubhat yang ada di hadapan kita ini terbantah dari beberapa sisi bantahan, di antaranya sebagai berikut.
  • Qiyas ini tertolak karena perbedaan yang sangat jauh antara al-ashl dan al-far’.
Sebagaimana dimaklumi bahwa qiyas menurut ulama ushul fiqh adalah ‘menyamakan antara al-far’ (objek yang dikiaskan) dengan al-ashl (pokok yang dikiaskan kepadanya) dalam hal hukum, karena adanya kesamaan ‘illah antara keduanya (far’ dan ashl)’. ‘Illah adalah alasan untuk menyamakan hukum antara far’ dan ashl.
Dengan qiyas ini, ahlul batil ingin menyamakan dengan paksa antara kiai/orang saleh (sebagai far’) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagai al-ashl) dalam sebuah hukum, yaitu disyariatkannya bertabaruk dengan jasad kiai/orang saleh sebagaimana bolehnya bertabaruk dengan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, mereka menganggap adanya kesamaan ‘illah antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kiai/orang saleh.
Mereka menetapkan bahwa sebabnya adalah “kesalehan”. Karena dinilai saleh, keduanya bisa disamakan dalam hal bolehnya bertabaruk dengannya.
Qiyas ini tertolak. Sebab, ketika kita cermati, qiyas seperti ini termasuk qiyas ma’al fariq, yaitu qiyas yang batil karena perbedaan yang sangat jauh antara alashl dan al-far dalam hal ‘illah, sehingga tidak bisa disamakan hukumnya.


Ketika kita dalami, sesungguhnya sangat banyak perbedaan antara kesalehan orang biasa dan kesalehan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1) kesalehan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada puncak kesalehan, sementara kesalehan kiai/orang saleh yang diagungkan (jika memang dia orang saleh)[5] adalah kesalehan yang sangat terbatas.
2) kalau memang orang saleh, kesalehan kiai/orang saleh tercampur dengan dosa dan kemaksiatan. Berbeda halnya dengan kesalehan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dicampur dengan dosa, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maksum.
3) kesalehan umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercapai karena mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kesalehan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan karena beliau mengikuti umatnya.
4) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijamin masuk jannah (surga), bahkan jannah yang paling tinggi, sementara kiai/orang saleh yang diagungkan tidak memilki jaminan surga, bahkan tidak ada yang bisa menjamin dia khusnul khatimah. Bisa jadi, dia mati dalam keadaan fasik atau bahkan murtad.
5) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala, baik secara langsung maupun melalui perantara Jibril ‘alaihissalam, sementara kiai/orang saleh yang dianggap saleh tidak mendapatkan wahyu,

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku.” (al-Kahfi: 110)
6) Sangat jauh antara jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa ta’ala izinkan para sahabat bertabaruk dengannya dan jasad kiai/orang saleh yang diagungkan.
Di antara perbedaannya, Allah subhanahu wa ta’ala haramkan bumi memakan jasad para nabi dan rasul. Hal ini tidak berlaku untuk jasad para kiai/orang saleh, berdasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah haramkan atas bumi memakan jasad para nabi.”
  • Qiyas tersebut menyelisihi dalil, sehingga teranggap fasidul i’tibar.
Yang dimaksud dengan fasidul i’tibar adalah qiyas yang menyelisihi dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’ ulama.
Para ulama bersepakat bahwa qiyas tidak dipergunakan jika ada nas dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’. Di samping itu, qiyas juga tidak boleh dipegang ketika menyelisihi dalil baik al-Qur’an, as-Sunnah yang sahih, atau ijma’. Sebab, apabila demikian, qiyas tersebut dianggap fasid (fasidul i’tibar).
Dalam masalah tabarruk, telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan para sahabat bahwa mereka tidak bertabarruk dengan selain jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ijma’ ini dinukilkan oleh asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya al-I’tisham.
Karena adanya ijma’ ini, menyamakan jasad orang saleh dengan jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal disyariatkannya tabarruk termasuk qiyas yang menyelisihi ijma’.
Lebih dari itu, qiyas ini menyelisihi nas al-Qur’an atau as-Sunnah.
Kita telah membaca bersama hadits Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu tentang perjalanan beliau bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Hadits tersebut menunjukkan bahwa bertabarruk dengan pohon adalah kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sangat tegas mengingkari keinginan sebagian sahabat yang baru saja masuk Islam saat menyampaikan keinginan agar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat Dzatu Anwath, seperti yang dilakukan musyrikin terhadap sebuah pohon sidr.

Larangan tabarruk dengan pohon berlaku juga untuk hal yang lain, seperti mencari berkah kepada bebatuan, kuburan, atau yang lainnya. Demikian pula mencari berkah dengan keringat orang saleh, bersentuhan dengan tubuh mereka, menyentuh pakaian mereka, dan yang semisalnya. (al-Jadid, hlm. 103)
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa mengusapkan pakaian atau bagian tubuh—sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang—di sisi kubur para wali dengan maksud mencari berkah adalah perbuatan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula perbuatan sebagian manusia mencium para gurunya dengan keyakinan bahwa barakah akan mereka peroleh dengan cara tersebut. Merunduk, membungkuk, berebut air kobokan, dan berebut gedoh kopi pak kiai, semuanya termasuk bentuk kesyirikan.
  • Qiyas tersebut tidak sesuai dengan amalan salaf umat ini, baik para sahabat, tabi’in, atau tabi’ut tabi’in.
Ketika terjadi perselisihan, kita diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan tersebut kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan al-Khulafaur Rasyidin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتَلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا باِلنَّوَاجِذِ

“Sungguh, siapa yang hidup di antara kalian akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah al-Khulafa yang mendapat bimbingan dan petunjuk. Peganglah erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan at-Tirmidzi no. 2676)

Setelah kita lihat amalan salaf, ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang bertabarruk dengan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengapa para sahabat tidak bertabarruk dengan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu, padahal beliau adalah manusia terbaik setelah para nabi dan rasul?
Jawabnya, karena mereka mengerti bahwa tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang bisa menjadi sandaran untuk bertabarruk dengan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga menyadari bahwa manusia, sesaleh apa pun tidak bisa disamakan dengan Nabi dalam hal kesalehan hingga memiliki kesamaan hukum.
Tidak ada satu riwayat sahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintah sahabat agar bertabarruk (mencari berkah) kepada selain beliau, baik kepada kalangan sahabat seperti Abu Bakr atau selainnya, dengan diri mereka, maupun dengan peninggalan mereka. Di samping tidak ada perintah dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada pula satu riwayat sahih yang menyebutkan bahwa para sahabat bertabarruk dengan sahabat yang lain layaknya dahulu mereka bertabarruk dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat tidak pernah melakukan hal itu terhadap orang-orang terbaik dari al-Khulafaur ar-Rasyidin atau al-‘Asyarah al-Mubasysyaruna bil Jannah.
Jika kesalehan menjadi alasan seseorang bertabarruk dengan kiainya, tentu saja orang yang paling saleh adalah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Beliau adalah manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Beliau telah dijamin masuk surga. Beliau adalah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat saat sakitnya, sekaligus sebagai Khalifah sepeninggal beliau. Akan tetapi, para sahabat bersepakat tidak bertabarruk dengan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Bahkan, para sahabat telah bersepakat tidak bertabarruk dengan jasad selain jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Setelah wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan di kalangan umatnya orang yang lebih utama daripada Abu Bakr ash-Shiddiq. Ia adalah khalifah (pengganti) beliau. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan tabarruk terhadapnya. Tidak juga terhadap Umar, orang yang paling utama di kalangan umat beliau setelah Abu Bakr. Demikian pula terhadap Utsman dan Ali, kemudian para sahabat lainnya. Padahal tidak ada seorang pun di kalangan umat ini yang lebih utama daripada mereka.
Tidak ada satu keterangan pun yang sahih dan dikenal dari salah seorang mereka yang menyatakan bahwa ada seseorang yang mencari berkah terhadapnya dengan salah satu cara di atas atau semacamnya.
Akan tetapi, yang terjadi di kalangan mereka hanyalah bertabarruk mengikuti perbuatan, ucapan, dan perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) mereka untuk tidak melakukan hal-hal tersebut.” (al-I’tisham, asy-Syathibi, 2/8—9)

  • Tabaruk dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekhususan beliau.
Para ulama menjelaskan alasan para sahabat tidak bertabaruk dengan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penyebab utamanya— wallahu a’lam—adalah keyakinan mereka bahwa tabarruk seperti itu adalah kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dimiliki oleh selain beliau.
pena-bulu-dan-pena-jadulAllah subhanahu wa ta’ala benar-benar telah memberi beberapa kekhususan kepada para nabi dan rasul yang mulia. Berbagai kekhususan tersebut tidak didapatkan pada selain mereka.
Demikian pula pada diri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara kekhususan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan adalah adanya keberkahan pada diri (jasad) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pemuliaan terhadap beliau.

Jasad dan sifat manusia biasa tidak sama dengan jasad dan sifat para nabi. Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memilih dan mengistimewakan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱللَّهُ أَعۡلَمُ حَيۡثُ يَجۡعَلُ رِسَالَتَهُۥۗ

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (al-An’am: 124)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَرَبُّكَ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخۡتَارُۗ

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya….” (al-Qashsash: 68)

Pengistimewaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap para Nabi, dengan berbagai kekhususan yang tidak dimiliki oleh selain mereka, telah masyhur dan tidak dapat dimungkiri. Sungguh, tidak bisa disamakan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang saleh pun dari umat beliau.
Para ulama telah menjelaskan bahwa tabaruk dengan sisa air wudhu, rambut, keringat, atau sejenisnya adalah kekhususan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hal ini tidak boleh dilakukan kepada seorang pun dari umat beliau. Hal ini sebagaimana kekhususan beliau diperbolehkan menikahi lebih dari empat wanita.
Ketika mengulas larangan ghuluw (melampaui batas) dalam mengagungkan para wali, al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menjelaskan pula larangan menyamakan wali dengan Nabi dalam hal tabarruk.
Beliau berkata, “… Hal itu (yakni tabarruk) telah dilakukan oleh para sahabat terhadap Nabi dan mereka tidak melakukannya terhadap sebagian dari mereka…
Tabarruk juga tidak dilakukan oleh para tabi’in terhadap para sahabat, padahal kedudukan mereka tinggi. Ini semua menunjukkan bahwa tabarruk semacam ini hanya boleh dilakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti mencari barakah dengan air wudhu beliau, sisa-sisa air wudhu beliau, rambut beliau, dan meminum/memakan sisa minuman/makanan beliau.” (al-Hikamul Jadirah bil Idzaa’ah min Qaul Rasulillah, “Buitstu baina yadayi as-Sa’ah”, Ibnu Rajab, 55)

  1. Berdalil dengan Ucapan Ulama yang Masih Samar
Di antara syubhat mereka ialah menukil ucapan ulama yang masih samar kesahihannya atau maknanya, tanpa memerhatikan keterangan para ulama ketika mendudukkan riwayat tersebut.
Sebagai contoh, mereka dapatkan sebuah riwayat dari al-Imam Ahmad bin Hanbal,

سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمُسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ

“Aku bertanya kepadanya (al-Imam Ahmad) tentang seorang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertabarruk (mencari berkah) dengan mengusap dan menciumnya. Demikian pula seseorang yang melakukan hal tersebut terhadap makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-Imam Ahmad menjawab, ‘Hal itu tidak apa-apa’.”
Tentu saja, bagi mereka riwayat ini sangat menggembirakan. Tanpa ragu mereka mengatakan, “Ini dalil kami yang tidak terbantahkan!” Imam Ahlus Sunnah menyatakan bolehnya bertabarruk dengan mencium dan mengusap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara itu.
Jawaban atas syubhat ini adalah sebagai berikut.
  • Riwayat di atas adalah riwayat yang sangat aneh.
Dalam mazhab Hanbali, sangat tegas dibencinya mengusap-usap dan menciumi kuburan, karena amalan ini tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dilakukan oleh para sahabat.
  • Riwayat tersebut sangat diragukan kebenaran penisbatannya kepada al-Imam Ahmad rahimahullah
Sebab, riwayat di atas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang masyhur dari beliau yang secara tegas menunjukkan bahwa mengusap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—apalagi selain kubur beliau—tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, dan salaf umat ini.
Di antara riwayat tersebut adalah riwayat al-Atsram, salah seorang murid al-Imam Ahmad yang tepercaya dan mengambil riwayat langsung dari beliau. Beliau berkata,

رَأَيْتُ أَهْل الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لاَ يَمُسُّونَ قَبْرَ النَّبِيِّ، يَقُومُونَ مِنْ نَاحِيَةٍ فَيُسَلِّمُونَ

“Aku menyaksikan bahwa ahlul ilmi dari penduduk Madinah tidak mengusap kubur Nabi. Mereka hanya berdiri di dekat (makam) dan mengucapkan salam (atas beliau).”
Hal lain yang menambah keraguan tentang riwayat di atas, al-Imam Ahmad bin Hanbal sangat terkenal dalam hal berpegang dengan sunnah, menjauhi kesyirikan, dan menjauhi jalan yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Siapa saja yang mengenal Ahmad bin Hanbal rahimahullah, niscaya akan merasa aneh dengan riwayat yang dijadikan syubhat quburiyun (para pengagung kuburan). Terlebih lagi, dipastikan bahwa riwayat-riwayat yang sahih justru bertentangan dengan riwayat yang mereka nukilkan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (3/475) menyebutkan dari murid-murid al-Imam Ahmad bahwa mereka menganggap jauh (mustahil) perkataan tersebut (diucapkan oleh al-Imam Ahmad).
Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah meragukan pula kebenaran riwayat di atas dari al-Imam Ahmad.
  •  Seandainya penukilan dari al-Imam Ahmad itu sahih, kita memiliki pokok-pokok akidah berdasarkan al-Kitab dan Sunnah Rasulullah yang lebih didahulukan dari ucapan siapapun.
sunnah-bidahAl-Imam Ahmad sendiri berkata, “Jika kalian melihat ucapanku yang menyelisihi ucapan Rasulullah, buanglah ucapanku.”
Pembaca, sebuah contoh ini insya Allah cukup sebagai peringatan bahwa ahlul bid’ah demikian jahat dalam mencari-cari celah untuk membenarkan kesesatannya. Setiap ucapan yang sekiranya bisa memperkuat kebid’ahan dan kesyirikan mereka segera dicomot tanpa memerhatikan apa yang mereka nukilkan.
Demikian beberapa pembahasan terkait dengan barakah dan tabarruk. Semoga apa yang sedikit ini memberikan faedah bagi kaum muslimin.
Wallahu a’lam.

Sumber :

Rabu, 09 November 2016

Nasehat Bagi Salafiyyin

Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkholi rahimahullah ketika diminta nasehatnya untuk Salafiyun, beliau berkata (artinya),
Nasihat itu begitu banyak, yang aku nasehatkan kepada siapa saja yang telah mengenal manhaj salaf (jalan beragama para pendahulu yang saleh) agar dia memuji Allah subhanahu wata’ala.

Ini yang pertama. Hendaknya bagi siapa yang mengenal al-haq untuk memuji Allah subhanahu wata’ala,

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّـهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّـهُ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah  kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (al-A’raaf: 43)
.
Hidayah (yang kita dapat) dari Allah subhanahu wata’ala ini adalah nikmat yang besar, maka wajib bagimu untuk memuji Dzat Yang memberimu hidayah tersebut.

Kedua, Wajib bagimu untuk kokoh di atas al-haq setelah engkau mengetahuinya, berdo’alah kepada Allah subhanahu wata’ala agar Ia mengokohkanmu di atasnya.

Ketiga, Hendaknya kamu melakukan sebab-sebab yang membantumu untuk istiqamah di atas al-haq. Sebab yang pertama adalah ilmu, dan sebab yang kedua adalah kedekatan dengan orang-orang yang berilmu, dekat dengan orang-orang baik, yang mana mereka ini berjalan di jalan yang lurus. Dengan izin Allah subhanahu wata’ala engkau akan menjadi kuat bersama mereka, dan engkau akan mengambil banyak faedah dari mereka.

Sumber :
Http//: www.miraath.net

Kamis, 03 November 2016

Selasa, 01 November 2016

Islam Menepis Mitos Sial Bulan Shafar

meranggas1Dahulu, orang-orang Arab jahiliah memiliki keyakinan yang salah terhadap bulan Shafar. Mereka menganggap bahwa bulan kedua penanggalan hijriyah tersebut adalah bulan sial dan bisa mendatangkan bencana. Sehingga pada bulan itu, mereka tidak mau melakukan aktivitas yang biasa mereka lakukan pada bulan-bulan lainnya, seperti pernikahan dan lain sebagainya.

Mitos Bulan Shafar di Negeri Ini

Sangat disayangkan, kepercayaan dan tradisi Arab jahiliah tersebut masih dianut oleh sebagian umat Islam di dunia, termasuk sebagian kaum muslimin di negeri ini. Menurut mereka, bulan Shafar memiliki sifat yang hampir sama dengan bulan sebelumnya, yaitu bulan Muharram (Suro). Diyakini bahwa kedua bulan ini merupakan bulan yang penuh bala’, malapetaka, dan membawa sial. Sebagian umat Islam di negeri ini masih mempercayai bahwa bulan Muharram dan Shafar dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat ketidakberuntungan. Sehingga mereka pun beranggapan bahwa bulan tersebut merupakan saat yang tidak baik untuk mengadakan acara-acara penting semacam pernikahan, khitanan, membangun rumah, pindah rumah, dan sebagainya.

Bahkan di beberapa tempat, saat memasuki bulan Shafar, sebagian orang menyibukkan diri dengan melakukan tirakat dan bershadaqah hingga berlalunya bulan ini. Lalu pada puncaknya, yaitu pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, mereka melaksanakan berbagai ritual dalam rangka memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari bencana dan malapetaka, bahkan sebagiannya menuliskan rajah-rajah tertentu di kertas lalu dimasukkan ke dalam bak mandi, sumur, dan tempat-tempat penampungan air lainnya. Walaupun banyak kalangan yang menilai bahwa ritual seperti ini merupakan penyimpangan karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak sedikit kaum muslimin yang masih saja meneruskan dan melestarikannya.

Thiyarah Telah Dihapus oleh Islam

Dalam kamus syari’at, anggapan atau keyakinan di atas dinamakan dengan tathayyur atauthiyarah, yaitu menganggap datangnya kesialan (nasib buruk) semata-mata bersandarkan pada apa yang dilihat, didengar, atau dengan bersandarkan pada waktu tertentu. (Lihat al-Qaulul Mufid).

Contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan bersandarkan pada apa yang dilihat adalah sebagaimana juga kebiasaan orang Arab jahiliah, bahwa ketika hendak bepergian atau melakukan aktivitas tertentu, mereka menerbangkan seekor burung. Kemudian dilihat apakah burung tersebut terbang ke arah kanan atau ke arah kiri. Kalau ke arah kanan, mereka meyakini adanya keberuntungan sehingga mereka meneruskan aktivitasnya. Dan sebaliknya, kalau ke arah kiri, mereka mengurungkannya. Karena mereka menganggap hal ini pertanda akan datangnya nasib buruk kalau mereka tetap melanjutkan aktivitasnya.
Adapun contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata bersandarkan pada apa yang didengar adalah keyakinan bahwa orang yang mendengar suara burung tertentu berarti sebentar lagi akan mengalami nasib buruk, atau setidaknya akan mendengar berita yang tidak disukainya.

Sedangkan contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan bersandarkan pada waktu tertentu adalah beranggapan bahwa pada waktu-waktu tertentu, seseorang tidak boleh mengadakan acara semacam pernikahan, khitanan, atau yang lainnya karena hal itu tidak akan membawa keberuntungan bagi yang punya hajat. Biasanya waktu-waktu yang dimaksud di sini adalah bulan Muharram, Shafar, hari Rabu, malam Jum’at, dan sebagainya.

Orang-orang Arab jahiliah sejak dahulu terus berada di atas aqidah dan kepercayaan yang menyimpang ini. Dikatakan menyimpang karena nampak sekali bahwa orang yang terjatuh ke dalam perbuatan thiyarah menunjukkan lemahnya iman dan tauhid dia kepada Allahsubhanahu wa ta’ala. Hal ini disebabkan karena orang yang melakukan thiyarah berarti telah meyakini bahwa kejelekan dan nasib buruk yang menimpa itu tidak lain disebabkan oleh makhluk, baik waktu, tempat, ataupun kejadian yang dilihat atau didengar. Sementara ia lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa sebenarnya segala yang menimpa hamba itu, dari nasib yang baik maupun yang buruk merupakan ketentuan dan taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.Kalau Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka musibah, bencana, dan kesialan itu pasti akan datang dan bisa menimpa siapapun, kapanpun dan di manapun hamba berada.

Musibah itu datang bukan karena mendengar suara burung hantu atau burung gagak. Nasib buruk itu menghampiri seseorang bukan karena melihat kucing hitam di tengah jalan yang ia lewati. Demikian pula ketidakharmonisan rumah tangga itu bukan disebabkan pernikahan yang dilangsungkan di bulan Muharram atau bulan Shafar.
Thiyarah ini terus menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab jahiliah, hingga datanglah Islam yang kemudian meluruskan keyakinan yang bengkok ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar, tidak ada (kesialan) pada burung hantu.” (HR. al-Bukhari no. 5717, dan Muslim no. 2220)

Hadits ini merupakan sanggahan terhadap mitos dan kepercayaan orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya tanpa adanya taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada burung hantu,” mengandung penghapusan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, yaitu apabila burung tersebut hinggap di rumah mereka, maka mereka akan mendapat kesialan, seraya mengatakan, “Burung ini membawa kabar buruk tentang aku atau salah seorang penghuni rumahku.” Sehingga ia pun meyakini bahwa dirinya atau salah satu anggota keluarganya akan tertimpa musibah, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menepis dan membantah keyakinan ini.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar,” adalah bantahan terhadap orang-orang jahiliah dahulu yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti bulan-bulan lainnya.

Dalam Islam, tidak ada bulan maupun hari yang dianggap buruk atau mendatangkan kesialan karena semua itu adalah sebatas anggapan manusia semata. Tidak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan -walaupun sedikit- tentang hari baik maupun hari buruk. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa bencana yang menimpa itu justru terjadi akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, bukan karena hari sial atau yang semisalnya. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syura: 30)

Akibat Thiyarah

Seseorang yang sudah terbiasa melakukan thiyarah, maka hidup ini akan terasa sempit baginya. Dia akan selalu dihinggapi oleh rasa khawatir. Perasaan takut akan bernasib sial selalu terbayang di benaknya. Setiap kali mendengar atau melihat pemandangan yang tidak disukainya, muncul anggapan bahwa itu pertanda ia akan bernasib sial. Sehingga ia pun takut untuk melakukan aktivitasnya ketika itu.
Setiap kali akan mengadakan acara tertentu, ia pun memilih hari-hari yang menurut keyakinannya adalah hari baik, sehingga iapun benci, anti, dan bahkan terkadang sampai mencela hari, bulan, maupun waktu-waktu tertentu lainnya yang dianggap hari nahas.

Barangsiapa yang menganggap sial waktu tertentu atau mencelanya, maka sungguh berarti ia telah mencela dan menganggu Dzat Yang menciptakannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Anak Adam (manusia) menyakiti-Ku, (dengan) mencela waktu. Padahal Aku adalah pengatur waktu, Aku yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. al-Bukhari no. 4826 dan Muslimno. 2246)

Bangsa Arab jahiliah dahulu terbiasa menyandarkan berbagai musibah dan kesusahan yang mereka alami kepada waktu tertentu. Sehingga ketika terjadi musibah, mereka pun mencela waktu saat terjadinya musibah tersebut. Dalam hal ini, berarti mereka telah mencela Allahsubhanahu wa ta’ala, Dzat yang menciptakan dan mengatur waktu.

Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa sebanyak 70.000 orang dari umatnya akan masuk ke dalam surga secara langsung tanpa melalui proses hisab (perhitungan amalan) dan tanpa merasakan adzab di neraka terlebih dahulu. Di antara ciri mereka adalah tidak pernah melakukan thiyarah (HR. al-Bukhari no. 6541, dan Muslim no. 220). Berarti orang yang melakukan thiyarah akan terhalangi dari meraih keutamaan ini.

Akhir Kata

Semestinya bagi umat Islam untuk memperbanyak doa, zikir, dan amal shalih di setiap waktunya. Tidak hanya di bulan Shafar saja, namun juga di bulan-bulan yang lain. Di samping itu, kemaksiatan dan segala bentuk kemungkaran harus dijauhi. Apalah artinya seseorang rajin beribadah, namun ia masih tetap saja bergelimang dengan maksiat, riba, tidak jujur, menipu, menggunjing tetangga, korupsi, bermain suap, kesyirikan, dan keengganan dalam menjalankan sunnah Rasul jelas merupakan kemungkaran yang akan mendatangkan bencana dan murka Allah. Allah berfirman (artinya) :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)

Para pembaca rahimakumullah. Tidaklah musibah itu datang karena mengadakan acara hajatan di bulan Shafar. Tidak pula azab Allah subhanahu wa ta’ala itu menimpa karena tidak menjalankan ritual khusus di bulan Shafar. Sebaliknya, ketika bencana itu tidak menimpa seseorang, maka bukan karena ia telah menunaikan semua prosesi ritual di bulan Shafar yang diada-adakan sendiri tanpa ada bimbingan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketahuilah bahwa adzab Allah subhanahu wa ta’ala, bencana, dan bala’ itu tidak akan turun menimpa hamba selama hamba tersebut beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar dan bersyukur kepada-Nya dengan sebenar-benarnya syukur. Allah berfirman (artinya),“Mengapa Allah akan menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisa`: 147)

Di antara bentuk keimanan yang benar adalah menjauhkan diri dari segala bentuk thiyarah. Yakin bahwa tidak ada hari, tanggal, atau bulan tertentu yang dapat mendatangkan kesialan. Segala musibah yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tentukan pasti akan menimpa siapapun, kapanpun, dan di manapun tanpa ada hubungannya sedikitpun dengan waktu atau keadaan tertentu.
Demikian pula banyak beristighfar (meminta ampun), akan mencegah datangnya azab Allahsubhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan tidaklah Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)

Maka hendaknya masing-masing kita mengoreksi diri, sudahkah iman ini dan keyakinan kita benar dan bersih dari segala yang mengotorinya? Sudahkah diri ini bersyukur atas nikmat yang selama ini dirasakan? Sudahkah hati ini jujur dalam meminta ampun, bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan kembali ke jalan-Nya?
 
        Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber :