Jumat, 26 Desember 2014

SEBAB-SEBAB MENDAPATKAN HIDAYAH


Sebab-sebab Mendapatkan Hidayah 
Ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا
إِنَّ السَّفِينَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ
“Engkau mendambakan hidayah namun tidak menempuh jalannya
sesungguhnya kapal itu tidak mungkin berlayar di atas samudra yang kering”

Cukup banyak jalan dan sebab meraih hidayah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Kita akan menyebutkannya semampu kita dengan taufik dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

1. Berpegang teguh dengan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)
Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “Berpegang teguh dengan (agama) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya merupakan pegangan dalam hidayah, bekal untuk menjauhi kesesatan, sarana menuju jalan petunjuk, jalan yang lurus, dan tercapainya cita-cita.” (Tafsir Ibnu Katsir)

2. Menaati dan mengikuti Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dengan menjalankan perintah beliau dan menjauhi larangannya, mengkaji dan mengamalkan sunnahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (an-Nur: 54)
“Tidak ada jalan bagi kita untuk meraih hidayah melainkan dengan cara menaati Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Tanpa itu maka tidak mungkin, bahkan mustahil,” tutur asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di Rahimahullah dalam Tafsir-nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“… Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (al-A’raf: 158)

3. Menelusuri jejak langkah salafush shalih dalam hal keilmuan dan berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ….” (al-Baqarah: 137)
Maksudnya, tidak ada jalan bagi ahli kitab untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan keimanan kepada apa yang diimani oleh para sahabat—kaum mukminin yang ada pada masa itu—yaitu keimanan kepada segenap nabi dan rasul, tidak membedakan di antara mereka, juga beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka. (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Ahli kitab tidak mungkin mendapatkan hidayah melainkan dengan mengikuti jejak langkah para sahabat dalam hal keimanan.
Meskipun ayat di atas berkenaan dengan ahli kitab, namun lafadznya umum mencakup siapa pun yang mendambakan hidayah. Yang teranggap adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab.
Maka dari itu, tidak ada jalan bagi siapa pun, untuk meraih hidayah melainkan dengan meniti jejak langkah salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

4. Mengikuti bimbingan para ulama As-Sunnah
Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini tentang seruan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada ayahnya.
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)
Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah dalam kitabnya Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama (hlm. 18) tatkala menyebutkan beberapa keutamaan ulama, mengatakan, “Termasuk keutamaan mereka adalah bahwa mengikuti mereka merupakan (sebab) hidayah kepada jalan yang lurus.” Beliau kemudian membawakan ayat di atas, juga surat al-An’am ayat 53. Beliau kemudian menegaskan, “Barang siapa yang mengikuti ulama maka dia telah mengikuti jalan yang lurus, sedangkan barang siapa yang menyelisihi ulama dan menyia-nyiakan hak mereka maka dia telah keluar menuju jalan setan dan berpisah dari jalan lurus yang ditelusuri oleh Rasul Shallallahu `alaihi wa sallam dan para pengikutnya ….”
Cermati pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ucapan orang yang beriman dari keluarga Fir’aun.
Orang yang beriman itu berkata, “Wahai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.” (Ghafir: 38)

5. Merenungkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-’Ankabut: 69)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita beberapa sebab mendapatkan hidayah, di antaranya:
a. Bersungguh-sungguh mengikuti jalan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b. Berjihad fi sabilillah melawan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan ketentuan syariat, mengharapkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
c. Berbuat baik dengan menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
d. Bersungguh-sungguh menimba ilmu syar’i.
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di Rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “(Ayat tersebut) juga menunjukkan bahwa orang yang bersemangat dan bersungguh-sungguh menimba ilmu syar’i, dia akan mendapatkan hidayah dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menggapai apa yang dicarinya. Pertolongan ini berbentuk petunjuk-petunjuk Ilahi yang di luar batas kesungguhan seseorang dan kemudahan-kemudahan menggapai ilmu. Karena, menimba ilmu syar’i termasuk jihad fi sabilillah, bahkan salah satu dari dua jenis jihad yang tidak dilakukan melainkan oleh orang-orang khusus, yaitu jihad dengan ucapan dan lisan melawan orang kafir dan munafik, jihad mengajarkan bimbingan agama, dan jihad dengan membantah orang-orang yang menyelisihi kebenaran meskipun dari kalangan muslimin.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang berjihad dalam ayat di atas adalah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, para sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.
Hidayah yang dimaksud dalam ayat ini meliputi hidayah al-irsyad dan hidayah at-taufiq, di dunia dan di akhirat. (Tafsir Ibnu Katsir)

Sumber:  

Kamis, 25 Desember 2014

Haramnya Turut Serta Merayakan Hari Raya Orang Kafir

http://forumsalafy.net/wp-content/uploads/2014/12/Pengingkaran-Salafush-Shaleh-Terhadap-Hari-Raya-Orang-Kafir.jpg 

Faidah dari Al Ustadz Qomar Su’aidy Lc حفظه الله

PENGINGKARAN SALAFUSH SHALEH TERHADAP HARI RAYA ORANG KAFIR

Umar Ibnul Khotthob berkata:

“Janganlah kalian masuk bersama musyrikin di gereja-gereja mereka pada hari raya mereka karena kemurkaan Allah turun terhadap mereka” [Sunan al Kubro karya al Baihaqi]
Beliau juga berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah dalam acara hari raya mereka.” [Ahkamu Ahli Dzimmah:3/1247]

Ibnul Qoyyim mengatakan:
Pasal: Hukum Menghadiri Hari Raya Ahlul Kitab.
Sebagaimana tidak boleh bagi ahlul kitab menampakkan hari raya (di negeri muslimin) maka tidak boleh pula bagi muslimin untuk membantu mereka dan atau menghadirinya bersama mereka dengan kesepakatan para ulama, yang mereka adalah ahlinya dalam hal ini.
Dan telah menegaskan demikian para ahli fikih dari para pengikut imam yang empat dalam kitab-kitab mereka.

Berkatalah Abul Aosim Hibatullah bin al Hasan bin Manshur  al Thobari ahli fiqih dalam madzhab asy Syafi’i :
Tidak boleh bagi muslimin untuk menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemungkaran dan kedustaan, dan bila orang-orang yang baik berbaur dengan orang-orang yang berbuat mungkar tanpa bentuk pengingkaran terhadap mereka maka mereka seperti orang-orang yang meridhoinya dan memiliki peran terhadapnya maka kami khawatir akan turunnya murka Allah terhadap perkumpulan mereka sehingga kemurkaan itu menimpa mereka semua. Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaanNya. [Ahkamu Ahli Azd Dzimmah:3/1245]

Beliau juga mengatakan:
“Adapun ucapan selamat dengan syi’ar-syiar kekafiran yang khusus, maka haram dengan kesepakatan (ulama), seperti memberikan ucapan selamat dengan hari raya mereka dan puasa mereka, semacam mengucapkan ‘Hari raya yang penuh berkah untukmu’ atau ‘Berbahagialah dengan hari raya ini’ dan sejenisnya. Hal ini bila pengucapnya selamat dari kekafiran maka ini tergolong dari hal yang terlarang, hal itu seperti memberikan ucapan selamat atas sujud mereka terhadap salib, bahkan hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih Allah benci dari pada memberi ucapan selamat karena minum khomer atau membunuh jiwa, zina dan semisalnya. Banyak dari orang yang tidak memiliki nilai agama terjatuh dalam perbuatan itu dan tidak mengetahui kejelekan apa yang mereka perbuat. Maka barangsiapa yang memberikan ucapan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, atau bidahnya atau kekafirannya berarti dia telah mendekat kepada kemurkaan Allah dan kemarahanNya. [Ahkamu ahli dzimmah :1/441]

Lebih dari itu seorang ulama besar dari mazhab Hanafi yaitu Abu Hafs al Busti mengatakan. “Barangsiapa yang memberikan hadiah pada hari tersebut –yakni hari rayanya orang kafir- sebutir telur kepada seorang musyrik sebagai pengagungan terhadap hari tersebut maka dia telah kafir terhadap Allah.”
Hukum dari ulama Hanafi ini akan jelas alasannya bila anda membaca keteranga Ibnul Qoyyim di atas.

Sumber :
http://forumsalafy.net/?p=9050

Jumat, 19 Desember 2014

Ketika Ghuluw Melanda Kehidupan

Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc


Apa Itu Ghuluw?

Ghuluw, dalam bahasa Arab bermakna: berlebih, naik, dan melampaui batas. (Al-Mu’jamul Wasith, 2/232. Lihat pula Ash-Shihah, 2/24, dan Lisanul Arab, 15/131)
Dalam terminologi syariat, ghuluw bermakna berlebih-lebihan dalam suatu perkara dan bersikap ekstrem padanya dengan melampaui batas yang telah disyariatkan. (Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t, 13/291 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, 1/479)1
Ghuluw secara umum terbagi menjadi dua macam: ghuluw dalam hal aqidah (keyakinan) dan ghuluw dalam hal amalan. (Lihat Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, 1/253)
Rinciannya sangat banyak. Di antaranya ghuluw dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, adat (kebiasaan), suluk (budi pekerti)2, ghuluw terhadap sosok tertentu, terhadap pepohonan, bebatuan, tempat-tempat (yang dikeramatkan), kubur-kubur, dan lain sebagainya. (Lihat Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, 1/234, I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, 1/480, Al-Qaulus Sadid fi Maqashidit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t dan Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah, 1/734)
Adapun ijtihad yang bermakna bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kebenaran, tidak termasuk dari ghuluw.3 Kecuali jika maksud dari ijtihad tersebut adalah berbanyak-banyakan dalam ketaatan di luar batas yang telah disyariatkan, maka bisa termasuk ke dalam ghuluw.” (Al-Qaulul Mufid Ala Kitabit Tauhid, 1/244)

Ghuluw Dalam Kehidupan Umat Manusia
Sejak dahulu kala, ghuluw telah menjadi bagian dari realita kehidupan umat manusia. Keberadaannya, menjadikan umat tersebut tercoreng sebagai umat yang melampaui batas. Lebih dari itu, ghuluw merupakan sumber petaka dan penyebab kebinasaan dari masa ke masa. Tidaklah ia bercokol pada suatu umat melainkan kehancuranlah bagi umat tersebut. Binasa agamanya karena terjatuh dalam kekafiran, kesyirikan, atau kebid’ahan4 dan juga binasa dunianya. Bahkan menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, munculnya kelompok-kelompok sesat dalam kehidupan umat beragama, tak luput dari peran besar ghuluw tersebut.

Tak heran, jika setan menjadikannya sebagai senjata ampuh untuk menyesatkan umat manusia. Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Tidaklah ada suatu perkara yang Allah subhanahu wata’ala, perintahkan (kepada umat manusia, pen.) melainkan setan menebarkan dua jaring jeratnya: meremehkan dalam menjalankan perintah tersebut (tafrith & idha’ah) dan berlebih-lebihan padanya (ifrath & ghuluw). Padahal agama yang Allah subhanahu wata’ala, turunkan (kepada umat manusia) adalah agama pertengahan. Ia berada di antara orang-orang yang bermudah-mudahan dalam menjalankannya dan orang-orang yang berlebih-lebihan padanya. Ibarat satu lembah di antara dua gunung, satu petunjuk di antara dua kesesatan, dan satu poros di antara dua kutub yang tercela. Sebagaimana orang-orang yang bermudah-mudahan (dalam menjalankannya) termasuk menyia-nyiakan agama, demikian pula orang-orang yang berlebih-lebihan. Jenis pertama karena sikap bermudah-mudahannya, sedangkan jenis kedua karena sikap berlebihannya (melampaui batas) dari apa yang telah disyariatkan.” (Madarijus Salikin, 2/496)

Dalam kalam ilahi, Allah l memperingatkan umat manusia dari perbuatan ghuluw dengan segala bentuknya. Allah l berfirman:

“Wahai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’: 171)

“Katakanlah: ‘Hai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (Al-Ma’idah: 77)

Dalam mutiara kenabian pun terdapat peringatan keras dari perbuatan ghuluw tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
“Hati-hatilah kalian dari perbuatan ghuluw dalam menjalankan agama ini, sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian disebabkan ghuluw dalam menjalankan agama.” (HR. An-Nasa’i 2/49, Ibnu Majah 2/242, Ibnu Khuzaimah 1/282/2, Ibnu Hibban no. 1011, Al-Hakim 1/466, Al-Baihaqi 5/127, dan Ahmad 1/215, 347, dari sahabat Abdullah bin Abbas c. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1283)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata: “Ini merupakan larangan dari segala bentuk ghuluw. Sungguh ia penyebab kebinasaan umat sebelum kita, binasa dari sisi agama dan juga dari sisi dunia. Demikian pula, ia adalah sumber petaka. Adapun sikap pertengahan merupakan pangkal keberhasilan dan kebaikan. Ghuluw dengan segala bentuknya dilarang, baik dalam perkataan maupun perbuatan; yakni perkataan hati dan perbuatannya, juga perkataan lisan serta perbuatan anggota tubuh. Bahkan ia adalah sumber petaka seorang hamba, baik pada agama maupun dunianya.” (At-Tamhid Lisyarhi Kitabit Tauhid, 1/345)

Ibrah Di Balik Realita Ghuluw
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah l, bila menelisik sejarah niscaya akan dijumpai aneka ragam ghuluw dengan bobot dan kadarnya yang berbeda-beda. Mengingat suatu sejarah akan terus berulang walaupun dengan pelaku yang berbeda, maka penting bagi kita untuk mengetahui fakta tersebut serta mengambil ibrah (pelajaran berharga) darinya. Agar kita berhati-hati dalam menjalankan agama Islam yang lurus ini dan tidak terperangkap dalam jaring jerat ghuluw yang membinasakan. Di antara fenomena ghuluw yang layak dikaji dan penting untuk dijadikan bahan refleksi adalah:

1. Kasus Ghuluw Pada Kaum Nabi Nuh alaihissalam
Kaum Nabi Nuh q terjerat perkara ghuluw terhadap orang-orang shalih yang bernama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Sahabat Abdullah bin Abbas c ketika menafsirkan firman Allah l:
“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh: 23)
mengatakan: “Mereka (Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, pen.) adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh q. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaum Nabi Nuh q agar membuat patung-patung (berbentuk orang-orang shalih tersebut) di mana mereka biasa duduk beribadah. Kemudian setan pun memerintahkan mereka agar menamai patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kaum Nabi Nuh q pun mengikuti perintah setan, namun (ketika itu) belum disembah. Tatkala generasi pembuat patung tersebut meninggal dunia, sementara ilmu agama telah sirna, maka dijadikanlah patung orang-orang shalih tersebut sesembahan selain Allah l.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 4920)
Al-Imam Ibnul Qayyim t menyebutkan versi lain bahwa ketika mereka meninggal dunia, para pengikutnya pun beri’tikaf (berdiam diri untuk beribadah) di sisi kubur mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung monumen berbentuk patung orang-orang shalih tersebut. Setelah berlalu masa, disembahlah patung-patung tersebut.” (Ighatsatul Lahafan, 1/184)

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala.
ghuluw terhadap orang shalih, benar-benar telah mengotori lembaran sejarah umat manusia dari masa ke masa. Diawali dengan beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, di sisi kubur mereka. Kemudian membuat patung-patung monumen berbentuk orang-orang shalih tersebut dan dinamai dengan nama-nama mereka. Hingga akhirnya diibadahi dan disembah, sebagai sekutu bagi Allah subhanahu wata’ala,. Sehingga tidaklah berlebihan jika Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t menyebutkan dalam Kitabut Tauhid sebuah bab ‘Bahwasanya Sebab Kekafiran Bani Adam dan Ditinggalkannya Agama Mereka Adalah Ghuluw Terhadap Orang-orang Shalih.’

Ghuluw inilah yang menjadikan Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah putra Allah subhanahu wata’ala,, berhak disembah dan diibadahi. Demikian pula Nasrani berkeyakinan bahwa Nabi Isa q adalah putra Allah subhanahu wata’ala, berhak disembah dan diibadahi. Allah subhanahu wata’ala, berfirman:
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (At-Taubah: 30)

Sebagaimana pula menyeret mereka untuk memosisikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb (tuhan) selain Allah subhanahu wata’ala,. Allah subhanahu wata’ala, berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)

Ghuluw terhadap orang shalih yang mengantarkan kaum Nabi Nuh dan umat terdahulu kepada kesyirikan tersebut, ternyata juga menimpa umat Muhammad. Padahal tiada henti-hentinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperingatkannya.
Dalam momentum hajjatul wada’ (haji terakhir), beliau memperingatkan umat dari perbuatan ghuluw (secara umum) dan menyampaikan bahwa ia penyebab kebinasaan umat terdahulu. Sebagaimana dalam riwayat Abdullah bin Abbas yang telah lalu.
Lima hari sebelum meninggal dunia, secara khusus Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang umat dari perbuatan ghuluw terhadap orang-orang shalih. Sebagaimana dalam sabda beliau : 

“Ingatlah, sesungguhnya umat terdahulu seringkali menjadikan kubur orang-orang shalih sebagai masjid (tempat ibadah). Ingatlah, jangan kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid (tempat ibadah). Sungguh aku melarang kalian dari yang demikian itu.” (HR. Muslim no. 532, dari sahabat Jundub bin Abdillah)

Bahkan pada detik-detik terakhir menjelang wafatnya, dengan tegas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah).”
Ummul Mukminin Aisyah x berkata: ”Beliau memperingatkan umat dari perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Kalau bukan karena khawatir kubur beliau n dijadikan tempat ibadah, niscaya kubur beliau ditampakkan (dikubur di pekuburan umum [Baqi’], pen.).” (HR. Al-Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 531, dari Ummul Mukminin Aisyah radiallahu anha)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : 
“Nampaknya beliau telah merasakan dekatnya ajal, sehingga mengkhawatirkan bila kuburnya diagungkan sebagaimana yang terjadi pada umat terdahulu. Maka laknat beliau terhadap Yahudi dan Nasrani tersebut sebagai isyarat tercelanya orang-orang yang melakukan perbuatan ghuluw terhadap orang shalih (dari umat ini).” (Fathul Bari, 1/634)5

Tahukah anda, siapakah biang keladi atas terjadinya kesyirikan dan peribadatan terhadap kubur pada umat ini? Biang keladinya adalah kelompok sesat Syi’ah Rafidhah. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Kitabut Tauhid berkata : 
“Dengan sebab kelompok sesat Syi’ah Rafidhah lah, kesyirikan dan peribadatan terhadap kubur terjadi. Merekalah orang-orang yang pertama kali membangun tempat ibadah di atas kubur.”

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim (1/41) menegaskan bahwa Syi’ah Rafidhah lah yang banyak merusak negeri-negeri muslimin dengan membangun/menfasilitasi tempat-tempat ibadah (masyahid) dan kubah-kubah di atas kubur, pengeramatan terhadap kubur dan penghuninya, serta penyebaran bid’ah (hal-hal baru dalam agama yang tidak ada tuntunannya).

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala,, 

Ghuluw terhadap orang shalih baik ia seorang nabi, rasul, wali, ataupun selainnya dari orang-orang yang dikenal keshalihannya merupakan sebab terkuat binasanya suatu umat dari masa ke masa. Karena memang fitrah manusia secara umum condong untuk mencintai dan mengagungkan orang-orang shalih. Ditambah lagi adanya bisikan setan bahwa itulah hakikat kecintaan, pengagungan, dan pemberian hak kemuliaan kepada mereka.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh berkata: 

“Sesungguhnya ghuluw terhadap orang shalih merupakan akar kesyirikan dari masa ke masa.7 Mengingat menyekutukan Allah subhanahu wata’ala, dengan orang shalih tersebut mudah diterima oleh jiwa, maka setan pun menampakkannya sebagai bentuk kecintaan dan pengagungan terhadap orang shalih (dan bukan bagian dari kesyirikan, pen.).” (Taisir Al-Azizil Hamid, hal. 305)

Maka dari itu, ketika ghuluw terhadap orang shalih tersebut membelenggu suatu umat atau pribadi tertentu, sangatlah sulit bagi mereka untuk bisa lepas darinya. Tengoklah kaum Nabi Nuh  di atas. Hidup mereka berkisar dari satu bentuk ghuluw kepada bentuk ghuluw berikutnya. Hingga pada puncaknya terjerumus ke dalam kesyirikan. Tatkala datang kepada mereka Nabi Nuh q menyampaikan peringatannya selama ratusan tahun, dan dilakukannya siang malam, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Sama sekali mereka tak bergeming dari kesesatannya. Bahkan mereka memusuhi Nabi Nuh karenanya, dan saling berwasiat sesama mereka dengan wasiat batil: 

“Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”

Semakin mengherankan manakala peribadatan kepada Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr secara estafet dilanjutkan oleh bangsa Arab. Wadd diibadahi oleh kabilah Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ diibadahi oleh kabilah Hudzail, Yaghuts diibadahi oleh kabilah Murad kemudian bani Ghuthaif di Jauf Saba’, Ya’uq diibadahi oleh kabilah Hamdan, dan Nasr oleh Alu Dzul Kila’ dari kabilah Himyar. (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 4920, dari sahabat Abdullah bin Abbas c)
Tak beda jauh kiranya dengan keadaan para pemuja kubur dan pengultus sosok panutan dari umat ini.8 Tatkala datang kepada mereka penyampai kebenaran dan tauhid, mereka pun memusuhinya. Bahkan tak jarang laqab (julukan) buruk pun disematkan kepada penyampai kebenaran dan tauhid tersebut. Semoga Allah subhanahu wata’ala, menjauhkan kita dari segala jenis ghuluw, terkhusus ghuluw terhadap orang-orang shalih yang membinasakan umat manusia dari masa ke masa. Wallahul musta’an.

2. Kasus Ghuluw Kaum Khawarij
Kaum Khawarij adalah kelompok sesat dalam agama ini.9 Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, tidaklah kaum Khawarij itu tersesat melainkan karena perbuatan ghuluw dalam menjalankan agama ini.10 Apalagi tak hanya satu jenis ghuluw yang membelenggu mereka. Cukuplah sejarah menjadi saksi atas itu semua.
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh berkata: “Mereka berbuat ghuluw dalam hal aqidah, di mana telah tersesat (dari jalan kebenaran, pen.), mengafirkan (orang-orang yang tidak berhak dikafirkan, pen.), dan meninggalkan manhaj para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Mereka juga ghuluw dalam hal berbanyak-banyakan ibadah, sampai-sampai seseorang dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam merasa bahwa shalat dan shiyam (puasa)nya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan shiyam mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam.11 Sebagaimana pula ghuluw mereka dalam hal jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan klaim jihad, mereka memerangi orang-orang yang secara syar’i tidak berhak –bahkan haram– untuk diperangi. Hingga pada klimaksnya, mereka memerangi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, manusia-manusia pilihan Allah subhanahu wata’ala,. Mereka bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l dengan membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib z, sahabat termulia di masa itu. Bahkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin bin Affan z juga bagian dari ulah orang-orang Khawarij tersebut.” (Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1/734)
Kaum Khawarij amat berlebihan (ghuluw) dalam memegang prinsip keyakinannya (aqidah) yang dibangun di atas akal dan hawa nafsu. Mereka campakkan manhaj (metode pemahaman) para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mulia dalam memahami agama ini. Sehingga jauhlah mereka dari ilmu yang bersumber dari cahaya kenabian. Akibatnya, mereka kafirkan orang-orang yang tidak berhak –bahkan diharamkan– untuk dikafirkan. Mereka perangi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, manusia-manusia pilihan Allah subhanahu wata’ala,, dengan klaim jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wata’ala, dengan membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib z, sahabat termulia di masa itu. Termasuk pula pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin bin Affan z.

Dengan tegasnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperingatkan umat dari mereka: 

لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi mereka seperti memerangi kaum ‘Aad (yakni; hingga tidak tersisa sedikitpun, pen.).” (HR. Muslim no. 1064, dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri )

Padahal mereka adalah ahli ibadah, ahli baca Al-Qur’an, ahli shalat dan puasa, serta wara’ terhadap dunia. Bukan para preman pasar ataupun para koruptor yang gila dunia.
Subhanallah…luar biasa fakta sejarah yang memaparkan perjalanan kaum Khawarij tersebut. Mereka mengafirkan kaum muslimin bahkan manusia-manusia pilihan Allah subhanahu wata’ala,, karena perasaan takutnya yang berlebihan terhadap dosa besar. Mereka memerangi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib dan juga Khalifah Utsman bin Affan c, dengan keyakinan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Padahal mereka adalah ahli ibadah, ahli baca Al-Qur’an, ahli shalat dan puasa, serta wara’ terhadap dunia. Namun ternyata, kesudahannya adalah petaka dan binasa. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ber-’azam (berkemauan kuat) untuk menghabisi mereka, jika Allah subhanahu wata’ala, pertemukan dengan mereka.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala,, dari sini dapatlah diambil ibrah (pelajaran berharga) bahwa ghuluw dalam agama ini benar-benar sumber petaka dan penyebab kebinasaan, walaupun disertai niat yang baik, amalan yang banyak, dan wara’ terhadap dunia sekalipun. Maka dari itu, Allah l peringatkan Rasul-Nya n dan orang-orang beriman yang bersamanya dari perbuatan ghuluw tersebut. Allah subhanahu wata’ala, berfirman:

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia (Allah subhanahu wata’ala,) Maha melihat apa yang kalian kerjakan.” (Hud: 112)

Berikutnya, betapa besar peran ilmu agama yang diwariskan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam kehidupan ini. Tengoklah kembali sejarah kaum Khawarij, manakala mereka campakkan manhaj (metode pemahaman) para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mulia dalam memahami agama ini, tersesatlah mereka dari kebenaran dan terjerumus dalam kesesatan demi kesesatan. Allah subhanahu wata’ala, berfirman:

“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)

Menurut Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi t –menukil perkataan para ulama– bahwa yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi pertama dari umat ini. (Lihat Al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 36)

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t berkata: “Dari sini banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini. Karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi pertama dari umat ini, pen.) dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, hingga akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Hal itu disebabkan kebodohan mereka (kaum Khawarij) tentang agama Islam, meskipun mereka memiliki wara’, ibadah, dan kesungguhan. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi petaka bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala,, dengan demikian betapa bahayanya orang-orang yang mengikuti jejak kaum Khawarij. Orang-orang yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsunya tanpa merujuk kepada pemahaman para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Orang-orang yang bermudah-mudahan mengafirkan pemerintah kaum muslimin, bahkan semua orang yang di luar kelompoknya. Memerangi penguasa muslim, dengan memberontak terhadapnya atau menggoyangnya dengan demonstrasi, agitasi, dan penyebaran berbagai opini buruk, baik berkaitan dengan ekonomi, keamanan, maupun yang lainnya. Orang-orang yang berbanyak-banyakan ibadah dengan melampaui batas yang telah disyariatkan. Semua ini merupakan sumber petaka dan penyebab kebinasaan dari masa ke masa.

Akhir kata, demikianlah paparan tentang beberapa realita ghuluw yang melanda kehidupan umat manusia dari masa ke masa. Semoga bermanfaat bagi kita semua dan menjadi embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Terkhusus orang-orang yang sedang terperangkap dalam jaring jerat ghuluw yang membinasakan.
Amin, ya Rabbal ‘Alamin…
 
1 Sikap berlebih-lebihan atau melampaui batas ini diistilahkan juga dengan ifrath atau tanaththu’. (Lihat Al-Ghuluw, karya Ali bin Abdul Aziz bin Ali Asy-Syibl hal. 22, dan Al-Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid, 1/244)
2 Di antara contohnya adalah berwudhu ketika mengucapkan perkataan yang haram/kotor. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t, 2/334)
3 Demikian pula berpegang teguh dengan agama Islam sesuai apa yang disyariatkan Allah subhanahu wata’ala, dan Rasul-Nya n, serta istiqamah di atasnya dalam segenap sendi kehidupan, tidaklah termasuk dari ghuluw. (Lihat Al-Ghuluw hal. 23)
4 Lihat Syarah Shahih Muslim juz 16, Kitabul ‘Ilmi.
5 Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memberikan beberapa kaidah penting dalam menyikapi kubur dan penghuninya. Di antaranya:
a. Tidak boleh ghuluw terhadap para wali dan orang shalih.
b. Tidak boleh mendirikan bangunan, terlebih tempat ibadah (masyahid) di atas kubur.
c. Tidak boleh shalat/ibadah di sisi kubur atau menghadap kubur. (Diringkas dari Kitabut Tauhid, hal. 38-39)
6 Masalah ke-11 dari bab ‘Larangan Keras Bagi Seorang yang Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, di Sisi Kubur Orang Shalih.’
7 Bahkan ia adalah akar kesyirikan yang pertama kali di muka bumi ini. (Lihat Ighatsatul Lahafan, juz 1 hal. 183)
8 Termasuk ghuluw terhadap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Seperti apa yang ditorehkan Al-Bushiri dalam qasidah Burdahnya:
Wahai makhluk termulia, tiada tempat berlindung bagiku, manakala datang problem pelik selain engkau
Jika di hari kiamat engkau tak mengambil tanganku (menyelamatkanku), niscaya aku akan tergelincir (ke dalam api neraka)
Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah (adanya) dunia dan akhirat, dan di antara ilmumu adalah ilmu yang di Lauhul Mahfuzh dan dicatat oleh pena taqdir.  (Lihat I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 1 hal. 500)
Pada bait ke-1 terdapat penyejajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan Allah subhanahu wata’ala, dalam hal uluhiyyah (yakni sebagai tempat berlindung dan meminta pertolongan), bahkan ia melupakan Allah subhanahu wata’ala,. Pada bait ke-2 dan awal dari bait ke-3 terdapat penyejajaran beliau n dengan Allah subhanahu wata’ala, dalam hal rububiyyah, di mana diyakini bahwa yang menyelamatkan dari azab api neraka adalah Nabi n, kemudian adanya dunia dan akhirat ini karena kedermawanan Nabi n. Pada bagian akhir dari bait ke-3 terdapat penyejajaran beliau n dengan Allah subhanahu wata’ala, dalam hal asma wa shifat, di mana ia sandangkan keluasan ilmu yang meliputi segala sesuatu kepada Nabi n. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah Al-Hafizh Abdil Ghani Al-Maqdisi, hal. 371 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 1 hal. 500)
9 Untuk mengetahui lebih rinci siapa Khawarij, lihat Majalah Asy Syari’ah, no. 04/1/Syawwal 1424 H/Desember 2003.
10 Lihat I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 2 hal.3.
11 Lihat Shahih Muslim juz 2 hal. 744 dan 748.

Sumber :

Mari Menuntut Ilmu…!!!

Disusun Oleh : Ustadz Muhammad Rifqi


Para pembaca rahimakumullah
Mengingatkan kembali tentang pentingnya ilmu syar’i bagi kehidupan seorang muslim. Bahkan kebutuhan seorang muslim terhadap ilmu agama Islam melebihi kebutuhan dia terhadap makanan dan minuman. Namun sangat disayangkan sebagian kaum muslimin sudah kurang peduli dengan amalan yang mulia ini yaitu mempelajari ilmu syar’i. Hal ini terjadi, di antaranya disebabkan kesalahan dalam memahami makna ilmu yang disebutkan dalam hadits nabi. Sebagian memahami bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari adalah bersifat umum baik ilmu agama maupun ilmu umum. Padahal tidak demikian, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. 
Para pembaca rahimakumullah. 
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: 
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224)

Yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu syar’i yaitu ilmu tentang agama Islam yang mencakup perkara akidah, ibadah, akhlak dan berbagai sendi agama yang lainnya. Bukanlah yang dimaksud adalah ilmu yang berkaitan dengan dunia seperti teknik, kedokteran, ekonomi, matematika, informatika dan lain sebagainya.
Kedudukan Ilmu Syar’i Allah berfirman: 
“Dan tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi sebagian dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan untuk kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122) Dalam ayat ini Allah menjadikan amalan menuntut ilmu sama tingkatannya dengan amalan jihad di jalan Allah dan bahkan lebih utama dari jihad. Dikarenakan seorang tidak akan bisa menegakkan jihad, shalat, zakat, puasa, haji, umroh, dan ibadah-ibadah yang lainnya secara benar kecuali dengan ilmu. Maka ilmu merupakan pokok segala sesuatu, oleh karena itulah Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan maka Allah akan fahamkan ia tentang agama.” (HR. al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1719)(Syarh Riyadhus Shalihin lil ‘Utsaimin juz 2, hlm. 1470) Keutamaan Ilmu Syar’i Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits nabi serta ucapan para salaf banyak sekali yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu syar’i. Dan pembahasan mengenai keutamaan ilmu syar’i juga mencakup keutamaan orang-orang yang berilmu. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan tentang keutamaan ilmu syar’i: 1. Ilmu merupakan warisan para nabi. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan harta benda kepada umatnya, namun mereka mewariskan ilmu. Rasulullah bersabda: إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambil ilmu tersebut berarti ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR. Abu Dawud no. 3641, at-Tirmidzi no. 2683 dan Ibnu Majah no. 223) 2. Ilmu merupakan amalan yang paling utama Datang seorang laki-laki kepada Abdullah bin Mas’ud dan berkata, “Wahai Abu ‘Abdirrahman, amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian laki-laki tersebut kembali bertanya, “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu”. Laki-laki tersebut berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amalan apakah yang paling utama namun engkau menjawab ilmu”. Maka Abdullah bin Mas’ud berkata, “Celaka kamu, sesungguhnya berilmu tentang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengan sedikit dan banyaknya amal, sedangkan kebodohan tentang Allah maka tidak akan memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sedikit dan banyaknya amal.” (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Bathal juz 1, hlm. 133) 3. Ilmu merupakan amalan yang pahalanya terus mengalir kepada pemiliknya walaupun telah meninggal dunia. Rasulullah bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Apabila seseorang meninggal dunia maka akan terputus darinya amalannya kecuali 3 perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 4843) 4. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu di dunia dan akhirat. Di akhirat, Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu sesuai dengan besarnya amalan dan dakwah yang dilakukannya. Demikian pula di dunia, Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan besarnya amalan dan dakwah yang dilakukannya. Berdasarkan firman Allah : “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadalah: 11) Zaid bin Aslam menafsirkan firman Allah dalam QS. Yusuf ayat 76: “Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki,” yaitu (diangkat) dengan ilmu. (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Bathal juz 1, hlm. 133) 5. Rasulullah tidaklah membolehkan seseorang untuk iri atas kenikmatan yang Allah berikan kepada seorang hamba kecuali kepada 2 golongan yaitu orang berilmu yang mengamalkan ilmunya dan orang kaya yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Rasulullah bersabda: لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا “Tidak boleh iri kecuali kepada 2 golongan: orang yang diberikan nikmat oleh Allah berupa harta yang kemudian dibelanjakan di jalan kebenaran dan orang yang diberikan nikmat oleh Allah berupa ilmu yang kemudian diamalkan dan diajarkan kepada yang lainnya.” (HR. al-Bukhari no. 71) 6. Ilmu merupakan cahaya yang akan menerangi kehidupan seorang hamba. Dengan ilmu yang dimiliki oleh seorang hamba, dia akan mengetahui tentang tata cara beribadah kepada Rabbnya, bermuamalah dengan sesama manusia dan sebagainya. Sehingga ia pun menjalani kehidupannya di atas ilmu. (Syarh al-Ushul as-Sittah hlm. 166) 7. Orang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah. Allah berfirman: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28) 8. Orang yang berilmu adalah orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Rasulullah bersabda: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan maka Allah akan fahamkan ia tentang agama.” (HR. al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1719) 9. Orang yang menuntut ilmu akan dipermudah jalannya menuju surga Rasulullah bersabda: مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 4867) 10. Penduduk langit dan penduduk bumi serta hewan air akan memintakan ampunan kepada orang-orang yang berilmu. Rasulullah bersabda: وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِي المَاءِ “Dan sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampunan baginya oleh para penduduk langit dan penduduk bumi bahkan hewan yang hidup di air.” (HR. at-Tirmidzi no. 2606 dan Abu Dawud no. 3157) 11. Orang yang berilmu adalah ibarat cahaya yang akan membimbing manusia dalam berbagai urusan agama dan dunianya. Rasulullah bersabda, “Dahulu di zaman orang-orang sebelum kalian tersebutlah seorang yang telah membunuh 99 orang. (Dia pun bermaksud ingin bertaubat) kemudian menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim. Ditunjukkanlah kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia mendatangi ahli ibadah tersebut dan menceritakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, masih adakah pintu taubat baginya?. Maka dijawab oleh ahli ibadah tersebut, “Tidak ada taubat.” Maka dibunuhlah ahli ibadah tersebut sehingga genap menjadi 100 orang yang telah dia bunuh. Setelah itu dia kembali menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim (ingin bertaubat lagi). Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang berilmu. Kemudian dia menceritakan kepadanya bahwa dia telah membunuh 100 orang. Masih adakah pintu taubat baginya?. Maka dijawab oleh orang yang berilmu, 
“Ya, masih ada kesempatan bertaubat dan siapakah yang menghalangi antaramu dengan taubat?! Pergilah engkau menuju negeri ini dan ini. Karena para penduduknya adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah saja maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Dan janganlah engkau kembali ke negerimu karena sesungguhnya negerimu adalah negeri yang jelek”. 
Maka pergilah orang tersebut menuju negeri yang baik hingga ketika baru sampai setengah perjalanan datanglah malaikat maut menjemput ajalnya. Sehingga malaikat rahmat dan malaikat adzab pun berdebat. Malaikat rahmat berkata, “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Adapun malaikat adzab berkata, “Dia belum pernah beramal kebaikan sedikitpun”. Kemudian Allah mengutus seorang malaikat dalam rupa manusia sebagai hakim bagi keduanya, seraya berkata, “Ukurlah jarak antara kedua negeri tersebut, jarak manakah yang terdekat maka dialah yang berhak mengambilnya”. Maka diukurlah jaraknya dan ternyata dia lebih dekat kepada negeri yang dia tuju (negeri yang baik). Sehingga malaikat rahmat pun yang berhak mengambilnya.” (HR. Muslim no. 4967) 
Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber :
http://buletin-alilmu.net/

Rebo Wekasan, Bukan Bagian dari Syari’at yang Dituntunkan


Ditulis oleh Abu ‘Abdillah.
Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan. Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun 1436 H ini bertepatan dengan hari Rabu tanggal 17 Desember 2014). Di sebagian daerah, hari ini juga dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.

Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’(shalat sunnah untuk menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali (dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”

Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.

Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah[1] bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.

Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyari’atkannya’ ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam madzhab yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama yang murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).

Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.

Sumber : 

Kamis, 18 Desember 2014

ISIS, Al-Qaedah, dan Berbagai Aliran Khawarij Lainnya Bahaya Laten terhadap ISLAM dan UMAT ISLAM

Penulis: Ustadz Abu Amr Alfian hafidzahullah
 
IMG-20141030-WA0000 

           Baru-baru ini, orang-orang  Khawarij (baca: teroris) di Iraq, membuat “kejutan” baru lagi, dengan mendeklarasikan apa yang mereka sebut dengan “Khilafah Islamiyyah” sebagai ganti dari ad-Daulah al-Islamiyyah fi al-Iraq wa asy-Syam (DAIS) atau Islamic State in Iraq and Syam (ISIS). “Khilafah Islamiyyah” merupakan sebuah nama yang benar-benar mengundang simpati kaum muslimin secara luas. Membuat banyak pihak terkecoh dan terpesona, bahkan tertipu dengannya. Sehingga tidak jarang dari mereka (kaum muslimin) yang turut mengelu-elukan, dan menganggap bahwa “asy-Syaikh Abu Bakar al-Baghdadi al-Husaini” yang dibai’at dan dinobatkan sebagai khalifah tersebut, benar-benar sebagai seorang Khalifah Islam. Tanpa meneliti lebih jauh apa hakekat sebenarnya “Daulah Islamiyyah” atau pun “Khilafah Islamiyyah” itu, yang didirikan tidak lain oleh orang-orang khawarij.
          Deklarasi heboh, dengan tampilan nama baru “Khilafah Islamiyyah” sebenarnya tidak mengubah hakekat DAIS atau ISIS tersebut. Tetaplah mereka sebagai salah satu kelompok yang berpaham Khawarij dan radikal. Belum apa-apa,  sudah ada pernyataan dari pihak ISIS, bahwa mereka bersumpah akan menghancurkan Ka’bah jika berhasil menguasai Arab Saudi!! Mereka menyatakan Ka’bah menyebabkan seseorang “menyembah batu selain Allah”. Lahaula wala Quwwata illa billah!
          Sebenarnya orang-orang khawarij yang selama ini menyerukan “jihad” di Iraq dan di Syam itu terpecah belah dalam banyak kelompok/partai/pergerakan, dan terjadi persaingan antar mereka. Tentu saja kita tahu, siapa dan bagaimana sepak terjang Khawarij selama ini. Iya, tidak lain mereka adalah kelompok-kelompok teroris, yang selama ini banyak merugikan dan memberikan citra yang buruk terhadap Islam dan kaum muslimin, akibat berbagai tindakan dan aksi mereka yang ternyata tidak selaras dengan Syari’at Islam. Jadi, sebenarnya kelompok Khawarij –dengan berbagai macam pecahan dan variasinya– adalah kelompok sempalan dan sesat dari Islam. Satu sama lain tidak pernah akur, bahkan saling menjatuhkan. Maka jangan heran kalau al-Qaedah misalnya, tidak setuju dengan ISIS. Padahal sebenarnya dari sisi paham dan ideologi mereka sama dan se-ide.
          Sementara itu, di sisi lain, kalangan Islamphobia, baik dari kalangan Islam Liberal, Sekuler, atau pun lainnya, menunjukkan sikap anti dan kebenciannya dengan “Daulah Islamiyyah” yang baru diproklamirkan tersebut. Momen ini benar-benar mereka jadikan kesempatan untuk menghantam kaum muslimin dan menjatuhkan nama baik Islam.
          Alhamdulillah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah pihak yang paling tenang dalam menghadapi berbagai fitnah dan kemelut yang terjadi. Mereka tidak gampang tertipu dan “terseret arus”. Karena Ahlus Sunnah memiliki pedoman yang jelas dalam menyikapi berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan kontemporer kekinian. Para Ulama Ahlus Sunnah senantiasa tegar tampil dalam tataran International, memberikan bimbingan kepada kaum muslimin.

Kemunculan ISIS hanyalah barang lama dalam kemasan baru
          Sebelum populernya nama ISIS, lebih dahulu kita mendengar nama jaringan “al-Qaedah” pimpinan Usamah bin Laden, yang kemudian dilanjutkan oleh Aiman azh-Zhawahiri. Juga gerakan “Jabhatun Nushrah” (Front Pembelaan), dan berbagai gerakan lainnya yang sebenarnya mereka sama, yakni sama-sama berideologi dan berprinsip dengan prinsip Khawarij.
          Di antara berbagai gerakan radikal yang mempunyai pemikiran Khawarij tersebut pada masa ini adalah kelompok “Ikhwanul Muslimin” (IM). Hal ini bisa dilihat dari sebagian karya para tokohnya. Seperti Sayyid Quthub sebagaimana tertuang dalam  sebagian karyanya menvonis masyarakat muslim telah menjadi masyarakat jahiliyyah (maksudnya adalah kafir).
          Oleh karena itu kaum khawarij berangkat dari pemikiran tersebut tidak segan-segan untuk menumpahkan darah masyarakat muslim tersebut karena dianggap telah murtad atau kafir.
          Memang dalam sejarah perkembangannya, perjalanan kelompok IM ini diwarnai dengan berbagai aksi teror dan peristiwa-peristiwa berdarah, dalam upaya mereka mewujudkan tujuan utamanya, yaitu mendirikan apa yang mereka namakan sebagai “Daulah Islamiyyah” atau “Khilafah Islamiyyah”.

Mengenal Hakekat ISIS
          Dari penjelasan singkat di atas, tahulah kita bahwa ISIS mengadopsi pemikiran dari sebagian tokoh Ikhwanul Muslimin. Apabila kita tarik ke belakang lebih jauh lagi, induk pemikirannya adalah kelompok sempalan Khawarij yang tumbuh berkembang di masa khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
          Maka untuk mengenal hakekat ISIS adalah dengan mengenal aqidah dan sifat-sifat kelompok Khawarij. Apabila kita memahami hakekat kelompok Khawarij, maka ini tidak hanya berkaitan dengan ISIS saja, namun juga berkaitan dengan al-Qaedah, Ikhwanul Muslimin, dan berbagai gerakan radikal Khawarij lainnya, baik yang di luar Indonesia, maupun yang di dalam negeri Indonesia yang memiliki sepak terjang dan dasar pemikiran yang sama.
          Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan peringatan keras terhadap kelompok sesat Khawarij ini, diiringi dengan penyebutan sifat-sifat mereka. Di antaranya,

1. Mereka adalah Orang-Orang Sangat Rajin dan Serius Beribadah

يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ َوصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَؤُوْنَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
“… salah satu di antara kalian pasti akan menganggap rendah shalatnya dibandingkan shalat mereka, serta shaumnya dibandingkan shaum mereka.” (HR. al-Bukhari 6933, Muslim 1064).

          Oleh karena itu, jangan tertipu dengan penampilan mereka sebagai orang yang giat dan rajin beribadah. Karena ternyata mereka di atas kesesatan, sehingga berbagai ibadah yang mereka lakukan itu tiada bernilai sama sekali. Tentunya, tidaklah setiap orang yang rajin dan serius beribadah itu khawarij.
          Suatu ketika pernah disebut-sebut tentang Khawarij dan keseriusan mereka dalam beribadah dan dalam melaksanakan shalat di hadapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, maka beliau berkomentar, “Orang-orang Khawarij itu tidaklah lebih serius ibadahnya dibandingkan Yahudi dan Nashara. Namun toh demikian ternyata mereka di atas kesesatan.” (diriwayatkan oleh al-Aajurry dalam kitab asy-Syari’ah)

2. Orang-orang yang Tidak Memahami al-Qur`an dengan Baik dan Benar

        Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya,
“Akan ada di tengah-tengah umatku perselisihan dan perpecahan. (Yakni akan ada) sebuah kaum pandai berbicara, namun tidak cakap (jelek) dalam berbuat. Mereka rajin membaca al-Qur’an namun (bacaan) tersebut tidak bisa melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke dalam hati mereka). … mereka berdakwah (mengajak) kepada Kitabullah, padahal mereka bukan termasuk darinya sama sekali. … .” (HR. Abu Dawud 4765)

3. Orang-orang yang Muda Belia

«يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الأَسْنَانِ، سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ، يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ البَرِيَّةِ، … »
 “Akan muncul di akhir zaman, sebuah kaum yang muda belia dan dungu akalnya, namun berkata-kata dengan sebaik-baik ucapan manusia.” (HR. al-Bukhari 5057).

          Mereka adalah orang-orang yang relatif muda usianya, sedikit ilmu dan pengalamanya, namun berani lancang berbicara tentang masalah besar, serta mengkritisi para ulama besar.
          Yakni mereka berucap dengan kata-kata yang baik pada tampilannya, namun hakekatnya adalah kejelekan atau kebatilan. Seperti yang mereka propagandakan dan mereka promosikan sekarang, yaitu “Khilafah Islamiyyah”, kata-kata yang sangat bagus. Padahal hakekatnya adalah mereka membantai kaum muslimin.

4. Mereka adalah Anjing-anjing Neraka
«الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ»
“Khawarij adalah anjing-anjing neraka.” (HR. Ibnu Majah 173)

5. Mereka adalah Makhluk Terjelek
« هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ»
“Mereka adalah sejelek-jelek makhluk dan ciptaan.” (HR. Muslim 1067)

6. Keluar dari Agama
« سَيَكُونُ بَعْدِي مِنْ أُمَّتِي قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، لَا يُجَاوِزُ حَلَاقِيمَهُمْ، يَخْرُجُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، ثُمَّ لَا يَعُودُونَ فِيهِ…  »
“Akan ada sepeninggalku dari umatku, sekelompok kaum yang rajin membaca al-Qur`an namun bacaan tersebut tidak melewati tenggorokan mereka (yakni tidak masuk ke dalam hati mereka). Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah menembus buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali lagi kepada agama tersebut…” (HR. Muslim 1067)

7. Membunuhi Kaum Muslimin
« يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَان »
“Mereka membunuhi orang-orang Islam, namun membiarkan para penyembah berhala (yakni orang-orang musyrik).” (HR. al-Bukhari 3344)

          Demikianlah yang dilakukan oleh ISIS dan juga gerakan-gerakan radikal teroris khawarij lainnya. Bagi mereka darah kaum muslimin sangat murah dan tidak ada artinya. Pembunuhan sadis dan tak berprikemanusiaan itu mereka lakukan dengan mengatasnamakan jihad dan penegakan syari’at Islam, bahkan mengatasnamakan “Khilafah Islamiyyah”!! Karena tidak ada cara untuk memperbaiki umat yang telah rusak ini menurut mereka, kecuali dengan cara pembunuhan massal!!
          Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah sejak beberapa abad lalu telah mengatakan,
“Kalau mereka (Khawarij) telah memiliki kekuatan, niscaya akan merusak bumi semuanya, baik Iraq maupun Syam. Mereka tidak akan membiarkan seorang bayi laki, maupun bayi perempuan, pria dewasa maupun wanita dewasa (kecuali pasti mereka bunuh!!). Karena umat manusia menurut mereka telah rusak dengan tingkat kerusakan yang tidak bisa diperbaiki kecuali dengan pembunuhan massal!!” (al-Bidayah wa an-Nihayah 10/584-585)

Khawarij adalah Para Pemberontak
          Al-Imam al-Hasan bin ‘Ali al-Barbahari rahimahullah (w. 329 H) mengatakan, “Barangsiapa memberontak kepada pimpinan kaum muslimin, maka dia adalah Khawarij. Dia telah memecahkan tongkat persatuan kaum muslimin, menentang sunnah, dan mati dalam kondisi kematian jahiliyyah.” (Syarhus Sunnah no. 33)
          Sebelum pemberontakan tersebut, telah didahului dengan provokasi-provokasi kepada rakyat, dan vonis kafir kepada para pimpinan muslimin. Khawarij pertama, telah mengkafirkan dan memberontak kepada salah seorang khalifah terbaik umat ini, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahkan berhasil membunuh beliau. Maka jangan heran dengan tindakan kaum Khawarij – Teroris pada masa ini!!

Waspada dari ISIS
          Maka waspadalah, apabila ada seorang pemuda –atau bahkan putra dan putri Anda sendiri– yang :
- Senang mengikuti kegiatan-kegiatan Ikhwanul Muslimin. Apalagi senang membaca buku-buku Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub.
- Senang melihat video-video “jihad” bersenjata, baik di Iraq, Syam, Palestina, atau pun yang lainnya.
          Waspadalah wahai para orang tua, wahai para pendidik, pimpinan masyarakat, dan para alim ulama. Bentengilah aqidah umat –terutama generasi muda– dari berbagai penyimpangan. Lindungi mereka dari radikalisme, di samping jauhkan pula mereka dari liberalisme. Ajarkan kepada mereka aqidah yang benar dan lurus, yaitu Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
          Jangan percaya dengan pernyataan orang-orang yang berpaham liberal dan orang-orang yang tidak mengerti bahwa setiap yang berjenggot, berbaju muslim yang baik, celana di atas mata kaki, atau berjilbab lebar, bercadar, serba hitam, maka itu ciri-ciri teroris. Maka ini adalah kesimpulan dini dari seorang yang kurang mendalami ajaran Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.  
Wallahu alam bish shawab.


Sumber :