Kamis, 24 Oktober 2013

Cinta Sebatas Pengakuan

Oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-

 
Cinta adalah sebuah kata yang manis di mulut. Setiap orang pasti memilikinya dan pernah merasakannya, sebab ia adalah tabiat yang terpatri dalam sanubari setiap insan yang normal.
Jika anda berbicara tentang cinta, maka ia laksana lautan yang tak bertepi, ataukah padang pasir yang amat luas. Karenanya, manusia telah berbicara tentang “cinta” sejak zaman Bapak kita yang pertama, Adam –alaihis salam-.
Cinta adalah penggerak bagi segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Cinta adalah sesuatu yang tak bisa dipandang secara kasatmata, namun pengaruhnya tak mungkin dipungkiri.
Banyak orang yang mengaku memiliki cinta dalam hati, tapi hakikatnya ia tak memilikinya. Seorang yang beribadah kepada Allah karena dorongan cinta kepada-Nya. Sebuah cinta yang ada dalam hati hamba, cinta yang diiringi oleh harapan dan kekhawatiran, ketaatan dan usaha dalam menggapai segala yang diridhoi Sang Kekasih (Allah) serta jauh dari segala yang tidak dicintai olehnya.
Seorang yang mengesakan Allah dan mau beribadah hanya kepada-Nya, semua itu lantaran sesuatu yang bercokol dalam hatinya berupa kecintaan kepada Allah -Azza wa Jalla-. Bila seseorang betul-betul mencintai Allah, maka ia harus mencintai sesuatu yang dicintai oleh-Nya.
Lantaran itulah, bila ia mencintai Allah, maka ia harus mencintai ketauhidan (pengesaan) Allah -Subhanahu wa Ta’ala- saat ia beribadah kepadanya. Disinilah anda akan mengetahui titik dan inti hakikat kecintaan seorang hamba kepada Robb-nya, yaitu kecintaan yang di dalamnya terdapat ittiba’ (keteladan) terhadap perintah Allah dan ijtinaab (sikap menjauh) dari larangan-nya.
Bertolak dari hakikat keciantaan ini, anda akan mengetahui kepalsuan cinta orang-orang kafir atau fasiq yang senantiasa menyalahi perintah Allah dan melanggar larangan-Nya. Subhanallah, sungguh ini adalah cinta sebatas pengakuan!!!
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ  [البقرة/165]
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”. (QS. Al-Baqoroh : 165)
Sebagian ahli tafsir (seperti, Az-Zajjaj dan Ibnul Jauziy) menjelaskan bahwa makna ayat ini, orang-orang musyrikin menyamakan antara berhala-berhala dengan Allah dalam perkara cinta. [Lihat Zaad Al-Masir (1/156)]
Inilah kebiasaan kaum musyrikin!! Mereka dahulu selain melakukan berbagai macam ritual dan penyembahan kepada Allah dengan dasar cinta kepada Allah, dalam waktu sama mereka juga melakukan berbagai macam ritual dan peribadatan kepada selain Allah. Sebagai contoh, kaum musyrikin dahulu (dan tentunya terus sampai sekarang) senantiasa menyekutukan Allah dalam cinta. Lihatlah, saat mereka menetapkan bahwa hewan atau tanaman tertentu, ini untuk Allah dan ini untuk berhala. Bila mereka memanen tanaman yang mereka peruntukkan bagi Allah, lalu tanaman itu terjatuh dalam kelompok tanaman yang mereka peruntukkan bagi berhala-berhala mereka, maka mereka membiarkannya dan tidak memisahkannya seraya mereka berceloteh, “Berhala-berhala ini lebih butuh kepadanya”.
Jika kaum musyrikin telah memanen tanaman yang mereka peruntukkan bagi berhala-berhala, lalu tanaman itu jatuh ke dalam bagian harta dan tanaman yang diperuntukkan bagi Allah, maka mereka mengembalikan ke tempatnya, yaitu kepada kelompok tanaman yang diperuntukkan bagi berhala-berhala.
Allah -Ta’ala- berfirman menceritakan perihal perkara ini,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ  [الأنعام/136]
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sesuatu yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; sedang sesuatu yang diperuntukkan bagi Allah, maka sesuatu itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu”. (QS. Al-An’aam: 136)
Kebiasaan buruk yang terkutuk seperti itu, juga telah dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim yang jahil tentang agamanya yang memerintahkan untuk men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam ibadah. Liriklah sebagian orang di zaman ini yang senang datang ke kuburan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” (seperti, Wali Songo, Syaikh Yusuf dan lainnya)!! Mereka datang kesana untuk membawa persembahan dan sesajen berupa makanan, hewan ternak, uang, telur dan berbagai macam benda lainnya. Mereka persembahkan sebuah ibadah (yaitu, berkurban) untuk selain Allah. Mereka amat takut kepada manusia-manusia yang mereka angkat sendiri sebagai “wali”. Padahal belum tentu wali Allah, sebab wali Allah adalah semua orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Nah, siapakah yang menjamin bahwa orang-orang yang mereka kultuskan adalah orang-orang beriman dan bertaqwa??!!! Anggaplah mereka adalah wali Allah alias orang-orang beriman dan bertaqwa!!! Tapi apakah semua itu melegalkan kita mengangkatkan mereka sekedudukan dengan Allah yang kita berikan berbagai macam persembahan kepadanya?!! Jelas tidak boleh demikian, wahai saudaraku!!! Sebab wajib bagi kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah, dan haram menyekutukannya dengan siapapun dalam hal itu. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 360) karya Sholih bin Abdil Aziz Alusy Syaikh]
 Jika kita mencintai Allah, maka seharusnya kita mengikuti perintah-Nya (utamanya, perintah men-tauhid-kan Allah), dan menjauhi larangan-Nya (terutama, menjauhi kemusyrikan dengan berbagai warnanya), bukan hanya menyatakan cinta, lalu tidak dibarengi dengan ketaatan kepada-Nya. Tapi malah kita menyekutukan Allah dengan para “wali-wali” yang lemah seperti kita, yang tidak bersih dari segala macam dosa dan kesalahan!!! Para nabi dan rasul saja yang bersih dari segala macam dosa, tak boleh kita persekutukan dengan Allah -Azza wa Jalla- dalam hal ibadah.
Allah berfirman kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar: 65)
Orang-orang musyrikin dahulu selain mencintai Allah, mereka juga mencintai sesembahan mereka. Jika mereka berkurban di hari-hari haji untuk Allah -Azza wa Jalla-, maka hati mereka tak tenang dan puas sampai mereka mempersembahkan qurban untuk sesembahan mereka sebagai wujud cinta mereka kepadanya. Padahal Allah -Azza wa Jalla- memerintahkan kita menyerahkan kurban hanya kepada-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  [الأنعام/162]
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam : 162)
Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, “Allah -Ta’ala- memerintahkan beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) agar beliau mengabarkan kepada kaum musyrikin (yang telah mengibadahi selain Allah, dan menyembelih untuk selain Allah) bahwa beliau menyelisihi mereka dalam perkara itu (perkara penyembelihan), karena shalat beliau hanya untuk Allah, dan sembelihan beliau hanya untuk Allah saja semata, tak ada sekutu bagi-Nya. Sesungguhnya kaum musyrikin dahulu menyembah berhala-berhala, dan menyembelih untuk berhala-berhala itu. Lantaran itu, Allah memerintahkan beliau untuk menyelisihi mereka, serta berpaling dari mereka, dan menghadapkan segala niat dan maksud untuk memurnikan (semua ibadah) untuk Allah -Ta’ala- saja”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/381-382)]

Jumat, 18 Oktober 2013

Hubungan Antara Rakyat dan Pemerintah Dalam Pandangan Islam

Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Manusia terfitrah sebagai makhluk sosial. Hidup mereka saling bergantung satu dengan yang lainnya. Allah Subhanahu wata’ala menciptakan mereka dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lantas menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lakilaki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kalian saling mengenal.” (al-Hujurat: 13)
Manakala menjalani kehidupannya dengan berbangsa-bangsa dan bersukusuku, secara sunnatullah manusia membutuhkan pemimpin yang dapat mengurusi berbagai problem yang mereka hadapi. Itulah manusia, makhluk Allah Subhanahu wata’ala yang mendapatkan kepercayaan dari-Nya untuk memakmurkan bumi ini. Allah Subhanahu wata’ala mengaruniakan berbagai fasilitas kehidupan untuk mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami mengangkut mereka di daratan dan di lautan, Kami memberi mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami melebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.” (al-Isra’: 70)
أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan ketika dia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai penguasa di bumi? Adakah selainAllahsembahan yang lain?! Amat sedikitlah kalian dalam mengingat(Nya).” (an- Naml: 62)
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tak membiarkan manusia hidup begitu saja. Berbagai aturan hidup dan jalan yang terang pun Dia Subhanahu wata’ala berikan kepada merekasupaya berbahagia di dunia dan di akhirat. Termasuk dalam hal hubungan antara rakyat dan pemerintahnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (al-Maidah: 48)
Rakyat dan Pemerintah, Kesatuan yang Tak Bisa Dipisahkan
Dalam Islam, rakyat selaku anggota masyarakat dan pemerintah selaku penguasa yang mengurusi berbagai problem rakyatnya adalah kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Berbagai program yang dicanangkan oleh pemerintah tak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan dan sambutan ketaatan dari rakyat. Berbagai problem yang dihadapi oleh rakyat juga tak akan usai tanpa kepedulian dari pemerintah. Gayung bersambut antara pemerintah dan rakyatnya menjadi satu ketetapan yang harus dipertahankan.
Ka’b al-Akhbar rahimahumallah berkata, “Perumpamaan antara Islam, pemerintah, dan rakyat laksana kemah, tiang, dan tali pengikat berikut pasaknya. Kemah adalah Islam, tiang adalah pemerintah, sedangkan tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Tidaklah mungkin masingmasing dapat berdiri sendiri tanpa yang lainnya.” (Uyunul Akhbar karya al-Imam Ibnu Qutaibah 1/2)
Maka dari itu, hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintahnya, dengan saling bekerja sama di atas Islam dan saling menunaikan hak serta kewajiban masing-masing, akan menciptakan kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Betapa indahnya bimbingan Islam dalam masalah ini. Sebuah aturan hidup dan jalan yang terang bagi manusia. Namun, ada pihak-pihak yang tak rela dengan semua itu. Salah satunya adalah Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir (HT). Dia menyatakan, “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antaranggota masyarakat dalam rangka memengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dan rakyatnya, harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Mengenal HT, hlm. 24 dan Terjun ke Masyarakat, hlm. 7)
Lebih dari itu, dia mengungkapkan, “Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hlm. 35—36)
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barang siapa menaatiku, ia telah menaati Allah Subhanahu wata’ala. Barang siapa menentangku, ia telah menentang Allah l. Barang siapa menaati pemimpin (umat)ku, ia telah menaatiku; dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku, ia telah menentangku.” (HR. al-Bukhari no. 7137 dan Muslim no. 1835, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahumallah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang kewajiban menaati penguasa dalam hal-hal yang bukan kemaksiatan. Hikmahnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan (umat). Sebab, perpecahan mengandung kerusakan.” (Fathul Bari 13/120)
Jika Pemerintah Melakukan Kemaksiatan
Bagaimanakah jika pemerintah melakukan kemaksiatan, bahkan memerintahkannya? Apakah rakyat melepaskan ketaatan kepadanya secara total dan memberontaknya? Pemerintah adalah manusia biasa yang terkadang jatuh pada dosa. Ketika mereka melakukan kemaksiatan, bahkan memerintahkannya, setiap pribadi muslim harus membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak boleh menaatinya dalam hal itu. Akan tetapi, ia tetap berkewajiban mendengar dan menaatinya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan), serta tidak boleh memberontak karenanya. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah berkata, “Maka dari itu, umat Islam wajib menaati pemerintah dalam hal yang ma’ruf (kebaikan), tidak dalam hal kemaksiatan. Jika mereka memerintahkan kemaksiatan, tidak boleh ditaati. Akan tetapi, mereka tetap tidak boleh memberontak karenanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ingatlah, barang siapa mempunyai seorang penguasa lalu melihatnya berbuat kemaksiatan, hendaknya ia membenci perbuatan maksiat yang dilakukannya itu, namun jangan sekali-kali melepaskan ketaatan (secara total) kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855, Ahmad 4/24, dan ad-Darimi no. 2797, dari Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu)
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa keluar dari ketaatan (terhadap pemerintah) dan memisahkan diri dari al-jamaah lalu mati, niscaya matinya dalam keadaan jahiliah (di atas kesesatan, tidak punya pemimpin yang ditaati, pen.).” (HR. Muslim no. 1848, an-Nasa’i no. 4114, Ibnu Majah no. 3948, dan Ahmad 2/296, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِم السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Setiap pribadi muslim wajib mendengar dan menaati (pemerintahnya) dalam hal yang dia sukai dan yang tidak disukai, kecuali jika diperintah untuk melakukan kemaksiatan. Jika dia diperintah untuk melakukan kemaksiatan, tidak ada mendengar dan ketaatan kepadanya (dalam hal itu, pen.).” (HR. al-Bukhari no. 7144, Muslim no. 1839, at-Tirmidzi no. 1707, Abu Dawud no. 2626, Ibnu Majah no. 2864, dan Ahmad 2/142, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu) (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8/201—203)
Asy-Syaikh Abdus Salam Barjas rahimahumallah berkata, “Hadits ini tidak memaksudkan tidak menaati pemerintah secara total ketika mereka memerintahkan kemaksiatan. Akan tetapi, yang dimaksud adalah wajib menaati pemerintah secara total selain dalam hal kemaksiatan. Ketika demikian, tidak boleh didengar dan ditaati.” (Muamalatul Hukkam, hlm. 117)
Al-Imam al-Mubarakfuri rahimahumallah berkata, “Hadits ini mengandung faedah bahwa jika seorang penguasa memerintahkan sesuatu yang bersifat sunnah atau mubah, wajib ditaati.” (Tuhfatul Ahwadzi 5/365)
Jika Pemerintah Mementingkan Diri Sendiri
Bagaimanakah jika pemerintah mementingkan dirinya sendiri? Misalnya, memperkaya diri, korupsi, tidak memedulikan kesejahteraan rakyat, bahkan berbuat zalim? Menyikapi hal ini, setiap pribadi muslim hendaknya bersabar dan tetap menunaikan hak-hak pemerintah yang harus ditunaikan. Dia memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala haknya yang tidak dipedulikan oleh pemerintah dan tidak memberontak kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللهَ الَّذِي لَكُمْ
“Akan ada perbuatan mementingkan diri sendiri (mengumpulkan harta dan tidak memedulikan kesejahteraan rakyat) pada pemerintah dan hal lain yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (jika mendapati kondisi tersebut, pen.)?”
Beliau bersabda, “Hendaknya kalian menunaikan hak (pemerintah) yang wajib kalian tunaikan, dan mohonlah kepada Allah Subhanahu wata’ala hak kalian.” (HR. al-Bukhari no. 3603 dan Muslim no. 1843, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
يَكُونُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ) قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِ عْ !
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/ jalanku. Akan ada pula di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam jasad manusia.” Hudzaifah z berkata, “Apa yang aku perbuat bila mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas, (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim no. 1847, dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu)
Apabila berbagai bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas dicermati, semuanya menunjukkan bahwa rakyat dan pemerintah adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Dengan penuh hikmah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan bahwa berbagai penentangan dan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah solusi untuk mendapatkan hak atau memperkecil ruang lingkup kejelekan yang dilakukan oleh pemerintah.
Solusinya justru sebaliknya. Bersabar dengan berbagai kejelekan itu, menaati mereka dalam hal yang ma’ruf (kebajikan) dan tidak menaati mereka dalam hal kemaksiatan, menunaikan hak mereka dan memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala hak yang tidak dipedulikan oleh pemerintah, serta tidak menentang dan tidak memberontak terhadap mereka.
Berbagai bimbingan itu beliau n sampaikan agar hubungan (kesatuan) antara rakyat dan pemerintahnya senantiasa utuh, tak terkoyak, dan tercerai-berai. Sebab, manakala hubungan (kesatuan) itu terkoyak dan terceraiberai, kerusakan dan musibah besarlah yang terjadi.
Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz al-Hanafi rahimahumallah berkata, “Kewajiban menaati pemerintah tetap berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Sebab, menentang (tidak menaati) mereka dalam hal yang ma’ruf (kebaikan) akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari kejahatan yang mereka lakukan. Bersabar terhadap kejahatan mereka justru mendatangkan ampunan dari segala dosa dan pahala yang berlipat dari Allah Subhanahu wata’ala.” (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 368)
Al-Imam al-Barbahari rahimahumallah berkata, “Ketahuilah, kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya mendapat pahala yang sempurna, insya Allah. Kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan jihad bersama mereka. Berperan sertalah bersamanya pada seluruh jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat al-Hanabilah karya al-Imam Ibnu Abi Ya’la rahimahumallah 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hlm.14)
Merajut Hubungan Antara Rakyat dan Pemerintah
Gesekan antara rakyat dan pemerintah merupakan fenomena yang sering terjadi. Penyebabnya terkadang dari pihak rakyat dan terkadang dari pihak pemerintah. Demikianlah manusia, tak ada yang sempurna. Kelalaian sering kali menghinggapinya walaupun telah berilmu tinggi dan berkedudukan mulia. Menurut Islam, hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah merupakan satu kemuliaan. Karena itu, gesekan yang terjadi di antara mereka pun termasuk sesuatu yang tercela dan harus segera diselesaikan.
Tak mengherankan apabila banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan seputar masalah ini. Para ulama yang mulia pun tiada henti mengingatkannya. Petuah dan bimbingan mereka terukir dalam kitab-kitab yang terkenal. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا () يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 58—59)
Ayat pertama di atas berkaitan dengan pemerintah agar menjalankan amanat kepemimpinan yang diemban dengan sebaik-baiknya. Adapun ayat yang kedua berkaitan dengan rakyat agar mereka taat kepada pemerintahnya. Dengan dilaksanakannya hak dan kewajiban oleh setiap pihak, akan terajut hubungan yang baik di antara mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Menurut para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan pemerintah (ulil amri), agar mereka menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil.
Adapun ayat yang kedua turun berkaitan dengan rakyat, baik dari kalangan militer maupun sipil, supaya senantiasa menaati pemerintahnya dalam hal pembagian (jatah), keputusan/ kebijakan, komando perang, dan lainnya. Berbeda halnya jika mereka memerintahkan kemaksiatan, rakyat tidak boleh menaati makhluk (pemerintah tersebut) dalam hal bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah Subhanahu wata’ala). Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan rakyatnya dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, jika pemerintah tidak mau menempuh jalan tersebut, rakyat masih berkewajiban menaatinya dalam hal yang tergolong ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Sebab, ketaatan kepada pemerintah dalam hal ketaatan adalah bagian dari ketaatan kepada AllahSubhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula hak mereka (pemerintah), tetap harus dipenuhi (oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya’ (al-Maidah: 2).” (Majmu’ Fatawa 28/245—246)
Di antara hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah agar hubungan mereka dengan rakyat senantiasa terajut dengan baik ialah berlaku adil dan memerhatikan kesejahteraan rakyatnya. Sebab, semua itu adalah amanat yang kelak dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
“Setiap kalian adalah pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang penguasa yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka.” ( HR. al-Bukhari no. 2554, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu)
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba diberi amanat sebuah kepemimpinan oleh Allah Subhanahu wata’ala, lalu meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Subhanahu wata’ala mengharamkan baginya surga.” (HR. Muslim no. 227, dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu ‘anhu)
Apabila pemerintah berlaku adil dalam mengemban amanat kepemimpinan tersebut, Allah Subhanahu wata’ala akan menganugerahinya sebuah naungan di hari kiamat, hari ketika manusia sangat membutuhkan naungan dari terik matahari yang amat menyengat di Padang Mahsyar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ
“Ada tujuh golongan yang mendapatkan naungan (Arsy) Allah Subhanahu wata’ala pada hari kiamat, hari yang tidak ada naungan melainkan naungan dari-Nya; penguasa yang adil….” (HR. al-Bukhari no. 6806, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Adapun hal penting yang harus diperhatikan oleh rakyat agar hubungan mereka dengan pemerintah senantiasa terajut dengan baik adalah memuliakan pemerintah, menaati mereka dalam hal kebajikan, dan membangun kerja sama yang baik dengan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الدُّنْيَا، أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa memuliakan penguasa (yang diberi amanat oleh) Allah Subhanahu wata’ala di dunia, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya di hari kiamat. Barang siapa menghinakan penguasa (yang diberi amanat oleh) Allah Subhanahu wata’ala di dunia, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan menghinakannya di hari kiamat.” (HR. Ahmad 5/42, 48—49, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 5/376)
Al-Imam Sahl bin Abdullah at- Tustari rahimahumallah berkata, “Manusia (rakyat) akan senantiasa dalam kebaikan selama memuliakan pemerintah dan ulama. Jika mereka memuliakan keduanya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memperbaiki urusan dunia dan akhirat mereka. Namun, jika mereka menghinakan keduanya, sungguh Allah Subhanahu wata’ala akan menjadikan jelek urusan dunia dan akhirat mereka.” (Tafsir al-Qurthubi 5/260—261)
Kala pemerintah terjatuh dalam kesalahan dan kemungkaran, hendaknya diingatkan dengan cara yang terbaik. Tidak dengan cara demonstrasi, orasi di mimbar-mimbar, atau menghujatnya di media. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ
Adapun hal penting yang harus diperhatikan oleh rakyat agar hubungan mereka dengan pemerintah senantiasa terajut dengan baik adalah memuliakan pemerintah, menaati mereka dalam hal kebajikan, dan membangun kerja sama yang baik dengan mereka.
مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“ Barang siapa hendak menasihati orang yang mempunyai kekuasaan (pemerintah), janganlah menyampaikannya secara terangterangan. Namun, dia mengambil tangannya dan menyampaikan nasihat tersebut secara pribadi. Jika (pemerintah itu) mau menerima nasihatnya, itu yangdiharapkan. Jika tidak, sungguh dia telah menyampaikan kewajiban yang ditanggungnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dari Iyadh bin Ghunm al-Fihri radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy- Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah no. 1096)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf menyebarkan kejelekan-kejelekan pemerintah dan menyampaikannya di mimbar/forum publik. Sebab, hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan dan hilangnya ketaatan kepadanya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan). Selain itu, tindakan tersebut akan mengantarkan kepada hal-hal yang membahayakan (rakyat) dan tidak ada manfaatnya. Adapun cara yang dijalani oleh as-salaf (pendahulu terbaik umat ini) adalah menyampaikan nasihat secara pribadi kepada pemerintah, menulisnya dalam bentuk surat, atau menyampaikannya kepada ulama agar bisa diteruskan kepada yang bersangkutan dengan cara yang terbaik.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8/210)
Termasuk hal penting yang harus diperhatikan oleh rakyat adalah tidak mengambil alih tugas yang menjadi kewenangan pemerintah, seperti mengingkari kemungkaran dengan kekuatan, sweeping kemaksiatan, penentuan awal Ramadhan dan hari raya, serta yang semisalnya, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ormas yang mengatasnamakan Islam. Wallahul musta’an.
Al-Imam Abu Abdillah bin al- Azraq rahimahumallah—ketika menyebutkan beberapa bentuk penentangan terhadap pemerintah—berkata, “Penentangan yang ketiga adalah menyempal dari pemerintah dengan cara mengambil alih tugas yang menjadi kewenangannya. Yang paling besar kerusakannya adalah mengingkari kemungkaran (dengan kekuatan, - pen.) yang tidak boleh dilakukan oleh selain pemerintah. Apabila perbuatan itu dibiarkan, niscaya hal ini akan berkembang dan justru dilakukan terhadap pemerintah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa termasuk dari siyasah (politik syar’i) adalah segera menangani orang yang gemar melakukan perbuatan menyempal itu.” (Bada’ius Sulk fi Thiba’il Mulk 2/45, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 189)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah berkata, “Adapun dalam hal yang di luar kekuasaan dan kewenangannya, seseorang tidak boleh melakukan perbuatan mengubah kemungkaran dengan kekuatan. Sebab, jika dia mengubah kemungkaran dengan kekuatan terhadap pihak-pihak yang berada di luar kekuasaan dan kewenangannya, akan muncul kejelekan yang lebih besar.
Selain itu, akan memunculkan problem besar antara dia dan orang lain, serta antara dia dan pemerintah.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8/208) Demikianlah catatan penting tentang hubungan rakyat dan pemerintah menurut pandangan Islam. Semoga hal ini menjadi titian emas bagi pemerintah dan rakyat untuk menuju kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa yang diberkahi oleh Allah l. Amin….

Sumber :
http://asysyariah.com/manhaji-hubungan-antara-rakyat-dan-pemerintah-dalam-pandangan-islam/

Perbedaan Mukjizat, Karomah dan Sihir

Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.

 
Tukang-tukang sihir, dukun, dan manusia semodel mereka seringkali memamerkan “kehebatan” mereka, kebal api atau kebal bacokan pedang. Sebagian mereka tidur di atas paku-paku tajam atau dengan bangganya memakan pecahan-pecahan kaca. Aneh memang. Televisi pun tak ketinggalan menayangkan acara-acara tersebut. Anehnya, perbuatan syirik tersebut dianggap kesenian, budaya yang mendatangkan devisa, dan lebih menyedihkan manakala seorang yang menyatakan dirinya muslim berdecak kagum menyaksikan “kehebatan” mereka. Allahul Musta’an. Sepintas, fenomena aneh di hadapan kita itu mirip dengan mukjizat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang utuh tidak terbakar tatkala dilempar kaumnya di tengah kobaran api. Karena kemiripan antara mukjizat dan sihir dari sisi keduanya menyelisihi adat kebiasaan dan hukum alam, maka kita perlu memahami perbedaan mendasar antara mukjizat dan sihir.
Di antara hal penting yang menjadi kaidah membedakan antara mukjizat dan sihir:
1. Mukjizat berasal dari Allah Subhanahu wata’ala sebagai bentuk pemuliaan terhadap nabi dan rasul-Nya. Adapun sihir adalah amalan-amalan setan.
Bagaimana sihir terwujud? Tukang sihir dan dukun tidak mungkin melakukan perkara-perkara aneh tersebut melainkan jika mau memberikan persembahan kepada setan-setan, seperti menyembelih untuk jin, memberikan sesaji, atau yang semisalnya. Oleh karena itu, sihir adalah bentuk kekufuran kepada Allah Subhanahu wata’ala dan pelakunya kafir sebagaimana firman-Nya,

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

“Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (al-Baqarah: 102)
2. Di antara perbedaan mendasar antara mukjizat dan sihir, mukjizat mengandung tantangan yang bersifat umum bagi penentang dakwah rasul untuk menghadapi mukjizat itu, kalau memang mereka mampu.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang mukjizat al-Qur’an,

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (al-Isra’: 88)
Berbeda halnya dengan sihir, tidak ada seorang penyihir pun berani membuka tantangan secara umum. Sebab, mereka tahu, banyak pula manusia yang seprofesi yang mungkin mendatangkan sihir yang lebih kuat, dan ini merugikan mereka sendiri. Apalagi saat sihir dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan zikir, niscaya mereka akan menuai kekalahan dan kebinasaan.
3. Mukjizat diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada nabi dan rasul-Nya tanpa laku/latihan tertentu, belajar, atau kaidah-kaidah yang harus senantiasa diterapkan.
Tidak pernah Nabi Musa ‘Alaihissalam mempelajari bagaimana tongkatnya berubah menjadi ular atau membelah lautan. Demikian pula semua mukjizat nabi dan rasul. Adapun sihir, ilmu ini memiliki kaidah-kaidah yang bisa dipelajari setiap orang, dengan syarat dia mau menjual agamanya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ

Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. (al-Baqarah: 102)
4. Sihir selalu bisa dikalahkan, baik dengan sihir yang lebih kuat maupun dengan zikir dan bacaan al-Qur’an. Berbeda halnya dengan mukjizat, tidak mungkin dikalahkan.
Allah Subhanahu wata’ala mengisahkan kekalahan sihir-sihir terhebat di zaman Musa ‘Alaihissalam. Sihir tidak mampu berhadapan dengan mukjizat Nabi Musa ‘Alaihissalam.

وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ () فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ () فَغُلِبُوا هُنَالِكَ وَانقَلَبُوا صَاغِرِينَ

Dan kami wahyukan kepada Musa, “Lemparkanlah tongkatmu!” Sekonyongkonyong tongkat itu menelan apa yang mereka sihirkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. (al-A’raf: 117—119)
Demikian empat hal di antara pokok-pokok perbedaan antara sihir dan mukjizat. Lantas bagaimana halnya dengan karamah, yaitu kejadian menakjubkan di luar kebiasaan yang mungkin terjadi pada wali-wali Allah Subhanahu wata’ala sebagai karamah (pemuliaan) bagi mereka, apakah sama dengan mukjizat? Karamah diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada wali-wali-Nya, seperti apa yang Dia Subhanahu wata’ala berikan kepada Ashabul Kahfi berupa penjagaan dari kejelekan kaumnya dengan cara yang luar biasa. Mereka tidur selama 309 tahun dalam goa, seperti dikisahkan oleh al-Qur’an,

لَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

“Mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (al-Kahfi: 25)
Karamah hampir sama dengan mukjizat. Keduanya dari Allah Subhanahu wata’ala, hanya saja karamah tidak diiringi dengan pengakuan kenabian. Pembahasan tentang karamah insya Allah akan kita khususkan pada rubrik “Hadits.”

Sumber : 
http://asysyariah.com/
http://www.darussalaf.or.id/aqidah/perbedaan-mukjizat-karamah-dan-sihir/  

Admin




السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


إِنَّ الحَمْدَ للهِ ؛ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لهُ.

وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ -وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ-. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} [آل عمران : 102].

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِساءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً} [النساء : 1].

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً} [الأَحزاب : 70-71].

أَمَّا بَعْدُ :

فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخير الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة وكل ضَلاَلَة في النارِ.



Alhamdulillah atas kemudahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala blog yang sangat sederhana ini dapat hadir di tengah-tengah kita sebagai salah satu upaya mendakwahkan agama Tauhid, menyebarkan warisan para Nabi dan Rosul. serta memahami agama Al-Haq berdasarkan Alquran dan Sunnah dengan pemahaman Salafush sholeh. Dengan adanya blog ini, mudah - mudahan dapat menjadi salah satu media Informasi dan Kajian Dakwah Salafiyyah khususnya di daerah Gelumbang dan daerah – daerah sekitarnya. Adapun artikel - artikel yang ditampilkan dalam blog ini, insya Allah akan diambil dari website-website Salafiyyin Indonesia, seperti : http://salafy.or.id/; http://salafymedia.net; http://forumsalafy.net/, http://www.albayyinah.or.id/, http://tukpencarialhaq.com/, http://radiorasyid.com/; http://mahad-assalafy.com/; http://www.darussalaf.or.id/; http://rindusunnah.com/; http://buletin-alilmu.net/ dan website-website serta blog  lainnya yang se-manhaj dengan website di atas.

Sebagai hamba Allah Subhana Wa Ta'ala yang tidak akan luput dari kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam blog ini, dikarenakan keterbatasan ilmu yang kami miliki dan juga kami yang masih terus dan akan terus belajar. Kami sangat mengharapkan koreksi-koreksi dan bimbingan dari yang lainnya.

Untuk Informasi dan masukan-masukannya hubungi kami dengan menyertakan identitas.

CP : 081271111212

Baarokallohufiykum jami'an.

 Gelumbang, 24 Ramadhan 1434 H


ولسلام عليكم ورحمة الله وبركاته




Rabu, 16 Oktober 2013

Kenap Harus TAUHID dulu ?

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam terhadap Rasulullah, pengikut dan para shahabatnya.
Waba’du :
Seorang penelpon telah meminta kepadaku (sebuah nasehat) dengan judul “Mengapa Tauhid Dahulu?”
Ini menunjukkan bahwa si penelpon mengetahui bahwa sesungguhnya tauhid adalah pokok akidah Islam dan dasarnya serta syarat sah dan diterimanya.
Dia menyampaikan usulan tersebut untuk memahamkan orang yang belum memahami bahwa inilah kedudukan tauhid dalam Islam. Yaitu bahwa tauhid ulûhiyah (memurnikan ibadah hanya kepada Allah) merupakan perintah seluruh Rasul -dari (Rasul) pertama Nuh ‘alaihis shalâtu was salâm sampai (Rasul) terakhir Muhammad shollallâhu ‘alaihi wa sallam.
(Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”.” [An-Nahl : 36]
Dan (Allah) Subhânahu berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kalian (hanya) kepada-Ku”.” [Al-Anbiyâ` :25]
Dan tidak ada seorang Nabi pun yang diutus kepada kaumnya, melainkan pasti ia menyerukan,
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan bagi kalian (yang berhak disembah) selain-Nya.” [Al-A’râf : 59]
Ketika Allah mengutus Nabi kita, Muhammad shollallâhu ‘alaihi wa sallam kepada kaumnya, beliau berlalu selama 10 tahun tiada lain hanya menyeru kepada tauhid. Setelah itu, disyariatkanlah shalat. Dan beliau tetap tinggal 3 tahun di Makkah (di atas hal tersebut), kemudian hijrah ke Madinah. Dan pada tahun ke-2 Hijriyah, disyariatkan zakat dan puasa.
(Tampaklah) bahwa tauhid adalah pokok agama dan dasarnya serta landasannya yang (agama itu) dibangun di atasnya. Karena itu, barangsiapa merusak tauhidnya dengan beribadah kepada sesembahan lain bersama Allah, maka dia telah merusak agamanya secara keseluruhan dan keluar dari Islam sehingga menjadi murtad serta hancurlah seluruh amal perbuatannya. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (wahai Muhammad) dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”.” [Az-Zumar : 65]
Dan (Nabi) ‘Isa ‘alaihis shalâtu was salâm berkata,
“Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” [Al-Mâ`idah : 72]
Dan pokok dasar yang sangat agung ini (juga) terkandung pada (kalimat) syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan “Anna Muhammadan Rasulullâh” yang (kalimat syahadat itu) terdiri dari dua bagian; “Lâ Ilâha” dan “Illallâhu”.
Bagian pertama : Penafian peribadatan dari siapa yang selain Allah ‘Azza wa Jalla pada ucapan “Asyhâdu an Lâ Ilâha” yang bermakna tidak ada sesembahan apapun di wujud ini yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Bagian kedua : Pada ucapan “Illallâhu” terdapat penetapan peribadatan hanya untuk Allah semata tanpa selain-Nya, karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta ini. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi-Nya?. (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam”.” [Fushshilat : 9] dan beberapa ayat setelahnya.
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kalian lalu membaguskan bentuk kalian serta memberi kalian rezki dengan yang baik-baik. Itulah Allah Rabb Kalian. Maha Berkah Allah, Rabb semesta alam. Dialah Yang Maha hidup kekal, tiada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Katakanlah (ya Muhammad), “Sesungguhnya aku dilarang untuk menyembah sesembahan yang kalian sembah selain Allah setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Rabbku; dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.” [Ghâfir : 64– 66]
Sangat banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa tauhid peribadatan hanya milik Allah. Maka barangsiapa yang mengucapkan (kalimat) syahadat ini; yaitu syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan “Anna Muhammadan Rasulullâh”, maka ia telah meraih keberuntungan dan telah selamat dari kerugian. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” [Al-Ashr : 1-3]
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (kesyirikan), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-An’âm : 82]
Barangsiapa mengucapkannya dengan meyakini maknanya dan mengamalkan kandungannya, maka dia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia adalah kalimat yang dengannya Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Dan karenanya, dunia dan akhirat, surga dan neraka diciptakan. Dan pada perkara inilah ketentuan kebahagiaan dan kesengsaraan.
Orang yang mengucapkan dan meyakininya akan diberi catatan amalnya dengan tangan kanannya, akan berat timbangan kebaikannya, akan (berhasil) melalui Ash-Shirâth dan masuk ke dalam surga serta selamat dari neraka.
Dan tentangnyalah, diadakan pertanyaan. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul itu kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) para rasul.” [Al-A’râf : 6]
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan (ingatlah) di hari Allah menyeru mereka, seraya berkata: “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?” Maka tertutuplah bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, kemudian mereka tidak bisa saling bertanya. Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang shaleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung.” [Al-Qashash : 65-67]
Syaikh kami, Hâfizh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullâh dalam kitab Ma’ârijul Qabûl (2/510) berkata,
“Kalimat (tauhid) ini merupakan seagung-agung nikmat yang Allah anugerahkan kepada segenap hamba-Nya, (yaitu) dengan membimbing mereka kepada-Nya. Sebab itu, Allah menyebutkan (kalimat tersebut) dalam surat An-Nahl -yang (disebut juga) Surah An-Ni’am- sebagai nikmat pertama sebelum nikmat-nikmat lainnya. (Allah) berfirman,
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dari perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka bertakwalah kalian kepada-Ku.” [An-Nahl : 2]
Kalimat ini adalah kalimat syahadat dan kunci negeri kebahagiaan. Dia adalah pokok dan asas agama. (Dia merupakan) inti, tonggak dan penyangga agama ini. Sedangkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban (Islam) lainnya (hanya) bercabang dan berpecah darinya dan (hanya) sebagai penyempurnanya. Dan (rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban Islam itu) terikat dengan makna (kalimat tersebut) dan pengamalan terhadap konsekwensinya. Itulah Al-Urwah Al-Wutsqâ yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Al-Urwah Al-Wutsqâ (ikatan tali yang amat kuat) lagi tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah : 256]
Dia adalah perjanjian yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Mereka tidak berhak mendapatkan syafa’at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi (Allah) yang Maha Pemurah.” [Maryam : 87]
Berkata Abdullah bin Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ dalam menafsirkan “perjanjian” (dalam ayat tersebut), “Dia adalah syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan berlepas dari segala daya dan upaya selain dari Allah.”
Dia adalah Al-Husnâ yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan Al-Husnâ, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” [Al-Lail :5-7]
Dia adalah Kalimat Al-Haq yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,
“Kecuali orang yang bersaksi dengan Al-Haq seraya mereka meyakini(nya).” [Az-Zukhruf : 86]
Dan dia adalah Kalimatut-Taqwa yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,
“Allah mewajibkan kepada mereka Kalimatut-Taqwa dan merekalah yang paling berhak dengan (Kalimatut-Taqwa itu) dan paling patut memilikinya.” [Al Fath : 26]” Selesai apa yang kuhendaki penukilannya dengan ada perubahan.
Dari sini kita ketahui, mengapa tauhid adalah yang paling pertama dalam kewajiban dan yang paling pertama dalam berdakwah. Dan (mengapa) dia adalah pokok agama, dasar dan pondasinya. Maka Islam tanpa tauhid bagaikan bangunan tanpa pondasi.
Dan kita ketahui juga kesesatan orang-orang yang berdakwah kepada khilafah dan mereka merasa sedang berdakwah untuk mengembalikan khilafah yang hilang.
Kita katakan : Sesungguhnya Allah memerintahkan kita (berpegang) terhadap tauhid yang seluruh para Rasul berdakwah kepadanya. Dan Allah akan bertanya kepada kita : “Apa yang kalian ibadahi dahulu?”, “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?”
Alangkah meruginya, orang yang menghabiskan umurnya untuk berdakwah kepada khilafah. Alangkah meruginya orang yang menyambut dan mengikutinya di atas kebatilan tersebut.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
[Ditulis oleh Syaikh kami, Mufti Kerajaan Saudi Arabia bagian selatan, Asy-Syaikh Al-Musnid Al-Muhaddits Al-Faqîh Al-‘Allâmah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullâh pada 17/04/1426H. Alih Bahasa oleh Ustadz Muhammad Cahyo.]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam terhadap Rasulullah, pengikut dan para shahabatnya.
Waba’du :
Seorang penelpon telah meminta kepadaku (sebuah nasehat) dengan judul “Mengapa Tauhid Dahulu?”
Ini menunjukkan bahwa si penelpon mengetahui bahwa sesungguhnya tauhid adalah pokok akidah Islam dan dasarnya serta syarat sah dan diterimanya.
Dia menyampaikan usulan tersebut untuk memahamkan orang yang belum memahami bahwa inilah kedudukan tauhid dalam Islam. Yaitu bahwa tauhid ulûhiyah (memurnikan ibadah hanya kepada Allah) merupakan perintah seluruh Rasul -dari (Rasul) pertama Nuh ‘alaihis shalâtu was salâm sampai (Rasul) terakhir Muhammad shollallâhu ‘alaihi wa sallam.
(Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”.” [An-Nahl : 36]
Dan (Allah) Subhânahu berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kalian (hanya) kepada-Ku”.” [Al-Anbiyâ` :25]
Dan tidak ada seorang Nabi pun yang diutus kepada kaumnya, melainkan pasti ia menyerukan,
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan bagi kalian (yang berhak disembah) selain-Nya.” [Al-A’râf : 59]
Ketika Allah mengutus Nabi kita, Muhammad shollallâhu ‘alaihi wa sallam kepada kaumnya, beliau berlalu selama 10 tahun tiada lain hanya menyeru kepada tauhid. Setelah itu, disyariatkanlah shalat. Dan beliau tetap tinggal 3 tahun di Makkah (di atas hal tersebut), kemudian hijrah ke Madinah. Dan pada tahun ke-2 Hijriyah, disyariatkan zakat dan puasa.
(Tampaklah) bahwa tauhid adalah pokok agama dan dasarnya serta landasannya yang (agama itu) dibangun di atasnya. Karena itu, barangsiapa merusak tauhidnya dengan beribadah kepada sesembahan lain bersama Allah, maka dia telah merusak agamanya secara keseluruhan dan keluar dari Islam sehingga menjadi murtad serta hancurlah seluruh amal perbuatannya. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (wahai Muhammad) dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”.” [Az-Zumar : 65]
Dan (Nabi) ‘Isa ‘alaihis shalâtu was salâm berkata,
“Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” [Al-Mâ`idah : 72]
Dan pokok dasar yang sangat agung ini (juga) terkandung pada (kalimat) syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan “Anna Muhammadan Rasulullâh” yang (kalimat syahadat itu) terdiri dari dua bagian; “Lâ Ilâha” dan “Illallâhu”.
Bagian pertama : Penafian peribadatan dari siapa yang selain Allah ‘Azza wa Jalla pada ucapan “Asyhâdu an Lâ Ilâha” yang bermakna tidak ada sesembahan apapun di wujud ini yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Bagian kedua : Pada ucapan “Illallâhu” terdapat penetapan peribadatan hanya untuk Allah semata tanpa selain-Nya, karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta ini. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi-Nya?. (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam”.” [Fushshilat : 9] dan beberapa ayat setelahnya.
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kalian lalu membaguskan bentuk kalian serta memberi kalian rezki dengan yang baik-baik. Itulah Allah Rabb Kalian. Maha Berkah Allah, Rabb semesta alam. Dialah Yang Maha hidup kekal, tiada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Katakanlah (ya Muhammad), “Sesungguhnya aku dilarang untuk menyembah sesembahan yang kalian sembah selain Allah setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Rabbku; dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.” [Ghâfir : 64– 66]
Sangat banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa tauhid peribadatan hanya milik Allah. Maka barangsiapa yang mengucapkan (kalimat) syahadat ini; yaitu syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan “Anna Muhammadan Rasulullâh”, maka ia telah meraih keberuntungan dan telah selamat dari kerugian. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” [Al-Ashr : 1-3]
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (kesyirikan), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-An’âm : 82]
Barangsiapa mengucapkannya dengan meyakini maknanya dan mengamalkan kandungannya, maka dia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia adalah kalimat yang dengannya Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Dan karenanya, dunia dan akhirat, surga dan neraka diciptakan. Dan pada perkara inilah ketentuan kebahagiaan dan kesengsaraan.
Orang yang mengucapkan dan meyakininya akan diberi catatan amalnya dengan tangan kanannya, akan berat timbangan kebaikannya, akan (berhasil) melalui Ash-Shirâth dan masuk ke dalam surga serta selamat dari neraka.
Dan tentangnyalah, diadakan pertanyaan. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul itu kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) para rasul.” [Al-A’râf : 6]
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan (ingatlah) di hari Allah menyeru mereka, seraya berkata: “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?” Maka tertutuplah bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, kemudian mereka tidak bisa saling bertanya. Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang shaleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung.” [Al-Qashash : 65-67]
Syaikh kami, Hâfizh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullâh dalam kitab Ma’ârijul Qabûl (2/510) berkata,
“Kalimat (tauhid) ini merupakan seagung-agung nikmat yang Allah anugerahkan kepada segenap hamba-Nya, (yaitu) dengan membimbing mereka kepada-Nya. Sebab itu, Allah menyebutkan (kalimat tersebut) dalam surat An-Nahl -yang (disebut juga) Surah An-Ni’am- sebagai nikmat pertama sebelum nikmat-nikmat lainnya. (Allah) berfirman,
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dari perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka bertakwalah kalian kepada-Ku.” [An-Nahl : 2]
Kalimat ini adalah kalimat syahadat dan kunci negeri kebahagiaan. Dia adalah pokok dan asas agama. (Dia merupakan) inti, tonggak dan penyangga agama ini. Sedangkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban (Islam) lainnya (hanya) bercabang dan berpecah darinya dan (hanya) sebagai penyempurnanya. Dan (rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban Islam itu) terikat dengan makna (kalimat tersebut) dan pengamalan terhadap konsekwensinya. Itulah Al-Urwah Al-Wutsqâ yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Al-Urwah Al-Wutsqâ (ikatan tali yang amat kuat) lagi tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah : 256]
Dia adalah perjanjian yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Mereka tidak berhak mendapatkan syafa’at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi (Allah) yang Maha Pemurah.” [Maryam : 87]
Berkata Abdullah bin Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ dalam menafsirkan “perjanjian” (dalam ayat tersebut), “Dia adalah syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan berlepas dari segala daya dan upaya selain dari Allah.”
Dia adalah Al-Husnâ yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan Al-Husnâ, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” [Al-Lail :5-7]
Dia adalah Kalimat Al-Haq yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,
“Kecuali orang yang bersaksi dengan Al-Haq seraya mereka meyakini(nya).” [Az-Zukhruf : 86]
Dan dia adalah Kalimatut-Taqwa yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,
“Allah mewajibkan kepada mereka Kalimatut-Taqwa dan merekalah yang paling berhak dengan (Kalimatut-Taqwa itu) dan paling patut memilikinya.” [Al Fath : 26]” Selesai apa yang kuhendaki penukilannya dengan ada perubahan.
Dari sini kita ketahui, mengapa tauhid adalah yang paling pertama dalam kewajiban dan yang paling pertama dalam berdakwah. Dan (mengapa) dia adalah pokok agama, dasar dan pondasinya. Maka Islam tanpa tauhid bagaikan bangunan tanpa pondasi.
Dan kita ketahui juga kesesatan orang-orang yang berdakwah kepada khilafah dan mereka merasa sedang berdakwah untuk mengembalikan khilafah yang hilang.
Kita katakan : Sesungguhnya Allah memerintahkan kita (berpegang) terhadap tauhid yang seluruh para Rasul berdakwah kepadanya. Dan Allah akan bertanya kepada kita : “Apa yang kalian ibadahi dahulu?”, “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?”
Alangkah meruginya, orang yang menghabiskan umurnya untuk berdakwah kepada khilafah. Alangkah meruginya orang yang menyambut dan mengikutinya di atas kebatilan tersebut.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
[Ditulis oleh Syaikh kami, Mufti Kerajaan Saudi Arabia bagian selatan, Asy-Syaikh Al-Musnid Al-Muhaddits Al-Faqîh Al-‘Allâmah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullâh pada 17/04/1426H. Alih Bahasa oleh Ustadz Muhammad Cahyo.]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam terhadap Rasulullah, pengikut dan para shahabatnya.
Waba’du :
Seorang penelpon telah meminta kepadaku (sebuah nasehat) dengan judul “Mengapa Tauhid Dahulu?”
Ini menunjukkan bahwa si penelpon mengetahui bahwa sesungguhnya tauhid adalah pokok akidah Islam dan dasarnya serta syarat sah dan diterimanya.
Dia menyampaikan usulan tersebut untuk memahamkan orang yang belum memahami bahwa inilah kedudukan tauhid dalam Islam. Yaitu bahwa tauhid ulûhiyah (memurnikan ibadah hanya kepada Allah) merupakan perintah seluruh Rasul -dari (Rasul) pertama Nuh ‘alaihis shalâtu was salâm sampai (Rasul) terakhir Muhammad shollallâhu ‘alaihi wa sallam.
(Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”.” [An-Nahl : 36]
Dan (Allah) Subhânahu berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kalian (hanya) kepada-Ku”.” [Al-Anbiyâ` :25]
Dan tidak ada seorang Nabi pun yang diutus kepada kaumnya, melainkan pasti ia menyerukan,
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan bagi kalian (yang berhak disembah) selain-Nya.” [Al-A’râf : 59]
Ketika Allah mengutus Nabi kita, Muhammad shollallâhu ‘alaihi wa sallam kepada kaumnya, beliau berlalu selama 10 tahun tiada lain hanya menyeru kepada tauhid. Setelah itu, disyariatkanlah shalat. Dan beliau tetap tinggal 3 tahun di Makkah (di atas hal tersebut), kemudian hijrah ke Madinah. Dan pada tahun ke-2 Hijriyah, disyariatkan zakat dan puasa.
(Tampaklah) bahwa tauhid adalah pokok agama dan dasarnya serta landasannya yang (agama itu) dibangun di atasnya. Karena itu, barangsiapa merusak tauhidnya dengan beribadah kepada sesembahan lain bersama Allah, maka dia telah merusak agamanya secara keseluruhan dan keluar dari Islam sehingga menjadi murtad serta hancurlah seluruh amal perbuatannya. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (wahai Muhammad) dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”.” [Az-Zumar : 65]
Dan (Nabi) ‘Isa ‘alaihis shalâtu was salâm berkata,
“Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” [Al-Mâ`idah : 72]
Dan pokok dasar yang sangat agung ini (juga) terkandung pada (kalimat) syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan “Anna Muhammadan Rasulullâh” yang (kalimat syahadat itu) terdiri dari dua bagian; “Lâ Ilâha” dan “Illallâhu”.
Bagian pertama : Penafian peribadatan dari siapa yang selain Allah ‘Azza wa Jalla pada ucapan “Asyhâdu an Lâ Ilâha” yang bermakna tidak ada sesembahan apapun di wujud ini yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Bagian kedua : Pada ucapan “Illallâhu” terdapat penetapan peribadatan hanya untuk Allah semata tanpa selain-Nya, karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta ini. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi-Nya?. (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam”.” [Fushshilat : 9] dan beberapa ayat setelahnya.
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kalian lalu membaguskan bentuk kalian serta memberi kalian rezki dengan yang baik-baik. Itulah Allah Rabb Kalian. Maha Berkah Allah, Rabb semesta alam. Dialah Yang Maha hidup kekal, tiada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Katakanlah (ya Muhammad), “Sesungguhnya aku dilarang untuk menyembah sesembahan yang kalian sembah selain Allah setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Rabbku; dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.” [Ghâfir : 64– 66]
Sangat banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa tauhid peribadatan hanya milik Allah. Maka barangsiapa yang mengucapkan (kalimat) syahadat ini; yaitu syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan “Anna Muhammadan Rasulullâh”, maka ia telah meraih keberuntungan dan telah selamat dari kerugian. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” [Al-Ashr : 1-3]
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (kesyirikan), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-An’âm : 82]
Barangsiapa mengucapkannya dengan meyakini maknanya dan mengamalkan kandungannya, maka dia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia adalah kalimat yang dengannya Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Dan karenanya, dunia dan akhirat, surga dan neraka diciptakan. Dan pada perkara inilah ketentuan kebahagiaan dan kesengsaraan.
Orang yang mengucapkan dan meyakininya akan diberi catatan amalnya dengan tangan kanannya, akan berat timbangan kebaikannya, akan (berhasil) melalui Ash-Shirâth dan masuk ke dalam surga serta selamat dari neraka.
Dan tentangnyalah, diadakan pertanyaan. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul itu kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) para rasul.” [Al-A’râf : 6]
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan (ingatlah) di hari Allah menyeru mereka, seraya berkata: “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?” Maka tertutuplah bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, kemudian mereka tidak bisa saling bertanya. Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang shaleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung.” [Al-Qashash : 65-67]
Syaikh kami, Hâfizh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullâh dalam kitab Ma’ârijul Qabûl (2/510) berkata,
“Kalimat (tauhid) ini merupakan seagung-agung nikmat yang Allah anugerahkan kepada segenap hamba-Nya, (yaitu) dengan membimbing mereka kepada-Nya. Sebab itu, Allah menyebutkan (kalimat tersebut) dalam surat An-Nahl -yang (disebut juga) Surah An-Ni’am- sebagai nikmat pertama sebelum nikmat-nikmat lainnya. (Allah) berfirman,
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dari perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka bertakwalah kalian kepada-Ku.” [An-Nahl : 2]
Kalimat ini adalah kalimat syahadat dan kunci negeri kebahagiaan. Dia adalah pokok dan asas agama. (Dia merupakan) inti, tonggak dan penyangga agama ini. Sedangkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban (Islam) lainnya (hanya) bercabang dan berpecah darinya dan (hanya) sebagai penyempurnanya. Dan (rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban Islam itu) terikat dengan makna (kalimat tersebut) dan pengamalan terhadap konsekwensinya. Itulah Al-Urwah Al-Wutsqâ yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Al-Urwah Al-Wutsqâ (ikatan tali yang amat kuat) lagi tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah : 256]
Dia adalah perjanjian yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Mereka tidak berhak mendapatkan syafa’at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi (Allah) yang Maha Pemurah.” [Maryam : 87]
Berkata Abdullah bin Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ dalam menafsirkan “perjanjian” (dalam ayat tersebut), “Dia adalah syahadat “Lâ Ilâha Illallâhu” dan berlepas dari segala daya dan upaya selain dari Allah.”
Dia adalah Al-Husnâ yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (tentangnya),
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan Al-Husnâ, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” [Al-Lail :5-7]
Dia adalah Kalimat Al-Haq yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,
“Kecuali orang yang bersaksi dengan Al-Haq seraya mereka meyakini(nya).” [Az-Zukhruf : 86]
Dan dia adalah Kalimatut-Taqwa yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,
“Allah mewajibkan kepada mereka Kalimatut-Taqwa dan merekalah yang paling berhak dengan (Kalimatut-Taqwa itu) dan paling patut memilikinya.” [Al Fath : 26]” Selesai apa yang kuhendaki penukilannya dengan ada perubahan.
Dari sini kita ketahui, mengapa tauhid adalah yang paling pertama dalam kewajiban dan yang paling pertama dalam berdakwah. Dan (mengapa) dia adalah pokok agama, dasar dan pondasinya. Maka Islam tanpa tauhid bagaikan bangunan tanpa pondasi.
Dan kita ketahui juga kesesatan orang-orang yang berdakwah kepada khilafah dan mereka merasa sedang berdakwah untuk mengembalikan khilafah yang hilang.
Kita katakan : Sesungguhnya Allah memerintahkan kita (berpegang) terhadap tauhid yang seluruh para Rasul berdakwah kepadanya. Dan Allah akan bertanya kepada kita : “Apa yang kalian ibadahi dahulu?”, “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?”
Alangkah meruginya, orang yang menghabiskan umurnya untuk berdakwah kepada khilafah. Alangkah meruginya orang yang menyambut dan mengikutinya di atas kebatilan tersebut.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
[Ditulis oleh Syaikh kami, Mufti Kerajaan Saudi Arabia bagian selatan, Asy-Syaikh Al-Musnid Al-Muhaddits Al-Faqîh Al-‘Allâmah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullâh pada 17/04/1426H. Alih Bahasa oleh Ustadz Muhammad Cahyo.]

Sumber :
http://an-nashihah.com/?p=551

Jumat, 11 Oktober 2013

Batas Ketaatan Kepada Makhluk

Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-

Sebagian orang kadang salah sangka dalam perkara ketaatan kepada pimpinan, baik itu kepala negara atau kepala sekolah atau siapa diantara pimpinan manusia. Sering terjadi kerancuan dalam memahami arti ketaatan kepada pimpinan dan batasannya.
Kesalahan pemahaman seperti ini seringkali kita temui dalam kehidupan para militer dan pengikut sebuah jama’ah dakwah. Ini amat tampak dalam sikap dan tindakan mereka dalam menaati pimpinan, sehingga apa saja yang dikatakan oleh pimpinan, maka ia bersegera melakukannya, tanpa menimbang baik-tidaknya menurut syariat.
Kita ambilkan contoh, persoalan jenggot –misalnya-. Di sebagian negeri-negeri Islam, para pemimpin militer “mewajibkan” para bawahannya untuk menggundul dan mencukur jenggotnya, tanpa hujjah. Akhirnya, anak buah yang lemah iman menaati pimpinannya dalam mencukur jenggot. Jika tidak taat, maka ia akan diberi hukuman atau bahkan dipecat!!
Contoh lain, seorang militan diperintahkan oleh pemimpin jamaah dan organisasinya untuk melakukan aksi bunuh diri demi melakukan tindak teror. Dia lakukan semua itu karena taat kepada pimpinan, walaupun agama melarang keras seseorang bunuh diri.
Seorang anak  bersama orang tuanya sering kali terjatuh dalam kesalahan seperti ini. Sang anak saat diperintah oleh orang tuanya berbuat maksiat, maka ia pun serta merta mengikuti dan menaati orang tuanya, tanpa peduli dengan maksiat yang ia lakukan. Misalnya, sang bapak memerintahkan anaknya melakukan pesta pernikahan yang diramaikan oleh “seruling setan” yang kita kenal pada hari ini dengan musik. Sang anak pun menganggut-anggut saja, tanpa mengingkari orang tuanya dengan baik. Padahal ia sudah tahu bahwa musik adalah haram dalam agama.
Bahkan terkadang sebagian anak, saking taatnya kepada orang tuanya, ia rela menuruti segala kemauan orang tuanya, walaupun ia harus melakukan kekafiran dan kesyirikan dengan dalih bahwa taat kepada orang tua adalah wajib!!
Benarkah demikian?! Jelas salah!! Sebab ketaatan kepada makhluk tak boleh kita lakukan bila dalam perkara maksiat, misalnya dalam perkara kesyirikan, kekafiran, bid’ah dan dosa lainnya.
Allah -Ta’ala- menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ  [العنكبوت/8]
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut : 8 )
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ  [لقمان/14، 15]
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.  Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. Luqman : 14-15)
Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata,
“Jika ketaatan kepada kedua orang tua tidak boleh dalam kondisi seperti ini, padahal keduanya memaksa sang anak, maka tidak bolehnya taat kepada keduanya (yakni, dalam maksiat), karena hanya sekedar permintaan mereka, tanpa ada paksaan adalah lebih utama. Digolongkan dalam permintaan kesyirikan oleh keduanya, seluruh kemaksiatan kepada Allah –Subhanahu-. Jadi, tak ada ketaatan kepada kedua orang tua dalam perkara kemaksiatan kepada Allah sebagaimana hal itu telah shohih dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-”. [Lihat Fathul Qodir (5/430)]
Bagaiaman pun tingginya kedudukan orang tua kita, maka seorang anak dilarang keras dalam agama untuk menaati mereka dalam perkara maksiat. Yakni, jika mereka menyuruh kita berbuat maksiat dan dosa, baik dipaksa atau tidak, maka haram hukumnya menaati mereka menurut agama!!
Hal yang seperti ini sama hukumnya dengan pimpinan negara atau panglima pasukan. Jika mereka memerintahkan kita berbuat maksiat, maka tak boleh kita taati, siapapun dia!!
Dari Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا. فَأَرَادَ نَاسٌ أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ الآخَرُونَ إِنَّا قَدْ فَرَرْنَا مِنْهَا. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا « لَوْ دَخَلْتُمُوهَا لَمْ تَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ». وَقَالَ لِلآخَرِينَ قَوْلاً حَسَنًا وَقَالَ « لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ ».
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan dan mengangkat bagi mereka seorang pimpinan.
Kemudian pimpinan itu menyalakan api seraya berkata, “Masukilah api itu!!”
Beberapa orang ingin masuk ke api itu. Yang lain lagi berkata, “Sesungguhnya kita itu lari dari api”.
Akhirnya, perkara itu dilaporkan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kemudian Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada orang-orang yang mau memasuki api itu, “Andaikan kalian memasukinya, maka kalian akan terus berada dalam api itu sampai hari kiamat”. Beliau mengucapkan ucapan yang baik kepada kelompok yang lain, seraya bersabda, “Tak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (7257) dan Muslim dalam Shohih-nya (1840)]
Di dalam riwayat yang lain, Ali -radhiyallahu anhu- berkata,
بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم سرية واستعمل عليهم رجلا من الأنصار وأمرهم أن يسمعوا له ويطيعوا فأغضبوه في شيء فقال اجمعوا لي حطبا فجمعوا له ثم قال أوقدوا نارا فأوقدوا ثم قال ألم يأمركم رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تسمعوا لي وتطيعوا ؟ قالوا بلى قال فادخلوها قال فنظر بعضهم إلى بعض فقالوا إنما فررنا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم من النار فكانوا كذلك وسكن غضبه وطفئت النار فلما رجعوا ذكروا ذلك للنبي صلى الله عليه و سلم فقال ( لو دخلوها ما خرجوا منها إنما الطاعة في المعروف )
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengutus pasukan dan mengangkat seorang pemimpin atas mereka dari kalangan Anshor. Beliau memerintahkan mereka agar mendengar dan menaati pimpinan itu.
Kemudian mereka pun membuat pimpinan itu marah dalam suatu perkara. Dia (pimpinan itu) berkata, “Kumpulkanlah untukku kayu bakar”. Mereka pun mengumpulkan kayu bakar untuknya seraya berkata, “Nyalakan api!!” Lalu mereka menyalakannya. Tiba-tiba pimpinan itu berkata, “Bukankah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah memerintahkan kalian agar kalian mendengar dan menaatiku?” Mereka menjawab, “Betul!!” Dia berkata, “Nah, masuklah kalian ke dalam api itu!!!” Sebagian pasukan melihat kepada yang lain seraya berkata, “Sesungguhnya kita ini lari kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dari api (yakni, api neraka)”.
Mereka senantiasa demikian, lalu marahnya pun reda dan api pun padam. Tatkala mereka kembali, maka mereka melaporkan  hal itu kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Beliau bersabda, “Andaikan mereka memasuki api itu, maka mereka tak akan keluar darinya. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4340 & 7145) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1840)]
Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat banyak faedah. Sedang faedahnya yang terpenting bahwa tak boleh menaati seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah -Tabaroka wa Ta’ala-, sama saja kepada para pemerintah, ulama, maupun guru.
Darinya diketahuilah kesesatan beberapa kelompok manusia:
Kelompok Pertama:
Sebagian orang-orang tasawwuf (sufi) yang menaati guru-guru mereka, walaupun guru mereka memerintahkannya dalam maksiat yang gamblang dengan dalih bahwa maksiat itu –kata mereka- pada hakikatnya bukanlah maksiat dan bahwa guru tarekat mampu memandang (menjangkau) sesuatu yang tak mampu dijangkau oleh murid.
Aku (Syaikh Al-Albaniy) mengenal seorang guru tarekat dari kalangan mereka ini yang melantik dirinya sebagai mursyid (guru tarekat). Si guru ini mengisahkan sebuah kisah kepada para pengikutnya dalam sebagian pelajarannya di masjid. Inti dari kisah itu bahwa seorang guru tarekat sufi di suatu malam pernah memerintahkan salah seorang muridnya untuk pergi ke bapaknya. Akhirnya, si murid membunuh bapaknya di atas pembaringannya, di samping istrinya. Tatkala ia telah membunuh bapaknya, maka ia pun kembali ke gurunya dalam keadaan penuh gembira, karena telah melaksanakan perintah sang guru.
Sang guru pun memandang kepada si murid seraya berkata, “Apakah kamu mengira bahwa engkau telah membunuh bapakmu pada hakikatnya? Dia itu hanyalah teman ibumu!! Adapun bapakmu, maka ia tak ada (pergi).
Kemudian si guru tarekat (yang bercerita ini) membangun sebuah hukum berdasarkan kisah ini menurut sangkaannya seraya berkata kepada mereka (murid-muridnya), “Sesungguhnya guru tarekat bila memerintahkan muridnya untuk melakukan suatu hukum yang menyelisihi syariat menurut lahiriahnya, maka wajib bagi si murid untuk menaati gurunya dalam hal itu”.
Si guru ini berkata lagi, “Tidakkah kalian melihat si guru ini tadi –menurut lahiriahnya- memerintahkan si anak untuk membunuh ayahnya. Akan tetapi pada hakikatnya si guru hanyalah memerintahkan si murid untuk membunuh orang yang berzina dengan ibu  si anak. Orang itu (yang berzina) memang berhak dibunuh menurut syariat!!”
Kebatilan kisah ini tak samar menurut syariat dari banyak sisi:
  1. Bahwa penerapan hukuman hadd, bukanlah hak guru tarekat, bagaimanapun keadaannya. Penerapan hal itu hanyalah dari arah pemerintah.
  2. Andaikan penerapan hukuman itu adalah haknya, nah kenapakah si guru ini hanya menerapkan hukuman hadd bagi si lelaki tadi, tanpa wanita tersebut. Padahal mereka berdua dalam hal itu sama?
  3. Sesungguhnya orang berzina yang sudah berkeluarga, hukumnya menurut syariat adalah bunuh dengan rajam, bukan bunuh tanpa rajam.
Dari situ tampaklah bahwa si guru tarekat itu sungguh telah menyelisihi syariat dari beberapa sisi. Demikian pula (tampaklah kebatilan) urusan si murid tadi yang telah membangun berdasarkan kisah tadi sesuatu berupa wajibnya taat kepada guru tarekat, walapun si guru menyelisihi syariat secara terang-terangan!! Sampai si guru berkata kepada mereka, “Jika kalian melihat pada leher guru tarekat ada salib, maka tak boleh bagi kalian mengingkarinya!!”.
Sekalipun kebatilan ucapan seperti ini amat jelas serta menyelisihi syariat dan akal sekaligus, maka kita masih saja menemukan ada orang yang tertipu dengan ucapan seperti ini. Padahal di kalangan mereka ada juga pemuda yang berpendidikan…
Kelompok Kedua: Mereka itu adalah para tukang taqlid yang lebih mendahulukan untuk mengikuti pendapat madzhabnya dibandingkan sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sementara itu jelas sesuatu yang bisa dipetik dari sabda beliau.
Jika dikatakan kepada salah seorang diantara mereka –misalnya-, “Janganlah engkau sholat sunnah Subuh setelah sholat di-iqomati, karena adanya larangan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dari hal itu secara gamblang”, maka orang ini tak akan taat seraya berkata, “Madzhab kami membolehkan hal itu!!”.
Jika dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya nikah tahlil adalah batal, karena Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melaknat pelakunya”, maka ia akan menjawab dengan ucapannya, “Tidak demikian, bahkan itu boleh dalam madzhab fulan”.
Demikianlah halnya sampai ratusan permasalahan. Oleh karena ini, kebanyakan diantara para muhaqqiqin berpendapat bahwa para tukang taqlid seperti ini terkena firman Allah -Tabaroka wa Ta’ala- tentang orang-orang Nasrani,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ [التوبة/31]
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31)[1]
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Fakhr Ar-Roziy dalam Tafsir-nya.
Kelompok Ketiga: Mereka adalah orang-orang yang menaati para pemerintah dalam perkara yang mereka syariatkan bagi manusia berupa aturan-aturan dan ketetapan yang menyelisihi syariat, seperti komunisme dan yang menyerupainya. Orang yang paling buruk diantara mereka adalah orang yang berusaha menampakkan bahwa hal itu sesuai dengan syariat, tidak menyelisihinya!!
Ini adalah musibah yang menimpa kebanyakan diantara orang-orang yang mengaku berilmu dan sholih di zaman ini, sehingga tertipulah dengannya kebanyakan orang-orang awam. Karenanya, cocoklah ayat yang terdahulu bagi mereka dan pengekornya,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ [التوبة/31]
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31)
Kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan”. Selesai ucapan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy, kami nukilkan dari Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/352-354/no. 181), cet. Maktabah Al-Ma’arif, 1415 H.
Inilah beberapa praktek salah dalam menaati makhluk. Jika kita ingin menyebutkan banyak fakta tentang hal itu, maka kita butuh waktu panjang dalam menukil dan membahasnya.
Terakhir, perlu kami jelaskan bahwa ketaatan itu bermacam-macam:
a. ketaatan kepada Allah. Disini, seorang wajib taat kepada Allah secara mutlak.
b. ketaatan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Seorang hamba wajib menaati Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- secara mutlak. Karena, tak mungkin beliau keliru dalam menyampaikan risalah dan agama Allah. Jika keliru, maka pasti telah dibenarkan dan diluruskan oleh Allah -Azza wa Jalla- Yang telah mengutusnya.
c. Adapun ketaatan kepada selain Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka perlu rincian. Jika taat dalam perkara yang ma’ruf (baik), maka boleh, bahkan boleh jadi wajib. Namun jika taat dalam perkara dosa dan maksiat, maka haram hukumnya menaati makhluk dalam hal itu.

[1] Mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal. [pen.]

Sumber :