Oleh : Ustadz Rismal hafizhahullah (sorowako)
Ikhwany
fillah Hafizhakumullah. Sesungguhnya manhaj tahdzir dari orang-orang
yang menyimpang telah diabaikan oleh sebagian orang yang mengaku
mendakwahkan ilmu dan sunnah.
Bahkan salah seorang dari mereka pernah menasehati saya dengan ucapannya ''Tinggalkanlah kalam `Alar rijaal (membantah orang-orang) dan sibukkanlah kaum muslimin dengan ilmu" Apakah mereka telah melupakan bahwa membantah orang-orang yang menyimpang termasuk ilmu dan dakwah ilallah.
Tidakkah mereka mengingat ucapan Al-Imam Ahmad Rahimahullah ketika Muhammad bin bundar Al-Jurjany berkata kepadanya :
"Sesungguhnya
berat bagiku untuk berkata 'si fulan begini dan si fulan begitu!'
Beliau menjawab"Jika engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang
jahil mengetahui yang shohih dari yang saqiim (lemah/salah)?
(Majmu'
Al-Fatawa 28/231, Syarh 'Ilal At-Tirmidzi 1/350, dengan perantaraan
kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.31 cet.Dar Al-Minhaj catatan kaki
no.31).
Al -Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata :
"Ketahuilah
bahwa menyebutkan seseorang dengan sesuatu yang tidak disenanginya
adalah diharamkan, jika maksud penyebutan tersebut semata-mata
celaan,aib,kekurangan.
Adapun
jika didalamnya terdapat maslahat bagi kaum muslimin secara umum, atau
khusus untuk sebagian dari mereka, dan maksud penyebutan tersebut dalam
rangka tercapainya maslahat tadi, maka hal tersebut tidaklah diharamkan
bahkan dianjurkan.
Sungguh
para ulama hadits telah menetapkan masalah ini di dalam kitab-kitab
mereka dalam masalah al-jarh wa at-ta'dil, dan mereka menyebutkan
perbedaan antara menjarah seorang rawi dan ghibah, dan mereka membantah
orang yang menyamakan kedua hal tersebut dari kalangan ahlul bid'ah dan
selain mereka dari kalangan orang-orang tidak luas keilmuannya.
Tidak
ada perbedaan antara mengkritik para perawi lafazh-lafazh hadits,
membedakan antara orang yang diterima periwayatan dari mereka dan yang
tidak diterima, (tidak ada perbedaan) dengan menjelaskan kesalahan orang
yang salah dalam memahami makna-makna Al-Quran dan As-Sunnah, mentakwil
(menafsirkan) sesuatu darinya tidak di atas penakwilan (yang
sebenar)nya, berpegang teguh dengan sesuatu yang tidak bisa dipegang
teguh dengannya, dalam rangka agar tidak diikuti pada apa yang dia salah
di dalamnya. Sungguh para ulama juga telah bersepakat akan bolehnya hal
tersebut.
Oleh
karena itulah engkau menjumpai dalam kitab-kitab karangan mereka di
berbagai jenis ilmu syar'i berupa tafsir, syarah-syarah hadits, fikih,
perbedaan para ulama dan selainnya, dipenuhi dengan
perdebatan-perdebatan (ilmiah) dan mereka membantah pendapat-pendapat
dari orang-orang yang lemah pendapat-pendapatnya dari para imam-imam
salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi'in, dan selain mereka, dan
tidak seorangpun dari para ulama yang meninggalkan hal tersebut, dan
tidak seorangpun yang mengklaim bahwa hal itu merupakan tikaman terhadap
orang yang dibantah pendapatnya, tidak pula celaan dan kekurangan
(aib).... kecuali jika si penulis (orang yang mengkritik) termasuk
orang yang berkata-kata kotor/keji, beradab jelek dalam ungkapan, maka
diingkari kekejian dan kejelekannya, bukan asal bantahan dan
penyelisihannya, dalam rangka menegakkan hujjah-hujjah syar'i dan
dalil-dalil mu'tabaroh.
Sebab
hal tersebut adalah para ulama seluruhnya bersepakat di atas maksud
untuk menampakkan kebenaran yang dengannya Allah mengutus rasul-Nya
Shallallahu Alaihi Wasallam, agar agama seluruhnya hanya milik Allah,
dan agar kalimat-Nyalah yang paling tinggi."
(Al-Mahajjah Al-Baidha' karya Asy-Syaikh Robi' hal.53-53, cet.Darul Minhaj).
Bahkan para ulama salaf memandang bahwa membantah ahlul bidah lebih utama daripada berpuasa, sholat, dan i'tikaf.
Ditanyakan
kepada Al-Imam Ahmad Rahimahullah :"Seseorang yang melaksanakan puasa,
sholat, l'tikaf, apakah lebih engkau sukai ataukah seseorang yang
berbicara (membantah) ahli bid'ah?" Maka beliau Rahimahullah menjawab
:"Jika dia melaksanakan puasa, sholat, dan i'tikaf, maka itu untuk
dirinya sendiri, sedangkan jika dia berbicara (membantah) ahli bid'ah
maka itu untuk kaum muslimin, dan ini lebih utama." (Majmu' Al-fatawa 28/231, dengan perantaraan kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.31 cet.Dar Al-Minhaj, catatan kaki no.22).
Bahkan
walapun orang tersebut terkenal sebagai orang yang berilmu dan memiliki
bantahan kepada sebagian ahlul bid'ah, maka hal itu tidak menghalangi
untuk membantah kesalahan dan kesesatannya. Simaklah
ucapan Al-Imam Ahmad Rahimahullah berkaitan dengan Husain Al-Karobiisy
:"Berhati-hatilah engkau, berhati-hatilah engkau dari Husain
Al-Karobiisy! Jangan engkau berbicara dengannya, jangan engkau berbicara
dengan orang yang berbicara denganya" Beliau mengucapkannya 4 atau 5
kali. Dalam tempat yang lain beliau berkata bahwa dia (Al-Karobiisy)
adalah mubtadi'. (Lihat kitab Al-Ajwibah Al-mufidah hal.31, catatan kaki no.22.
Tahukah
anda siapakah Husain Al-Karobiisy itu? Dia adalah orang yang berilmu
dan memiliki bantahan kepada ahlul bid'ah, tetapi dia terjatuh dalam
masalah al-lafzhu bil Quran.
Demikian
pula Al-Imam Abu Zur'ah Rahimahullah ketika ditanya tentang Al-Harits
Al-Muhasiby dan kitab-kitabnya, beliau berkata :"Hati-hatilah engkau
dari kitab-kitab ini, ini adalah kitab-kitab bid'ah dan kesesatan, dan
hendaknya engkau berpegangteguh dengam atsar." Tahukah siapa Al-Harits
Al-Muhasiby itu? Dia termasuk orang yang berilmu tetapi terjatuh dalam
sebagian ilmu kalam/filsafat dan membantah ahlul kalam dengan ilmu kalam
dan tidak membantah dengan sunnah. Wallahu A'lam.