Senin, 30 September 2013

Dua Makhluk yang Terbesar

Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
[Pengasuh Pesantren Al-Ihsan Gowa][1]


Salah satu diantara aqidah (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa makhluk terbesar adalah Arsy (singgasana) Allah -Azza wa Jalla-.Mungkin selama ini ada diantara kita yang menyangka bahwa bahwa makhluk terbesar di dunia adalah langit dan bumi. Padahal masih ada yang lebih besar daripada itu semua, yaitu Al-Kursiy (Kursi) milik Allah -Azza wa Jalla-. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Artinya, ia lebih besar dibandingkan langit dan bumi. Inilah yang dijelaskan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ  [البقرة : 255]
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah), melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS. Al-Baqoroh : 255)
Kursi adalah tempat kedua kaki Allah -Azza wa Jalla-. Penafsir Ulung, Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhu- berkata,
الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ وَالْعَرْشُ لاَ يُقَدِّرُ أَحَدٌ قَدْرَهُ
“Kursi adalah tempat kedua kaki[2]. Sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang mampu menentukan besarnya”.[3]
Kursi Allah adalah makhluk terbesar setelah Arsy (singgasana) Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang shohih dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, beliau bersabda,
ما السماوات السبع في الكرسي إلا كحلقة ملقاة بأرض فلاة وفضل العرش على الكرسي كفضل تلك الفلاة على تلك الحلقة
“Tidaklah langit-langit yang tujuh dibandingkan Kursi, kecuali seperti sebuah mata rantai yang dibuang di tanah yang tandus. Sedang kelebihan Arsy dibandingkan Kursi, seperti kelebihan tanah tandus itu dibandingkan sebuah mata rantai tersebut”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Al-Arsy (no. 58) dan Abusy Syaikh dalam Al-Azhomah (no. 70), Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (no. 136) dan lainnya. Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam As-Silsilah (1/224/109)]
Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata usai men-takhrij hadits ini,
“Hadits ini keluar sebagai tafsir bagi firman Allah -Ta’ala-,
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
Kursi Allah meliputi langit dan bumi…“.
Hadits ini gamblang dalam menjelaskan kedudukan Kursi sebagai makhluk terbesar setelah Arsy dan bahwa Kursi itu adalah benda yang berdiri sendiri, bukan sesuatu yang yang tidak memiliki wujud.
Di dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang mentakwil Kursi dengan makna “kerajaan dan luasnya kekuasaan” sebagaimana yang tertera pada sebagian kitab-kitab tafsir. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Kursi adalah “ilmu”, maka atsar itu tidak shohih sanadnya kepada beliau. Karena, ia termasuk riwayat Ja’far bin Abil Mugiroh dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Atsar itu diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Ibnu Mandah berkata, “Ibnu Abil Mughiroh bukan orang yang kuat pada Ibnu Jubair”. [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/226)]
Keyakinan Ahlus sunnah wal Jama’ah bahwa Kursi adalah makhluk terbesar setelah Arsy. Inilah pendapat yang benar, bukanlah Kursi itu kekuasaan atau ilmu. Bahkan ia adalah makhluk besar yang memiliki wujud.
Al-Imam Ibnu Abi Zamanain -rahimahullah- berkata,
ومن قول أهل السنة أن الكرسي بين يدي العرش وأنه موضع القدمين
“Diantara pernyataan Ahlus Sunnah, bahwa Kursi berada di depan Arsy dan bahwa ia adalah ia adalah tempat kedua kaki (Allah)”. [Lihat Ushulus Sunnah (hal. 96) karya Ibnu Abi Zamanain, dengan tahqiq Abdullah bin Muhammad Al-Bukhoriy, cet. Maktabah Al-Ghuroba' Al-Atsariyyah, 1415 H ]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata,
الكرسي ثابت بالكتاب والسنة وإجماع السلف
“Kursi adalah tsabit (benar) berdasarkan Al-Kitab, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) para salaf”. [Lihat Majmu' Al-Fatawa (6/584)]
Al-Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata,
وإنما هو -الكرسي- كما قال غير واحد من السلف بين يدي العرش كالمرقاة إليه
“Kursi hanyalah –sebagaimana yang dinyatakan oleh para salaf- berada di depan Arsy, laksana tangga menuju Arsy”. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 277), oleh Ibnu Abil Izz, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, 1391 H]
Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haqq Ibnu Athiyyah Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata,
والذي تقتضيه الأحاديث أن الكرسي مخلوق بين يدي العرش، والعرش أعظم منه
“Yang dituntut (ditetapkan) oleh hadits-hadits bahwa Kursi adalah makhluk yang ada di depan Arsy. Sedang Arsy lebih besar dibandingkan Kursi”. [Lihat Al-Muharror Al-Wajiz (1/336)]
Jadi, Kursi itu termasuk makhluk terbesar. Namun masih ada lagi makhluk yang lebih besar dibandingkan Kursi, yaitu Arsy (singgasana) Allah -Azza wa Jalla-.
Saking besarnya ukuran Arsy, ia dipikul oleh para malaikat yang memiliki postur tubuh yang besar.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ  [الحاقة/17]
“Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung (memikul) ‘Arsy Tuhan-mu di atas (kepala) mereka”. (QS. Al-Haaqqoh : 17)
Allah Robbul izzah juga berfirman,
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ  [غافر/7]
“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (QS. Al-Mukmin : 7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata usai membawakan dua ayat ini,
“Firman Allah ini mengharuskan (menetapkan) bahwa Allah memiliki Arsy yang dipikul dan mengharuskan bahwa Arsy itu bukanlah malaikat sebagaimana yang dinyatakan oleh sekelompok orang-orang Jahmiyyah. Karena, para malaikat adalah kumpulan makhluk. Nah, disini ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat dari kalangan makhluk-makhluk-Nya yang memikul Arsy-Nya, sedang malaikat-malaikat lainnya berada di sekitarnya; dan juga menunjukkan bahwa Arsy pada hari kiamat akan dipikul oleh delapan malaikat”. [Lihat Bayan Talbis Al-Jahmiyyah fi Ta'sis Bida'ihim Al-Kalamiyyah (1/576) oleh Ibnu Taimiyyah, cet. Mathba'ah Al-Hukumah, 1392 H]
Malaikat pemikul Arsy digambarkan kebesarannya oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di  dalam sebuah hadits. Beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلاَئِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِ مِائَةِ عَامٍ
“Telah diizinkan bagiku untuk menceritakan tentang seorang malaikat diantara malaikat-malaikat pemikul Arsy. Sesungguhnya apa yang ada diantara dua cuping telinganya sampai ke pundaknya adalah sejauh perjalanan 700 tahun”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4727). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Misykah Al-Mashobih (no. 5728)]
Ini adalah gambaran yang amat menakjubkan. Seorang malaikat pemikul Arsy memiliki postur tubuh yang amat mencengangkan. Jarak antara cupingnya saja dengan bahu sejauh perjalanan 700 tahun. Allahu Akbar, Maha Besar Allah yang telah menciptakannya.
Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata,
“Yang dimaksudkan dengan “700 tahun” disini adalah menggambarkan banyaknya, bukan untuk pembatasan. Karena, bilangan itu lebih cocok dengan pembicaraan dan lebih memberikan dorongan kepada keadaan. Beliau bersabda, “Telah diizinkan bagiku…”, untuk memberikan faedah bahwa pengetahuan tentang perkara gaib adalah perkara yang khusus bagi Allah -Ta’ala-. Akan tetapi (terkadang) Allah memperlihatkan sebagiannya kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Namun orang yang Allah perlihatkan perkara gaib itu tidak berhak menceritakannya, kecuali dengan izin-Nya”. [Lihat Faidhul Qodir (1/458) karya Al-Munawiy]
Dijelaskan dalam sebagian hadits-hadits bahwa di bawah Arsy (singgasana) Allah -Azza wa Jalla- terdapat air. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Allah telah menulis takdir-taqdir para makhluk 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”. Beliau bersabda, “Sedang Arsy-Nya di atas air”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2653) dari Abdullah bin Amer bin Al-Ash -radhiyallahu anhuma-]
Inilah sedikit keterangan tentang dua makhluk terbesar ini. Jika anda mau memperluas pembahasan, silakan kembali kepada Kitabul Arsy yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah dan Adz-Dzahabiy atau risalah Syaikhul Islam yang berjudul “Ar-Risalah Al-Arsyiyyah”.

[1] Redaktur di www.pesantren-alihsan.com
[2] Yakni, kedua kaki Allah -Azza wa Jalla-.
[3] HR. Ad-Darimiy dalam Naqdh Al-Imam Abi Sa’id Utsman bin Sa’id ala Bisy Al-Marisiy Al-Jahmiy Al-Anid (1/423), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab At-Tauhid (no. 185), Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah (586 & 1020), Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Al-Arsy (no. 61), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir(no. 12404), Ath-Thobariy dalam Jami’ Al-Bayan (3/10), Ad-Daruquthniy Ash-Shifat (hal. 30), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2/283), Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (9/251-252) dan Al-Harowiy dalam Al-Arba’in (hal. 125). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Mukhtashor Al-Uluw (hal. 102/no. 36).

Sumber :

Sabtu, 28 September 2013

Ghuluw terhadap Orang-orang Sholih

Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]

Sikap ghuluw (berlebihan) terhadap orang-orang sholih, banyak kita temukan pemandangannya di negeri kita, dari sabang sampai Merauke. Ghuluw (ekstrim) kepada mereka adalah melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang sholih sampai terjerumus dalam kesyirikan. Orang-orang sholih yang dikultuskan terkadang dari kalangan nabi, orang yang dianggap wali, kiyai, guru, pemimpin, dan lainnya. Bahkan parahnya lagi, ada yang mengkultuskan hewan dan berlebihan padanya (semisal, kiyai Slamet di Solo). [Lihat At-Tamhid (hal. 331)]
Sikap ghuluw terhadap orang-orang yang dianggap sholih bisa berupa ucapan, perbuatan atau keyakinan hati. Ghuluw dalam ucapan, seperti ghuluw-nya orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah, atau orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Nabi Isa bin Maryam adalah anak Allah. Ghuluw dalam perbuatan, seperti melakukan thowaf pada kuburan, ber-i’tikaf (berdiam diri alias tirakatan) di kuburan, atau beribadah padanya karena meyakini ibadah disana lebih khusyu’ dan syahdu. Diantara ghuluw dalam perbuatan, berdo’a menghadap kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- atau kubur siapa saja!!
Adapun ghuluw dalam keyakinan, seperti keyakinan kaum shufi (tarekat) bahwa para wali-wali ikut dalam mengatur alam semesta, atau mampu memenuhi hajat, dan permohonan orang-orang yang bermohon kepadanya.
Semua ini adalah bentuk ghuluw dan kultus individu yang akan menyeret umat manusia menuju kubang kesyirikan yang telah diharamkan oleh Allah -Azza wa Jalla- di dalam seluruh kitab-kitab-Nya, dan para nabi atau rasul dalam syari’at mereka.
Pembaca yang budiman, tahukah anda tentang sebab manusia jatuh dalam lembah kesyirikan sehingga mereka mengangkat sekutu dan tandingan bagi Allah. Sekutu-sekutu itu mereka jadikan tempat bermohon, tawakkal, takut, dan mengharapkan sesuatu atau hajatnya kepada mereka?! Jawabnya, semua itu bermula dari sikap ghuluw (berlebihan)nya manusia kepada orang-orang sholih.
Inilah yang pernah disinyalir oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا  [نوح/23]
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. (QS. Nuh : 23)
Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah nama-nama orang sholih yang dikultuskan oleh kaum Nabi Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam- sehingga berubah menjadi berhala-berhala dan arca yang disembah oleh mereka dan selainnya.
Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhu- berkata,
صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدُوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“Berhala-berhala yang dahulu ada pada kaumnya Nuh, setelah itu ada pada orang-orang Arab. Adapun Wadd, maka ia adalah berhala suku Kalb di daerah Dumatul Jandal. Adapun Suwaa’, maka ia adalah berhala milik suku Hudzail. Adapun Yaghuts, maka ia adalah berhala milik suku Murod, lalu Suku Bani Ghuthoif di daerah Al-Jauf, di sisi negeri Saba’. Adapun Ya’uuq, maka ia adalah berhala bagi suku Hamdan. Adapun Nasr, maka ia adalah berhala milik suku Himyar, yaitu keluarga Dzul Kala’. (Semua nama berhala-berhala itu) adalah nama orang-orang sholih dari kaumnya Nuh. Tatkala mereka meninggal, maka setan mewahyukan kepada kaum mereka, “Bangunlah pada majelis-majelis mereka arca-arca, dan namailah dengan nama-nama mereka”. Akhirnya, mereka melakukan hal itu, tapi berhala-berhala itu belum disembah sampai kaum (yang membangun berhala-berhala itu) telah binasa, ilmu telah hilang, maka berhala-berhala itu akhirnya disembah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab At-Tafsir (no. 4920)]
Para ahli tafsir menjelaskan awal penyimpangan kaum Nuh sampai mereka menyembah berhala bahwa mereka membuat tugu kenangan dalam rupa orang-orang sholih itu di majelis-majelis mereka agar mereka memiliki semangat untuk beramal sholih saat melihat gambar atau tugu mereka. Kemudian setan membisikkan kepada mereka agar mencari berkah dengan cara mengusap tugu atau arca tersebut. Ritual ini berlangsung lama sampai terus berkembang dengan diikuti dengan ritual-ritual lainnya, berupa penyembelihan hewan di sisinya, bersujud di hadapannya, berdoa kepadanya, dan berbagai macam penyembahan lainnya. Ketika paham PAGANISME (penyembahan berhala) masuk ke negeri Arab melalui usaha buruk dari Amer bin Luhaiy. Akhirnya, tersebarlah penyembahan berhala di Makkah dan Jazirah Arab saat itu. [Lihat Fath Al-Bari (14/53) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy]
Orang-orang sholih itu adalah makhluk yang lemah yang tak layak disembah. Ketika ia disembah dan diibadahi, maka para penyembahnya telah mengangkat derajat orang-orang sholih itu sebagai seorang makhluk atau hamba menjadi tuhan yang disembah. Inilah yang dimaksud dengan ghuluw (berlebihan dan melampaui batas).
Di zaman dahulu paham paganisme amat tersebar di penjuru dunia, sampai pengikut agama-agama samawi (seperti, orang-orang Yahudi dan Nasrani) pun terjangkiti penyakit pengkultusan dan penyembahan kepada selain Allah. Karenanya, mereka menyembah nabi-nabi dan orang sholih mereka.
Inilah sebabnya mereka mendapat teguran dari Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاَّ الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً  [النساء/171]
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kalian mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”. Berhentilah (dari Ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara”. (QS. An-Nisaa’ : 141)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Allah -Ta’ala- melarang ahli Kitab dari bersikap ghuluw, dan berlebihan dalam memuji. Perkara seperti ini banyak pada orang-orang Nasrani, karena mereka telah melampaui batas dalam membenarkan Nabi Isa sampai mereka mengangkat beliau lebih dari derajat yang Allah berikan kepadanya. Akhirnya, mereka memindahkan beliau dari posisi kenabian menjadi sembahan selain Allah, yang mereka sembah sebagaimana halnya mereka menyembah Allah. Bahkan mereka sungguh telah ghuluw kepada murid-murid dan pengikut beliau dari kalangan orang-orang yang mereka sangka di atas agama Isa. Akhirnya, mereka mengakui adanya sifat ma’shum (tak pernah salah) pada diri orang-orang tersebut. Kemudian kaum Nasrani pun mengikuti orang-orang itu (para pendeta) dalam semua yang ia katakan, baik itu benar atau batil, baik itu kesesatan atau petunjuk, baik itu berupa kejujuran atau kedustaan”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (2/477)]
Fenomena ghuluw yang terdapat pada kaum Nasrani, juga terjadi pada umat Islam. Lihatlah pada sebagian kaum muslimin yang mengkultuskan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan meyakini adanya sifat-sifat ketuhanan pada diri beliau, seperti mengetahui perkara gaib, mampu menyelamatkan orang yang tertimpa bala’, memenuhi hajat umatnya. Lantaran itu, tak usah heran jika ada yang ber-istighotsah, meminta pertolongan, mengharap berkah, dan berdoa kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Subhanallah, sungguh ini adalah kemusyrikan yang diakibatkan oleh sikap ghuluw (ekstrim) dalam berkeyakinan. Ghuluw inipun timbul karena berawal dari ghuluw-nya kaum muslimin dalam memuji Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Itulah hikmahnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani pada Isa bin Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba. Lantaran itu, katakalah, “(Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) hamba Allah dan rasul-Nya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3445), dan Muslim dalam Shohih-nya (1691)]
Sikap ghuluw bukan hanya dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada diri Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan juga mereka berbuat ghuluw pada para ulama’, kiyai, dan orang-orang sholih atau orang-orang yang dianggap wali. Disinilah muncul kebiasaan buruk melakukan tour atau safar ke kubur para manusia yang dianggap wali, semisal Wali Songo, Syaikh Yusuf (Makassar-SULSEL), Imam Lapeo (Polman, SULBAR), dan lainnya.
Disana mereka melakukan ritual ibadah yang tak pernah diizinkan oleh Allah -Azza wa Jalla-, seperti bernadzar, menyembelih hewan ternak, tirakatan di kubur, tawaf, berdoa kepada “wali-wali”, dan mengharap berkah atau kesembuhan darinya. Ibadah yang harusnya dilakukan di hadapan Allah, malah mereka persembahkan kepada makhluk. Inilah yang dimaksud dengan “GHULUW” (melampaui batas).
Diantara penyebab kehancuran agama, dunia dan akhirat umat-umat terdahulu, mereka bersikap ghuluw dalam beragama; sesuatu yang tak pernah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, lalu mereka menetapkannya tanpa hujjah. Allah menetapkan wajibnya bertauhid kepada Allah, tapi mereka malah melakukan amalan-amalan yang mengantarkan kepada kesyirikan, bahkan melakukan kesyirikan!! Sungguh ini adalah kehancuran agama!!!
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Wahai manusia, waspadalah kalian terhadap ghuluw (melampaui batas) dalam beragama, karena ghuluw dalam beragama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/215 & 347), An-Nasa'iy dalam As-Sunan (no. ), dan Ibnu Majah dalam As-Sunan (no. 3064). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1283)]
Ketahuilah –wahai pembaca yang budiman-, kesyirikan muncul karena berawal dari adanya bid’ah (ajaran baru) yang diciptakan dan dilakukan oleh sebagian manusia saat mereka beribadah. Sebagai contoh, kaumnya Nabi Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu menciptakan bid’ah (tuntunan baru) dalam beribadah kepada Allah. Mereka membuat gambar dan arca orang-orang sholih mereka yang telah lama wafat, dengan maksud yang baik, yakni agar mereka lebih bersemangat beribadah kepada Allah dengan sekedar melihat gambar-gambar atau arca tersebut yang mereka pasang di majelis dan tempat mereka beribadah. Tapi suatu ibadah jika dilakukan dengan cara yang tidak digariskan oleh Allah dan Rasulnya, maka ibadah itu akan dijadikan wasilah (sarana) oleh setan dalam menggelincirkan manusia kepada kesyirikan dan kekafiran. Olehnya, sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa bid’ah adalah pos yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Perhatikan, kaumnya Nuh awalnya masih menyembah Allah –tapi dengan cara bid’ah-, namun setelah itu setan menggelincirkan mereka. Sebab, setan membisikkan kepada generasi setelahnya bahwa pendahulu kalian tidaklah meletakkan gambar atau arca-arca ini, kecuali karena orang-orang yang digambar itu memiliki kelebihan dan kemampuan dalam mengabulkan doa, menyampaikan hajat manusia kepada Allah, mampu menolong orang yang susah, dan sederet bisikan lainnya. Akhirnya, manusia pun menyembah gambar dan arca itu.
Inilah sikap keterlaluan dan melampaui batas yang dikecam oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ قَالَهَا ثَلاَثًا
“Binasalah orang-orang yang ghuluw (keterlaluan)”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Ilm (no. 2670)]
Keterlaluan dan melampaui batas dalam beragama sehingga melakukan perkara-perkara yang yang tak pernah Allah perintahkan, akan menjadi sebab seorang terseret kepada kekafiran atau kesyirikan. Sedang inilah kebinasaan hakiki, di saat hancurnya agama dan akhirat seseorang!! Nas’alullahal afiyah was salamah min dzalik bi aunih wa taufiqih.


Sumber :

Sabtu, 21 September 2013

Agama Syi’ah-Rofidhoh, Bahaya Laten yang Mengancam Kaum Muslimin


  • Membantah Ahli Bid’ah bukan Ghibah!!!
 
Para ulama’ salaf, ahlis sunnah wal jama’ah sejak dulu memiliki perhatian tinggi dalam mengingatkan bahaya bid’ah dan pelakunya (ahli bid’ah) dan mereka tidak menganggap bahwa membicarakan bahaya dan penyimpangan mereka sebagai  ghibah.[1] Karenanya tak ada kitab aqidahpun kecuali mengingatkan bahaya bid’ah dan pelakunya. Orang yang mau mengunjungi perpustakaan Islam , akan menemukan kitab-kitab yang sangat banyak ditulis oleh para ulama’ ahlis sunnah wal jama’ah-secara khusus tentang bid’ah dan pelakunya- di berbagai tempat dan zaman.
Diantara kitab-kitab tersebut: seperti kitab Ar-Rodd ala Az-Zanadiqoh wa Al-Jahmiyyah karya Imam Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Ar-Rodd ala Man Yaqul Al-Qur’an Makhluq karya Ahmad bin Sulaiman An-Najjad, Ar-Rodd ala Bisyr Al-Marisy karya Imam Ad-Darimi, Al-Haidah karya Abdul Aziz Al-Kinany, Al-Bida’ wa An-Nahyu Anha karya Ibnu Wadhdhoh, Al-Hawadits wa Al-Bida’ karya Abu Bakr Ath-Thurthusyi, Al-Ba’its ala Inkar Al-Bida’ wa Al-Hawadits karya Abu Syamah Al-Maqdisy, Al-Madkhol karya Ibnul Hajj, Talbis Iblis karya Ibnul Jauzy, Al-I’tishom karya Asy-Syathibi, Minhaj As-sunnah, Ar-Rodd ala Al-Akhna’i & Ar-Rodd ala Al-Bakry karya Syaikul Islam, Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah ala Ghozwi Al-Mu’aththilah wa Al-Jahmiyyah karya  Ibnul Qoyyim,  Al-’Awashim mimmah fi Kutub Sayyid Qutb min Al-Qowashim karya Syaikh Robi’ –hafizhohumullah-, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Memberikan peringatan sesatnya suatu kelompok , baik dalam bentuk ceramah, maupun tulisan, itu bukanlah ghibah yang diharamkan. Boleh menyebutkan kesesatan seseorang, dan penyimpangannya di depan orang banyak, jika kemaslahatan menuntut hal itu.
Ibrahim An-Nakho’iy -rahimahullah- berkata, “Tak ada ghibah bagi pelaku bid’ah (ajaran baru)”. [Lihat Sunan Ad-Darimiy (394)]
Muhammad bin Bundar As-Sabbak Al-Jurjaniy -rahimahullah- berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Sungguh amat berat aku bilang, “si fulan orangnya lemah, si fulan pendusta”. Imam Ahmad berkata, “Jika kau diam, dan aku juga diam, maka siapakah yang akan memberitahukan seorang yang jahil bahwa ini yang benar, dan ini yang sakit (salah)”. [Lihat Thobaqot Al-Hanabilah (1/287)]
Dari sini kita melihat para ulama kita, ada yang menulis khusus membahas bid’ah, ada yang khusus membantah pelaku bid’ah secara umum maupun khusus dengan menyebutkan nama atau kelompoknya. Jadi, jangan heran jika ada ulama kita pada hari ini membantah pelaku bid’ah dengan menyebut namanya, apalagi sampai menyatakan itu tak ada contohnya dari para ulama kita.
Perlu diketahui bahwa para ulama’ kita menulis kitab tentang bid’ah dan bahaya pelakunya serta bantahannya, bukanlah atas dasar dengki dan benci kepada orang. Akan tetapi semua itu mereka lakukan atas dasar membela sunnah dan syari’at Islam dari tangan ahli bid’ah. Bukan seperti yang dikatakan oleh sebagian orang-orang tak berilmu.[2]
  • Bahaya Syi’ah-Rofidhoh
Sebagai beban ilmiyyah, kami merasa terdorong untuk menyampaikan misi para ulama kita dalam menjelaskan bid’ah dan bahaya pelakunya, demi membela sunnah dan pengikutnya. Kali ini kami akan menurunkan sebuah tulisan tentang agama dan sekte Rofidhoh-Syi’ah yang kami rangkumkan dari kitab-kitab ulama kita yang berbicara tentang Syi’ah-Rofidhoh[3].
Diantara ahli bid’ah (baca: pelaku bid’ah) yang pernah dijelaskan bahaya dan penyimpangannya oleh para ulama Ahli sunnah adalah sebuah sekte yang disebut dengan “Syi’ah atau Rofidhoh”.[4]
Rofidhoh merupakan sebuah jama’ah yang memliki aqidah dan keyakinan yang menyelisihi aqidah Ahlis Sunnah wal-Jama’ah. Jama’ah ini merupakan bahaya laten yang mengancam  kaum muslimin, sebab mereka memiliki aqidah lain.[5] Dengan perbedaan aqidah ini mengantarkan mereka mengkafirkan ahlis sunnah sebagai jalan bagi orang Syi’ah-Rofidhoh untuk membunuh dan membantai Ahlus Sunnah.
Negara Iran merupakan markas terbesar orang-orang Syi’ah-Rofidhoh, dari sanalah keluar pasukan-pasukan (baca: da’i) mereka, sekaligus tempat penampungan anak-anak ahlis Sunnah yang berhasil mereka dalam menggaet dan merekrutnya untuk selanjutnya didoktrin ajaran Rofidhoh yang sesat[6].
Jama’ah ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 80-90 an melalui kedutaan mereka dan penyebaran majalah gratis, serta penawaran studi gratis dan pertukaran pelajar di negeriIran. Namun kebanyakan orang tak sadar kalau itu merupakan bahaya laten bagi kaum muslimin.
Risalah ini kami tulis sebagai bentuk perhatian kepada ummat Islam di Indonesia. Sebab banyak diantara kita yang tidak mengenal bahwa Syi’ah alias Rofidhoh adalah aliran dan agama sesat yang berusaha merusak agama Islam dan membahayakan kaum muslimin.
Terlebih lagi mereka lihai dalam menipu ummat. Lihat saja usaha mereka dalam menipu ummat, baru-baru ini mereka mengadakan konferensi yang mereka sebut dengan Konferensi Ikatan Jama’ah Ahlul Bait,Makassar, di akhir Februari- awal Maret 2008 M.
Ini adalah tipuan, sebab mereka menamakan diri dengan ahlul bait[7]. Padahal mereka bukan ahlul bait, bahkan mereka adalah orang-orang Persia, yang berasal dari Negeri Majusi (Penyembah Api). Mereka memiliki agama tersendiri yang menyelisihi agama Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ahlul bait.
Namun mereka “pandai”!! Biar kaum muslimin tidak mengetahui hakikat kesesatan mereka, maka mereka melantik diri mereka sebagai “Pembela Ahlul Bait”[8] agar menjadi jembatan dalam menipu dan menarik simpati kaum muslimin yang tak tahu belang mereka. Sebab siapa yang tak cinta dengan Ahlul Bait??
Tapi jangan terpukau!! Ini hanya kecohan dan tipuan orang-orang Syi’ah yang jahat dan pendusta !! Mereka ingin menjerat kalian dalam jala-jala dan belenggu kesesatan mereka.
Agar kita sadar dan tahu apa itu agama Rofidhoh-Syi’ah dan sebab ia bisa jadi bahaya laten , ikuti pembahasan ini:
  • Definisi Syi’ah-Rofidhoh
Imam Ahlis Sunnah, Ahmad bin Hambal Asy-Syaibany -rahimahullah- berkata ketika mendefinisikan Rofidhoh, ” Mereka adalah orang-orang yang berlepas-diri dari para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, mencelanya, merendahkannya, dan mengkafirkan para imam (pemimpin) kecuali empat:Ali, Ammar, Al-Miqdad, dan Salman. Rofidhoh bukan termasuk agama Islam sedikitpun”.[9]
Abu Hatim Ar-Rozy -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya Rofidhoh menolak agama Islam”.[10]
Abdullah bin Ahmad pernah bertanya tentang Rofidhoh, maka Imam Ahmad menjawab, “Orang-orang yang mencaci-maki dan mencela Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma”.[11]
Kesimpulannya , Syaikh Fahd As-Suhaimyhafizhohullah- berkata, “Rofidhoh: Orang-orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakr dan Umar –Radhiyallahu anhuma-, berlepas-diri darinya, mencaci-maki para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan merendahkannya”.[12]
  • Aqidah Syi’ah- Rofidhoh
Kami telah sebutkan bahwa Rofidhoh memiliki aqidah yang menyelisihi aqidah kita Ahli Sunnah wal Jama’ah. Aqidah mereka yang menyimpang amat banyak jumlahnya. Karena banyaknya, maka kami hanya menyebutkan sebagian diantaranya:
Aqidah Al-Qur’an Diselewengkan dan Diganti
Mereka meyakini bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang di tangan kita telah diselewengkan ,diganti, ditambah, dan dikurangi ayat-ayatnya. Kata mereka bahwa yang kurang adalah sebanyak dua kali lipat Al-Qur’an yang ada.
Menurut mereka bahwa yang melakukan semua itu adalah Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu anhum.
Aqidah tahrif (diselewengkannya) Al-Qur’an diyakini oleh para pendahulu dan orang-orang belakangan diantara mereka. Bukan seperti yang dikatakan secara dusta oleh orang-orang Rofidhoh pada zaman ini bahwa aqidah tahrif (diselewengkannya) Al-Qur’an tak ada dalam agama Rofidhoh-Syi’ah. Justru sebaliknya, sekarang dengarkan orang yang mereka anggap ulama baik dulu maupun sekarang :
Abu Ja’far Ash-Shodiq berkata, “Tak ada seorangpun yang menyatakan ia telah mengumpulkan semua Al-Qur’an sebagaimana Allah turunkan, kecuali dia itu pendusta. Tak ada yang mengumpulkan dan menghafalnya sebagaimana ia diturunkan selain Ali bin Abi Tholib dan para Imam setelahnya “.[13]
Seorang Imam mereka, Ali bin Ibrahim Al-Qummy mengadakan pengubahan letak kata-kata dalam sebuah ayat dengan alasan bahwa Al-Qur’an yang ada telah diubah.[14]
Al-Kulainy (328 H), salah seorang guru besar Rofidhoh meriwayatkan dengan sanadnya dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr, ia berkata, “Abul Hasan menyodorkan kepadaku sebuah mushaf, seraya berkata, [Kamu jangan melihat di dalamnya]. Lalu saya pun membuka dan membaca di dalamnya terdapat:
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا
Lalu aku jumpai disitu ada 70 nama orang-orang Quraisy, dengan nama mereka dan nama bapak-bapaknya. (Ahmad) berkata, ” Lalu beliaupun mengutus seseorang kepadaku dengan pesan, “Kirim seseorang kepadaku bersama mushaf itu”.[15]
Dalam riwayat ini mereka isyaratkan bahwa mushaf yang ada pada Abul Hasan (kalau tak salah dia adalah Ali bin Abi Tholib) adalah mushaf yang lengkap dan masih bersih dari penyelewengan sahabat lain. Adapun yang ada pada sahabat secara umum dan ada pada kita hari ini, kata mereka sudah diselewengkan lafazh dan maknanya. Ini jelas dusta !
Seorang Gembong Rofidhoh, Al-Mufid (413 H) berkata ketika menerangkan kesepakatan para ulama Rofidhoh-Syi’ah tentang diselewengkannya Al-Qur’an Al-Karim, “Mereka telah sepakat bahwa para imam-imam sesat[16] telah menyelisihi dalam kebanyakan penulisan Al-Qur’an. Mereka berpaling dari konsekwensi Al-Qur’an, dan Sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan telah sepakat Mu’tazilah, Khowarij, Murji’ah, Ahli Hadits tentang sesuatu yang menyelisihi Orang Imamiyyah (Rofidhoh) dalam semua hal yang kami sebutkan”.[17]
Bahkan ada diantara mereka menulis kitab khusus menetapkan bahwa Al-Qur’an kita telah diselewengkan dan diganti. Orang itu adalah An-Nuri Ath-Thibrisiy dalam kitabnya “Fashlul Khithob fi Itsbat Tahrif Kitab Robb Al-Arbab”.[18]
Adapun pengakuan sebagian orang Rofidhoh bahwa mereka tak meyakini hal itu karena disana ada 4 ulama mereka tidak menyatakan Al-Qur’an itu diselewengkan, maka kita serahkan kepada seorang ulama mereka sendiri untuk menjawabnya.
Gembong Rofidhoh, Ni’matullah Al-Jaza’iry berkata setelah menyebutkan ijma’ ulama Rofidhoh-Syi’ah tentang adanya tahrif (penyelewengan) dalam Al-Qur’an, “Ya, Al-Murtadho, Ash-Shoduq, Syaikh Ath-Thibrisy telah menyelisihi (mereka) dalam masalah ini dan mereka menceritakan bahwa apa yang ada diantara dua kulit mushaf ini adalah Al-Qur’an yang diturunkan, bukan selainnya. Tampaknya ucapan ini hanya muncul karena maslahat yang banyak, diantaranya: menutup pintu celaan padanya, sebab kalau ini bisa terjadi pada Al-Qur’an, maka bagaimana bisa mengamalkan kaedah-kaedahnya, dan hukum-hukumnya disamping masuknya tahrif padanya—Akan datang jawaban terhadap hal ini—Bagaimana mungkin (penyelisihan ) ini terjadi sedangkan para ulama telah meriwayatkan dalam karangan mereka berita-berita yang banyak memuat terjadinya perkara-perkara (tahrif) tersebut dalam Al-Qur’an, dan bahwasanya ayat demikian telah diturunkan lalu diganti ke ini “.[19]
Jadi, menurut Ni’matullah bahwa tahrif dalam Al-Qur’an memang ada dan sulit diingkari oleh mereka, karena para imam Syi’ah sendiri telah meriwayatkan dalam kitab-kitab mereka banyak riwayat menguatkan terjadinya tahrif pada Al-Qur’an. Adapun empat imam tersebut mengingkari adanya tahrif, itu hanya sekedar “taqiyah” (pura-pura) saja demi kemaslahatan agama mereka. Hal semacam ini sudah biasa di kalangan Rofidhoh. Jika terdesak dan takut disanggah oleh Ahlus Sunnah, yah tak ada jalan lain kecuali taqiyah (pura-pura) dengan menyatakan sesuatu di lisan mereka apa yang menyelisihi batinnya, demi menjaga kemaslahatan dakwah batil mereka.[20] Hal ini dikuatkan dengan ucapan ulama mereka yang mutakhirin.
Pemimpin Rofidhoh, Al-Khumainy berkata dalam menegaskan adanya tahrif dalam Al-Qur’an, ” …mereka (para sahabat,pen) menghapus ayat-ayat itu dari tempatnya, dan menghilangkan Al-Qur’an itu dari pandangan alam selamanya…” [21]
Terlebih lagi setelah terbitnya sebuah kitab “Tuhfah ‘Awwam Maqbul ” yang dicetak dalam bahasa Urdu yang mendapat legitimasi dari para ulama Rofidhoh-Syi’ah zaman sekarang. Diantaranya:Al-Allamah Al-Faqih Ayatullah Al-Uzhma Haji Sayyid Mahmud Al-Husainy, Allamah Al-Faqih Ayatullah Al-Uzhma Haji Sayyid Abul Qosim Al-Khu’iy, Allamah Al-Faqih Ayatullah Al-Uzhma Haji Sayyid Muhammad Kazhim Syari’atumdari, Allamah Al-Faqih Ayatullah Al-Uzhma Haji Sayyid Muhsin Al-Hakim Thoba’thoba’i.[22]
Dalam kitab ini disebutkan sebuah do’a berbahasa Arab, yang masyhur dengan “Du’a Shonamai Quraisy ” , artinya do’a untuk kedua berhala Quraisy, yaitu Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma. Bunyi doanya,
بسم الله الرحمن الرحيم . اللهم العن صنمي قريش وجبتيهما و طاغوتيهما و إفكيهما و ابنتيهما اللذين خالف أمرك وأنكرا وحيك وعصيا رسولك و قلبا دينك وحرفا كتابك
Artinya: ” Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Ya Allah, laknatlah dua berhala Quraisy, jibtinya,thoghutnya, pendustanya, kedua anaknya. Yang keduanya (dua berhala Quraisy) ini telah menyelisihi perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, mendurhakai Rasul-Mu, membolak-balik agama-Mu, dan menyelewengkan (mentahrif) kitab-Mu “.[23]
Ringkasnya, Ulama Ahlus Sunnah, Syaikh Abdullah Al-Jumaily -hafizhahullah- setelah membawakan nas-nas ulama Rofidhoh tadi di atas berkata dalam menyimpulkan masalah ini, “Para ulama Rofidhoh pada hari ini -yang telah disebutkan-, yang merupakan orang-orang yang paling bagus dalam memberikan gambaran tentang mereka (yakni, tentang orang-orang Rofidhoh). Semua (ulama mereka) menyatakan adanya tahrif (penyelewengan) dalam Al-Qur’an, dan bahwa para sahabat telah menghapus banyak ayat yang menunjukkan keutamaan Ahlul Bait agar mereka bisa memegang tampuk kepemimpinan setelah Rasul. Adapun yang digembar-gemborkan oleh sebagian ulama mereka hari ini berupa pernyataan tidak adanya tahrif dalam Al-Qur’an, maka itu cuma sekedar taqiyyah(pura-pura) demi menjaga diri dengannya dari dampak buruk yang berbahaya, yang terkadang menimpa mereka andaikan mereka menyatakan aqidah busuk ini secara terang-terangan. Hal ini telah ditegaskan oleh salah seorang ulama pembesar mereka di India, Ahmad Sulthon Ahmad tatkala berkata, “Sesungguhnya ulama Syi’ah yang mengingkari tahrif dalam Al-Qur’an, tidak bisa dibawa (dipahami) pengingkaran mereka, kecuali kepada makna taqiyyah . [24]
Mengenai adanya tahrif (penyelewengan) terhadap Al-Qur’an, yang dilakukan sahabat menurut orang-orang Rofidhoh, maka kita jawab,
Pertama: Merendahkan, melaknat sahabat, dan menuduh sahabat melakukan penyelewengan terhapad Al-Qur’an merupakan perbuatan Zindiq dan kemunafikan.
Abu Zur’ah Ar-Rozy -rahimahullah- berkata, “Jika engkau melihat seseorang merendahkan salah seorang sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , maka ketahuilah dia itu orangnya zindik. Karena Rasul di sisi kami adalah haq, dan Al-Qur’an adalah benar. Sedang Para sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- itulah yang menyampaikan kepada kita Al-Qur’an ini , dan sunnah. Mereka (orang zindiq) itu sebenarnya ingin menjatuhkan saksi-saksi kami untuk membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Akan tetapi celaan itu lebih berhak ditujukan kepada mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindik”.[25]
Adapun tuduhan Rofidhoh bahwa para sahabat telah mengubah, mengganti, dan mentahrif Al-Qur’an, maka ini merupakan cercaan kepada sahabat. Sebab bagaimana mungkin mereka mau melakukan perbuatan kufur seperti itu. Allah -Ta’ala- berfirman dalam memuji para sahabat Muhajirin dan Anshor,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ  [التوبة : 100]
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.At-Taubah :100)
Orang yang dipuji oleh Allah sedemikian ini, malah dituduh oleh Orang Syi’ah-Rofidhoh melakukan kekufuran berupa tahrif Al-Qur’an. Demi Allah, ini merupakan pendustaan besar terhadap Allah -Ta’ala-, pendustaan terhadap ayat yang kami sebutkan. Jelas sikap mereka yang mendustakan ayat Allah merupakan kekufuran!!!
Kedua: “Al-Qur’an Al-Karim merupakan Kitab Ilahi yang tidak tersentuh tahrif (penyelewengan) ataupun perubahan. Karena, Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berjanji akan menjaga. Berbeda dengan Taurat dan Injil, Allah tak menjamin untuk menjaganya. Bahkan Allah memerintahkan mereka menjaga keduanya, tapi mereka sia-siakan.
Ummat Islam telah sepakat sepanjang zaman bahwa Al-Qur’an Al-Karim yang telah diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan Al-Qur’an yang ada sekarang di tangan kaum muslimin. Di dalamnya tak ada tambahan, ataupun pengurangan, dan tak pula perubahan, atau penggantian dan tak mungkin tersentuh sedikitpun oleh perkara-perkara semacam itu, karena adanya janji Allah untuk menjaga dan melindunginya.
Tak ada yang menyelisihi Ahlus Sunnah dalam masalah ini, kecuali orang-orang Rofidhoh, tatkala mereka menyangka Al-Qur’an Al-Karim itu telah terjadi di dalamnya tahrif, perubahan, dan penggantian. Mereka menuduh para sahabat telah menyelewengkan Al-Qur’an demi tendensi duniawi mereka. Subhanallah, alangkah kejinya tuduhan tanpa bukti ini!!!
Aqidah mereka ini batil!!!! Dalil-dalil dari Al-Qur’an Al-Karim, ucapan para Imam Ahlul Bait sendiri, dan akal menunjukkan kebatilannya.” [26]
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) dan kami yang menjaganya”.[27]
Imam para mufassirin, Abu Ja’far Ath-Thobaryrahimahullah- berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),  (“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr “) , yaitu Al-Qur’an. (“dan Kamilah yang menjaganya”) , Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Kamilah yang menjaga Al-Qur’an dari tambahan kebatilan padanya yang bukan termasuk darinya, pengurangan sesuatu yang termasuk darinya berupa hukum, hudud, dan kewajiban”.[28]
Selain nash Al-Qur’an di atas, akal pun menunjukkan kebatilan orang-orang Syi’ah-Rofidhoh yang menyatakan adanya tahrif dalam Al-Qur’an!! Sebab, pernyataan seperti ini di dalamnya terdapat mafsadah (kerusakan) yang besar, di antaranya : mencerca Allah, Nabi-Nya dan para sahabatnya -radhiyallahu anhum-, serta para imam Ahlul bait.
Jadi, pernyataan Rofidhoh ini merupakan cercaan dan tuduhan terhadap Allah bahwa Dia tidak memenuhi janjinya dalam menjaga Al-Qur’an dari tahrif (penyelewengan)!!! Maha Suci Allah dari tuduhan mereka yang seperti ini.
Perhatian:    Lempar Batu Sembunyi Tangan
Ada suatu kezholiman yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah-Rofidhoh. Ketika mereka menuduh dan mencela habis-habisan dengan alasan para sahabat menyelewengkan, mengubah, dan mengganti lafazh Al-Qur’an[29]. Bahkan  mereka mengkafirkan sahabat.
Namun ketika orang-orang Syi’ah Rofidhoh men-tahrif (menyelewengkan), mengubah, dan mengganti sebagian lafazh Al-Qur’an, Maka mereka yah…tenang-tenang aja !!? Istilah orang : “Lempar batu sembunyi tangan”.
Sekarang tiba saatnya kami bawakan beberapa nukilan dari ulama mereka yang telah mengacak-acak dan membolak-balik ayat suci Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya.
Tahrif (penyelewengan) yang dilakukan oleh orang Rofidhoh terhadap al-Qur’an ada dua macam:
Pertama, menafsirkan Al-Qur’an dengan penafsiran yang tidak sesuai yang diinginkan Allah, dan mentakwil lafazh Al-Qur’an bukan sesuai yang diturunkan sehingga kadang lucu, tapi menjengkelkan perbuatan keji kaki-tangan mereka ini dalam mengutak-atik Kitabullah. Kedua: Mereka mengganti lafazh Al-Qur’an dan mengubah letaknya. Berikut buktinya:
Al-Qummy, seorang gembong Rofidhoh membawakan riwayat dari Abu Abdillah –alaihissalam-, ia membaca ayat :
هذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِيْ كُنْتُمَا بِهِمَا تُكَذِّبَاِن تَصْلِيَانِهَا وَلاَ تَمُوْتَانِ فِيْهَا وَلاَ تَحْيَيَانِ
“Inilah neraka Jahannam yang kalian berdua telah mendustakannya. Kalian akan masuk ke dalamnya, sedang kalian tidak mati di dalamnya”.
Al-Qumy berkata dalam mentakwil ayat yang sudah diberi tambahan dan diganti lafazhnya ini, ” Maksudnya, Zuraiq dan Habtar”.[30]
Para pembaca yang budiman telah menyaksikan bagaimana lancangnya mereka menyelewengkan ayat suci Al-Qur’an, dengan diberi tambahan lafazh, diganti lafahznya, dan ditakwil dengan sekotor-kotornya takwil. Padahal asli ayat itu dalam mushaf kita berbunyi begini,
هَذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِي يُكَذِّبُ بِهَا الْمُجْرِمُونَ  [الرحمن : 43]
“Inilah neraka Jahannam yang didustakan oleh orang-orang yang berdosa”.[31]
Bagaimana mereka menyatakan dua orang terbaik (Abu Bakar dan Umar) dari ummat –menurut ijma’- ini dikatakan keduanya masuk neraka?! Cuma karena tuduhan dusta mereka bahwa keduanya telah merampas kekhilafahan dari Ali, atau karena tuduhan dusta bahwa mereka telah men-tahrif, mengacak-acak, mengganti, dan mengubah ayat-ayat suci Al-Qur’an. Lalu kenapa orang-orang Rofidhoh itu tak mengkafirkan para pemimpin mereka dan diri mereka sendiri, disebabkan mereka telah men-tahrif, mengubah, dan mengganti ayat suci Al-Qur’an.
Jawabnya, “Lempar batu sembunyi tangan”. Kalau mereka bilang, “kami punya silsilah riwayat menetapkan ayat tsb.” Maka kami katakan kepada mereka, “Namun silsilah riwayat tsb, entah palsu, atau di dalamnya terdapat para pembawa berita yang pendusta, lemah hafalannya. Kedua, Ahlus Sunnah juga punya silsilah riwayat menetapkan ayat-ayat yang mereka riwayatkan dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Lalu kenapa kalian wahai orang Rofidhoh menyatakan mereka (para sahabat & Ahlus Sunnah) telah mentahrif, mengganti, dan mengubah ayat suci ??!!! Sungguh ini tidak adil. Makanya, kata pepatah Arab, ” Jika rumahmu terbuat dari kaca, kamu jangan melempari rumah orang dengan batu”. Karena kalian pun akan diberi balasan setimpal”.
Mungkin para pembaca belum puas dengan nukilan di atas, berikut tambahannya:
Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir, ulama kenamaan dari Pakistan dalam kitabnya Asy-Syi’ah wa As-Sunnah, hal.79 berkata ketika menyebutkan bukti tahrif yang dilakukan oleh Rofidhoh, ” Diantara (bukti)nya apa yang diriwayatkan oleh Seorang Syi’ah, Ali bin Ibrohim Al-Qumy dari bapaknya dari Al-Husain bin Kholid tentang ayat Kursi seperti ini,
الم الله لا إله إلا هوالحي القيوم لا تأخذه سنة ولا نوم له ما في السموات وما في الأرض وما بينهما وما تحت الثرى عالم الغيب و الشهادة الرحمن الرحيم [32]
Kemuadian Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir  komentari ayat palsu ini, “Sudah dimaklumi bahwa baris terakhir tidak terdapat dalam Al-Qur’an Al-Majid. Cuma sayangnya orang-orang Syi’ah meyakini itu termasuk bagian ayat Kursi” [33]
Ayat Kursi yang asli bunyinya,
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ [البقرة : 255]
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS. Al-Baqoroh:255 )
Coba bandingkan ayat Kursi [Al-Baqoroh:255] yang ada dalam mushaf asli, di tangan Ahlis Sunnah, niscaya pembaca akan menemukan perbedaan besar!! Sebab mereka (orang-orang Syi’ah-Rofidhoh) mengadakan tambahan dan pengurangan lafazh-lafazh ayat.
Ketahuilah ini merupakan kekafiran yang dilakukan oleh orang-orang Rofidhoh sebagaimana yang dulu dilakukan Yahudi. Sebab satu huruf saja ditambahi atau dikurangi, seseorang bisa kafir, apalagi kata & kalimat!!!
Sekali lagi pahlawan Ahlus Sunnah, Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir membawakan bukti bahwa Rofidhoh itu mengadakan tahrif (penyelewengan) terhadap Al-Qur’an.  Bagi pembaca yang ingin melihat bukti tersebut, lihatlah kitab beliau yang berjudul “Asy-Syi’ah wa Al-Qur’an”, (hal.22-23). Disitu beliau menyebutkan sekitar dua lembar Surah Palsu bernama Surah Al-Walayah”, yang disebutkan dan dibawakan oleh Ulama Syi’ah An-Nury At-Tibrisi dalam Fashl Al-Khithob, (hal.180-181), cet.Iran.
Kata orang ini -secara dusta- bahwa Utsmanlah yang menghilangkan Surah ini dari mushaf dan membakarnya !!!
Sekali lagi, tuduhan orang-orang Syi’ah bahwa sahabat Utsman mengubah dan menghilangkan ayat, ini tak benar adanya, bahkan orang-orang Syi’ah-lah yang mengubah dan menambahi ayat-ayat, dan surat-surat Al-Qur’an. Semoga Allah melindungi kita dari sikap buruk sangka terhadap sahabat yang telah membawa agama ini. Bagaimana mungkin Utsman yang paling paham Islam mau menghapus ayat, apalagisurat !!! sebab itu merupakan kekafiran!!!!
Mohon ma’af kepada Pembaca budiman, mungkin kepanjangan. Ringkasnya, bagi yang ingin mengetahui dan melihat bukti kekejian tangan orang-orang Syi’ah-Rofidhoh dalam menyelewengkan Kitabullah dengan mengadakan penambahan, pengurangan, penggantian, dan perubahan huruf dan ayat Al-Qur’an, maka tengoklah kitab “Asy-Syi’ah wa Al-Qur’an”, secara khusus (hal.166-342) karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir -rahimahullah-.
Sengaja kami tidak nukil sebab banyaknya dan khawatir para pembaca malas dan tak mau lagi meneruskan bacaannya.
Sebelum kami mengakhiri pembahasan ini, kami akan membawakan beberapa ucapan Ahlis Sunnah yang menyatakan kafirnya orang yang mengotak-atik Al-Qur’an.
Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhohiry -rahimahullah- berkata dalam “Marotib Al-Ijma’”(hal.174), ” Mereka [para ulama'] sepakat bahwa apa yang ada dalam Al-Qur’an adalah haq [benar], dan barangsiapa yang menambahi padanya satu huruf saja, yang bukan termasuk dari qiro’ah [bacaan] yang teriwayatkan, terjaga, dan ternukil seperti semua ulama, atau mengurangi satu huruf, atau mengganti satu haruf dengan huruf lain secara sengaja, dan juga tahu itu beda dengan apa yang ia lakukan, maka ia kafir !! “.[34]
Al-Qodhi Iyadh -rahimahullah- berkata dalam “Asy-Syifa” (2/304), ” Ketahuilah, barangsiapa yang merendahkan Al-Qur’an atau mushaf, atau sesuatu darinya, atau ia mencelanya, atau menolaknya, baik satu huruf atau ayat darinya; atau ia mendustakannya atau sedikitpun darinya; atau ia mendustakan sesuatu yang telah ditegaskan di dalamnya berupa hukum, berita ; atau ia menetapkan sesuatu yang ditiadakan oleh Al-Qur’an, atau meniadakan sesuatu yang ditetapkan oleh Al-Qur’an sedang ia tahu hal itu; atau ia ragu, maka ia kafir menurut ijma’ ahli ilmu”.[35]
Jadi, orang yang melihat bukti-bukti tahrif dan otak-atik orang Rofidhoh, akan yakin dan tak ragu tentang kekufuran mereka.
Aqidah Reinkarnasi ( Roj’ah )
Reinkarnasi merupakan aqidah yang diyakini oleh orang-orang Yahudi. Mereka meyakini bahwa ada sebagian orang bisa bangkit dan kembali ke alam dunia ini.[36]
Aqidah reinkarnasi ini ternyata juga diyakini oleh orang-orang Syi’ah-Rofidhoh.[37] Ini bisa kita lihat dari referensi yang ditulis oleh mereka yang menetapkan aqidah ini. Sebagai contoh -bukan pembatasan-,
Al-Hurr Al-Amily, seorang ulama mereka berkata, “Ketahuilah bahwa roj’ah (reinkarnasi) itu adalah kehidupan setelah mati sebelum hari kiamat. Itulah yang dipahami dari maknanya. Disini para ulama menegaskan hal ini sebagaimana akan datang…”.[38]
Al-Ahsa’iy, seorang ulama Syi’ah berkata, ” Ketahuilah bahwa reinkarnasi merupakan salah satu diantara rahasia Allah. Menyatakan aqidah tersebut merupakan buah iman terhadap perkara gaib. Yang dimaksud dengannya adalah kembalinya para imam –alaihissalam- [39]dan pengikutnya  serta musuh-musuh mereka  dari kedua belah pihak yang memurnikan keimanan atau kekufuran. Bukan termasuk orang yang dibinasakan oleh Allah di dunia dengan siksaan. Karena  barangsiapa yang yang dibinasakan oleh Allah di dunia dengan siksaan, maka ia tak akan kembali ke dunia “. [40]
Apa yang dinyatakan oleh ulama’ mereka yang terdahulu, juga telah dikuatkan dan dinyatakan ulama mereka di zaman sekarang:
Ibrahim Al-Musawy, seorang ulama Syi’ah berkata, ” Reinkarnasi adalah ungkapan tentang dikumpulkannya suatu kaum ketika munculnya Al-Qo’im Al-Hujjah (imam Mahdi palsu mereka,pen) -alaihissalam- dari kalangang orang-orang yang sudah berlalu kematiannya berupa pengikutnya agar mereka bisa berhasil mendapatkan pertolongannya, dan bergembira dengan munculnya daulah mereka; dan juga suatu kaum dari kalangan musuh-musuh mereka. Dia (Al-Qo’im) membalas mereka sehingga mereka bisa mendapatkan siksaan yang sepantasnya, dan pembunuhan lewat tangan pengikutnya, dan agar mereka ditimpakan kehinaan karena menyaksikan ketinggian kalimatnya. Reinkarnasi menurut kami –Imamiyyah, Itsna Asyariyah- [41] khusus bagi orang memurnikan keimanan, dan memurnikan kekufuran. Yang lainnya didiamkan”. [42]
Muhammad Ridho Al-Muzhoffar, seorang Rofidhoh berkata, ” Aqidah kami tentang reinkarnasi: Allah akan mengembalikan suatu kaum dari kalangan orang-orang meninggal dunia dalam bentuk mereka dulu…”[43]
Aqidah Roj’ah (reinkarnasi) ini diyakini oleh mereka dari dulu sampai sekarang. Ini bisa dilihat nanti dari hasil kesepakatan mereka.
Syaikh Abdullah Al-Jumaily -hafizhahullah-, seorang ulama Ahlus Sunnah berkata, ” Semua orang Rofidhoh berpendapat adanya aqidah roj’ah ini. Sungguh telah dinukil oleh lebih dari satu orang ulama mereka yang masyhur ijma’ mereka dalam menyatakan aqidah roj’ah ini”.[44]
Sebagai bukti adanya ijma’ mereka dalam masalah Roj’ah ini, Al-Mufid berkata dalam sebuah kitabnya dibawah judul Pendapat tentang Roj’ah : ” Al-Qur’an datang membawa kebenaran hal itu (yakni: roj’ah) dan banyak berita-berita tentangnya. Orang-orang (Syi’ah) Imamiyyah semuanya di atas pendapat ini, kecuali orang yang ganjil diantara mereka”.[45]
Gembong Syi’ah, Al-Hur Al-Amily berkata ketika menukil dalil tentang roj’ah, “Dalil keempat: Kesepakatan (ijma’) nya seluruh orang-orang Syi’ah Imamiyyah, dan Itsna Asyariyyah tentang meyakini kebenaran roj’ah (reinkarnasi). Tak nampak adanya orang yang menyelisihi ini diantara mereka, yang bisa diperhitungkan ucapannya dari kalangan ulama (Rofidhoh,pen)dulu maupun belakangan”.[46]
Lalu ia berkata lagi ketika menyebutkan ulama mereka yang menukil ijma’ tentang adanya aqidah roj’ah dalam agama Rofidhoh, “Syaikh Al-Jalil Aminuddin Abu Ali Al-Fadhl Ibnul Hasan Ath-Thibrisy menukilnya dalam kitab Majma’ Al-Bayan li Ulum Al-Qur’an. Diantara yang menukil ijma’ ini, Syaikh Al-Hasan bin Sulaiman bin Kholid Al-Qummy dalam sebuah risalahnya tentang reinkarnasi. Dia berkata di dalamnya dengan lafazh seperti ini: “Reinkarnasi termasuk perkara yang disepakati ulama kami, bahkan semua orang-orang Imamiyyah”. Sungguh telah dinukil ijma’ tentang masalah ini oleh Syaikh Syaikh Al-Mufid, Sayyid Al-Murtadho, dan lainnya dari mereka. Pemilik kitab As-Siroth Al-Mustaqim melontarkan ucapan yang panjang tentang reinkarnasi, lahiriahnya ia menukil ijma’ juga”.[47]
Diantara yang menukil ijma’ dari kalangan mutakhirin Syi’ah-Rofidhoh, Muhammad Ridho Al-Muzhoffar. Dia berkata, “Ya, telah datang Al-Qur’an Al-Karim membawa (berita) terjadinya reikarnasi ke dunia, berita-beritapun tentangnya banyak dari ahlul bait. Orang-orang Syi’ah Imamiyyah semua di atas (pendapat ini), kecuali sedikit diantara mereka yang mentakwil dalil yang datang tentang roj’ah bahwa maknanya adalah kembalinya daulah, perintah dan larangan”.[48]
Jadi, sekte sesat Syi’ah-Rofidhoh menyatakan bahwa ulama mereka sepakat tentang adanya reinkarnasi (kebangkitan) di dunia sebelum datangnya hari kiamat.
Adapun aqidah yang benar di sisi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat dan ulama kaum muslimin bahwa hal itu tak ada, kecuali setelah tegaknya kiamat, manusia akan dibangkitkan dari kuburnya!!
Batilnya Aqidah Reinkarnasi
Aqidah reinkarnasi merupakan aqidah yang menyelisihi Al-Qur’an dan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama kita.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany berkata, “Tasyayyu’ (jadi orang Syi’ah)adalah mencintai[49] dan mendahulukan Ali dari pada sahabat (lain). Barangsiapa yang mendahulukan Ali daripada Abu Bakar dan Umar, maka ia telah keterlaluan dalam tasyayyu’-nya dan dinamai orang Rofidhoh. Kalau tidak, maka dia orang Syi’ah. Kalau ditambah lagi dengan pencelaan (terhadap sahabat), dan menegaskan kebencian (kepada mereka), maka dia itu ekstrim. Jika ia meyakini reinkarnasi ke dunia, maka ia lebih ekstrim lagi.[50]
Abdul Aziz bin Waliyullah Ad-Dahlawy -rahimahullah- berkata dalam mengingkari aqidah reinkarnasi, ” Aqidah ini merupakan penyelisihan yang amat gamblang terhadap Al-Kitab, karena roj’ah (reinkarnasi) sungguh telah dibatalkan dalam banyak ayat, diantaranya firman-Nya Ta’ala,
قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)  [المؤمنون : 99 - 101]
“[…dia berkata," Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan". Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya itu adalah perkara yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan"].[51] Jadi, firman-Nya, “…dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”, gamblang sekali dalam meniadakan aqidah reinkarnasi secara mutlak”.[52]
“Diantara aqidah Ahlis Sunnah bahwa tak ada seorang mayatpun sebelum hari kebangkitan dapat kembali (ke dunia). Maka Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak dapat kembali (ke dunia). Demikian pula seorang dari para sahabatnya selain pada hari kiamat ketika Allah mengembalikan orang-orang mukmin dan kafir untuk dihisab dan diberi ganjaran. Ini merupakan ijma’ (kesepakatan) semua orang Islam sebelum munculnya orang-orang Rofidhoh”.[53][ Lihat Mas'alah At-Taqrib" (hal.115)]
Faedah : Ada satu perkara aneh dalam aqidah reinkarnasi yang diyakini oleh Rofidhoh, yaitu pernyataan mereka bahwa yang mengalami reinkarnasi nanti, khusus para sahabat yang dikafirkan oleh Rofidhoh, dan ahlul bait (???).
Lantas kemana orang-orang kafir, Yahudi, Nashoro, dan Majusi??! Padahal mereka juga kafir!! Ini menunjukkan bahwa aqidah reinkarnasi ini dibangun di atas rasa benci dan hasad kepada para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yang telah menyampaikan agama Islam ini kepada manusia dengan bersih, penuh amanah dan kejujuran. Sebab mereka ini (yakni para sahabat) adalah orang-orang yang benar-benar paham dan takut kepada Allah jika mereka berdusta atas agama-Nya sehingga membuat orang-orang zindik (munafiq) benci kepada para sahabat. Apalagi ketika mereka (orang-orang zindik) ini menyaksikan agama Islam mampu mengalahkan agama-agama lain.
Para sahabat dan kaum muslilmin memiliki kekuasaan yang luas sehingga bisa menundukkan negara-negara lain yang menghalangi dakwah Islam. Karenanya, sebagian orang-orang zindik yang enggan meninggalkan agama mereka berusaha sekuat mungkin mempertahankan dan masih mengamalkan agamanya, sekalipun mereka sudah ngaku masuk Islam.[54]
Inilah yang dialami oleh orang-orang Rofidhoh. Nenek-moyang mereka enggan meninggalkan agama Majusi mereka, sehingga berusaha mempertahankan agama mereka di kalangan anak keturunan mereka, bahkan diadopsi ke tengah kaum muslimin yang belakang hari menyebarkan penyakit zindik dan munafik, berani mencela sahabat dan mengutak-atik Al-Qur’an.
Aqidah Al-Bada’ (Munculnya Ide Baru bagi Allah)
Orang-orang Syi’ah-Rofidhoh meyakini bahwa ide Allah boleh saja berubah setelah Allah tetapkan dan muncul ilmu baru bagi Allah, na’udzubillah!! [55]Ini merupakan kelancangan terhadap Allah Robbul alamin -Subhanahu wa Ta’ala-.
Seorang ulama mereka, Muhammad bin Mas’ud Iyasyi berkata ketika menetapkan aqidah Al-Bada’ ini, ” Dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far Alahissalam,
“Dan ingatlah ketika Kami berjanji kepada Musa (akan memberi Taurat setelah ) empat puluh malam…”[56]
Dia (Abu Ja’far) berkata, “Dulu menurut ilmu Allah dan taqdir-Nya adalah 30 malam, kemudian tampak ide baru bagi Allah, lalu Dia-pun menambahinya sepuluh hari. Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan oleh Robb-Nya, baik yang pertama maupun yang terakhir menjadi empat puluh malam”.[57]
Tokoh Syi’ah, An-Nubakhti menyebutkan, “Bahwa Ja’far bin Muhammad Al-Baqir menetapkan kepemimpinan anaknya, Isam’il dan hal itu telah diisyaratkan ketika ia masih hidup. Kemudian Isam’il meninggal sedang ia (Ja’far) masih hidup. Dia pun berkata, ‘”Tidak tampak (ide baru) bagi Allah sedikitpun sebagaimana tampaknya  hal itu pada Isma’il, anakku’ “.[58]
Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir -rahimahullah-  berkata dalam membantah dan mengomentari ucapan dan riwayat orang-orang Syi’ah ini, “Riwayat-riwayat ini menetapkan makna Al-Bada’ bahwa Allah mengetahui sesuatu yang Allah belum ketahui sebelumnya. Inilah yang diyakini oleh orang-orang Syi’ah tentang Allah. Padahal Allah telah menerangkan tentang ilmu-Nya dengan firman-Nya melalui lisan Musa –alaihis salam-[59],
Tuhan Kami tidak akan salah dan tidak (pula) salah[60].”.[61]
Riwayat tentang aqidah Al-Bada’ ini sebenarnya banyak sekali dalam kitab-kitab mereka. Andaikan bukan karena umur itu pendek, niscaya akan kami bawakan lebih banyak dari ini.
Diantara ulama mereka ada yang membuatkan bab khusus menetapkan aqidah ini sampai orang-orang mutakhirin mereka tak mampu menyembunyikan aqidah Al-Bada’ ini dan menolaknya, disebabkan banyaknya riwayat-riwayat yang menetapkan hal tersebut dalam kitab-kitab induk mereka.
Sekalipun ada diantara mereka berusaha menolaknya dan membersihkan orang Rofidhoh dari kenyataan ini, tapi atas dasar taqiyyah (baca: pura-pura) setelah telinga mereka panas mendengarkan sanggahan ulama’ Ahlus Sunnah –rahimahumullah-.[62]
Namun sayangnya usaha ini tak ada artinya, karena dia telah didahului adanya ijma’ dan kesepakatan dari kalangan pendahulu mereka[63]. Berikut ini bukti ijma’ mereka,
Al-Mufid, seorang ulama Rofidhoh berkata, “Pendapat orang-orang Imamiyyah (maksudnya: Rofidhoh) tentang aqidah Al-Bada’ , metode (penetapannya) menurut dalil sam’i, bukan dengan akal. Telah datang berita (riwayat-riwayat) tentang hal itu dari para imam –alaihis salam-”.[64]
Bahkan Al-Mufid menukil ijma’ orang-orang Rofidhoh secara gamblang adanya aqidah Al-Bada’ dalam ajaran mereka melalui kitabnya “Awa’il Al-Maqolat”, sekaligus menetapkan bahwa mereka dalam aqidah ini menyelisihi semua sekte Islam.[65]
Para pembaca yang budiman, aqidah Al-Bada’ ini amat berbahaya sebab menetapkan sifat bodoh atau lupa bagi Allah Robbul Alamin sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ini merupakan kekafiran yang nyata.
Mencela Para Sahabat
Seusai membawakan aqidah-aqidah mereka yang sangat parah karena sudah sampai pada tingkat kekufuran, maka kami merasa terpanggil untuk membawakan aqidah mereka tentang wajibnya mencela, bahkan melaknat para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , yang telah membawa syari’at ini dengan penuh kejujuran, tanpa ditambah dan dan tanpa dikurangi.
Saya terdorong untuk membahasnya karena dengan mencela sahabat, mereka bisa meruntuhkan kepercayaan seseorang sehingga ia tak mau lagi menerima dan mendengarkan hadits-hadits yang berisi syari’at Islam, yang telah didengarkan dan diriwayatkan oleh para sahabat dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Berikutnya, mereka masukkan pemikiran Syi’ah-Rofidhoh dengan kedok cinta dan pembelaan terhadap Ahlul Bait dengan cara membuat riwayat-riwayat palsu yang menggambarkan adanya sengketa antara ahlul bait dengan sahabat yang bukan ahlul bait, sebagai jalan bagi orang-orang Syi’ah  dalam mencela para sahabat yang bukan Ahlul bait.[66]
Padahal ahlul bait cinta kepada semua sahabat. Adapun orang-orang Syi’ah, yang ada penyakit di hatinya, sebaliknya membenci para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah membela Islam dan menyebarkannya.
Para Pembaca yang budiman, mencintai para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, baik itu ahlul bait maupun bukan, merupakan tanda keimanan seseorang.
Al-Imam Al-Bukhori -rahimahullah- dalam kitab Shohih-nya (1/14/17),Bab Tanda Keimanan Adalah Cinta Kepada Orang-Orang Anshor , membawakan sebuah hadits dari Anas –radhiyallahu anhu- dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , beliau bersabda,
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Tanda keimanan itu adalah mencintai orang-orang Anshor,dan tanda munafiq itu adalah membenci orang-orang Anshor”.[67]
Imam As-Suyuthirahimahullah- berkata ketika menafsirkan hadits di atas, “Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshor. Karena, siapa saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan Islam dan mencintainya, maka semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan jujurnya dia dalam ber-Islam. Barangsiapa yang membenci mereka di balik semua pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”.[68]
Dalam sebuah hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat, baik ahlul bait, maupun non ahlul bait,
لا تسبوا أصحابي فلوا أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya”.[69]
Dari dua hadits ini dan hadits lainnya yang semakna, Ahlus Sunnah menetapkan suatu aqidah : Wajibnya mencintai para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan tidak mencela mereka, bahkan memuliakan mereka serta membersihkan hati dan lisan dari membicarakan permasalahan diantara para sahabat, mencela, merendahkan dan menghina para sahabat. Sebab merekalah yang memperjuangkan Islam dan menyebarkannya dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka sampai kita juga bisa merasakan nikmat Islam.
Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata dalam menetapkan aqidah ini, ” Diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah: selamatnya hati dan lisan mereka terhadap sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana yang disifatkan Allah tentang mereka dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاَّ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ  [الحشر : 10]
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hasyr : 10).
Juga (diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah) : menaati Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
لا تسبوا أصحابي و الله لوا أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
["Janganlah kalian mencela para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, andaikan seorang diantara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaqnya tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya"]. Mereka menerima yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah berupa keutamaan dan martabat para sahabat”.[70] Selesai Ucapan Syaikhul Islam.
Prinsip aqidah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam ini telah lama diyakini dan diterapkan oleh ulama ahlis sunnah.
Imam Ahmad bin Hambal dan Ali ibnul Madinyrahimahumallah- , keduanya berkata, “Barangsiapa yang melecehkan salah seorang diantara sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau ia membencinya karena sesuatu darinya atau menyebutkan kejelekannya, maka orang ini adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) sampai ia mau mendo’akan rahmat bagi mereka semuanya, dan hatinya selamat terhadap mereka”.[71]
Imam Al-Bukhory -rahimahullah- berkata, “Saya menjumpai lebih dari seribu orang ahli ilmu dari Hijaz, Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir. Aku menemui mereka berkali-kali dari masa ke masa. Aku menemui mereka sedang jumlahnya masih banyak sejak lebih dari 46 tahun silam. Saya tak menemui seorang pun diantara mereka berselisih dalam perkara-perkara ini (lalu ia sebut diantaranya): Saya tak melihat seorang diantara mereka mencela sahabat Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan mereka melarang dari bid’ah serta mencintai sesuatu yang dulu di jalani oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya”.[72]
Adapun keyakinan Ahlus Sunnah tentang Ahlul Bait, maka mereka mencintai dan memuliakan mereka sebagaimana umumnya sahabat, tanpa mengkultuskan mereka.
Imam Abdul Qohir Al-Baghdadyrahimahullah- berkata, “Ahlus Sunnah menyatakan loyal terhadap Al-Hasan , Al-Husain, dan para cucu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang masyhur seperti Al-Hasan Ibnul Hasan, Abdullah Ibnul Hasan, Ali Ibnul Husain Zainul Abidin, Muhammad bin Ali Ibnul Husain yang dikenal dengan Al-Baqir, …Ja’far bin Muhammad yang ma’ruf dengan Ash-Shodiq, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa Ar-Ridho, demikian pula yang mereka nyatakan sama pada semua anak kandung Ali seperti Al-Abbas, Umar dan Muhammad Ibnul Hanafiyyah; semua yang menempuh sunnah bapak-bapaknya yang suci. Bukan yang condong diantara mereka kepada madzhab Mu’tazilah atau Rofidhoh, dan bukan menisbahkan diri kepada mereka, berlebihan dengan sikap permusuhan dan kezholimannya”.[73]
Jadi, berdasarkan nukilan di atas dapat dipahami bahwa Ahlus Sunnah mencintai Ahlul Bait dan semua sahabat. Bukan seperti orang-orang Syi’ah-Rofidhoh, mereka membenci sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan dalih cinta Ahlul Bait.[74]
Pembaca yang budiman, mungkin anda dari tadi bertanya-tanya dalam hati, Apa sih buktinya orang Syi’ah-Rofidhoh membenci sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?
Jawabnya: Banyak sekali riwayat-riwayat yang dinisbahkan secara dusta kepada Ahlul bait dalam kitab mereka yang menetapkan bahwa mereka mencela , dan membenci sahabat, bahkan mengkafirkan mereka.
Berikut ini akan kami nukilkan dari kitab mereka yang merupakan pegangan dan pedoman orang-orang Syi’ah-Rofidhoh agar para pembaca yakin terhadap ucapan ulama kita di atas :
Al-Kulainy menyebutkan dalam Al-Kafi dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata, ” Dulu manusia semuanya murtad sepeninggal Nabi selain tiga orang. Saya katakan, Siapa tiga orang itu? Ia jawab, “Al-Miqdad ibnul Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary, dan Salman Al-Farisy rahmatullah wabarakatuhu alaihim-”.[75]
Terus Al-Kulainy membawakan riwayat lain dari Humron bin A’yun, ia berkata, Saya berkata kepada Abu Ja’far -alaihissalam-, “Aku jadikan engkau tebusanku, alangkah sedikitnya kita. Andai kita berkumpul (makan,pen) seekor kambing, niscaya kita tak akan mampu menghabiskannya”. Maka ia berkata, ” Maukah kamu kuceritakan sesuatu yang lebih mengherankan lagi daripada itu? Muhajirin dan Anshor telah hilang kecuali tiga-sambil berisyarat dengan tangannya-“.[76]
Inilah sikap mereka kepada sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Adapun sikap mereka kepada Khulafa’ur Rasyidin, maka silakan baca nukilan berikut ini,
Muhammad Baqir Al-Majlisy, seorang pemuka mereka berkata, ” Aqidah kami (Syi’ah) dalam hal berlepas-diri adalah kami berlepas-diri dari empat berhala : Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Mu’awiyah; dan juga dari empat wanita: A’isyah, Hafshoh, Hindun, dan Ummul Hakam, serta berlepas diri dari semua pendukung dan pengikut mereka. Mereka itu sejelek-jelek makhluk Allah di muka bumi. Tidak sempurna iman kepada Allah, Rasul-Nya, dan para imam kecuali setelah berlepas diri dari musuh-musuh mereka”.[77]
Inilah sikap mereka kepada para Kholifah kaum muslimin, sahabat terbaik Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , nah bagaimana lagi sikap mereka terhadap sahabat yang di bawah tingkatan mereka dan kaum muslimin secara umum. [78]
Sungguhnya riwayat-riwayat ini yang memutuskan murtadnya generasi terbaik tersebut, tidak dikecualikan di dalamnya selain tiga atau empat atau tujuh -paling maksimal-.
Riwayat-riwayat ini di dalamnya tidak disebutkan Ahlul Bait. Jadi, hukum murtad dalam nas-nas ini mencakup semua sahabat, baik itu kerabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, istri-istrinya (Ummahatul Mu’minin) dan lainnya. Nas-nas itu mencakup para sahabat dan Ahlul Bait.
Padahal pemalsu riwayat ini mengaku mendukung Ahlul Baitnya (keluarga)Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Ini tiada lain, kecuali merupakan bukti bahwa “tasyayyu” (ngaku mendukung Ahlul Bait), cuma sekedar kedok dalam merealisasikan misi-misi busuk mereka melawan Islam dan pemeluknya.
Alangkah benarnya apa yang dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Rozi –-rahimahullah-, “Jika engkau melihat seseorang merendahkan salah seorang sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , maka ketahuilah dia itu orangnya zindik. Karena Rasul -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- di sisi kami adalah haq, dan Al-Qur’an adalah benar. Sedang Para sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- itulah yang menyampaikan kepada kita Al-Qur’an ini , dan sunnah. Mereka (orang zindiq) itu sebenarnya ingin menjatuhkan saksi-saksi kami untuk membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Akan tetapi celaan itu lebih berhak ditujukan kepada mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindik”.[79]
Taqiyyah (Berbulu Domba)
Ada suatu perkara yang perlu kami jelaskan agar pembahasan terdahulu semakin kokoh. Perkara itu adalah perkara Taqiyyah (pura-pura). Dengan senjata dan tameng Taqiyyah ini mereka mampu mengelabui kaum muslimin.
Bayangkan ketika pembaca misalnya sudah capek-capek membahas dan menjelaskan aqidah sesat mereka di hadapan mereka sesuai penjelasan kami di atas. Lantas mereka dengan mudah mengelabui anda dan kaum muslimin lainnya seraya mereka berkata dan mengingkari, “Wah, apa yang anda bilang bahwa kami orang-orang Syi’ah-Rofidhoh menuduh sahabat Nabi r menyelewengkan Al-Qur’an, meyakini aqidah Al-Bada’, dan reinkarnasi, dan mencela sahabat Nabi . Semua itu tidak benar adanya”
Tameng Taqiyyah (pura-pura) ini sering mereka gunakan ketika berdialog dengan Ahlus Sunnah yang memiliki ilmu dan mengerti aqidah dan akhlak mereka sebagai jalan untuk berkelit dan menghindar dari hujjah yang kita tujukan kepada mereka. Adapun orang awam, maka mereka masuk dari segi pencelaan terhadap sahabat agar orang awam jatuh kepercayaannya kepada sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan balik percaya kepada orang-orang Syi’ah-Rofidhoh yang pendusta. Maka hati-hatilah wahai pembaca yang budiman dari racun Taqiyyah mereka. Dan jika kalian sudah menegakkan hujjah atas mereka, dan mereka balik menggunakan Taqiyyah (pura-pura) dan mengingkari hujjah kalian, maka tinggalkanlah tempat itu karena tak ada gunanya dan habiskan waktu. Bahkan malah membahayakan diri anda karena yang namanya syubhat itu sangat berbahaya, terkadang bercokol di hati dan tak bisa menjawabnya dan mengobatinya. Akhirnya bisa menjadi penyakit yang akut membahayakan aqidah kalian, Na’udzu billah !!
Aqidah Taqiyyah ini telah ditegaskan dan disebutkan dalam kitab-kitab referensi mereka. Mungkin ada baiknya kita nukil beberapa ucapan mereka yang menetapkan tentang Taqiyyah ini sebagai berikut :
Orang kepercayaan mereka, Muhammad bin Ali Ibnul Husain bin Babawaih berkata, ” Taqiyyah wajib. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia seperti halnya orang yang meninggalkan sholat”.[80]
Al-Askari menukil dalam tafsirnya dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , katanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Ibarat seorang mukmin yang tidak ada taqiyahnya seperti suatu jasad yang tak ada kepalanya”.[81]
Al-Kulaini meriwayatkan dari Muhammad bin Ali Ibnul Husain yang dikenal dengan Al-Baqir, ia berkata, ” Sesuatu apalagi yang lebih menyejukkan mataku daripada dibandingkan dengan taqiyyah. Sesungguhnya Taqiyyah itu merupakan tameng bagi seorang mukmin .[82]
Al-Kulaini yang dianggap imam Bukhori-nya orang Syi’ah-Rofidhoh meriwayatkan dari Ja’far Ash-Shodiq, ia berkata, ” Tidak, demi Allah ! Tak ada sesuatu yang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dibandingkan Taqiyyah, hai Habib.Sebab Barangsiapa yang memiliki Taqiyyah , niscaya ia akan diangkat oleh Allah, wahai Habib. Barangsiapa yang tak memiliki Taqiyyah, niscaya ia akan direndahkan oleh Allah”.[83]
Al-Ardabily meriwayatkan dari Ali bin Musa, “Tak ada agama bagi orang yang memiliki wara’, dan tak ada iman bagi orang yang tak memiliki Taqiyyah”[84]
Al-Kulainy sekali lagi menukil dari Abu Ja’far (lahir tahun 57 H), dia berkata, ” Taqiyyah merupakan agamaku, dan agama nenek-moyangku. Dan tak ada iman bagi orang tak memiliki Taqiyyah”. [85]
Setelah kita membawakan riwayat-riwayat yang menetapkan aqidah Taqiyyah ini, mungkin ada sebagian diantara pembaca masih bertanya-tanya, “Apa sih makna Taqiyyah menurut orang-orang Syi’ah-Rofidhoh”. Nah, ada baiknya kami bawakan defenisinya menurut pemimpin mereka sendiri :
Seorang pemimpin mereka, Al-Mufid mendefinisikan Taqiyyah menurut agama Syi’ah seraya berkata, ” Taqiyyah adalah menyembunyikan kebenaran, menutupi keyakinan (aqidah) tentangnya, menutup diri dari orang yang menyelisihi, dan tidak menampakkan (jati diri) di depan mereka karena sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya bagi agama dan dunia”.[86]
Yusuf Al-Bahrani, seorang gembong mereka berkata, ” Yang dimaksud dengan Taqiyyah adalah menampakkan sikap setuju terhadap orang yang menyelisihi dalam hal yang mereka anut karena takut”.[87]
Al-Khumainy, dedengkot orang-orang Syi’ah- Rofidhoh berkata, Taqiyah maknanya adalah Seseorang mengucapkan perkataan yang menyelisihi kenyataan atau dia mengerjakan suatu amalan yang menyelisihi timbangan syari’at demi menjaga darah, kehormatan dan hartanya”.[88]
Inilah definisi Taqiyyah. Intinya, mereka jadikan taqiyyah itu tameng dari Ahlus Sunnah karena ada dua tujuan : Pertama, untuk mengelabui orang awam. Kedua, untuk menghindar dari hujjah Ahlus Sunnah atas mereka. Semuanya satu muara, yaitu agar agama mereka yang sesat tidak tersingkap belangnya !!!
Terakhir, kami akan nukilkan ucapan seorang ulama kita yang telah menghabiskan waktunya membantah dan membongkar kesesatan Syi’ah-Rofidhoh, Yaitu Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir -rahimahullah-. Beliau berkata, “Sebagian orang Syi’ah pura-pura beralasan bahwa mereka (Syi’ah-Rofidhoh) tidak menginginkan dengan Taqiyyah untuk berdusta, bahkan mereka memaksudkan dengannya untuk menutupi urusan mereka demi menjaga jiwa, dan menjaga diri dari kejelekan.”
Kemudian beliau berkata lagi dalam membantah tipu muslihat tersebut, “Hakekatnya, bukan begitu, bahkan mereka juga dusta dalam hal ini karena mereka menginginkan dengan Taqiyyah ini untuk berdusta dan mengelabui orang, serta menampakkan diri dengan sesuatu yang berlainan dengan yang mereka rahasiakan. Buktinya berikut ini:…Dan disana ada riwayat lain yang menegaskan bahwa Taqiyyah itu adalah kemunafikan murni. Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitab Ar-Roudhoh dari “Al-Kafi” dari Muhammad bin Muslim berkata, “Saya masuk menemui Abu Abdillah alaihissalam, dan di sampingnya ada Abu Hanifah. Lalu aku berkata kepadanya,” Aku jadi tebusanmu, aku melihat mimpi yang aneh”. Dia –Abu Abdillah- berkata, “Ceritakan, Orang pandai sedang duduk-seraya ia arahkan tangannya ke Abu Hanifah”. Lalu aku bercerita, “Aku masuk rumahku, tiba-tiba keluargaku membangkang. Maka akupun memecahkan banyak biji kelapa dan menaburkannya ke kepalaku. Aku heran terhadap mimpi ini” Abu Hanifahpun berkata, “Kamu orangnya suka tengkar dan suka mencela dalam hal warisan keluargamu. Setelah usaha keras kamu akan mendapatkan hajatmu darinya, InsyaAllah”. Abu Abdillah berkata, “Demi Allah, Kamu benar wahai Abu Hanifah”. Dia (Muhammad bin Muslim) berkata, “Lalu Abu Hanifahpun pergi darinya seraya aku berkata,” Aku jadi tebusanmu, sesungguhnya aku benci ta’bir mimpinya orang Nawashib ini[89] . Maka ia menjawab, “Wahai bin Muslim, semoga Allah tidak menghinakanmu. Ta’bir mimpinya orang-orang Nawashib tidak mungkin akan cocok dengan ta’bir mimpi kita. Ta’bir kita bukan ta’bir mereka. Ta’bir yang sebenarnya bukanlah sebagaimana yang dita’birkan oleh abu Hanifah”. Lalu akupun berkata kepadanya, “Aku jadi tebusanmu, Ucapanmu: [Kamu benar] dan andapun bersumpah atasnya. Padahal dia salah ? Dia jawab, “Ya, dia saya bersumpah bahwa dia itu benar keliru”.[90]
Sudah dikenal bahwa Abu Hanifah bukanlah seorang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan sehingga disegani dan ditakuti, bahkan beliau malah menolak untuk menjadi hakim ketika beliau diminta menjadi hakim dan justru memilih menjadi seorang penjual kain sebagaimana layaknya rakyat jelata.
Mungkin kalau Abu Hanifah punya kekuasaan dan kekuatan yang bisa merongrong dan mengancam keberadaan agama Syi’ah, maka mungkin ada benarnya. Tapi Abu Hanifah tidak punya kekuasaan dan kekuatan!! Lantas kenapa mereka sembunyikan perkara mereka di hadapan Abu Hanifah dengan cara berdusta ?? Jawabannya, pembaca bisa tebak sendiri. Ya, karena agama mereka memang dibangun di atas dusta, dibangun di atas Taqiyyah (pura-pura). Mereka ibaratnya musang berbulu-domba.
Inilah yang bisa kami kumpulkan tentang inti ajaran agama Syi’ah-Rofidhoh,  yang Islam berlepas-diri darinya. Kalau kami kumpulkan semua penyimpangan mereka, niscaya pembaca akan kaget membacanya. Ambillah sebagai contoh, Syirik besar yang mereka lakukan di hari kematian Husain. Mereka bersujud dari luar bangunan sampai masuk pekuburan Husain;  juga pengkultusan mereka kepada imam-imam mereka sampai mereka menyatakan bahwa para Nabi dan Malaikat Allah tak mampu mencapai kedudukan para imam mereka; Penghinaan mereka kepada Jibril; Mereka telah menuduh Jibril telah salah dalam menyampaikan wahyu yang sebenarnya disampaikan kepada Ali bin Abi Tholib; Mereka menghalalkan zina yang mereka istilahkan dengan nikah muth’ah[91]. Padahal telah disepakati oleh para ulama bahwa barangsiapa yang menghalalkan suatu ma’shiyat-termasuk muth’ah- setelah nyata baginya dalil dan hujjah pengharamannya, maka ia dihukumi kafir; Mereka mengusap kaki mereka yang tidak memakai khuf atau kaos kaki saat berwudhu’, tanpa dicuci. Model wudhu seperti ini tak sah !! sebab ada yang tak tercuci. Padahal sebesar logam aja tak tercuci menyebabkan wudhu seseorang itu batal sebagaimana dalam hadits Wailun lil A’qob minannar ; Mereka menghalalkan darah kaum muslimin; dan masih banyak lagi kesesatan mereka.
Cukuplah yang kami sebutkan sebagai contoh dan bukti kesesatan mereka. Semoga risalah ringkas ini bisa menjadi benteng bagi para pembaca dari serangan syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang Syi’ah-Rofidhoh, sekaligus peneguh hati untuk senantiasa menempuh jalannya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat yang mulia dan mencintai mereka, bukan jalannya orang-orang Syi’ah yang merugi di dunia dan akhirat disebabkan mereka memilih jalan lain yang tak pernah ditempuh oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , para sahabatnya, dan Ahlul Bait sendiri. Waakhiru da’waana ‘anil hamdulillahi Robbil alamin wa shollallahu alaihi wa ala alihi wa shohbihi wasallam.
Madinah, 28 Dzulqo’dah 1425 H/8 Jan 2005
Abdul Qodir Abu Fa’izah Al-Atsariy
Disempurnakan 12 Robi’ Al-Awwal 1434

[1] Perlu kami jelaskan bahwa ghibah ada dua macam : yang boleh dan yang terlarang sebagaimana hal ini telah dijelaskan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Namun pada hari ini muncul sekelompok pemuda yang tidak berilmu menyatakan bahwa membicarakan penyimpangan ahli bid’ah termasuk ghibah yang haram. Mereka tak tahu bahwa membicarakan hal itu bukan ghibah yang haram , dan cukuplah kitab-kitab yang akan kami sebutkan sebagai bantahan terhadap pendapat mereka ini. Lihat perincian masalah ini dalam Riyadhush Sholihin min Hadits Sayyid Al-Mursalin, [hal.508-510] karya An-Nawawiy, cet. Dar Ibnul Jauzy, Al-Farq baina An-Nashihah wa At-Ta’yiir karya Ibnu Rajab –rahimahullah-dan Manhaj Ahlis Sunnah fi Naqdi Ar-Rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thowa’if (hal.39-41) karya Syaikh Robi’-Hafizhohullah wa Syafaah- , Ar-Rodd ala Al-Mukholif karya Syaikh Bakr Abu Zaid –hafizhahullah wa ro’ah-, dan Zajr Al-Mutahawin karya Syaikh Hamd Al-Utsman -hafizhohullah-.
[2] Bukan seperti tuduhan sebagian anak muda sekarang. Ketika ulama kita menjelaskan kekeliruan seorang ahli bid’ah (seperti da’i fiqhul waqi’), mereka tuduh ulama itu dengan istilah “Ulama daulah, kaki tangan Amerika dan Zionis, Budak pemerintah, penakut”, dan berbagai tuduhan lagi. Saya katakan :”Kalau ulama kita dituduh macam-macam dan tidak dipercaya lagi, maka siapa lagi yang kita percayai  dan kita tempati minta fatwa? Apakah anak muda yang menuduh itu ? Demi Allah, ini merupakan tanda kiamat saat orang bodoh dijadikan mufti .
[3]Diantara kitab-kitab referensi itu : Asy-Syi’ah wa As-Sunnah, dan Asy-Syi’ah wa Al-Qur’an keduanya karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir-rahimahullah-, Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahah Ar-Rofidhoh li Al-Yahud karya Syaikh Dr. Abdullah Al-Jumaily, Al-Intishor li Ash-Shohbi wal Aali karya Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily-hafizhohullah-,dan Mas’alah At-Taqrib baina Ahlis Sunnah wa As-Syi’ah. Jadi, semua nukilan dari kitab-kitab Syi’ah-Rofidhoh saya nukilkan dari kitab ini.
[4] Selanjutnya kami singkat dengan “Syi’ah-Rofidhoh”.
[5] Bukti bahaya laten mereka telah masyhur berupa pembunuhan dan pemboikotan terhadap Ahlus Sunnah di negeri asal mereka, Iran.Berita ini kami dapatkan dari kawan-kawan di Islamic University of Madinah.
[6] Sangat disayangkan ada diantara mereka berasal  dari Indonesia. Mereka dikirim dari Indonesia ke kota Qum, markaz pendidikan khusus Rofidhoh agar menjadi korban pemikiran dan aqidah sesat Rofidhoh.  Selanjutnya pulang ke Indonesia menyebarkan agama Rofidhoh-Syi’ah dan menanamkan kebencian kepada Ahlus Sunnah. Inilah bahayanya belajar di sembarang tempat !!! Diantara korban tersebut adalah Sufa Atha’na, seorang gembong Syi’ah-Rofidhoh di Makassar.
[7] Ahlul Bait adalah seluruh anak keturunan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, istri-istri beliau, dan juga anak keturunan Al-Abbas bin Abdil Muththolib, anak keturunan Abu Lahab yang meninggal di atas Islam.
[8] Padahal mereka adalah penghancur dan Perusak Kehormatan Ahlul Bait. Lihat saja, mereka mencela semua sahabat, bahkan ahlul bait itu sendiri, ketika mereka mengkafirkan para sahabat, dan menuduh A’isyah (yang termasuk ahlul bait) telah berzina. Pada kenyataannya, A’isyah  dan para sahabat bersih dari hal itu sebagaimana Allah jelaskan dalam Al-Kitab Al-Aziz.
[9] Lihat As-Sunnah (82) oleh Imam Ahmad, dan Tobaqot Al-Hanabilah (1/33) karya Ibnu Abi Ya’la.
[10] Lihat I’tiqod Ahlis Sunnah (1/178) karya Al-Lalaka’i.
[11] Lihat As-Sunnah (2/548) karya Abdullah bin Ahmad.
[12]Lihat Mudzakkiroh Al-Firoq (hal.18) karya Fahd As-Suhaimy, dicopy dari Maktabah Haramain , dan Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahah Ar-Rofidhoh li Al-Yahud (1/85) karya Syaikh Abdullah Al-Jumaily.
[13] Lihat Basho’ir Ad-Darojat (hal.213) oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnul Hasan Ash-Shoffar (seorang Rofidhoh)
[14] Lihat Badzlul Majhud (1/389-391) karya Syaikh Al-Jumaily
[15] Lihat Ushul Al-Kafi (2/631) oleh Al-Kulainy. Kitab ini menurut Rofidhoh seperti Shohih Al-Bukhory di sisi Ahlus Sunnah. Jelas ini dusta, sebab rawi-rawi mereka kebanyakannya pendusta dan dhoif.
[16] Maksudnya: para sahabat.
[17] Lihat Awa’il Al-Maqolat (hal.48-49) oleh Al-Mufid
[18] Dari judulnya sudah nyata mereka mengakui bahwa Al-Qur’an sudah diselewengkan, sebab judul kitabnya “Fashlul Khithob fi Itsbat Tahrif Kitab Robb Al-Arbab “, yang artinya: “Kata Keputusan dalam Menetapkan Adanya Penyelewengan dalam Kitab Tuhan Semesta Alam “.
[19] Lihat Al-Anwar An-Nu’maniyyah (2/358,359) oleh Ni’matullah Al-Jaza’iry, seorang Rofidhoh.
[20] Lihat Badzlul Majhud (1/409-410) karya Syaikh Abdullah Al-Jumaily
[21] Lihat Kasyful Asror (hal.131) oleh Al-Khumainy, dengan terjemah Dr. Muhammad Ahmad Al-Khothib.
[22]Para pembaca jangan tertipu dengan banyaknya gelar mereka (Allamah Al-Faqih Ayatullah Al-Uzhma Haji Sayyid). Itu Cuma gelar semu untuk menipu orang awam. Saya teringat dengan diskusi seorang bernama Utsman Al-Khomis ketika ia diskusi dengan seorang ulama Syi’ah, yang katanya mereka dia seorang ahli hadits. Utsman tanya kepadanya tentang hadits shohih. Dia berusaha menjawabnya dengan mimik gugup, namun ia tak bisa memberikan definisi yang benar tentang hadits shohih. Jadi, jangan tertipu dengan gelarnya !!!
[23] Lihat Tuhfah Awwam Maqbul (hal.214-215).
[24] Lihat Tashhif Kitabain (hal.18), cet. India. Ini dinukil oleh Ihsan Ilahi Zhohir Rahimahullah dalam Ar-Rodd ala Ad-Duktur Ali Abdul Wahid Wafi fi Kitabih Baina As-Syi’ah Ahlis Sunnah (hal.93).
[25] Lihat Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah (hal.49) karya Al-Khotib Al-Baghdady Rahimahullah.
[26] Lihat Badzlul Majhud (1/432-433) dengan sedikit perubahan tanpa merusak makna. Bukan seperti yang dilakukan orang Rofidhoh-Syi’ah dalam menukil ucapan orang, diubah sampai merusak makna yang diinginkan oleh pengucapnya.
[27] QS.Al-Hijr : 9
[28] Lihat Tafsir Ath-Thobary (8/14)
[29] Tuduhan ini tentunya tidak benar sebagaimana kami jelaskan tadi.
[30] Lihat  Tafsir Al-Qummy (1/345). Zuraiq dan Habtar : Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma
[31] QS. Ar-Rahman : 43
[32] Lihat Tafsir Al-Qummy (1/84) di dalamnya disebutkan ayat palsu ini. Kitab milik Syi’ah-Rofidhoh.
[33] Lihat Asy-Syi’ah wa As-Sunnah (hal.79) karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir, cet. Idaroh Turjuman As-Sunnah,Lahore
[34] Lihat Al-Iqna’ fi masa’il Al-Ijma’ (1/39) karya Al-Hafizh Abul Hasan Ali Ibnul Qoththon Al-Fasi [628 H] Rahimahullah., Cet. Dar Al-Qolam dengan tahqiq Dr. Faruq Hamadah.
[35] Lihat Ta’liq Al-Iqna (1/39) oleh Dr Faruq Hamadah.
[36] Lihat Badzlul Majhud (1/275-277) Karya Al-Jumaily Hafizhohullah
[37]Sebagian penulis memandang bahwa aqidah ini menyelusup ke dalam aqidah Rofidhoh karena adanya pengaruh dan usaha yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagai bukti, Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi (perintis pertama agama Rofidhoh-Syi’ah) pura-pura masuk Islam. Aqidah disusupkan untuk melemahkan aqidah/keyakinan tentang Hari Akhir. Perlu diketahui bahwa Abdullah bin Saba’ ini pernah menyatakan akan kembalinya Nabi r -setelah beliau meninggal dunia- ke alam dunia, demikian pula Ali. (Lihat: Tarikh Ath-Thobary (4/340) sebagaimana dalam Mas’alah At-Taqrib baina Ahlis Sunnah wa Asy-Syi’ah (1/342) karya Dr.Nashir bin Abdullah Ali Al-Qofary Hafizhohullah , cet.Dar Thoyyibah.)
[38] Lihat Al-Iqozh min Al-Haj’ah fi Itsbat Roj’ah (hal.29) oleh Al-Hur Al-Amily. Dari judul kitab ini saja ia sudah menetapkan aqidah reinkarnasi tsb.
[39] Jika mereka menyebutkan imam, maksudnya adalah imam-imam yang berasal dari keturunan Nabi r . Tapi perlu diketahui bahwa para imam ahlul bait tersebut berlepas-diri dari mereka. Hanya merekalah yang membuat berita-berita dusta atas nama mereka.
[40] Lihat Kitab Ar-Roj’ah (hal.11) oleh Al-Ahsa’iy.
[41] Imamiyyah Itsna Asyariyyah: nama lain bagi Syi’ah alias Rofidhoh.
[42] Lihat Aqo’id Al-Imamiyyah Al-Itsna Asyariyyah (2/228) oleh Ibrahim Al-Musawy
[43] Lihat Aqo’id Al-Imamiyyah (hal. 118) oleh Muhammad Ridho Al-Muzhoffar.
[44] Lihat Badzlul Majhud (1/284) oleh Syaikh Al-Jumaily
[45] Lihat Awa’il Maqolat (hal.89) oleh Al-Mufid
[46] Lihat Al-Iqozh min Al-Haj’ah (hal.33-34) oleh Al-Hur Al-Amily.
[47] Lihat Al-Iqozh min Al-Haj’ah (hal.34)
[48] Lihat Aqo’id Imamiyyah (hal.119) oleh Muhammad Ridho Al-Muzhoffar Ar-Rofidhi
[49] Tapi secara ekstrim dan keterlaluan sampai mencela dan mengkafirkan para sahabat Nabi r .
[50] Lihat Hadyu Ats-Tsari Muqoddimah Fath Al-Bari (hal.459) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah
[51] QS.Al-Mu’minun : 99-100
[52] Lihat Mukhtashor At-Tuhfah Al-Itsna Al-Asyariyyah (hal.201) karya Al-Alusy Rahimahullah.
[53] Lihat Al-Muhalla (hal.24) karya Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhohiry -rahimahullah-.
[54] Bukti lain, ini bisa kita saksikan pada sebagian masyarakat kita masih mempertahankan ajaran kejawen, yang dulu dilakukan oleh nenek-moyang mereka yang beragama Budha dan Hindu. Mereka berat hati meninggalkannya, padahal bukan ajaran Islam karena kurang pahamnya mereka tentang makna Islam. Terkadang ajaran-ajaran itu sudah tergolong kufur dan ditegakkan dalil, toh mereka masih mangajarkannya. Inilah tabi’at buruk sebagian manusia.
[55] Menisbahkan istilah ro’yu alias ide bagi Allah merupakan perkara yang muhdats (baru dan bid’ah). Allah tidak memiliki sifat tersebut. Itu hanyalah sifat makhluk yang sesuai dengan kelemahannya.
[56] QS.Al-Baqoroh: 51
[57] Lihat Tafsir Al-’Iyasyi (1/44)
[58] Lihat Firoq Asy-Syi’ah (hal.84), cet. An-Najf
[59]Kalimat: Alaihissalam-menurut Ahlus Sunnah-merupakan do’a yang diungkapkan secara khusus untuk para nabi, bukan untuk yang lainnya!!! Namun orang-orang Syi’ah Rofidhoh menggunakannya untuk para imam mereka. Contohnya, mereka berkata, “Abu Ja’far –alaihis salam-”. Kenapa demikian?! Jawabnya, karena mereka menganggap para imamnya ma’shum sederajat dengan para nabi!! Bahkan menurut Khumainy dalam”Al-Hukumah Al-Islamiyyah ” bahwa para imam mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari para nabi dan malaikat. Maka para pembaca hendaknya waspada dan jangan menggunakan kalimat itu, kecuali untuk para Nabi.
[60] QS.Thoha : 52
[61] Lihat Asy-Syi’ah wa As-Sunnah (hal.54) karya Ihsan Ilahi Zhohir Rahimahullah.
[62] Baca bantahannya secara terperinci dalam Badzl Al-Majhud (1/324) karya Syaikh Al-Jumaily Hafizhohullah
[63] Ijma’ mereka tidak bisa dijadikan dalil di sisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena orang-orang Syi’ah –utamanya ulama mereka- adalah orang-orang fasiq. Kenapa ?? Sebab mereka adalah kaum yang pandai dan suka dusta dalam rangka mempertahankan aqidah mereka yang batil !! Oleh karena itu, sebagian ulama menyatakan bahwa “Kelompok sesat yang paling suka berdusta adalah orang-orang Rofidhoh”. Adapun kami disini membawakan ijma’ ulama’ mereka, hanya sekedar menjadikannya senjata makan tuan; dengan memukulbalikkan ijma’ mereka, demi membungkam mulut para pendusta diantara mereka, yang sering berkilah dengan taqiyyah (pura-pura alias dusta)!!!
[64] Lihat Tashhih Al-I’tiqod (hal.50) oleh Al-Mufid
[65] Lihat Badzl Al-Majhud (1/324)
[66] Ini sempat kami alami ketika masih kuliah di IKIP,Ujung Pandang tahun 1995 M. Para aktifis mahasiswa Syi’ah-Rofidhoh yang tergabung dalam HMI mengadakan Daurah “Syar’iyyah”. Di dalamnya mereka membahas materi yang mencela sahabat dan menuduh mereka telah merampas hak khilafah Ahlul Bait. Ini merupakan kedustaan yang nyata, semoga Allah menghentikan aktifitas mereka.
[67] HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 17) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 74).
[68] Lihat Ad-Dibaj (1/92) karya Imam As-Suyuthi, cet.Dar Ibnu Affan dengan tahqiq Abu Ishaq Al-Huwainy.
[69] HR.Al-Bukhory (3470), Muslim (2541) dan lainnya.
[70] Lihat Majmu’ Al-Fatawa (3/153) karya Syaikhul Islam.
[71] Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (1/162&169) karya Al-Lalika’iy rahimahullah, cet Dar Thoibah
[72] Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/173-175)
[73] Lihat Al-Farq bainal Firoq (hal.36)
[74] Tapi sebenarnya cinta mereka kepada Ahlul Bait adalah cinta palsu. Bayangkan mereka berkata bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan disiksa dalam neraka disebabkan beliau pernah menyetubuhi A’isyah, zainab, dan lainnya. Mana cinta mereka kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang ma’shum? Malah mereka menjunjung anak keturunan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai dianggap ma’shum & dijadikan tuhan sementara Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- direndahkan, dianggap tak ma’sum, dan akan disiksa di neraka, na’udzu billah !!
[75] Lihat Al-Kafi: Kitab Ar-Roudhoh (8/245) oleh Al-Kulainy
[76] Lihat Al-Kafi: Kitab Al-Iman wa Al-Kufr, Bab: fi Qillah Adad Al-Mu’minin (2/244) sebagaimana dalam Mas’alah At-Taqrib (1/363)
[77] Lihat Haqqul Yaqin (519) oleh Muhammad Baqir Al-Majlisy , sebagaimana dalam Badzlul Majhud (2/471-472)
[78] Andaikan bukan karena niat kami menulis risalah ini secara ringkas, niscaya kami akan menukil banyak riwayat yang menjelaskan kebencian dan dengki mereka terhadap para sahabat.
[79] Lihat Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah (hal.49) karya Al-Khotib Al-Baghdady Rahimahullah.
[80] Lihat Al-I’tiqodat: (Pasal tentang Taqiyyah ) oleh bin Babawaih , Cet. Iran tahun 1274 H sebagaimana dalam Asy-Syi’ah wa As-Sunnah (130) karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir –rahimahullah-
[81] Lihat Tafsir Al-Askari (hal.162), cet. Ja’fari Al-Hindi. Riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi r ini jelas merupakan riwayat dusta menurut ilmu hadits atau yah minimal dhoif jiddan (lemah sekali).
[82] Lihat Al-Kafi fi Al-Ushul : Bab Taqiyyah (2/220) oleh Al-Kulaini, cet.Iran. Maksudnya: Orang mukmin adalah orang Syi’ah-Rofidhoh.
[83] Lihat Al-Kafi (2/217) oleh Al-Kulaini
[84] Lihat Kasyful Gummah (hal.341) oleh Al-Ardibily
[85] Lihat Al-Kafi (2/219) oleh Al-Kulaini sebagaimana dalam Mas’alah At-Taqrib (1/331)
[86] Lihat Syarah Aqidah Ash-Shoduq (hal 261) oleh Al-Mufid. Kitab ini dirangkai dengan kitabnya yang lain “Awa’il Al-Maqolat”.
[87] Lihat Al-Kasykul (1/202) oleh Yusuf Al-Bahrani, cet. Maktabah Nainawi Al-Haditsah, Teheran.
[88] Lihat Kasyful Asrar (147) oleh Al-Khumaini.
[89] Nawashib artinya orang yang menunjukkan permusuhan kepada Ali dan Ahlul Bait. Adapun Ahlus Sunnah-diantaranya AbuHanifah- bukanlah Nawashib, bahkan merekalah orang-orang yang paling mencintai Ali dan keluarganya. Bukan seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Syi’ah-Rofidhoh. Semoga Allah mematahkan segala tipu-muslihat mereka !!
[90] Lihat Al-Kafi: Kitab Ar-Roudhoh (8/292) oleh Al-Kulaini, cet.Teheran.