Minggu, 30 Oktober 2016

JIMAT DAN JAMPI JAMPI

Bila kita memperhatikan kondisi kaum muslimin yang mereka sholat, bershodaqoh, berpuasa dan bahkan menunaikan ibadah haji, maka seringkali kita dapati di antara mereka mendatangi “Kyai” untuk mendapatkan benda-benda yang dikenal dengan jimat, agar jabatannya langgeng, bisnisnya berhasil, atau tubuhnya tidak mempan bila dikenai benda tajam. Bahkan mayoritas umat ini menganggap bila seorang “Kyai” atau “santri” memiliki “kelebihan” ini maka kedudukan agamanya mulia di sisi mereka. Bagaimana sebenarnya Islam menilai fenomena tersebut ? Apakah ia diperbolehkan dalam Islam ?

Rosulullah sebagai Nabi dan pembawa agama yang penuh rahmat, sungguh telah menjelaskan tentang hukum jimat, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Dengan ucapan, sebagaimana sabda beliau : 

إِ نََّ الرُّقَََََََََى وَالتََّمَائِمَ وَ التِّوَلََََةََ شِِْركٌ
”Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat dan tiwalah adalah syirik”. (H.R. Abu Dawud dan selainnya. Dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 1632 dan Ash Shohihah no. 331 dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ush Shohih 4/499).

Dengan perbuatan, sebagaimana riwayat ‘Uqbah bin Amir Al Juhani radliallohu ‘anhu, ia menceritakan bahwa beliau ditemui sekelompok sahabat. Kemudian beliau membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Mereka bertanya: “Wahai Rosulullah, kenapa engkau membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang ini?”. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia membawa jimat.” Lantas beliau mengulurkan tangannya dan melepas jimat tersebut lalu membaiatnya”. (H.R. Ahmad. Dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shohihah no. 492 dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ush Shohih 6/294).

Para pembaca yang mulia, dua hadits tersebut menerangkan tentang hukum haramnya memakai jimat, tiwalah (sejenis jimat yang dibuat dan dipakai untuk menjaga rasa cinta antara suami istri) dan jampi-jampi yang mengandung lafadz-lafadz kesyirikan. Masuk juga dalam larangan di atas segala sesuatu (jimat) yang dipakai, atau digantungkan sebagai sarana, atau segala sesuatu dengan sendirinya diyakini dapat mendatangkan manfaat atau mencegah mudharat.

Dalam beberapa riwayat shohihah yang lain diterangkan tentang beberapa perkara yang perlu kita pahami:

1. Tidaklah dibedakan apakah jimat-jimat tersebut digantungkan pada anggota tubuh manusia, hewan, mobil, rumah, toko dan lain-lain. Hal ini Berdasarkan penuturan Abu Basyir Al Anshori radliallahu ‘anhu di dalam shohih Al Bukhori dan Muslim: “Maka Rosulullah mengutus seseorang (dalam riwayat lain: Zaid bin Haritsah) untuk tidak meninggalkan satu tali kekang pun pada leher unta (yang diyakini dapat menolak bala’) melainkan harus dibuang”. Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh mengomentari riwayat tersebut: “Tidak mesti (larangan menggantungkan jimat) hanya berlaku kalau digantungkan pada leher hewan tunggangan. Kalau pun seandainya diikatkan pada tangan atau kakinya, maka hukumnya sama saja (dilarang). Sisi larangannya terletak pada jimat tersebut, bukan pada sisi tempatnya. Sisi tempat tidaklah berpengaruh (pada hukum keharamannya).” (Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid jilid 1, hal,176-177)

2. Tidak pula dibedakan apakah yang digantungkan itu terbuat dari tulang, tanduk, tali, rambut, dan lain-lain. Hal ini berlandaskan riwayat Ahmad dan At Tirmidzi dengan sanad yang hasan:

تَعَلَّقَ شَيْئا وُكِلَ إِلَيْه مَنْ
“Barangsiapa menggantungkan sesuatu (sebagai jimat) maka dicondongkan tawakalnya kepada benda itu.”
Dalam Bahasa Arab lafadz “شَيْئا.” yang berbentuk nakirah apabila di dalam konteks kalimat syarat maka berfungsi umum yaitu segala sesuatu yang digantungkan sebagai jimat.

Para pembaca yang dirahmati Allah ?, manakala seseorang menggantungkan atau membawa jimat, maka tidaklah terlepas niatnya dari dua keadaan:
1. Bila dia menggantungkan jimat disertai keyakinan bahwa jimat itu dapat mendatangkan manfaat dan menjauhkan dari malapetaka dengan sendirinya selain Allah ?, maka ini adalah syirik besar yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak bermanfaat sedikitpun dari amalannya, dan apabila meninggal dunia dan belum bertaubat maka dia menjadi penghuni neraka kekal, di dalamnya. Wal ‘Iyadzubillah.
2. Jika dia melakukan hal ini dengan keyakinan bahwa benda itu sebagai sarana atau sebab yang bisa mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya, dengan tetap meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Maha Mampu mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, maka dia terjatuh pada syirik kecil yang merupakan salah satu dosa terbesar. Wallahulmusta’an.
Perhatikanlah wahai saudaraku para pembaca! semoga Allah I menyelamatkan kita semua dari segala jenis kesyirikan. Kalau demikian keadaannya maka tidak ada jalan lain melainkan kita harus meninggalkan benda-benda itu yang sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat ketika Allah I menjauhkannya dari seseorang, dan tidak bisa menjauhkan mudharat ketika Allah I menimpakannya pada seseorang. Allah I berfirman:

َوإِنْ يَّمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَه إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُّرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِه يُصِيْبُ بِه مَنْ يَّشَآءُ مِنْ عِبَادِه وَهُوَ اْلغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yunus : 107)

Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan. Hanya Allah-lah yang memiliki kekuasaan mutlak. Dialah yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa.
Namun timbul di benak kita, bagaimana kalau benda-benda yang digantungkan itu berupa tulisan ayat-ayat Al Qur’an atau do’a-do’a yang shohih dari Nabi ?
Para Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini :
1. Di antara mereka ada yang membolehkannya berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami telah turunkan dari Al Qur’an tersebut sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al Isra’ : 82)

Dan firman-Nya :
كِتَابٌ أَنْزَلْنهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ … “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah …” (Q.S. Shaad : 29).

2. Sebagian mereka tetap melarangnya berdasarkan keumuman hukum syirik dan larangan dalam hadits-hadits yang telah lalu.

Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, karena beberapa alasan yang cukup kuat:
1. Tidak adanya contoh dari Rosulullah untuk menggantungkan ayat-ayat Allah I untuk menolak bala’. Padahal pada saat itu bala’ tersebut sudah ada dan banyak penulis wahyu yang mampu menulis ayat-ayat Allah pada benda-benda tersebut.
2. Menutup jalan yang mengantarkan seseorang untuk kemudian menggantungkan benda-benda sebagai jimat yang tidak tertulis lagi ayat-ayat Allah I, yang ini lebih keras keharamannya.
3. Bahwa ayat-ayat Al Qur’an sebagai obat bagi orang yang sakit dan sebagai barokah, yaitu dengan cara dibaca dan diamalkan, bukan dengan cara menggantungkan sebagai jimat. Alasan ketiga ini membantah cara pendalilan pendapat yang pertama.

Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, para murid Ibnu Mas’ud dari kalangan para tabi’in, Asy Syaikh bin Baaz, Asy Syaikh ‘Utsaimin dan fatawa Al Lajnah Ad Da’imah.
Maka tampaklah dari penjelasan di atas, betapa besarnya kejelekan syirik ini. Menjadikan benda-benda mati yang tidak mampu memberi manfaat atau mencegah mudhorot walaupun kepada dirinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin bisa memberikan manfaat dan menjauhkan mudharat dari selain dirinya?! Kita berlindung kepada Allah I dari fitnah dan musibah syirik yang bisa mencelakakan diri kita dan masyarakat ini. Wallahulmusta’an.

Untaian Fatwa :
Asy Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan Hafidhohullah berkata : “Keberadaan bayi (yang digantungkan padanya benda-benda yang ditulisi do’a-do’a atau ayat-ayat Al Qur’an) mendapatkan ketenangan atau disembuhkan sakitnya ketika memakai benda-benda tersebut tidaklah menunjukkan bolehnya perbuatan itu. Karena ketenangan atau kesembuhan setelah menggantungkan benda-benda tersebut kadang-kadang karena bertepatan dengan takdir Allah. Namun mereka menduga-duga hal itu terjadi karena adanya benda-benda tadi. Kadang-kadang pula dalam rangka istidroj (tipu daya syaithan, -pent) dan ujian bagi mereka, sampai mereka terjatuh kepada yeng lebih jelek dari pada itu. Tercapainya tujuan manusia ketika melakukan perkara yang tidak disyariatkan tersebut, tidaklah menunjukkan bolehnya perkara tersebut. Maka manusia pun menyangka bahwa tujuan itu tercapai karena sebab benda tersebut sehingga terfitnahlah mereka.(Al Muntaqo min Fatawa Asy Syaikh Shoplih Al Fauzan jilid 1 hal, 167-168)
Demikianlah penjelasan kami tentang masalah jimat dan hukum menggunakannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Tanya – Jawab

Tanya :
Saya telah memahami bahwa jimat diharamkan dalam syariat Islam, lalu bagaimana dengan jampi-jampi ?
Jawab :

Saudaraku yang mulia, di samping perkara jimat yang telah kita pahami bersama, tidak kalah pentingnya seorang yang beriman dan bertauhid untuk mengetahui tentang hukum jampi-jampi (ruqyah) menurut timbangan Islam dengan dalil-dalinya. Sehingga dia benar-benar terbimbing dalam melakukan dan meninggalkan suatu amalan.
Dinul Islam yang diemban oleh Rasululloh tidaklah melarang suatu amalan kecuali agar agama pemeluknya (Islam) terjaga dari kerusakan. Tidak luput pula, perkara jampi-jampi yang berkaitan dengan tauhid seorang muslim.

Oleh karena itu Rosulullah di dalam riwayat yang telah lalu melarang jampi-jampi kalau ada unsur kesyirikan di dalamnya. Misalnya : Seseorang membaca jampi-jampi “Wahai Sayyidina Muhammad (dalam keadaan beliau telah wafat) sembuhkanlah dia dari sakitnya.” Atau “Dengan barokah nabi-Mu Ya Allah, berikan dia anak!” Dan seperti itu.
Adapun jampi-jampi atau dengan istilah lain “ruqyah” maka diperbolehkan selama tidak ada unsur kesyirikan di dalamnya. Dasar pembolehannya adalah ucapan nabi yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim di dalam Shahihnya :
لاَبَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا “Tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak ada unsur kesyirikan.”

Riwayat-riwayat yang shahihah lainnya menunjukkan bolehnya perkara tersebut. Contoh ruqyah yang diperbolehkan adalah ruqyah dengan membaca Al Qur’an agar disembuhkan dari penyakit, ataupun lafazh-lafazh lain yang dibolehkan dalam syariat. Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata : “Demikianlah jampi-jampi, diharamkan bila tidak jelas (tidak dimengerti maknanya), adapun bila dimengerti maknanya, tidak terdapat padanya kesyirikan, dan tidak menyelisihi syariat Islam maka tidak mengapa. Karena Nabi pernah meruqyah (membacakan jampi-jampi) dan diruqyah (dibacakan pada beliau jampi-jampi), beliau bersabda :

لاَبَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا “Tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak ada unsur kesyirikan.” (H.R. Muslim)(Majallatul Buhuts Al Islamiyyah edisi 4, hal. 162)

Namun para pembaca, penting bagi kita untuk menjaga keyakinan dalam membaca ruqyah yang diperbolehkan itu. Yaitu keyakinan bahwa ruqyah itu hanya sebagai perantara dan sebab yang menjauhkan seseorang dari mudharat dengan izin Allah Ta’ala. Ruqyah tersebut tidak mampu dengan sendirinya menjaga dari mudharat.
Al Imam As Suyuthi berkata : “Para ulama telah bersepakat atas bolehnya jampi-jampi di saat terpenuhi tiga syarat :
1. Dari firman Allah atau Nama-Nama dan Sifat-Sifat Nya.
2. Dengan berbahasa Arab dan dimengerti maknanya.
3. Dengan keyakinan bahwa jampi-jampi itu tidak berpengaruh dengan sendirinya, akan tetapi dengan takdir dari Allah Ta’ala.
(Fathul Majid, hal. 151)
Wallahu A’lam Bish Showab

Sumber :
http://mahad-assalafy.com/2006/09/17/jimat-dan-jampi-jampi/

Kamis, 20 Oktober 2016

Penyamaan Agama adalah Perbuatan Kufur

Ditulis oleh : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Ide penyatuan agama terus digemakan hingga sekarang. Dagangan orientalis yang dijajakan oleh para pengekor Barat berbaju muslim (bahkan ada yang disebut pakar Islam) ini kian meramaikan bursa kesesatan yang telah ada sebelumnya. Dan agar lebih mudah diserap “pasar”, kemasan pun dibuat sedemikian manis, menonjolkan sisi-sisi humanis yang sejatinya adalah racun bagi kaum muslimin.

putus-pemutusBingkisan dan oleh-oleh dari Barat untuk kaum muslimin kembali menghunjam. I’tiqad (keyakinan) dan seruan-seruan kufur mereka datang silih berganti menggugat kebenaran Islam. Ideologi-ideologi sesat meramaikan media-media massa. Di mimbar-mimbar, satu tumbang, seribu kesesatan bangkit kembali.

Alhamdulillah, sebagian kaum muslimin masih tersadar jika menghadapi ideologi dari luar. Namun ketika manuver sesat datang dari dalam diri umat Islam sendiri berupa konsep menyamakan Islam dengan selainnya, dengan istilah sinkretisme agama, di sinilah terlihat bahwa kaum muslimin sangat jauh dari ajaran agamanya dan terlelap dalam buaian taqlid serta fanatik.

Musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala, mengetahui bahwa mereka tidak bisa merusak kaum muslimin dengan cara yang telah lumrah dan masyhur dalam ilmu mereka. Kerusakan i’tiqad adalah kerusakan dan perusakan yang paling besar dan luas akibatnya. Oleh karena itu, Iblis dengan keuletannya untuk mendapatkan hasil yang gemilang dan besar, tercatatlah pada generasi manusia yang kesepuluh, pada kaum Nabi Nuh, menjadi pemula buah keberhasilan Iblis dalam merusak i’tiqad manusia. Dengan kerusakan inilah, mereka dengan serta merta siap untuk bersujud kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, berkorban untuk selain-Nya, bernadzar untuk selain-Nya, berdoa kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, meminta perlindungan, pertolongan dan meminta terbebaskan dari malapetaka kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, serta berbagai wujud peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, yang lain. Tidak ada kerusakan yang paling besar daripada kerusakan i’tiqad yang muaranya ada di dalam hati. 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, menyebutkan :
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, pada jasad ini ada segumpal daging, jika dia baik maka seluruh anggota badan akan menjadi baik, dan bila rusak maka seluruh anggota badan menjadi rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Al-Bukhari no. 50 dan Muslim no. 2996 dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radiallahu anhu)

Ibnul Qayyim rahimahullah, menjelaskan: “Karena kedudukan hati terhadap anggota badan bagaikan raja yang berkuasa atas bala tentaranya, di mana semua (perbuatan mereka) muncul dari perintahnya. Bala tentara tersebut digunakan sesuai keinginan sang raja dan kesemuanya berada di bawah perintah dan kekuasannya, maka anggota badan akan istiqamah atau menyeleweng (adalah karena hati). Dan hatilah yang akan mengikatnya dengan segala kekuasaan atau melepaskannya. Rasulullah bersabda: ‘Ketahuilah bahwa di dalam jasad ini ada segumpal daging yang bila baik niscaya seluruh jasad akan baik pula.’
Hati merupakan raja bagi seluruh anggota badan. Dan anggota badan akan melakukan segala yang diperintahkannya dan akan menerima segala arahannya. Tidak akan mungkin lurus sedikitpun amalan anggota badan tersebut melainkan harus datang dari keinginan dan niat hati. Dan hati akan bertanggung jawab atas seluruhnya, karena setiap pemimpin akan dimintai tanggung jawab tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu, usaha memperbaiki dan meluruskannya adalah sebuah usaha yang diprioritaskan untuk dilakukan oleh setiap orang (yang berusaha mencari kebenaran). Sedangkan  mengoreksi segala penyakit yang mungkin akan timbul dan mengobatinya adalah perkara yang sangat penting yang harus dilakukan oleh ahli ibadah.” (Mawaridul Aman, hal. 30)

Islam Adalah Agama Yang Hak
Tidak ada yang mengingkari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang hak kecuali orang-orang yang telah tertutup mata hatinya dari Islam. Islam adalah agama yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala, dan satu-satunya agama yang akan diterima di sisi-Nya. Allah Subhanahu wata’ala, menjelaskan keyakinan ini dalam banyak tempat, seperti firman-Nya:

إِنَّ الدِِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Sebagai bukti pula tentang kebenaran dan diridhainya Islam adalah permusuhan non muslim terhadap agama Islam dan penganutnya sampai hari kiamat. Mereka memperingatkan para pengikutnya agar tidak sekali-kali masuk ke dalam Islam. Mereka juga mencela dan menghina agama Islam.

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ
“Dan mereka menginginkan agar cahaya Allah (Islam) padam dengan lisan-lisan mereka.” (Ash-Shaff: 8)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang selain kalian menjadi teman. Mereka tidak henti-hentinya mencelakakan kalian dan mereka menyukai apa yang memberatkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi.” (Ali ‘Imran: 118)

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Dan orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu selama-lamanya sampai kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (sebenar-benar) petunjuk.’ Dan jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang kepadamu ilmu, niscaya kamu tidak akan mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari Allah.” (Al-Baqarah: 120)

Allah Subhanahu wa ta’ala, dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka baik dalam i’tiqad, ibadah, akhlak, perangai, ciri khas maupun selainnya. Dan ini merupakan salah satu bukti tentang kebenaran Islam. (Iqtidha` Shirathil Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah )
Allah Subhanahu wata’ala, dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, memerintahkan kepada kita untuk memerangi agama kufur dan orang-orang kafir baik dengan harta, jiwa, dan lisan-lisan kita, juga menunjukkan kebenaran Islam.
Bukti lain yang menunjukkan kebenaran Islam adalah masuknya umat-umat non Islam ke dalam agama ini. Tidak lepas dalam hal ini para tokoh agama mereka seperti para pendeta. Mereka kemudian tampil membongkar kedok agama sesat tersebut dan memproklamirkan kebenaran agama Islam.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللهِ أَفْوَاجًا
“Apabila datang pertolongan dan kemenangan dari Allah. Engkau akan menyaksikan manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah.” (An-Nashr: 1-2)

Islam Adalah Agama Para Nabi dan Rasul
Hal ini dijelaskan oleh Allah Subhanahu wata’ala, di dalam firman-Nya :

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Bukanlah Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi ia adalah orang yang lurus dan muslim. Dan ia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67)

أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“(Yusuf) berkata: ‘Engkau adalah waliku di dunia dan di akhirat dan matikanlah aku dalam keadaan Islam. Ikut sertakanlah aku bersama orang-orang yang shalih.” (Yusuf: 101)

Ibnu Katsir  dalam Tafsir-nya mengatakan: “Ini merupakan sebuah doa dari Yusuf Ash-Shiddiq. Dia berdoa dengannya kepada Rabbnya di saat Allah Subhanahu wata’ala, menyempurnakan nikmat atasnya, dengan berkumpulnya dia bersama kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Juga nikmat kenabian dan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Dia meminta kepada Rabbnya agar nikmat tersebut diabadikan sampai hari akhir, sebagaimana Dia telah menyempurnakan (nikmat untuknya) di dunia. Juga agar Allah Subhanahu wata’ala, mematikannya dalam keadaan muslim. Ini adalah penafsiran Adh-Dhahhak.

‘Dan agar Allah mengikutsertakan dia dengan orang-orang shalih’ yaitu dari kalangan nabi dan rasul. Mungkin juga Nabi Yusuf mengucapkan doa ini ketika kematian datang menjemputnya, sebagaimana disebutkan dalam dua kitab Shahih dari ‘Aisyah radiallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mengangkat tangannya ketika ajal beliau datang menjemput: ‘Ya Allah, bersama pendamping-pendamping di tempat yang tinggi.’ (Beliau ucapkan tiga kali). Dan mungkin Nabi Yusuf meminta agar mati di atas Islam dan diikutsertakan dengan orang-orang shalih apabila ajalnya telah dekat dan umurnya telah habis.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/598)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (setiap mereka menyeru): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thagut’.” (An-Nahl: 63)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitabut Tauhid menjelaskan: “Agama para nabi adalah satu.” Kalimat ini tidak menafikan firman Allah Subhanahu wata’ala, yang mengatakan :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Setiap nabi Kami jadikan untuk mereka syariat dan jalan (sendiri).” (Al-Ma`idah: 48)

Karena syariat amaliah berbeda pada setiap umat. Adapun landasan agama adalah satu. Allah Subhanahu wata’ala, berfirman:

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
“Dia telah mensyariatkan kepada kalian agama yang telah Dia wasiatkan kepada Nuh dan apa yang Kami telah wahyukan kepadamu (Muhammad) serta apa yang kami telah wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa: ‘Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah di dalamnya’.” (Asy-Syura: 13) [Al-Qaulul Mufid, 1/59]

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang rasulpun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)

Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir dari Qatadah (ketika menjelaskan firman Allah Subhanahu wata’ala,): “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” Bahwa dia berkata: “Islam adalah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah Subhanahu wata’ala,, mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah dari sisi Allah Subhanahu wata’ala, sebagai agama Allah Subhanahu wata’ala, yang telah disyariatkan untuk dirinya, Allah  Subhanahu wata’ala, mengutus para rasul dan membimbing para wali-Nya dengan agama itu, dan Allah Subhanahu wata’ala,tidak menerima agama selainnya, serta tidak pula akan memberi ganjaran kecuali dengannya.”
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Adh-Dhahhak ketika menjelaskan firman Allah Subhanahu wata’ala, di atas: “Tidak diutus seorang nabi pun melainkan dengan Islam.” (Ad-Durrul Mantsur, karya Al-Imam As-Suyuthi)

Kekufuran Hakikatnya Satu
Bagi orang yang memiliki bashirah ilmu pengetahuan, dia akan mengetahui bahwa sejak zaman keingkaran iblis hingga ada kaderisasi dari kalangan jin dan manusia, kekufuran hakikatnya satu. Inilah contoh keingkaran dan kekufuran iblis kepada Allah Subhanahu wata’ala,, sebagaimana telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wata’ala, dalam firman-Nya :

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ. قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Allah berfirman: ‘Wahai iblis! Apa yang menghalangimu untuk sujud kepada seseorang yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah engkau telah menyombongkan diri atau orang yang meninggikan diri?’ Dia berkata: ‘Aku lebih baik darinya, Engkau menciptakan aku dari api, sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah’.” (Shad: 75-76)

Karena keingkaran dan kekufuran iblis kepada Allah Subhanahu wata’ala,, maka Allah Subhanahu wata’ala, mengusirnya dari rahmat-Nya sehingga dia menjadi orang yang terkutuk. Allah Subhanahu wata’ala, juga mengusirnya dari dalam surga :

قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ. وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
“Allah berfirman: ‘Keluarlah kamu darinya (surga), maka sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, dan sesungguhnya atasmu laknat-Ku sampai hari pembalasan’.” (Shad: 77-78)

Karena kutukan inilah, iblis mencari peluang dan meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala, agar bisa bermain dengan manuver kekufuran dan kesesatannya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya ingkar kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala, berfirman :

قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ. قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ. إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ
“Iblis berkata: ‘Wahai Rabbku, berikanlah aku penangguhan sampai hari kebangkitan.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu memiliki kesempatan sampai waktu yang telah ditentukan’.” (Shad: 79-80)

Setelah mendapatkan kesempatan untuk mengajak Bani Adam untuk kufur kepada Allah Subhanahu wata’ala,, diapun berjanji akan benar-benar berusaha dengan penuh kesungguhan untuk menyesatkan Bani Adam dengan cara dan jalan apapun. Allah Subhanahu wata’ala, berfirman :

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“Iblis berkata: ‘Maka demi kemuliaan-Mu, aku akan benar-benar menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas.” (Shad: 82-83)

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis berkata: ‘Karena Engkau menyesatkanku, maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan benar-benar mendatangi mereka dari depan mereka, belakang mereka, samping kanan dan samping kiri mereka, sehingga Engkau tidak mendapatkan kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 16-17)

Allah Subhanahu wata’ala, telah menjelaskan tujuan akhir perbuatan iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah Subhanahu wata’ala, menjelaskan pula tentang siapa yang akan bisa dikuasai oleh iblis dan yang tidak.

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمَوْعِدُهُمْ أَجْمَعِينَ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku engkau tidak memiliki kekuasaan atas mereka kecuali orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang yang sesat. Dan Jahannamlah tempat kembali mereka semuanya.” (Al-Hijr: 42-43)

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan orang-orang yang bertawakal kepada Allah. Namun yang mereka kuasai adalah orang-orang yang menyeleweng dan orang-orang yang menyekutukan Allah.” (An-Nahl: 99-100)

Islam vs Kufur
Dari uraian di atas, jelas bahwa pertarungan antara iman dan kufur adalah perjalanan hidup yang mesti terjadi. Karena hal ini merupakan sunnatullah atas hamba-Nya. Janji penyesatan iblis terhadap Bani Adam diabadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala, dalam Al-Qur`an yang akan dibaca sampai hari kiamat. Hal ini menuntut agar kita berusaha menjadi orang yang selamat dari keganasan iblis.
Iblis telah berhasil dengan tipu muslihatnya mengeluarkan Nabi Adam q dan istri beliau dari surga, kemudian diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala,Subhanahu wata’ala, ke bumi yang penuh dengan ujian ini. Dialah yang telah menggoda putra Nabi Adam q sehingga membunuh saudaranya sendiri. Dialah yang tampil menjadi ‘pembimbing’ ulung dalam menyesatkan kaum Nabi Nuh sehingga terjatuh dalam kesyirikan yang besar sebagaimana dalam hadits:

صَارَتِ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُـوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ، أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ، وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ، وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجُرْفِ عِنْدَ سَبَإٍ، وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ، وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ، أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمِ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“Berhala-berhala yang ada di bangsa Arab merupakan berhala di kaum Nabi Nuh. Wadd menjadi milik Bani Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ menjadi berhala milik Bani Hudzail, Yaghuts menjadi milik Bani Murad kemudian menjadi milik Bani Guthaif di Saba`. Adapun Ya’uq milik Bani Hamdan, sedangkan Nasr milik Bani Himyar keluarga Dzil Kala’. Semuanya adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka binasa, setan membisikkan kepada kaum mereka: ‘Dirikanlah berhala-berhala di majelis-majelis mereka, dan namailah dengan nama-nama mereka.’ Lalu mereka melakukannya, dan ketika itu belum disembah. Hingga ketika mereka mati dan ilmu lenyap, semua berhala itu diibadahi.” (HR. Al-Bukhari no. 4539, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radiallahu anhu)

Iblis juga telah menanamkan taring permusuhannya kepada para nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala, dengan menjadikan kaki tangannya dari kalangan manusia sebagai bala tentara yang langsung berhadapan dengan para nabi tersebut. Seperti kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad terhadap Nabi Hud, kaum Tsamud terhadap Nabi Shalih, kaum Madyan terhadap Nabi Syu’aib, Fir’aun dan bala tentaranya terhadap Nabi Musa, bapak Ibrahim dan kaumnya terhadap beliau, kaum Nabi Luth, serta kaum jahiliah kepada Rasulullah. 
Mereka juga memusuhi orang-orang yang beriman yang bersama para nabi itu. di antaranya: Allah Subhanahu wata’ala, mengisahkan tentang Nabi Nuh dan kaumnya yang menentang dakwah beliau :

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ. قَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dan dia berkata: ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah. Kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya. Dan aku takut atas azab yang pedih akan menimpa kalian.’ Maka para pembesar dari kaumnya mengatakan: ‘Sesungguhnya kami melihatmu berada di atas kesesatan yang nyata’.” (Al-A’raf: 59-60)

Allah Subhanahu wata’ala, bercerita tentang Nabi Hud dan kaumnya yang menentang dakwahnya:
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ. قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan kepada kaum ‘Ad kami mengutus saudara mereka, Hud. Dia berkata: ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah. Kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya, dan tidakkah kalian takut?’ Maka para pembesar yang kafir dari kaumnya berkata: ‘Sesungguhnya kami melihatmu orang yang bodoh, dan kami menyangka bahwa dirimu termasuk orang-orang yang berdusta’.” (Al-A’raf: 65-66)

Sumber :
http://www.salafybpp.com/aqidah/penyamaan-agama-adalah-perbuatan-kufur

Senin, 17 Oktober 2016

IBADAH YANG PALING UTAMA (1)

Oleh : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar

Dalam hal memandang amalan ibadah yang paling afdal, paling bermanfaat, dan paling tepat untuk diprioritaskan oleh seorang hamba, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok. Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan pandangan tersebut dalam kitab Madarij as-Salikin dan menguatkan salah satunya.
Pendapat yang dipilih oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ini juga disebutkan oleh al- Imam al-Miqrizi dalam kitab beliau,Tajrid at-Tauhid al-Mufid. Berikut ringkasan yang mereka berdua sampaikan dengan sedikit perubahan dari kami sebagai penjelasan makna.
Wallahu a’lam bish-shawab.

✅Ibadah yang paling afdal ialah beramal sesuai dengan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala di setiap waktu, dengan amalan yang paling dituntut dan paling sesuai dengan kondisi saat itu.
✅Ibadah yang paling afdal saat dikumandangkan seruan jihad ialah memenuhinya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta, walaupun membuatnya terhalangi mengerjakan shalat malam dan puasa yang biasa dia lakukan. Bahkan, walaupun hal ini membuatnya terhalang dari menyempurnakan rukun-rukun shalat wajib.
✅Contoh lain, saat seorang tamu datang, maka ibadah yang paling afdal adalah menyambut dan melayaninya, walaupun hal ini menyibukkannya dari mengerjakan ibadah-ibadah sunnah yang lain.
✅Ibadah yang paling afdal di sepertiga malam terakhir adalah menyibukkan diri dengan shalat, membaca al-Qur’an, berzikir, beristighfar, dan memanjatkan doa kepada Allahsubhanahu wata’ala.
✅Ibadah yang paling afdal saat ada orang yang membutuhkan pengarahan tentang masalah agama dari Anda adalah memfokuskan diri untuk membimbing dan mengajarkan ilmu kepadanya.
✅Ibadah yang paling afdal saat datangnya waktu shalat fardhu lima waktu adalah bersemangat dan bersungguh-sungguh mengerjakannya sesempurna mungkin, bersegera mengerjakannya di awal waktu, keluar menuju masjid untuk mengerjakannya secara berjamaah. Semakin jauh masjid yang dituju, maka semakin afdal.
✅Ibadah yang paling afdal saat ada orang yang membutuhkan bantuan adalah membantunya semaksimal mungkin dengan tenaga, harta, atau kedudukan. Anda memfokuskan kegiatan untuk mencurahkan bantuan dan lebih memprioritaskan hal itu daripada amalan sunnah yang lain.
✅Ketika sedang membaca al-Qur’an, yang paling afdal adalah memusatkan hati dan pikiran untuk mentadabburi dan memahami kandungan maknanya hingga seakan-akan Allah subhanahu wa ta’alasendiri yang langsung berfirman kepada Anda dengan al-Qur’an tersebut. Anda pusatkan hati dan pikiran untuk mentadabburi dan memahami maknanya serta membulatkan tekad untuk melaksanakan perintah yang ada di dalamnya. Anda lakukan semua itu melebihi seorang yang sedang memusatkan hati dan pikirannya ketika sedang membaca surat perintah dari seorang kepala negara.
✅Saat wukuf di padang Arafah, ibadah yang paling afdal adalah bersungguh-sungguh merendah, berdoa, dan berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini lebih utama daripada berpuasa yang menyebabkan diri lemah untuk berdoa dan berzikir pada hari itu.
✅Pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, yang paling afdal adalah memperbanyak ibadah, terkhusus bertakbir, bertahlil, dan bertahmid. Ini semua lebih afdal pada hari itu daripada berjihad yang bukan wajib‘ain.
✅✅✅Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, yang paling afdal adalah menetap di masjid, menyendiri beribadah, dan beriktikaf. Ini semua lebih baik daripada berbaur dan bercengkerama bersama manusia pada saat itu. Bahkan, hal ini lebih afdal daripada menyampaikan ilmu agama dan mengajarkan al-Qur’an pada sepuluh hari tersebut, menurut pendapat jumhur ulama.
✅Ibadah yang paling afdal saat ada saudara muslim tertimpa sakit atau meninggal adalah menjenguk atau melayat dan mengantarkan jenazahnya. Ini hendaknya lebih diprioritaskan daripada Anda berkonsentrasi beribadah seorang diri.

Sumber :
http://salafy.or.id/blog/2016/09/30/ibadah-yang-paling-utama-1/

Minggu, 16 Oktober 2016

Hukum Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin

pemimpinPembaca yang budiman, akhir-akhir ini masyarakat banyak membicarakan tentang surat Al Maidah ayat 51, yang mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(kalian); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah: 51)

Asbab an Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Al imam al Bagowi rahimahullah menyebutkan dalam kitanya Ma’alim at Tanzil fi Tafsir al Qur’an:
Para ulama’ berselisih pendapat tentang sebab turunnya ayat ini, meskipun hukumnya umum mencakup seluruh kaum muslimin, sebagian berkata: Ayat ini turun tentang Ubadah bin as Shamit radhiyallahu anhu dan Abdullah bin Ubai bin Salul yang sedang berselisih. Ubadah radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya aku memiliki banyak pelindung dari kaum Yahudi, kekuatan mereka pun begitu besar, tapi aku berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahualaihi wasallam dari perlindungan (penguasaan) mereka, tidak ada perlindungan bagiku kecuali perlindungan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahualaihi wasallam”. Kemudian Abdullah bin Ubai bi Salul berkata: “Akan tetapi, aku tidak akan melepaskan perlindungan kaum Yahudi, karena aku takut tertimpa bencana sehingga aku butuh mereka”. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: “Wahai Aba Hubbab, apa yang engkau sayangkan dari perlindungan Yahudi atas Ubadah bin Shamit maka itu untukmu bukan untuknya”. Ia berkata: “Maka akan aku terima”. Kemudian Allah turunkan ayat ini.

Berkata al Imam as Suddi rahimahullah: Ketika perang Uhud semakin dahsyat bagi sekelompok orang, dan mereka dihampiri rasa takut akan dikalahkan kaum kuffar, berkatalah seorang dari kaum muslimin: “Aku akan bergabung dengan seorang Yahudi dan meminta keamanan darinya aku khawatir Yahudi akan menguasai kita”. Berkata seorang yang lain: “Adapun aku, maka aku akan bergabung dengan seorang nasrani dari Syam, dan aku akan meminta keamanan darinya”. Maka Allah pun menurunkan ayat ini untuk melarang mereka berdua.

Tafsir
Asy Syaikh Abdurrahman bin Nasir as Sa’di rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan, Allah subhanahu wa ta’ala membimbing hamba-hambanya yang mukmin dengan menjelaskan kondisi kaum Yahudi dan Nashara serta sifat mereka yang buruk, untuk tidak menjadikan mereka sebagai pelindung (pemimpin). Karena sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain, mereka saling menolong satu sama lain, dan bersatu dalam memusuhi selain mereka. Kalian (kaum muslimin) janganlah menjadikan mereka sebagai pelindung (pemimpin) kalian, sungguh mereka adalah musuh kalian yang nyata dan mereka tidak peduli akan kesulitan kalian. Bahkan mereka tidak pernah mengendorkan semangat untuk menyesatkan kalian. Maka tidaklah ada yang menjadikan mereka sebagai pemimpin kecuali orang yang semisalnya. Karena itu lah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”. Karena loyalitas yang sempurna menjadikannya pindah kepada agama mereka, dan loyalitas yang sedikit mengantar pada loyalitas yang lebih besar dan banyak, kemudian bertambah dan bertambah sampai seorang hamba mukmin menjadi (kafir) seperti mereka. “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” .

Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Tafsir al Qur’an al Adzim, dari Iyad rahimahullah, bahwa Umar bin al Khattab radhiyallahu anhu pernah memerintahkan Abu Musa al Atsari radhiyallahu anhu untuk melaporkan apa yang diambil dan apa yang diberikannya (yaitu pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Pada  waktu itu sekertaris Abu Musa al Atsari radhiyallahu anhu adalah seorang nasrani. kemudian laporan itupun sampai kepada Umar radhiyallahu anhu, ia pun heran dengan hal tersebut, lalu berkata “Orang ini benar-benar pandai, apakah kamu bisamembacakan sebuah catatan kepada kami di masjid yang datang dari Syam? lalu Abu Musa berkata “Sesungguhnya dia tidak bisa masuk masjid”. Umar bertanya “Apakah dia sedang junub?”. Abu Musa menjawab “Tidak, tapi dia seorang nasrani”. Maka Umar bin al Khattab membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata “Pecatlah dia!” selanjutnya membaca ayat ini (al Maidah ayat 51).

Kesimpulan
1. Penjelasan di atas sangat jelas menyebutkan bahwa tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.
2. Sikap loyal terhadap kaum kuffar sedikit demi sedikit akan mengantarkan ia menjadi seperti mereka, hal ini sebagaimana yang hadits Nabi shallallahualaihi wasallam (artinya), “Sesorang itu bergantung pada agama sahabatnya”.

Sumber :
http://mahad-assalafy.com/2016/10/13/hukum-menjadikan-orang-kafir-pemimpin/


Kamis, 06 Oktober 2016

ISLAM DAN KUFUR, DUA NAMA YANG TIDAK BAKAL BERSENYAWA

Islam adalah agama yang benar dan diridhai Allah subhanahu wata’ala, tidak akan mungkin bertemu dengan kekufuran selama-lamanya. Antara Islam dan agama lainnya ada furqan (jurang pemisah) yang jauh, yang tidak mungkin akan sejalan dan searah. Menyamakan antara ridha dengan murka adalah menyelisihi fitrah dan akal sehat.
Menyatukan antara yang haq danyang batil adalah sebuah kebatilan dan penyimpangan dari hakikat fitrah yang telah diberikan oleh Allah. Menyamakan antara gelap dan terang adalah menyelisihi akal setiap manusia. Sehingga, usaha menyatukan dua hal yang bertentangan dan bertolak belakang ini adalah usaha iblis dalam menyesatkan Bani Adam. Islam adalah agama yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, sementara kekufuran adalah agama yang dimurkai dan dibenci-Nya. Sebagaimana dalam firman-firman-N ya:
ﻡﺎَﻠْﺳِﺈْﻟﺍ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺪِّﻳﻦَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Sesungguhnya agama yang benar adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
َﻮُﻫَﻭ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺒْﺘَﻎِ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺩِﻳﻨًﺎ ﻓَﻠَﻦْ ﻳُﻘْﺒَﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﺎﺳِﺮِﻳﻦَ
“Dan barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali‘Imran: 85)
ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺗْﻤَﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻧِﻌْﻤَﺘِﻲ
ﻭَﺭَﺿِﻴﺖُ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡَ ﺩِﻳﻨًﺎ
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah menyempurnakan nikmat-Ku untuk kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
ِﻡﺎَﻠْﺳِﺈْﻠِﻟ ﻓَﻤَﻦْ ﻳُﺮِﺩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻬﺪِﻳَﻪُ ﻳَﺸْﺮَﺡْ ﺻَﺪْﺭَﻩُ
“Barangsiapa yang Allah inginkan kepadanya hidayah, Allah lapangkan dadanya dengan Islam.” (Al-An’am: 125)
ٍﺭﻮُﻧ ﺃَﻓَﻤَﻦْ ﺷَﺮَﺡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺻَﺪْﺭَﻩُ ﻟِﻠْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﻓَﻬُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻪِ
“Barangsiapa yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah dengan Islam, maka dia berada di atas cahaya dari Allah.” (Az-Zumar: 22)
ﺇِﻥْ ﺗَﻜْﻔُﺮُﻭﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻏَﻨِﻲٌّ ﻋَﻨْﻜُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺮْﺿَﻰ
ﻟِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺍﻟْﻜُﻔْﺮَ
“Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian dan Allah tidak meridhai kekufuran dari hamba-hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menyamakan Antara Islam dan Selainnya adalah Pembatal Keislaman Pembatal Islam adalah perkara yang sesungguhnya telah jelas dalam agama, namun tidak sedikit dari kaum muslimin yang terjatuh padanya. Hal ini disebabkan karena jauhnya mereka dari pengajaran agama yang benar, berkuasanya hawa nafsu pada diri mereka, belenggu taqlid buta dan fanatik, serta munculnya para da’i di pintu neraka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 3338) dan Muslim (no. 3434) dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu .
Sementara ini, pembatal keislaman dalam pandangan kaum muslimin terbatas pada sembah sujud kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, seperti yang dilakukan oleh orang- orang jahiliah atau pindah agama. Hal ini menyebabkan mereka tidak percaya jika seorang muslim yang melaksanakan rukun-rukun Islam seperti mengucapkan dua kalimat
syahadat, shalat, berpuasa, berzakat, dan berhaji bisa menjadi kafir atau murtad dari agama. Padahal itu merupakan sesuatu yang sudah jelas perkaranya. Terlebih lagi Allah Subhanahu wata’ala, telah menjelaskan dalam firman-Nya:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻬِﻢْ ﺛُﻢَّ ﺍﺯْﺩَﺍﺩُﻭﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﻟَﻦْ ﺗُﻘْﺒَﻞَ ﺗَﻮْﺑَﺘُﻬُﻢْ ﻭَﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟﻀَّﻻُّﻮﻥَ
“Sesungguhya orang-orang yang kafir setelah iman mereka kemudian bertambah kekufurannya, niscaya tidak akan diterima taubatnya dan mereka termasuk orang-orang yang sesat.” (Ali ‘Imran: 90)
َّﻢُﺛ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺛُﻢَّ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﺛُﻢَّ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺛُﻢَّ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﺍﺯْﺩَﺍﺩُﻭﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟِﻴَﻐْﻔِﺮَ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﻟَﺎ
ﻟِﻴَﻬْﺪِﻳَﻬُﻢْ ﺳَﺒِﻴﻠًﺎ
“Sesungguhnya orang-orang yangberiman kemudian menjadi kafir lalu kemudian beriman lagi kemudian menjadi kafir dan bertambah kekufurannya, niscaya Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan menunjuki mereka jalan (yang lurus).” (An-Nisa`: 137)
ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﻻﻠﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ. ﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Katakan: ‘Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak ada alasan bagi kalian, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian’.” (At-Taubah: 65-66)
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa sangat mungkin seorang yang beriman menjadi kafir kepada Allah subhanahu wata’ala, bila dia melakukan sesuatu yang menyebabkan batal Islamnya sekalipun dia masih shalat, berpuasa, berhaji, dan sebagainya.
Ada sepuluh pembatal Islam yang sebagian ulama menyebutkannya di dalam kitab-kitab mereka. Ini bukan merupakan suatu batasan, namun mereka menyebutkan hal-hal
yang paling besar bahayanya dan paling banyak terjadi di tengah kaum muslimin di masa mereka. Di antara sepuluh hal yang mereka sebutkan adalah:
1. Menyekutukan Allah Subhanahu wata’ala,dalam peribadahan kepada-
Nya.
2. Menjadikan perantara antara dirinya dengan Allah Subhanahu wata’ala, sehingga dia berdoa kepada perantara itu.
3. Orang yang tidak mengkafirkan kaum musyrikin, ragu-ragu terhadap kekufuran mereka, atau membenarkan madzhab mereka.
4. Meyakini bahwa petunjuk selain petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lebih sempurna daripada petunjuk beliau dan hukum selain hukum beliau lebih baik daripada hukum beliau, seperti orang yang mengutamakan hukum buatan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
5. Membenci apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, walaupun kecil dan sekalipun dia mengamalkannya.
6. Melecehkan apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, walaupun sedikit.
7. Sihir.
8. Membela kaum musyrikin dan menolong mereka dalam menghadapi kaum muslimin.
9. Meyakini bolehnya keluar dari agama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana
keluarnya Khidhir dari ajaran Nabi Musa alaihissalam.
10. Berpaling dari agama AllahSubhanahu wata’ala, pada perkara-perkaranya yang paling inti, artinya dia tidak mau mempelajarinya atau beramal dengannya.
Sungguh, menyamakan Islam dengan agama selainnya termasuk salah satu pembatal keislaman dan menyebabkan penyerunya kafir murtad dari agama. Bahaya Konsep Menyamakan Islam dengan Selainnya Sekali lagi, sebuah konsep peneluran iblis ini sangat membahayakan keyakinan kaum muslimin jika mereka menerimanya.
Oleh karena itu, setiap muslim wajib mengingkari hal tersebut baik dengan lisan atau
tulisan, dan meyakini bahwa ini adalah seruan menuju keingkaran kepada Allah Subhanahu wata’ala, yang lebih berbahaya dari nuansa karikatur.
Bahaya konsep ini terlihat dari beberapa hal di bawah ini: Pertama: Penentangan terang- terangan terhadap nash-nash Al- Qur`an atau hadits shahih yang telah menjelaskan perbedaan antara Islam dan kufur, haq dan batil, syirik dan tauhid, sunnah dan bid’ah, serta petunjuk dengan kesesatan, berikut nash-nash yang melarang kita untuk menyerupai mereka.
ﻓَﺬَﻟِﻜُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺑُّﻜُﻢُ ﺍﻟْﺤَﻖُّ ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺇِﻟَّﺎ
ﺍﻟﻀَّﻠَﺎﻝُ ﻓَﺄَﻧَّﻰ ﺗُﺼْﺮَﻓُﻮﻥَ
“Demikianlah Allah adalah Rabb kalian yang haq, dan tidaklah setelah kebenaran melainkan kesesatan. Maka bagaimana kalian dipalingkan?” (Yunus: 32)
Kedua: Penghinaan terhadap Islam sebagai agama yang benar, dan sebaliknya memuji agama kekafiran. Tentu ini adalah sebuah kekafiran.
ُﻡﺎَﻠْﺳِﺈْﻟﺍ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺪِّﻳﻦَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Sesungguhnya agama yang benar adalah Islam.”
(Ali‘Imran: 19)
Ketiga: Meruntuhkan kaidah ingkarul mungkar (mengingkari kemungkaran) dalam agama. Keempat: Menumbangkan panji jihad, di mana Allah Subhanahu wata’ala, telah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk memerangi orang- orang kafir.
ْﻆُﻠْﻏﺍَﻭ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺟَﺎﻫِﺪِ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﻣَﺄْﻭَﺍﻫُﻢْ ﺟَﻬَﻨَّﻢُ ﻭَﺑِﺌْﺲَ ﺍﻟْﻤَﺼِﻴﺮُ
“Wahai nabi, perangilah orang-orang kafir, munafik dan bersikap tegaslah kalian terhadap mereka. Dan tempat kembali mereka adalah Jahannam dan (Jahannam) adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (At-Tahrim: 9)
Dan tentunya masih banyak lagi bahaya-bahaya konsep iblis ini. Dan ini merupakan ru`usul aqlam (poin-poin yang penting). Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber
http://salafy.or.id/blog/2016/09/01/islam-dan-kufur-dua-nama-yang-tidak-bakal-bersenyawa/
http://asysyariah.com/penyamaan-agama-adalah-perbuatan-kufur/