Rabu, 12 Maret 2014

Taklid, Budaya Jahiliyah

( Ditulis Oleh: Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari bin Jamal )

Allah Subhaanahu wata'aala, berfirman;
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (al-Baqarah: 170)
Penjelasan Mufradat Ayat
“Jika dikatakan kepada mereka.”
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan kata “mereka” dalam ayat ini.
Sebagian mengatakan, “Yang dimaksud adalah bangsa Arab yang kafir.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallohu anhu, “(Ayat ini) diturunkan tentang kaum Yahudi.”
Ath-Thabari t berkata, “Yang dimaksud adalah manusia secara umum yang terdapat dalam ayat sebelumnya (al-Baqarah: 168).” (Tafsir ath-Thabari, Tafsir al-Qurthubi)
“Mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah,” dengan ucapan dan perbuatan.
“Kami mendapati,” maknanya sama dengan kalimat وَجَدْنَا.

Penjelasan Ayat
Al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, mengatakan, “Allah subhaanahu wata'aala, mengabarkan tentang keadaan kaum musyrikin tatkala mereka diperintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, kepada Rasul-Nya. Mereka pun membenci hal itu dan berkata, ‘Justru kami mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek moyang kami.’ Mereka merasa cukup dengan mengikuti nenek moyang mereka dan berpaling dari beriman kepada para nabi-Nya, padahal nenek moyang mereka adalah manusia yang paling bodoh dan yang paling keras kesesatannya. Ini adalah syubhat yang sangat lemah untuk menolak kebenaran. Ini juga merupakan dalil bahwa mereka telah berpaling dari kebenaran dan membencinya, serta sikap ketidakadilan mereka. Seandainya mereka diberi petunjuk dan memiliki niat yang baik, tentu kebenaranlah yang menjadi tujuannya. Barang siapa menjadikan kebenaran sebagai tujuannya dan membandingkan antara kebenaran dengan yang lainnya, pasti kebenaran itu akan menjadi jelas baginya. Dia pun akan mengikutinya jika bersikap adil.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Ath-Thabari rahimahullah, tatkala menjelaskan makna ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ mengatakan, “Beramallah dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, dalam kitab-Nya kepada Rasul-Nya. Halalkanlah apa yang Dia halalkan, haramkanlah apa yang Dia haramkan. Jadikanlah beliau n sebagai imam yang kalian ikuti dan penuntun yang kalian ikuti hukum-hukumnya.” (Tafsir ath-Thabari, 3/43)
Beliau rahimahullah lalu berkata, “Wahai sekalian manusia, mengapa kalian mengikuti apa yang kalian dapati dari nenek moyang kalian dan meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Rabb kalian? Padahal nenek moyang kalian itu tidak memahami perintah Allah subhaanahu wata'aala, sedikit pun. Mereka juga tidak berada di jalan yang benar. Tidak pula mereka mendapat bimbingan petunjuk. Hal ini karena seseorang yang diikuti adalah orang yang memiliki pengetahuan terhadap sesuatu yang akan dimanfaatkan untuk dirinya. Orang yang jahil (bodoh, tidak mengetahui) tidak diikuti (dalam hal-hal yang tidak diketahuinya) melainkan oleh orang yang tidak memiliki akal dan pembeda.” (Tafsir ath-Thabari, 3/44)
Larangan Taklid
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kekuatan lafadz yang terdapat pada ayat ini menjelaskan batilnya taklid, seperti halnya firman Allah subhaanahu wata'aala, :
Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Apakah mereka tetap akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (al-Maidah: 104)
Ayat ini sangat berhubungan dengan ayat sebelumnya. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah subhaanahu wata'aala, mengabarkan tentang kejahilan bangsa Arab terhadap apa yang mereka tetapkan dengan cara pandang mereka yang bodoh, yaitu al-bahirah, as-saibah, dan al-washilah1. Lalu mereka berhujjah bahwa itu adalah urusan yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka. Mereka pun mengikutinya sekaligus meninggalkan apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, kepada Rasul-Nya dan yang diperintahkan oleh agamanya. (Tafsir al-Qurthubi, 3/15—16)
Yang dimaksud dengan taklid adalah mengikuti ucapan seseorang tanpa mengetahui dalilnya. (Majmu’ al-Fatawa, 35/233, Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah hlm. 621)

Jenis Taklid yang Tercela
Para ulama menyebutkan jenis-jenis taklid yang tercela sebagai berikut.
1. Berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah k dan memilih mengikuti nenek moyang.
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Allah l mencela orang yang berpaling dari apa yang diturunkan-Nya lalu bertaklid kepada nenek moyang. Para ulama salaf dan imam yang empat akan bersepakat bahwa taklid semacam ini tercela dan haram.”
2. Taklid kepada orang yang bukan ahlinya dengan mengambil ucapannya.
Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)
3. Taklid kepada ucapan yang menyelisihi firman Allah l dan Rasul-Nya, siapa pun dia.
Allah l berfirman:
ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (al-A’raf: 3)
4. Taklid kepada seseorang setelah jelas kebenaran dan dalilnya.
5. Taklid seorang mujtahid yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan memiliki keluangan waktu untuk membahasnya.
6. Taklid kepada seorang mujtahid dalam seluruh pendapat dan ijtihadnya. (Ma’alim fi Ushulil Fiqhi, hlm. 498)

Perbedaan antara Taklid dan Ittiba’
Para ulama membedakan istilah taklid dengan ittiba’. Ittiba’ adalah beramal dengan dalil, sedangkan taklid adalah mengikuti perkataan seseorang tanpa hujjah.
Telah dinukil dari Abu Abdillah bin Khuwaiz Mandad al-Bashri al-Maliki bahwa beliau berkata, “Makna taklid dalam syariat adalah mengambil sebuah pendapat di mana orang yang berpendapat dengannya tidak membawa hujjah. Hal ini terlarang dalam syariat. Adapun ittiba’ adalah yang ditetapkan dengan hujjah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Bar, 2/173, Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, Muhammad Ali Firqaus, 2/744—745)
Dia juga berkata pada bagian akhir kitabnya, “Setiap orang yang engkau ikuti ucapannya tanpa ada dalil yang mengharuskanmu untuk menerimanya, berarti engkau telah taklid kepadanya. Dan taklid di dalam agama Allah k tidak dibenarkan. Setiap orang yang mengharuskanmu untuk mengikuti ucapannya berdasarkan dalil, berarti engkau ber-ittiba’ kepadanya. Ittiba’ di dalam agama diperbolehkan, sedangkan taklid terlarang.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 2/173)
Al-Imam Abu Dawud t juga menukilkan ucapan al-Imam Ahmad t yang didengarnya dari beliau rahimahullah, “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi n dan dari para sahabatnya. Adapun yang datang dari kalangan tabi’in setelah mereka, dia diberi pilihan.” (Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/745)
Ibnul Qayyim t berkata tatkala menjelaskan kewajiban ber-ittiba’, “Sikap ittiba’ yang tulus kepada yang ma’shum (Rasulullah) shallallohu 'alaihi wasallam, berbeda dengan sikap membuang dan meninggalkan perkataan para ulama. Ittiba’ yang tulus adalah engkau tidak mendahulukan ucapan seseorang dan pendapatnya di atas apa yang datang dari beliau shallallahu 'alaihi wasallam, dalam keadaan apapun. Namun, hendaknya yang pertama kali engkau lihat adalah kesahihan sebuah hadits. Jika sahih, hal yang kedua adalah engkau perhatikan maknanya. Jika telah jelas bagimu, janganlah engkau berpaling darinya meskipun yang menyelisihimu adalah semua orang dari timur ke barat. Tidak mungkin umat bersepakat dalam menyelisihi apa yang dibawa oleh Nabi n. Pasti ada di kalangan umat ini yang sejalan dengan riwayat tersebut meskipun engkau tidak mengetahuinya. Maka dari itu, janganlah engkau menjadikan ketidaktahuanmu tentang orang yang sejalan dengannya sebagai hujjah untuk menolak apa yang datang dari Allah subhaanahu wata'aala, dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Hendaknya engkau tetap berpegang kepada nash. Janganlah engkau merasa lemah.” (Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/743)

Adakah Taklid yang Diperbolehkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang menjadi sikap jumhur (mayoritas) umat ini bahwa ijtihad diperbolehkan secara global dan taklid diperbolehkan secara global. Mereka tidak mengharuskan setiap orang untuk berijtihad dan mengharamkan taklid. Mereka juga tidak mengharuskan setiap orang untuk bertaklid dan mengharamkan ijtihad. Ijtihad diperbolehkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan taklid diperbolehkan bagi orang yang lemah/ tidak mampu berijtihad.” (Majmu’ al-Fatawa, 20/204)

Oleh karena itu, taklid diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Ia jahil, tidak memiliki kemampuan untuk mengenal hukum Allah subhaanahu wata'aala, dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
2. Ia bertaklid kepada orang yang dikenal berilmu dan berijtihad, dari kalangan orang yang memiliki agama dan kesalehan.
3. Kebenaran belum tampak bagi orang yang taklid ini. Ia tidak mengetahui mana yang lebih kuat dari silang pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Adapun jika telah tampak baginya kebenaran, tidak diperbolehkan lagi taklid baginya.
4. Dalam bertaklid ia tidak diperbolehkan menyelisihi nash/dalil syariat yang jelas atau ijma’ para ulama.
5. Tidak diperbolehkan bagi orang yang taklid untuk berpegang kepada pendapat satu imam dalam seluruh permasalahan. Hendaknya dia berusaha untuk mencari yang lebih mendekati kebenaran dan lebih mendekatkan dirinya kepada ketakwaan kepada Allah subhaanahu wata'aala, .
6. Tidak diperbolehkan bagi seorang muqallid (yang bertaklid) untuk berpindah dari satu pendapat ke pendapat lainnya dengan tujuan mencari pendapat yang lebih ringan dan lebih sejalan dengan hawa nafsunya. (Lihat Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, hlm. 497—498)
Syaikhul Islam t berkata, “Adapun kewajiban untuk mengikuti seluruh ucapan seseorang tanpa menyebutkan dalil tentang kebenarannya, ini tidaklah benar. Bahkan, ini adalah kedudukan Rasul n yang tidak diperbolehkan selain hanya untuk beliau n.” (Majmu’ al-Fatawa, 35/121)
Wallahul muwaffiq.

Catatan Kaki:
1 Al-bahirah adalah unta betina yang telah beranak lalu dibelah telinganya, kemudian dilepaskan. Ia tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air susunya karena air susunya dipersembahkan untuk berhala-berhala mereka. As-saibah adalah unta betina yang dilepaskan kemana pun maunya karena nadzar seseorang. Al-washilah adalah hewan yang melahirkan anak betina secara berturut-turut kemudian menjadi milik mereka. Namun, jika melahirkan jantan, menjadi milik sesembahan mereka.

Sumber :
http://www.salafybpp.com/index.php/aqidah-islam/198-taklid-budaya-jahiliyah
http://asysyariah.com/taklid-budaya-jahiliyah/