Jumat, 25 Desember 2015

Jangan Terpikat dengan Dunia

Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah Hafizhohalloh

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahulloh  dalam Tafsir-nya, “ Allah Subhanahu wa ta'ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah subhanahu wa ta'ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia(1). Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh melanjutkan, “Kemudian Allah subhanahu wa ta'ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah subhanahu wa ta'ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah Radiallohuanhu berkisah, “Rasulullah Shallallhualaihi wasallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا:وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah shalallohualaihi wasalam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah shalallohualaihi wasallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah k telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka n hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para sahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah l sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.

Rasulullah shalallohualaihi wasallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar Rodiallohuanhu, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar Rodiallohuanhu pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul shalallohualaihi wassalam tadi atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Adapun dalam perbuatan, beliau rodiallohuanhu merupakan sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud rodiallohuanhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar .” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullohu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar rodiallhuanhu di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud rodiallohuanhu  melihat Rasulullah ahalallohualaihi wassalam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para sahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab rodiallohuanhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah shalallohualaihi wassalam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar rodiallohuanhu berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْـحَصِيرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيمَا هُمَا فِيهِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَـهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟

Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah(2).” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab rodiallohuanhu berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لَا يَعْبُدُونَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَـهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah k.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia(3)?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.

Al-Mustaurid bin Syaddad rodiallohuanhu berkata, “Rasulullah shalallohualaihi wasallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullohu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia tak kan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan :

1. Mereka yang tertipu dengan dunia.

2. Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab rodiallohuanhu:

فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لَا أَبْكِي وَهَذَا الْـحَصِيرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لَا أَرَى فِيهَا إِلَّا مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَالْأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ

“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

3 Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah k berfirman:

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)

Jumat, 11 Desember 2015

Mush-haf Ustmany

Soal : Apakah yang dimaksud Mush-haf Ustmany❓

Jawab : Mush-haf Ustmany adalah Mush-haf dari ayat ayat Allah ta'ala yang dikumpulkan kaum muslimin pada zaman khilafah(pemerintahan) Shohabat Ustman bin 'Affan Rodhiyallohu'anhu.
Yang demikian disebabkan pada saat meninggalnya Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi Wasallam, Al Qur'an dalam keadaan belum terkumpul menjadi Mush-haf.
Al Qur'an pada waktu itu terdapat didada dada kaum muslimin, pelepah pelepah daun kurma, batu putih yang tipis dan halus, dan yang lainnya.
Kemudian dikumpulkan pada Khilafahnya  Shohabat Abu Bakar Ash Shidiq Rodhiyallohu'anhu ketika terbunuhnya sebagian besar para shohabat Rosululloh Sholallohu 'alaihi Wasallam yang Qurro'(hafal Al Qur'an), yaitu pada saat terjadinya peperangan yamamah.(sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam Bukhori Rohimahulloh No.4986).

Kemudian pada zamannya Kholifah Utsman bin 'Affan Rodhiyallohu 'anhu dikumpulkan karena Sabda Rasulullah Sholallohu 'alaihi Wasallam (Artinya): Sesungguhnya Al Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf.

▪Pada waktu kaum muslimin membaca Al Qur'an dengan huruf huruf yang berbeda.
perbedaan dialek/logat dalam membaca Al Qur'an menyebabkan terjadinya perselisihan pada pasukan pasukan kaum muslimin
didaerah islam.
Para Pimpinan pasukan khawatir akan terjadi Fitnah.

Mereka menulis risalah kepada Khalifah Ustman bin 'Affan Rodhiyallohu'anhu tentang apa yang terjadi sehingga diperintahkanlah para shohabat untuk mengumpulkan mush-haf.

▪Disatukanlah bacaan bacaan Al Qur'an menjadi satu huruf (bahasa), yaitu dengan bahasa Quraisy.
Bahasa Quraisy dipilih karena bahasa yang paling mulia, bahasa yang digunakan Rasululloh Sholallohu 'alaihi Wasallam, bahasa yang paling tinggi kedudukan tata bahasanya dan bahasa yang paling suci/bersih dinegara arab.
Dikumpulkanlah Mush-haf Mush-haf menjadi satu Mush-haf yaitu dengan bahasa Quraisy dan yang selainnya dibakar.

Maka, kaum muslimin bersatu diatas satu Mush-haf.
sampai kepada kita Mush-haf Al Qur'an Utsmaniy dengan penukilan mutawatir.

Tidak ada perbedaan/perselisihan sedikitpun dalam nukilan tersebut.
Bahkan Mushaf Al Qur'an yang disebut sebagai Mush-haf Ustmany akan tetap terpelihara diatas pemeliharan Allah sampai hari kiamat.

Disana masih terdapat bacaan bacaan yang keluar dari Mush-haf Ustmany dan bacaan tersebut shohih dari Rasululloh Sholallohu 'alaihi Wasallam.

Fatwa, Fadhilatu As Syaikh Al 'Allamah Al Faqih Muhammad bin Sholeh Al Ustaimin Rohimahulloh.

Sumber, Buletin Al Wala' wal Baro' Bandung edisi ke 35 tahun ke 5, 29 juni 2007/14 jumadil akhir 1428H.

Bandung 28 Safar 1437H/10 Desember 2015.

www.salafymedia.com

https://telegram.me/FadhlulIslam

https://telegram.me/salafymedia

Sabtu, 05 Desember 2015

Keutamaan Menuntut Ilmu Syar'i

TRANSKRIP TERJEMAHAN TELECONFERENCE CERAMAH SYAIKH KHOLID ADZ-DZHOFIRI HAFIDZHAHULLAH

📆 Jum'at malam, 23 Shafar 1437 H/ 04 Desember 2015 |Telelink dengan Beliau via Telpon pada jam 21.00 waktu Singapura/ 20.00 WIB

(setelah beliau membaca muqoddimah/ Khutbatul Haajah)

Hayyaakumullah (semoga Allah menghidupkan anda sekalian (dalam kebaikan)) wahai saudaraku seluruhnya yang sebagiannya di Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Aku meminta kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala agar mengokohkan kita semua di atas Sunnah. Dan semoga Allah mengumpulkan kita di Jannah (Surga) yang penuh dengan kenikmatan.

Di antara amalan sholih yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi ﷺ yang seseorang bisa mendekatkan dirinya kepada Rabbnya Subhaanahu Wa Ta’ala adalah ilmu, mempelajari ilmu, tafaqquh fiddiin.

Karena sesungguhnya hal ini akan menghasilkan pahala yang sangat besar dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Padanya terdapat kebaikan yang banyak, penyebutan yang baik, akibat yang terpuji bagi siapa yang mengikhlaskan niatnya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. ….

Nash-nash al-Quran dan Sunnah menunjukkan kedudukan ibadah ini dan keutamaannya. Hingga seseorang menjadi Ahlul Ilmi. Ia mempelajari ilmu hingga Allah membukakan untuknya kebaikan yang banyak ketika ia menjadi Ahlul Ilmi.

Karena Allah Azza Wa Jalla dengan kemuliaan ilmu menjadikan mereka sebagai pemberi persaksian atas keesaanNya (Tauhid), yaitu Laa Ilaaha Illallaah. Ini adalah persaksian yang terbesar.

Allah Azza Wa Jalla berfirman:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

"Allah bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Dia, demikian juga bersaksi Malaikat dan orang Ahlul Ilmi (Ulama), menegakkan persaksian itu dengan adil. Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Hikmah". (Q.S Ali Imran ayat 18)

Allah menjadikan persaksian Malaikat dan para Ulama terhadap keesaan (Tauhid) Allah. Para Ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah. Orang-orang yang mengetahui tentang agamaNya. Mengetahui tentang RasulNyaﷺ.

Mereka takut kepada Allah dan terus merasa diawasi oleh Dia. Mereka berhenti pada batasan-batasan Allah. Karena itu Allah mensifatkan mereka adalah Ahlul Khosy-yah (orang-orang yang takut kepada Allah dengan mengetahui keagungan Allah, pent). Mereka takut (khouf) kepada Allah Azza Wa Jalla. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Hanyalah yang takut (dengan mengetahui keagungan) Allah dari para hambaNya adalah para Ulama (Q.S Faathir ayat 28)

Telah dimaklumi bahwa setiap muslim takut kepada Allah. Setiap orang beriman takut kepada Allah. Akan tetapi perasaan takut (khosy-yah) yang sempurna hanyalah milik Ahlul Ilmi.

Pimpinan Ahlul Ilmi adalah para Rasul 'alaihimussholaatu wassalaam. Kemudian yang setelah itu adalah para Ulama sesuai tingkatan mereka. Para Ulama terbaik dari umat ini adalah para Shahabat Nabi 'alaihissholaatu wassalaam.

Terdapat (nash-nash) tentang keutamaan ilmu, (di antaranya) hadits Muawiyah radhiyallahu anhu dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim) bahwa Nabiﷺ bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

"Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan kepadanya, Allah akan faqihkan (pahamkan) ia tentang (ilmu) Dien".

Hadits ini menunjukkan bahwa termasuk tanda kebaikan dan tanda kebahagiaan seseorang adalah mendapatkan kefaqihan (pemahaman Dien) dari Allah.

🅾 Setiap penuntut ilmu yang ikhlas kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala sama saja apakah di Universitas, Ma’had, Markaz, atau halaqoh ilmu melalui radio-radio Salafiyyah, tidak diragukan lagi bahwa ini termasuk yang Allah inginkan pada mereka kebaikan. Maka aku meminta kepada Allah taufiq dan hidayah untukku dan untuk anda sekalian..
🅾 Menempuh perjalanan menuntut ilmu termasuk penyebab menuju Surga.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Allah akan melindungi dia dari fitnah-fitnah syubuhaat dan syahwaat. Sebagaimana sabda Nabi kitaﷺ dari hadits Abud Darda’ yang dikeluarkan Ash-haabus Sunan:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

"Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. dan sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi para penuntut ilmu sebagai bentuk keridhaan atas perbuatan mereka.  Dan sesungguhnya seluruh yang ada di langit dan di bumi sampai sekalipun ikan di lautan akan memohonkan ampunan bagi orang yang berilmu. Dan sesungguhnya keutamaan seorang ‘Alim terhadap orang yang ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang."

🅾 Di akhir hadits tersebut selanjutnya disebutkan bahwa barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka ia telah mengambil warisan para Nabi.

Sebagaimana Nabi 'alaihissholaatu wassalaam bersabda:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

"Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil dari ilmu itu, maka ia telah mengambil bagian yang sangat banyak"

Dan yang menunjukkan akan hal itu disebutkan dalam (atsar) dari Ibnu Mas’ud (*) radhiyallahu Ta’ala anhu bahwa ia datang ke orang-orang di pasar yang sibuk dengan urusan dunia. Maka beliau berkata kepada mereka:

"Sesungguhnya warisan Rasulullahﷺ sedang dibagikan di masjid. Ambillah bagian darinya!"

Maka manusia bersegera menuju masjid menyangka bahwa akan ada pembagian (harta) dunia.
Mereka masuk ke masjid tidak mendapatkan yang diinginkan hingga kembali ke Ibnu Mas’ud dan berkata kepada beliau: Kami tidak mendapatkan ada pembagian ( harta warisan) di masjid. Beliau berkata: Apa yang kalian dapatkan di sana?
Kami mendapati di masjid ada kaum yang membaca al-Quran, ada yang mempelajari ilmu, sebagian kaum membaca Sunnah. Maka beliau berkata:

✋🏼"Celaka kalian, itu adalah warisan Nabi ﷺ !! Barangsiapa yang mengambil bagian darinya, ia akan mengambil bagian yang sangat banyak"

🅾 Mempelajari dan menempuh jalan dalam menuntut ilmu adalah termasuk ibadah yang terbesar yang semestinya bagi Shohibu Sunnah dan para pencari alhaq mengerahkan segenap upayanya dalam menuntut ilmu dan menggunakan waktunya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya.

Hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam mempelajari aqidah, yang merupakan ilmu yang paling agung, yaitu Tauhid.

▪Hendaknya ia membaca Kitabut Tauhid dan penjelasan-penjelasan (syarh) Ulama tentangnya, dan juga kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sesuai tingkatan keilmuan yang sesuai baginya.
▪Hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam mempelajari hadits seperti Arbain anNawawiyyah, mengambil faidah darinya.
▪Membaca kitab-kitab Mustholah (hadits) dan dalam fiqh…juga mempelajari ilmu-ilmu alat.
☝🏽Ilmu itu sangat luas. Jika engkau mengerahkan seluruh bagian darimu, ilmu itu akan memberikan sebagian darinya.

🅾Kita hendaknya mengetahui bahwa ilmu adalah penyebab keselamatan dari fitnah-fitnah pada kehidupan kaum muslimin.
▪(Ilmu) meredam (fitnah) syahwat, juga fitnah syubuhaat berupa hawa nafsu dan kebid’ahan.
▪(Meredam_red) Fitnah-fitnah syubuhat dari orang-orang kafir.
▪Ilmu menjadikan seseorang mengetahui tentang Allah dan agamaNya.
👉Hal itu menjadi sebab ia selamat dari fitnah-fitnah. Hingga (jika ia berilmu) bisa menjadi penyebab yang menghilangkan fitnah-fitnah dari manusia. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang hadits tentang keutamaan para Ulama:"

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

"Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus (dari dada manusia) akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan Ulama. Hingga jika tidak tersisa orang alim lagi, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya kemudian berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan" (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Ahlul Ilmi yang menempuh jalan al-haq (kebenaran) akan memperingatkan dari fitnah-fitnah tersebut. Demikian juga para penyeru pada kesesatan (justru akan berusaha menyebarkan fitnah-fitnah itu).

🎋 Diantara penyebab mendapatkan ilmu adalah ikhlas karena Allah.
▪Maka wajib bagi kita untuk mengikhlaskan menuntut ilmu karena Allah.
▪Jangan kita menuntut ilmu untuk berdebat dengan manusia.
▪Jangan menuntut ilmu karena mencari pujian manusia hingga mereka berkata bahwa orang ini berilmu atau pandai baca al-Quran (Qori’).
Harusnya kita menuntut ilmu karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

🎋Aku tutup dengan kalimat ini…Ucapan al-Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah:
✋🏼 “Ilmu tidaklah bisa didapatkan dengan tubuh yang santai (bermalas-malasan)”.

❗Maka kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Terus berusaha mengisi waktu dan umur kita untuk menghilangkan ketidaktahuan dalam diri kita.

Ini adalah termasuk tujuan dan ibadah yang paling agung. Aku meminta kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala agar Dia memberikan taufiq kebaikan kepada kita, dan agar Dia menolong kita untuk senantiasa mengikuti petunjuk Rasulullah ﷺ dan semoga Allah menjadikan kita sebagai para penuntut ilmu…dan agar Allah menjadikan amalan kita ikhlas untuk mengharapkan WajahNya Yang Mulia. Aku meminta kepada Allah taufiq dan kekokohan kepadaku dan kepada anda sekalian.

Allaahu A’lam, washollallaahu wasallama ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad..

-------------------------------
📝Catatan Kaki dari penerjemah:

(*) Syaikh Kholid hafidzhahullah menyebutkan bahwa itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, sedangkan dalam atsar riwayat atThobaroniy disebutkan bahwa itu adalah Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَرَّ بِسُوْقِ الْمَدِيْنَةِ فَوَقَفَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا أَهْلَ السُّوْقِ مَا أَعْجَزَكُمْ قَالُوْا وَمَا ذَاكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ ذَاكَ مِيْرَاثُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْسَمْ وَأَنْتُمْ هَا هُنَا أَلَا تَذْهَبُوْنَ فَتَأْخُذُوْنَ نَصِيْبَكُمْ مِنْهُ قَالُوْا وَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجُوْا سُرَاعًا وَوَقَفَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ لَهُمْ حَتَّى رَجَعُوْا فَقَالَ لَهُمْ مَا لَكُمْ فَقَالُوْا يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَدْ أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ فَدَخَلْنَا فِيْهِ فَلَمْ نَرَ فِيْهِ شَيْئًا يُقْسَمُ فَقَالَ لَهُمْ أَبُوْ هُرَيْرَةَ وَمَا رَأَيْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ أَحَدًا قَالُوْا بَلَى رَأَيْنَا قَوْمًا يُصَلُّوْنَ وَقَوْمًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ وَقَوْمًا يَتَذَاكَرُوْنَ الْحَلَالَ وَالْحَرَامَ فَقَالَ لَهُمْ أَبُوْ هُرَيْرَةَ وَيْحَكُمْ فَذَاكَ مِيْرَاثُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya beliau melewati pasar Madinah, kemudian berhenti. Beliau berkata:

Wahai orang-orang di pasar, apa yang membuat kalian lemah (tidak bersemangat)?

Orang-orang di pasar itu berkata: Ada apa wahai Abu Hurairah?

Abu Hurairah menyatakan: Itu warisan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dibagikan, tapi kalian ada di sini. Tidakkah kalian pergi ke sana dan mengambil bagian kalian darinya?

Mereka berkata: Di mana itu (pembagiannya)?

Abu Hurairah menyatakan: Di masjid.
Maka mereka segera pergi dengan cepat. Abu Hurairah berdiri menunggu mereka. Hingga mereka kembali dan Abu Hurairah berkata: Apa yang terjadi pada kalian?

Mereka berkata: Wahai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid kemudian masuk ke dalamnya, kami tidak melihat ada sesuatupun yang dibagikan.

Abu Hurairah berkata kepada mereka: Tidakkah engkau melihat ada orang di masjid?

Mereka berkata: Ya. Kami melihat ada kaum yang sholat, ada kaum yang membaca al-Quran, ada kaum yang mempelajari halal dan haram.

Maka Abu Hurairah berkata kepada mereka: Celaka kalian, itulah warisan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
(riwayat atThobaroniy dalam al-Mu’jamul Awsath, dihasankan Syaikh al-Albaniy dalam Shahih atTarghib wat Tarhiib)

                                       ✺✺✺

✏ Penerjemah: Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafidzahullah | WA al-I'tishom

📥 Audio durasi 13:21 (1,56 MB)
____________________
🔍 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
💾 telegram: http://bit.ly/1l4itdZ [FBF]
🏀 www.alfawaaid.net

Jumat, 06 November 2015

BERJUTA CINTA DALAM BAYANG-BAYANG PEDANG

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibn Rifa’i

Dari Abdullah bin Umar radhiyallohuanhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتىَّ يُعْبَدَ اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِيْ تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِيْ وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصِّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Aku diutus menjelang hari kebangkitan dengan pedang supaya hanya Allah semata yang di ibadahi, tiada sekutu bagi-Nya. Rezekiku diletakkan di bawah naungan pedangku. Kerendahan dan kehinaan ditetapkan bagi siapa saja yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk bagian dari mereka.”

Benarkah Islam agama yang penuh rahmah dan kasih sayang? Benarkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cinta dan kedamaian kepada umat manusia? Jika memang benar, mengapa kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dipenuhi dengan cerita perang dan pertempuran? Itulah sebuah syubhat yang diungkap untuk mencitrakan Islam sebagai agama yang buas dan penuh kebencian. Maka dari itu, hadits di atas hanya sebagian penggalannya yang dibahas untuk sedikit menjawab syubhat tersebut.

Hadits tersebut dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (no. 5114, 5115, 5667), al-Khatib dalam al-Faqih wal Mutafaqqih (2/73), dan Ibnu Asakir (1/19/96) dari jalan Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban dari Hassan bin ‘Athiyyah dari Abu Munib al-Jarasyi.

Asy-Syaikh al-Albani menjelaskan dalam Jilbab Mar’ah Muslimah (203— 204), “Hadits ini sanadnya hasan. Mengenai Ibnu Tsauban, memang ada pembicaraan, namun tidak memudaratkan. Al-Imam al-Bukhari rahimahumullah telah menyebutkan sebagian dari hadits di atas secara mu’allaq di dalam Shahihnya (6/75).”

Al-Hafizh rahimahumullah menjelaskan dalam syarahnya, “Hadits ini adalah bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh al- Imam Ahmad dari jalan Abu Munib… dan hadits ini mempunyai penguat yang mursal dengan sanad yang hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan al-‘Auza’i dari Sa’id bin Jabalah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan.”

Tujuan Berperang

Perang, dalam perspektif Islam, memiliki tujuan dan cita-cita mulia, antara lain:

1. Membebaskan manusia dari peribadahan kepada makhluk menuju peribadahan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala , Dzat yang menciptakan dan memberikan rezeki untuk mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (al- Anfal: 39)

2. Menghapuskan kezaliman dan mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuasa menolong mereka itu.” (al-Hajj: 39)

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ

“(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, selain karena mereka berkata,‘Rabb kami hanyalah Allah’.”(al-Hajj: 40)

3. Menghinakan orang-orang kafir, menghukum, dan melemahkan kekuatan mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ () وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ ۗ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu. Allah akan menghinakan mereka, menolong kamu dari mereka, dan melegakan hati orang-orang yang beriman,serta Allah akan menghilangkan panas hati orang orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang-orang yang dikehendaki- Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 14-15) (al-Mulakhas Fiqhi, al-Fauzan, 1/379—380)

Beberapa Adab dalam Berperang

Sebagai bukti bahwa Islam mengajarkan cinta kasih, tidak asal membunuh, dan tidak menekankan kebencian, adalah adab-adab yang dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap peperangan. Di antaranya adalah,

1. Islam selalu menawarkan pilihan pilihan sebelum berperang, yaitu masuk Islam atau membayar jizyah (semacam upeti) dengan mereka tetap menjalankan agama masing-masing.

Di dalam hadits Buraidah radhiyallahu anhu, beliau bercerita, “Dahulu, kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat seorang panglima untuk sebuah pasukan perang, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memberikan wasiat secara khusus untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan,

“Berperanglah dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa ta’ala  di jalan- Nya! Perangilah orang-orang yang kufur terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala! Janganlah kalian berbuat ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi), berkhianat, mencincang jasad musuh, dan janganlah membunuh anak-anak. Jika engkau berjumpa musuh dari kaum musyrikin, tawarkan kepada mereka tiga hal. Apa pun yang mereka pilih darimu, terimalahdantahanlahdirimu dari mereka.” (Shahih Muslim, 1731)

Ketiga hal tersebut adalah: masuk Islam, membayar jizyah, atau berperang. Sama juga dengan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebelum menyerang benteng Khaibar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ

“Berangkatlah dengan hati-hati hingga engkau berada didepan benteng mereka. Kemudian, ajaklah mereka ke dalam Islam! Sampaikan kepada mereka akan kewajiban mereka terhadap hak Allah Subhanahuwata’ala . Demi Allah, (seandainya) Allah Subhanahuwata’ala memberikan hidayah kepada seseorang melalui sebab dirimu, itulebih baik bagimu daripada unta merah.”(HR. al-Bukhari no. 2942, Muslimno. 2406)

2. Islam tidak mengajarkan untuk berharap bertemu dengan musuh. Namun, jika telah berjumpa haruslah bersabar. Di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ فَإذَِا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا

“Janganlah kalian berharap-harap bertemu dengan musuh. Akan tetapi, jika kalian telah bertemu dengan musuh,bersabarlah!” (HR. al-Bukhari no. 3025 dan Muslim no. 1741)

3. Dilarang membunuh kaum wanita dan anak-anak. Ibnu Umar radhiyallahu anhu bercerita tentang seorang wanita yang ditemukan terbunuh dalam sebuah peperangan yang diikuti oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak (HR. al-Bukhari no. 3013 dan Muslim no. 1745).

4. Dilarang berbuat khianat, mencincang ,dan mencacat jasad musuh, serta ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi). Dalilnya adalah hadits Buraidah radhiyallahu anhu pada poin pertama.

5. Dilarang membunuh musuh yang dalam keadaan tidak berdaya.

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat di bawah naungan sebuah pohon dalam Perang Dzatur Riqa’. Datang seorang musuh dengan menghunus pedang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tertidur. Saat Nabi terbangun, orang itu bertanya, “Apakah engkau takut kepadaku?” Jawab Nabi, “Tidak!” Orang itu bertanya lagi, “Siapa yang akan menghalangiku dari membunuhmu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah Subhanahuwata’ala.” Seketika itu, pedang yang ia bawa terjatuh lalu diambil oleh

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau balik bertanya, “Siapakah yang akan menghalangiku dari membunuhmu?”Lalu,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya masuk Islam. Ia menolak, tetapi berjanji untuk tidak lagi ikut memerangi kaum muslimin.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya pergi.

Orang itu kembali ke kaumnya dan mengatakan, “Aku datang kepada kalian setelah bertemu dengan manusia terbaik.” (HR. al- Bukhari no. 4139 dan Muslim no. 843)

Latar Belakang Perang di Masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sejarah perang di masa Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam selalu diawali oleh sikap-sikap kaum musyrikin yang mengganggu ketenteraman kaum muslimin, pengkhianatan mereka, dan kezaliman mereka. Perang terjadi setelah tiga belas tahun lamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin bersabar atas kezaliman dan kejahatan kaum musyrikin selama di Makkah. Berikut ini beberapa latar belakang perang yang terjadi pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Perang Badar

Semua berawal dari rongrongan kaum musyrikin Quraisy yang berusaha membuat makar untuk menghancurkan kaum muslimin. Mereka mengirim suratsurat kepada kaum musyrikin di Yatsrib (Madinah) untuk berusaha menekan, memerangi, dan mengusir kaum muslimin dari kota Madinah. Mereka diancam akan dibunuh dan perempuan-perempuan mereka akan dihalalkan jika tidak memerangi kaum muslimin. Kaum muslimin pun berusaha balas menekan. Di antara bentuknya adalah melakukan penghadangan terhadap kafilah-kafilah dagang kaum musyrikin Quraisy.

Hingga suatu saat, kafilah dagang yang dipimpin oleh Abu Sufyan berhasil lepas dari pengintaian kaum muslimin. Ia pun mengirimkan berita kepada kaum musyrikin di Makkah tentang usaha penghadangan kaum muslimin. Berangkatlah kurang lebih 1.000 orang pasukan dengan perlengkapan dan peralatan perang, di atas keangkuhan dan kesombongan. Sementara itu, kaum muslimin hanya membawa perlengkapan dan peralatan seadanya, itu pun dengan jumlah pasukan kurang lebih tiga ratus orang. Terjadilah peperangan yang kemudian dimenangi oleh kaum muslimin.

2. Perang Bani Nadhir

Bermula dari kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke bani Nadhir untuk menghitung/ menentukan tebusan atas kesalahan seorang sahabat yang membunuh dua orang Yahudi. Namun, orang-orang bani Nadhir justru berencana mempergunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam secara diam-diam. Akan tetapi, malaikat Jibril  memberitahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas kembali ke Madinah lalu memerintahkan Muhammad bin Maslamah untuk menyampaikan kepada bani Nadhir agar mereka segera meninggalkan tempat mereka dalam waktu sepuluh hari. Jika tidak, mereka akan diperangi. Karena hasutan dari orang-orang Yahudi lainnya, mereka pun menolak tawaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka justru mempersiapkan diri untuk berperang melawan kaum muslimin.

Setelah dikepung selama enam malam, bani Nadhir kemudian menyerah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir mereka dari Madinah dan memberikan kemurahan sehingga mereka bisa membawa barang dan harta, selain senjata. Allah Subhanahuwata’ala menceritakan hal ini dalam surat al-Hasyr.

3. Perang Ahzab

Perang ini terjadi karena persekongkolan dan makar jahat kaum musyrikin Makkah, kabilah Ghathafan, kaum Yahudi, dan kabilah-kabilah lainnya. Mereka bersepakat untuk bersatu dan bersama-sama menyerang kota Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat untuk menentukan strategi di dalam menghadapi pasukan gabungan tersebut. Jadi, Perang Ahzab adalah perang yang terjadi karena kaum muslimin membela diri dan mempertahankan kota Madinah.

4. Perang Bani Quraizhah

Bani Quraizhah adalah kabilah Yahudi yang melakukan pengkhianatan terhadap kaum muslimin. Pada saat kaum muslimin sedang sibuk melawan pasukan gabungan dalam Perang Ahzab di sebelah utara Madinah, bani Quraizhah yang berada di sebelah selatan Madinah malah menyatakan perang.

Padahal, tidak ada yang menghalangi antara bani Quraizhah dengan lokasi perlindungan kaum wanita dan anak-anak kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersedih, pun para sahabatnya. Setelah Allah Subhanahuwata’ala memberikan kemenangan kepada kaum muslimin dalam peristiwa Perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berangkat menuju tempat tinggal bani Quraizhah untuk menghukum mereka atas pengkhianatan yang mereka lakukan.

5. Perang Mu’tah

Perang ini terjadi karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah saat mendengar utusan beliau, sahabat al-Harits bin ‘Amr, yang membawa surat untuk penguasa negeri Basra malah dibunuh dan dipenggal kepalanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan pasukan terdiri dari 3.000 orang dengan pimpinan secara bergantian Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Itu pun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan untuk menyampaikan tawaran Islam kepada mereka terlebih dahulu. Jika menolak, mereka boleh diperangi.

Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Berperanglahkaliandengannama Allah Subhanahu wa ta’ala  dandijalan Allah Subhanahuwata’ala. Bunuhlah orang yang melakukank ekufuran kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Janganlah kalian menipu dan mencuri harta rampasan perang. Jangan pula membunuh anak-anak, kaum wanita, dan orang-orang tua. Janganlah kalian merusak tempat ibadah mereka, menebang pohon kurma, dan pohon apapun,serta janganlah merobohkan bangunan!”

6. Fathu Makkah

Inilah peristiwa penaklukan kota Makkah. Bermula dari pengkhianatan kaum musyrikin Quraisy yang secara diam-diam membantu sekutu mereka, bani Bakr, untuk menyerang bani Khuza’ah. Padahal Khuza’ah adalah sekutu kaum muslimin. Sementara itu, dalam Perjanjian Hudaibiyah telah disepakati masa gencatan senjata. Ternyata, orangorang bani Bakr telah membunuh lebih dari dua puluh orang bani Khuza’ah. Khuza’ah lalu menyampaikan berita itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bergeraklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat untuk menaklukan kota Makkah.

Setelah kota Makkah ditaklukkan, apa yang beliau lakukan? Beliau mengatakan kepada kaum Quraisy yang dahulu memusuhi dan memerangi kaum muslimin, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Bubarlah, karena kalian adalah orang-orang yang bebas!”

Sungguh Sangat Berbeda!

Sungguh sangat berbeda! Peperangan yang dikenal dan terjadi pada masa jahiliah adalah peperangan yang dipenuhi oleh kekejaman, kekerasan, perampokan, penghancuran kehormatan, pemusnahan ladang dan kebun, pembunuhan terhadap anak-anak, tanpa kasih sayang dan rasa perikemanusiaan. Adapun Islam, peperangan adalah sarana untuk menebarkan kasih sayang dan keadilan, menolong orang-orang yang terzalimi, dan menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga peribadahan benar-benar menjadi hanya untuk Allah Subhanahu wa ta’ala.

Lihatlah adab-adab berperang yang diajarkan oleh Islam. Betapa rahmat dan penuh cinta! Bandingkanlah! Selama tidak lebih dari delapan tahun peperangan yang dijalankan di masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, korban terbunuh hanya sebatas 1.000 orang dari kalangan kaum muslimin, kaum musyrikin, Yahudi, dan Nasrani.

Dengan rentang waktu yang relatif singkat dan korban jiwa yang relatif kecil, kaum muslimin mampu menundukkan hampir seluruh Jazirah Arab dan menciptakan keamanan serta ketenteraman. Adapun peperangan di zaman jahiliah sangat jauh berbeda. Korban begitu banyak, dilatarbelakangi oleh dendam dan benci, penuh ketakutan dan tidak berakhir.

Misalnya, perang antara bani Bakr dan kabilah Taghlib yang terjadi selama empat puluh tahun dengan korban sekitar 70.000 orang! Atau perang antara Aus dan Khazraj yang terjadi hampir seratus tahun. Sungguh sangat berbeda! Bandingkanlah dengan peperangan yang dilakukan dan dijalani oleh kaum kafir Barat! Dalam Perang Dunia Pertama, yang hanya berlangsung kurang lebih selama empat tahun, minimalnya ada 40 juta orang tewas.

Mayoritasnya adalah warga sipil yang tidak terlibat dalam peperangan secara langsung. Sekitar 9 juta orang tewas akibat kekurangan pangan, kelaparan, pembunuhan massal, dan terlibat secara tidak langsung dalam pertempuran. Dalam perang ini, senjata kimia digunakan untuk pertama kalinya, pemboman atas warga sipil dari udara dilakukan, dan banyak pembunuhan massal.

Bandingkan juga dengan Perang Dunia Kedua! Perang terbesar dalam sejarah manusia yang melibatkan kaum kafir Barat yang hanya terjadi dalam waktu enam tahun, telah memakan korban 70 juta orang tewas, mayoritasnya masyarakat sipil. Dalam dua perang dunia ini, mencuat nama-nama penjahat perang semacam Hitler, Mussolini, Lenin, Stalin, dan lainnya. Demikian juga kejahatankejahatan yang tercatat dalam sejarah hitam dunia. Tokyo dibom bakar oleh sekutu yang mengakibatkan 90.000 orang tewas akibat kebakaran hebat di seluruh kota.

Hiroshima dan Nagasaki dibom atom yang mengakibatkan korban dan kerugian besar. Hal-hal yang sangat tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan telah dipertontonkan oleh kaum kafir Barat. Atau juga kejahatan yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic yang melakukan genosida (pembantaian etnis secara massal) terhadap kaum muslimin di Bosnia.

Belum lagi kejahatan kaum kafir Barat terhadap kaum muslimin di Afghanistan, Palestina, Chechnya, dan banyak daerah lain. Sebelumnya lagi, dalam catatan Perang Salib. Sejarah telah mencatat kekejaman dan kejahatan yang dilakukan oleh kaum Salibis terhadap kaum muslimin.

Pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak, pembakaran masjid dan bangunan lainnya, pemerkosaan, tindakan keji dan bengis, serta perbuatan bengis lainnya. Kita harus bertanya, “Siapakah yang patut dianggap sebagai kaum yang jahat dan tidak berperikemanusiaan? Siapa pula yang pantas dinilai sebagai kaum yang penuh rahmat dan kasih sayang? Kaum muslimin yang mengajarkan adab adab penuh cinta dan kasih sayang di dalam berperang; ataukah kaum kafir Barat yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan?” Alhamdulillah, Islam adalah agama yang mengajarkan rahmat dan kasih sayang.

Al-Qur’an, sunnah, dan sejarah Nabi Muhammad  menjadi bukti hal tersebut. Meskipun ada kelompok kelompok atau individu-individu yang melakukan kejahatan lalu menisbatkan dirinya kepada Islam, sesungguhnya Islam berlepas diri dari mereka. Wallahulmusta’an, walhamdulillah Rabbil ‘alamin.

——————————————————

Sumber : 
Majalah Asy Syariah

Rabu, 04 November 2015

JANGAN MERASA HEBAT KARENA MERASA SUDAH MELAKUKAN IBADAH INI DAN ITU

Oleh : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed hafizhahulloh

Oleh karena itu, kebahagiaan manusia, kebaikan manusia, dengan mewujudkan kalimat 'laailaha illallah' dalam hatinya yang utama, baru kemudian dibuktikan dalam amalnya.
Yakni mewujudkan dalam hatinya kalimat "iyyaka na'bud wa iyyaka nasta'in", Ya Alloh kepadaMu lah kami beribadah, tidak kepada yang lain, dan kepadaMu lah kami meminta pertolongan.

Ikhwanifidiin a'azakumullah,
1. Yang pertama 'ibadah,
2. Yang kedua isti'anah.

termasuk dalam yang dibahas tadi.Tahu yang disembahnya adalah Alloh, tetapi tahu pula bahwa kita nggak akan mampu kecuali dengan kekuatan dari Alloh, walahaula walaquwwata illabillah. Nggak ada kekuatan, nggak ada daya upaya kecuali dengan bantuan dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala.

Ketika kita bisa berdiri shalat, ketika kita bisa berpuasa di bulan romadhon, bersyukurlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah memberikan pertolongan, bantuan kepada kita, sehingga kita bisa mendirikan sholat. Betapa banyak orang-orang yang ingin shalat tapi salah, betapa banyak yang ingin sholat tapi dia dalam keadaan tidak sempat, berapa banyak orang yang ingin beribadah tapi dia tidak mampu, kasihan.

Ikhwanifidiin a'azakumullah, maka beribadahnya kepada Allah, tetapi kita yakin kita ngga akan mampu beribadah kecuali dengan bantuan Allah. Nggak akan mampu kita sholat dengan baik, nggak akan mampu puasa dengan baik dan benar kecuali dengan bantuan dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala. Maka kalimat yang paling haq adalah kalimat dalam surat Al fatihah "iyyaka na'bud wa iyyaka nasta'in". Ya Alloh kepadaMu lah aku beribadah dan kepadaMu lah kami memohon pertolongan, bantuan.

Jangan sombong, jangan sombong dengan ibadah. Saya hebat, saya tinggi ibadahnya, saya sudah bisa qiyamulail, saya sudah bisa puasa dawud, saya sudah begini sudah begini, harusnya Allah memberikan saya begini dan begitu. Kok sombongnya..... "harusnya Allah......" Sudah berani mengharuskan Allah?

Lantas yang membantu kamu sehingga kamu bisa qiyamulail, siapa? Yang memberikan i'anah, dukungan dan bantuan kepadamu sehingga kamu bisa berpuasa dengan puasa dawud Masyaa Allah, siapa? Yang memberikan kepadamu kekuatan, yang memberikan kepadamu kesehatan, yang memberikan kepadamu dalam wujud yang normal tidak cacat, yang menjadikan kamu memiliki kekuatan, siapa? Yang memberikan fasilitas buatmu sehingga kamu bisa bernafas, bisa makan, bisa minum dengan normal, siapa? Semua dijawab Allah, Allah...

Berarti ibadah kamu yang hebat itu Allah yang menakdirkannya untukmu, "afalaakuuna Abdansyakuro", Tidakkah semestinya kamu menjadi hamba yang syukur?

Ikhwanifiddii a'azakumullah, Rosululloh shalallahu 'alaihi waalihiwasallam yang sudah dijamin dengan ampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sholatnya Masyaa Allah, khusyu'nya Masyaa Allah, berdirinya, sujudnya, sehingga kaki beliau bengkak, sampai Aisyah mengatakan "Ya...Rosulullah untuk apa yang seperti ini, padahal engkau telah diampuni dosa yang lalu dan dosa yang akan datang?" Jawabnya "afalaakuuna Abdansyakuro", kalau sudah diampuni dosa-dosaku bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur.

Ikhwanifidiin a'azakumullah, sholat (adalah-pen) nikmat, bisa sempat solat berjamaah (adalah-pen) nikmat, kita mendapatkan dari Alloh taufiq, itu kenikmatan juga. Kemudian bersukur, kamu bisa syukur juga nikmat dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala.

Bagaimana kamu akan sombong? Bagaimana kita bisa lepas dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala?
Tidak akan bisa, nggak akan bisa lepas dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

_______________________________

Ditranskrip oleh Syabab Forum Salafy dari rekaman kajian

Kitab Ighotsatul Lahfan Fi Mashoyidhisysyaithon BAB 6 menit 25.07-29.36

WSI || http://forumsalafy.net/jangan-merasa-hebat-karena-sudah-melakukan-ibadah-ini-dan-itu/

Jumat, 30 Oktober 2015

DASAR HUKUM POSITIF SESATNYA SYI'AH TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP DI NEGARA KITA REPUBLIK INDONESIA

Merujuk langsung pada situs resmi Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia.

📮 BERIKUT INI LINK DOWNLOAD PDF KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG, BAHWA AJARAN SYI'AH ITSNA ASY'ARIYAH SESAT, PENISTAAN TERHADAP AGAMA ISLAM, RUKUN IMAN. DAN RUKUN SYI'AHNYA BERBEDA DENGAN RUKUN IMAN DAN RUKUN  ISLAM.

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/4a888fc06057b00265e6700593b395bf/pdf&ved=0CB8QFjABahUKEwijuKaGp-rIAhXlJ6YKHZeoBDQ&usg=AFQjCNHNy05H7RxEgi0GF_F0e19G4NWWnw&sig2=1hMfWUGjceVzdfp7rb2xrg

Semoga bermanfaat

Baarakallaahufiiykum

18 Muharram 1437H || 31 Oktober 2015M

Dipublikasikan Oleh :
🔰🌠 Al-Manshurah Singaraja

Selasa, 27 Oktober 2015

Beberapa situs Salafiyyin yang terpercaya


بعض أسماء المواقع السنية على منهج السلف الصالح الموثوقة وروابطها

🔸Syaikh Al Albani
" موقع الشيخ محمد ناصر الدين الألباني
www.alalbany.net/

🔸Syaikh As Sa'dy
الموقع الرسمي للشيخ عبدالرحمن السعدي
www.binsaadi.com/

🔸 Syaikh Abdul Aziz bin Baz
موقع الشيخ عبدالعزيز بن باز
www.binbaz.org.sa/

🔸 Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin
موقع الشيخ محمد بن صالح العثيمين
www.ibnothaimeen.com/

🔸Syaikh Robi bin Hadiy Al Madkhaliy
موقع الشيخ ربيع بن هادي المدخلي
www.rabee.net/

🔸Syaikh Muhammad Amman Al Jamiy
موقع الشيخ محمد أمان الجامي
www.eljame.com/

🔸Syaikh Sholih Al Fauzan
موقع معالي الشيخ صالح بن فوزان الفوزان
www.alfawzan.af.org.sa/

🔸Syaikh Sholih Al Luhaidan
موقع معالي الشيخ صالح اللحيدان
www.lohaidan.af.org.sa/

🔸Syaikh Al Mufti Abdul Aziz Alu Syaikh
موقع الشيخ عبد العزيز ال الشيخ
http://www.mufti.af.org.sa/

🔸Syaikh Sholih Alu Syaikh
موقع الشيخ صالح ال الشيخ
http://saleh.af.org.sa/mobile.html

🔸Syaikh Muqbil bin Hadiy Al Wadi'y
موقع الشيخ مقبل بن هادي الوادعي
www.muqbel.net/

🔸Syaikh Abdul Muhsin Al 'Abbad
موقع الشيخ عبد المحسن بن حمد العباد
www.al-abbaad.com/

🔸Syaikh Ahmad An Najmy
موقع الشيخ أحمد بن يحيى النجمي
www.alnajmi.net/

🔸Syaikh Zaid Al Madkhali
موقع الشيخ زيد بن محمد هادي المدخلي
www.njza.net/

🔸Syaikh Taqiyuddin Al Hilaly
موقع الشيخ محمد تقي الدين الهلالي ( الأول )
http://www.alhilali.net/
موقع الشيخ محمد تقي الدين الهلالي ( الثاني )
http://www.alhilali.net/?c=1

🔸Syaikh Abdussalam bin Barjas
موقع الشيخ عبدالسلام بن برجس آل عبدالكريم
www.burjes.com/

🔸Syaikh Muhammad Ali Farkus
موقع الشيخ أبي عبد المعزّ محمّد علي فركوس
www.ferkous.com/

🔸Syaikh Muhammad Sa'id Ruslan
موقع الشيخ محمد سعيد رسلان
www.rslan.com/

🔸Syaikh Muhammad Bazmul
موقع الشيخ محمد بن عمر بازمول
www.bazmool.com/

🔸Syaikh Abdullah Sholfiq Adz-Dzhufairy
موقع الشيخ عبد الله بن صلفيق الظفيري حفظه الله
www.dafiri.com/

🔸Syaikh Kholid bin Abdurrahman Al Mishry
موقع الشيخ خالد بن عبد الرحمن المصري
www.khalied.com/

🔸Syaikh Ali Al Haddady
موقع الشيخ علي بن يحي الحدادي
www.haddady.com/

🔸Lajnah Da'imah wal Ifta'
الرئاسة العامة للبحوث العلمية والإفتاء
http://www.alifta.com/default.aspx

🔸Miraath net Admin Syaikh Khalid Baqois
موقع وإذاعة ميراث الأنبياء
http://ar.miraath.net/

🔸Wahyain com
منتديات الوحيين السلفية
http://www.wahyain.com/

🔸Nur Al Yaqin Admin Syaikh Abu Furaihan Jamal Al Haritsy
منتديات نور اليقين
بإشراف الشيخ أبي فريحان جمال بن فريحان الحارثي
http://vb.noor-alyaqeen.com/

🔸Al Ajurry com
شبكة الآجري العلمية
http://ajurry.com/home/

🔸Al Bayyinah As Salafiyyah
شبكة البينة السلفية
http://www.bayenahsalaf.com/

🔸Al Baidha net
منتديات البيضاء العلمية
http://www.albaidha.net/vb/forumdisplay.php?f=27

🔸Sahab net
شبكة سحاب السلفية
:http://sahab.net/home

🔸Al Waraqat Admin Syaikh Usamah bin Saud Al 'Amry
شبكة الورقات السلفية
باشراف الشيخ أسامة بن سعود العمري
http://www.alwaraqat.net/

🔸Subululhuda Admin Abu 'Ammar 'Ali Al Hudzaify
منابر سُبُل الهدى السلفية
بإشراف الشيخ أبي عمار علي الحذيفي العدني
http://m-sobolalhoda.net/

🔸Imam Malik Admin Syaikh Hamid Al Junaibiy
شبكة إمام دار الهجرة العلمية
باشراف الشيخ حامد الجنيبي
www.imam-malik.net/

🔸Al Qayyim Admin Syaikh 'Ali Ar Ramliy
منتديات شبكة الدين القيم
باشراف الشيخ علي الرملي
www.alqayim.net/vb/index.php

🔸Tasfiyah wat Tarbiyah Admin Syaikh Lizahrah Saniqarah
منتديات التصفية والتربية
بإشراف الشيخ لزهرة سنيقرة
http://www.tasfiatarbia.org/vb/index.php

🔸Rsalafs admin Syaikh Nizar bin Hasyim Al 'Abbas
موقع راية السلف بالسودان
بإشراف الشيخ نزار بن هاشم العباس
rsalafs.com/

dipublikasikan oleh :
📮 WA SaLaM "Salafy Makassar"

Senin, 26 Oktober 2015

MENGENAL LEBIH DEKAT AL IMAM ABUL HASAN AL-ASY'ARI DAN KELOMPOK ASY'ARIYAH

Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc

Napak Tilas Perjalanan hidup al imam Abul Hasan Al-asy’ari

Mengkaji biografi ulama dan becermin dari perjalanan hidup mereka adalah bekal utama menjalani kehidupan. Padanya terdapat berbagai pengajaran berharga (ibrah) dan nilai-nilai keteladanan yang sangat berguna bagi setiap insan. Betapa banyak jiwa yang lalai menjadi taat, yang sekarat menjadi sehat, yang lemah menjadi kuat, dan yang tersesat menjadi terbimbing di atas jalan kebenaran.

Di antara para ulama yang mulia itu adalah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah, sang pencari kebenaran. Beliau adalah seorang ulama terkemuka dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahuanhu yang asal-usulnya dari negeri Yaman. Perjalanan hidup beliau pun sangat menarik untuk disimak dan dijadikan bahan renungan, mengingat ada tiga fase keyakinan yang beliau lalui.

⏩ Fase pertama bersama Mu’tazilah,
⏩ fase kedua bersama Kullabiyah,
⏩ dan terakhir bersama Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah setelah mendapatkan hidayah dari ar-Rahman.

Nama beliau kesohor di berbagai penjuru dunia sebagai panutan mazhab Asy’ari (yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah), padahal itu adalah fase kedua dalam kehidupan beragama yang telah beliau tinggalkan. Beliau pun wafat dalam keadaan berpegang teguh dengan manhaj salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, satu-satunya jalan kebenaran yang diwariskan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang budiman.

Nama dan Garis Keturunan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari

Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu Bisyr) bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H dan wafat di Baghdad (Irak) pada tahun 324 H.

Beliau dikenal dengan sebutan Abul Hasan al-Asy’ari. Abul Hasan adalah kuniah beliau¹. Adapun al-Asy’ari adalah nisbah (penyandaran) kepada kabilah al-Asy’ar², salah satu kabilah besar di negeri Yaman, yang berpangkal pada diri Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Laqab (julukan) beliau adalah Nashiruddin³ (pembela agama).

Ayah beliau, Ismail bin Ishaq, adalah seorang sunni yang mencintai ilmu hadits dan berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana penuturan Abu Bakr Ibnu Furak. Bahkan, menjelang wafatnya, sang ayah dengan penuh antusias berwasiat agar Abul Hasan kecil dibimbing oleh al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Jamharah Ansabil Arab karya al-Imam Ibnu Hazm 1/163, al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Nihayatul Arab fi Ma’rifatil Ansab karya al-Qalqasandi, Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 45)

Ditinjau dari garis keturunannya, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah keturunan dari sahabat Abdullah bin Qais bin Hadhdhar al-Asy’ari al-Yamani radhiyallahuanhu, yang dikenal dengan sebutan Abu Musa al-Asy’ari rahimahullah.

Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam yang terkenal akan keilmuan dan keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an.

Adapun pernyataan Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ibrahim al-Ahwazi dalam kitabnya Matsalib Ibni Abi Bisyr bahwa al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari bukan keturunan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahuanhu, namun keturunan Yahudi yang kakeknya diislamkan oleh sebagian orang dari kabilah al-Asy’ar, menurut al-Imam Ibnu Asakir rahimahullah hal ini merupakan kedustaan dan kebodohan yang nyata. (Lihat al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/362, dan Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 147)

Catatan Kaki:
---------------------

1. Kuniah adalah sebutan untuk seseorang selain nama dan julukannya, seperti Abul Hasan dan Ummul Khair. Kuniah biasanya didahului oleh kata abu (ayah), ummu (ibu), ibnu (putra), akhu (saudara laki-laki), ukhtu (saudara perempuan), ammu (paman dari pihak ayah), ammatu (bibi dari pihak ayah), khalu (paman dari pihak ibu), atau khalatu (bibi dari pihak ibu). Terkadang, kuniah disebutkan bersama nama dan julukan seseorang, dan terkadang pula disebutkan secara tersendiri. Di kalangan bangsa Arab, kuniah digunakan sebagai panggilan kehormatan bagi seseorang. (Lihat al-Mu’jamul Wasith 2/802)

2. Al-Asy’ar adalah julukan bagi Nabt bin Udad bin Zaid bin Yasyjub bin ‘Uraib bin Zaid bin Kahlan bin Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Al-Asy’ar artinya seorang yang banyak rambutnya. Ia disebut demikian karena tubuhnya ditumbuhi oleh rambut sejak dilahirkan oleh ibunya. (Lihat Nasab Ma’d wal Yaman al-Kabir 1/27)

3. Julukan tersebut muncul di hari kematian beliau, saat manusia saling berucap, “Telah meninggal dunia pada hari ini Nashiruddin (Pembela Agama).” (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 375)

Kepribadian al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari

Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rohi
mahullah adalah seorang yang berbudi pekerti luhur dan terkenal kejeniusannya. Pola hidupnya sederhana, selalu diiringi oleh sifat zuhud (tidak tamak terhadap dunia), qana’ah (bersyukur dengan apa yang ada), penuh ta’affuf (jauh dari sifat meminta-minta), wara’ (sraangat berhati-hati dalam urusan dunia), dan sangat antusias terhadap urusan akhirat. Di sisi lain, beliau adalah seorang yang suka humor dan tidak kaku. (Lihat Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdadi 11/347, Siyar A’lamin Nubala 15/86 dan al-‘Ibar fi Khabari Man Ghabar karya ve3 awadz-DUzahabi 2/203, Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 141—142, serta al-Fihristi karya Ibnun Nadim, hlm. 257)

Menelusuri Tiga Fase Keyakinan yang Dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari

Faktor lingkungan mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk keyakinan dan kepribadian seseorang, terkhusus lingkungan intern keluarga, yaitu ayah dan ibu. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seorang anak itu dilahirkan melainkan di atas fitrah (naluri keislaman). Kedua orang tuanya yang sangat berperan dalam menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Ini seperti halnya seekor binatang (pada umumnya) melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna fisiknya. Apakah kalian melihat pada anak binatang yang baru dilahirkan itu cacat di telinga atau anggota tubuhnya yang lain?” Kemudian sahabat Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata, “Jika kalian mau, bacalah firman Allah Subhanahuwata’ala (yang artinya), ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.’ (ar-Rum: 30)” (HR. Muslim no. 2658, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahuanhu)

Demikian pula keadaan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Pada usia belia, beliau hidup di bawah asuhan seorang ayah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bahkan, menjelang wafatnya sang ayah berwasiat agar Abul Hasan kecil tumbuh di bawah bimbingan al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Sepeninggal ayah beliau, sang ibu menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i. Kondisi pun berubah. Abul Hasan kecil tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayah tiri yang berpaham Mu’tazilah tersebut dan dididik dengan doktrin keilmuan ala Mu’tazilah yang sesat.

Cukup lama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari berguru kepada Abu Ali al-Jubba’i. Semakin erat hubungan antara keduanya hingga al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menjadi pewaris ilmu Abu Ali al-Jubba’i dan berposisi sebagai tokoh muda Mu’tazilah yang disegani di kalangan kelompoknya.

Dalam banyak kesempatan Abu Ali al-Jubba’i mewakilkan urusan keagamaan kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Bahkan, tak sedikit karya tulis yang beliau luncurkan untuk kepentingan kelompok Mu’tazilah dan menyerang orang-orang yang berseberangan dengannya.

Demikianlah fase pertama dari tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Fase kehidupan sebagai seorang mu’tazili (berpaham Mu’tazilah) yang berjuang keras demi tersebarnya akidah sesat tersebut⁴. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)

Fase kedua adalah fase bertaubatnya al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari dari akidah sesat Mu’tazilah, setelah berlalu empat puluh tahun dari perjalanan hidup beliau rahimahullah, tepatnya pada tahun 300 H. Tidak tanggung-tanggung, taubat dan sikap berlepas diri itu beliau umumkan di atas mimbar Masjid Jami’ kota Bashrah, seusai shalat Jumat. Bahkan, beliau meluncurkan beberapa karya tulis untuk membantah syubhat-syubhat Mu’tazilah dan kesesatan mereka. Selang beberapa lama setelah pengumuman taubat tersebut, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan Bashrah dan berdomisili di Baghdad. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 39, Wafayatul A’yan karya al-Qadhi Ibnu Khallikan 3/285, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 19).

⏩ Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh, Abul Hasan al-Asy’ari dahulunya adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah kemudian bertaubat di kota Bashrah. Beliau mengumumkan taubat tersebut di atas mimbar. Setelah itu beliau membongkar berbagai kesesatan dan kejelekan Mu’tazilah.” (al-Bidayah wan Nihayah 11/187)

⏩ Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Ketika (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, pen.) telah mendalami hakikat Mu’tazilah, muncullah kebencian beliau terhadapnya. Beliau lalu berlepas diri darinya. Beliau naik ke atas mimbar (untuk mengumumkan sikapnya itu, pen.) dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau meluncurkan bantahan terhadap Mu’tazilah dan membongkar penyimpangan-penyimpangan mereka.” (Siyar A’lamin Nubala’ 15/86).

⏩ Al-Qadhi Ibnu Khallikan rahimahullah  berkata, “Dahulu, Abul Hasan al-Asy’ari adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah kemudian bertaubat darinya.” (Wafayatul A’yan 3/285)

Pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah condong kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun belum berpemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok Kullabiyah yang saat itu tergolong gencar dalam membantah kelompok sesat Mu’tazilah.

⏩ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ketika keluar dari mazhab Mu’tazilah, Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti jalan Ibnu Kullab dan condong kepada Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 2/16)

⏩ Al-Imam al-Maqrizi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, setelah al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan melontarkan bantahan terhadap mereka, beliau mengikuti akidah Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Said bin Kullab al-Qaththan dan berpijak di atas kaidah-kaidahnya.” (al-Khuthath karya al-Imam al-Maqrizi 4/191).

Lebih rinci, al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Fase kedua (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, yaitu al-hayat, al-ilmu, al-qudrah, al-iradah, as-sam’u, al-bashar, dan al-kalam. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna yang sebenarnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Ibnu Kullab (baca: kelompok Kullabiyah) menetapkan sifat-sifat wajib bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti al-ilmu, al-qudrah, al-hayat, dan yang semisalnya, namun mengingkari sifat-sifat fi’liyah (perbuatan) Allah Subhanahu wa ta’ala yang berkaitan dengan kehendak dan takdir-Nya, seperti sifat datang dan yang semisalnya. (Lihat Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 2/6).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah menetapkan sebagian sifat bagi Allah Subhanahu wa ta’ala (sifat wajib yang tujuh), menakwilkan sifat khabariyyah, dan mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah Subhanahu wa ta’ala yang berkaitan dengan kehendak dan takdir-Nya.

Jadi, beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah Subhanahu wa ta’ala dan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menetapkan semua sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala.

Setelah berlalu sekian masa, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah semakin mendekat kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akhirnya, beliau meninggalkan akidah Kullabiyah dan berpegang teguh dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah fase ketiga kehidupan beragama beliau.

Pada fase ketiga ini, beliau banyak berguru kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti al-Muhaddits al-Musnid Abu Khalifah al-Fadhl al-Jumahi al-Bashri, al-Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij al-Baghdadi—panutan mazhab Syafi’i di masa itu—, al-Imam al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji—pakar hadits Kota Bashrah—, dan al-Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi—rujukan utama dalam hal fatwa dan ilmu di masa itu. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)

⏩Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Fase ketiga (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah, tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip as-salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah5, karya beliau yang terakhir.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)

⏩ Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khatib rahimahullah berkata, “Kemudian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah membersihkan jalan yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah Subhanahu wa ta’ala dengan rujuk (kembali) secara total kepada jalan yang ditempuh oleh as-salafush shalih… dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau rahimahullah menyatakan bahwa al-Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir.” (Catatan kaki kitab al-Muntaqa min Minhajil I’tidal hlm. 41, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 36)

Keterangan di atas adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah adalah kitab yang dipalsukan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Demikian pula, ini adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah bukanlah karya tulis beliau yang terakhir. Tujuan mereka tiada lain adalah pengaburan sejarah agar umat tetap berada di atas mazhab Asy’ari yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah—sebuah mazhab yang telah ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Setelah menyebutkan beberapa nukilan dari para imam terkemuka (6) tentang sahnya penyandaran kitab al-Ibanah kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah.

⏩ Asy-Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari rahimahullah mengatakan, “Beberapa nukilan yang tegas dari para imam terkemuka ini—yang dua ekor kambing tidak saling beradu tanduk karenanya dan dua orang takkan berselisih karenanya pula—menunjukkan bahwa kitab al-Ibanah bukanlah kitab yang dipalsukan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah, sebagaimana halnya klaim para anak muda dari kalangan ahli taklid. Bahkan, kitab tersebut merupakan karya tulis beliau yang terakhir.

Beliau tetap kokoh di atas kandungan kitab tersebut, yaitu akidah salaf yang bersumber dari al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi Subhanahu wa ta’ala.” (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, hlm. 72).

Satu hal yang penting untuk diingatkan bahwa mazhab yang hingga hari ini dikenal dengan sebutan mazhab Asy’ari atau ASWAJA, tiada lain adalah kelanjutan dari mazhab Kullabiyah, yang telah ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas beliau menyatakan bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dan as-salafush shalih, sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah, dan menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau (7). Hal ini sebagaimana yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah.

Catatan Kaki:
--------
4. Untuk mengetahui hakikat kelompok sesat Mu’tazilah, silakan baca rubrik “Manhaji” Majalah Asy-Syari’ah Vol. 1/No. 09/1425 H/2004.

5. Judul lengkapnya adalah al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.

6. Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Asakir, al-Imam al-Baihaqi, al-Imam Ibnul Qayyim, dll.

7. Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya berseberangan dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah. Dengan demikian, berseberangan pula dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Tajuddin as-Subki rahimahullah —seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Akidah beliau adalah akidah al-Imam Ahmad rahimahullah, tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam beberapa karya tulis beliau.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236

Bisa jadi, di antara pembaca ada yang bertanya, bisakah disebutkan contoh pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah yang ditorehkan dalam kitab al-Ibanah itu? Jika demikian, perhatikanlah dengan saksama pernyataan beliau berikut ini, “Prinsip yang kami nyatakan dan agama yang kami yakini adalah berpegang teguh dengan Kitab Suci (al-Qur’an) yang datang dari Rabb kami Subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa salam, serta apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para imam Ahlul Hadits. Kami berprinsip dengannya dan menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal—semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menyinari wajahnya, mengangkat derajatnya, dan membesarkan pahalanya. Kami menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau karena beliau adalah seorang imam yang mulia dan pemimpin yang utama.

Allah Subhanahu wa ta’ala menampakkan kebenaran dengan beliau di kala muncul kesesatan. Dengan sebab beliau pula, Allah Subhanahu wa ta’ala memperjelas jalan yang lurus, menghancurkan bid’ah yang diciptakan oleh ahli bid’ah, penyimpangan orang-orang yang menyimpang, dan keraguan orang-orang yang bimbang. Semoga rahmat Allah Subhanahuwata’ala selalu tercurahkan kepada beliau, imam yang terkemuka, mulia lagi agung, dan besar lagi terhormat.” (al-Ibanah hlm. 20—21)

Bisa jadi pula, ada yang bertanya, semisal apakah prinsip keyakinan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah yang sejalan dengan prinsip salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase kedua beliau)?

Tentang hal ini, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah menyebutkannya secara terperinci dalam kitab al-Ibanah. Di antaranya adalah keyakinan beliau bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala, keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah Subhanahu wa ta’ala) bukan makhluk, keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas Arsy bukan di mana-mana, dan sebagainya.

Semua itu bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan juga prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase kedua beliau). Untuk lebih rincinya, silakan Anda membaca kitab al-Ibanah. Oleh karena itu, tidaklah adil manakala menyandarkan suatu keyakinan/prinsip/mazhab kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah selain apa yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah yang mulia, mengingat bahwa itulah potret akhir dari kehidupan beragama yang beliau yakini. Beliau pun berharap bertemu dengan Allah Subhanahuwata’ala di atasnya.

Para pembaca yang mulia. Demikianlah tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dalam kehidupan beragama yang penuh kesan. Perjalanan hidup yang sarat akan pengajaran berharga (ibrah) dan renungan. Dari satu keyakinan menuju keyakinan berikutnya, demi mencari kebenaran. Semuanya beliau lalui dengan penuh kesungguhan dan kesabaran. Manakala tampak bagi beliau sebuah kebatilan, tiada enggan beliau tinggalkan. Manakala tampak sebuah kebenaran, tiada enggan pula beliau berpegang teguh dengannya selama hayat masih dikandung badan. Begitulah seharusnya yang terpatri dalam sanubari setiap insan dalam menyikapi kebatilan dan kebenaran di tengah kehidupan dunia yang penuh cobaan.

Akhir kata, sungguh rajutan kata-kata seputar al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah di atas belum cukup menggambarkan sosok seorang imam terkemuka yang diliputi oleh keutamaan dan kemuliaan. Namun, semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan berkesan bagi setiap insan yang haus akan kebenaran. Wallahul musta’an.