Jumat, 25 Desember 2015

Jangan Terpikat dengan Dunia

Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah Hafizhohalloh

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahulloh  dalam Tafsir-nya, “ Allah Subhanahu wa ta'ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah subhanahu wa ta'ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia(1). Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh melanjutkan, “Kemudian Allah subhanahu wa ta'ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah subhanahu wa ta'ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah Radiallohuanhu berkisah, “Rasulullah Shallallhualaihi wasallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا:وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah shalallohualaihi wasalam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah shalallohualaihi wasallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah k telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka n hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para sahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah l sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.

Rasulullah shalallohualaihi wasallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar Rodiallohuanhu, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar Rodiallohuanhu pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul shalallohualaihi wassalam tadi atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Adapun dalam perbuatan, beliau rodiallohuanhu merupakan sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud rodiallohuanhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar .” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullohu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar rodiallhuanhu di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud rodiallohuanhu  melihat Rasulullah ahalallohualaihi wassalam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para sahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab rodiallohuanhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah shalallohualaihi wassalam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar rodiallohuanhu berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْـحَصِيرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيمَا هُمَا فِيهِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَـهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟

Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah(2).” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab rodiallohuanhu berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لَا يَعْبُدُونَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَـهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah k.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia(3)?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.

Al-Mustaurid bin Syaddad rodiallohuanhu berkata, “Rasulullah shalallohualaihi wasallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullohu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia tak kan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan :

1. Mereka yang tertipu dengan dunia.

2. Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab rodiallohuanhu:

فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لَا أَبْكِي وَهَذَا الْـحَصِيرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لَا أَرَى فِيهَا إِلَّا مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَالْأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ

“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

3 Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah k berfirman:

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)

Jumat, 11 Desember 2015

Mush-haf Ustmany

Soal : Apakah yang dimaksud Mush-haf Ustmany❓

Jawab : Mush-haf Ustmany adalah Mush-haf dari ayat ayat Allah ta'ala yang dikumpulkan kaum muslimin pada zaman khilafah(pemerintahan) Shohabat Ustman bin 'Affan Rodhiyallohu'anhu.
Yang demikian disebabkan pada saat meninggalnya Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi Wasallam, Al Qur'an dalam keadaan belum terkumpul menjadi Mush-haf.
Al Qur'an pada waktu itu terdapat didada dada kaum muslimin, pelepah pelepah daun kurma, batu putih yang tipis dan halus, dan yang lainnya.
Kemudian dikumpulkan pada Khilafahnya  Shohabat Abu Bakar Ash Shidiq Rodhiyallohu'anhu ketika terbunuhnya sebagian besar para shohabat Rosululloh Sholallohu 'alaihi Wasallam yang Qurro'(hafal Al Qur'an), yaitu pada saat terjadinya peperangan yamamah.(sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam Bukhori Rohimahulloh No.4986).

Kemudian pada zamannya Kholifah Utsman bin 'Affan Rodhiyallohu 'anhu dikumpulkan karena Sabda Rasulullah Sholallohu 'alaihi Wasallam (Artinya): Sesungguhnya Al Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf.

▪Pada waktu kaum muslimin membaca Al Qur'an dengan huruf huruf yang berbeda.
perbedaan dialek/logat dalam membaca Al Qur'an menyebabkan terjadinya perselisihan pada pasukan pasukan kaum muslimin
didaerah islam.
Para Pimpinan pasukan khawatir akan terjadi Fitnah.

Mereka menulis risalah kepada Khalifah Ustman bin 'Affan Rodhiyallohu'anhu tentang apa yang terjadi sehingga diperintahkanlah para shohabat untuk mengumpulkan mush-haf.

▪Disatukanlah bacaan bacaan Al Qur'an menjadi satu huruf (bahasa), yaitu dengan bahasa Quraisy.
Bahasa Quraisy dipilih karena bahasa yang paling mulia, bahasa yang digunakan Rasululloh Sholallohu 'alaihi Wasallam, bahasa yang paling tinggi kedudukan tata bahasanya dan bahasa yang paling suci/bersih dinegara arab.
Dikumpulkanlah Mush-haf Mush-haf menjadi satu Mush-haf yaitu dengan bahasa Quraisy dan yang selainnya dibakar.

Maka, kaum muslimin bersatu diatas satu Mush-haf.
sampai kepada kita Mush-haf Al Qur'an Utsmaniy dengan penukilan mutawatir.

Tidak ada perbedaan/perselisihan sedikitpun dalam nukilan tersebut.
Bahkan Mushaf Al Qur'an yang disebut sebagai Mush-haf Ustmany akan tetap terpelihara diatas pemeliharan Allah sampai hari kiamat.

Disana masih terdapat bacaan bacaan yang keluar dari Mush-haf Ustmany dan bacaan tersebut shohih dari Rasululloh Sholallohu 'alaihi Wasallam.

Fatwa, Fadhilatu As Syaikh Al 'Allamah Al Faqih Muhammad bin Sholeh Al Ustaimin Rohimahulloh.

Sumber, Buletin Al Wala' wal Baro' Bandung edisi ke 35 tahun ke 5, 29 juni 2007/14 jumadil akhir 1428H.

Bandung 28 Safar 1437H/10 Desember 2015.

www.salafymedia.com

https://telegram.me/FadhlulIslam

https://telegram.me/salafymedia

Sabtu, 05 Desember 2015

Keutamaan Menuntut Ilmu Syar'i

TRANSKRIP TERJEMAHAN TELECONFERENCE CERAMAH SYAIKH KHOLID ADZ-DZHOFIRI HAFIDZHAHULLAH

📆 Jum'at malam, 23 Shafar 1437 H/ 04 Desember 2015 |Telelink dengan Beliau via Telpon pada jam 21.00 waktu Singapura/ 20.00 WIB

(setelah beliau membaca muqoddimah/ Khutbatul Haajah)

Hayyaakumullah (semoga Allah menghidupkan anda sekalian (dalam kebaikan)) wahai saudaraku seluruhnya yang sebagiannya di Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Aku meminta kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala agar mengokohkan kita semua di atas Sunnah. Dan semoga Allah mengumpulkan kita di Jannah (Surga) yang penuh dengan kenikmatan.

Di antara amalan sholih yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi ﷺ yang seseorang bisa mendekatkan dirinya kepada Rabbnya Subhaanahu Wa Ta’ala adalah ilmu, mempelajari ilmu, tafaqquh fiddiin.

Karena sesungguhnya hal ini akan menghasilkan pahala yang sangat besar dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Padanya terdapat kebaikan yang banyak, penyebutan yang baik, akibat yang terpuji bagi siapa yang mengikhlaskan niatnya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. ….

Nash-nash al-Quran dan Sunnah menunjukkan kedudukan ibadah ini dan keutamaannya. Hingga seseorang menjadi Ahlul Ilmi. Ia mempelajari ilmu hingga Allah membukakan untuknya kebaikan yang banyak ketika ia menjadi Ahlul Ilmi.

Karena Allah Azza Wa Jalla dengan kemuliaan ilmu menjadikan mereka sebagai pemberi persaksian atas keesaanNya (Tauhid), yaitu Laa Ilaaha Illallaah. Ini adalah persaksian yang terbesar.

Allah Azza Wa Jalla berfirman:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

"Allah bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Dia, demikian juga bersaksi Malaikat dan orang Ahlul Ilmi (Ulama), menegakkan persaksian itu dengan adil. Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Hikmah". (Q.S Ali Imran ayat 18)

Allah menjadikan persaksian Malaikat dan para Ulama terhadap keesaan (Tauhid) Allah. Para Ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah. Orang-orang yang mengetahui tentang agamaNya. Mengetahui tentang RasulNyaﷺ.

Mereka takut kepada Allah dan terus merasa diawasi oleh Dia. Mereka berhenti pada batasan-batasan Allah. Karena itu Allah mensifatkan mereka adalah Ahlul Khosy-yah (orang-orang yang takut kepada Allah dengan mengetahui keagungan Allah, pent). Mereka takut (khouf) kepada Allah Azza Wa Jalla. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Hanyalah yang takut (dengan mengetahui keagungan) Allah dari para hambaNya adalah para Ulama (Q.S Faathir ayat 28)

Telah dimaklumi bahwa setiap muslim takut kepada Allah. Setiap orang beriman takut kepada Allah. Akan tetapi perasaan takut (khosy-yah) yang sempurna hanyalah milik Ahlul Ilmi.

Pimpinan Ahlul Ilmi adalah para Rasul 'alaihimussholaatu wassalaam. Kemudian yang setelah itu adalah para Ulama sesuai tingkatan mereka. Para Ulama terbaik dari umat ini adalah para Shahabat Nabi 'alaihissholaatu wassalaam.

Terdapat (nash-nash) tentang keutamaan ilmu, (di antaranya) hadits Muawiyah radhiyallahu anhu dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim) bahwa Nabiﷺ bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

"Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan kepadanya, Allah akan faqihkan (pahamkan) ia tentang (ilmu) Dien".

Hadits ini menunjukkan bahwa termasuk tanda kebaikan dan tanda kebahagiaan seseorang adalah mendapatkan kefaqihan (pemahaman Dien) dari Allah.

🅾 Setiap penuntut ilmu yang ikhlas kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala sama saja apakah di Universitas, Ma’had, Markaz, atau halaqoh ilmu melalui radio-radio Salafiyyah, tidak diragukan lagi bahwa ini termasuk yang Allah inginkan pada mereka kebaikan. Maka aku meminta kepada Allah taufiq dan hidayah untukku dan untuk anda sekalian..
🅾 Menempuh perjalanan menuntut ilmu termasuk penyebab menuju Surga.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Allah akan melindungi dia dari fitnah-fitnah syubuhaat dan syahwaat. Sebagaimana sabda Nabi kitaﷺ dari hadits Abud Darda’ yang dikeluarkan Ash-haabus Sunan:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

"Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. dan sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi para penuntut ilmu sebagai bentuk keridhaan atas perbuatan mereka.  Dan sesungguhnya seluruh yang ada di langit dan di bumi sampai sekalipun ikan di lautan akan memohonkan ampunan bagi orang yang berilmu. Dan sesungguhnya keutamaan seorang ‘Alim terhadap orang yang ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang."

🅾 Di akhir hadits tersebut selanjutnya disebutkan bahwa barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka ia telah mengambil warisan para Nabi.

Sebagaimana Nabi 'alaihissholaatu wassalaam bersabda:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

"Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil dari ilmu itu, maka ia telah mengambil bagian yang sangat banyak"

Dan yang menunjukkan akan hal itu disebutkan dalam (atsar) dari Ibnu Mas’ud (*) radhiyallahu Ta’ala anhu bahwa ia datang ke orang-orang di pasar yang sibuk dengan urusan dunia. Maka beliau berkata kepada mereka:

"Sesungguhnya warisan Rasulullahﷺ sedang dibagikan di masjid. Ambillah bagian darinya!"

Maka manusia bersegera menuju masjid menyangka bahwa akan ada pembagian (harta) dunia.
Mereka masuk ke masjid tidak mendapatkan yang diinginkan hingga kembali ke Ibnu Mas’ud dan berkata kepada beliau: Kami tidak mendapatkan ada pembagian ( harta warisan) di masjid. Beliau berkata: Apa yang kalian dapatkan di sana?
Kami mendapati di masjid ada kaum yang membaca al-Quran, ada yang mempelajari ilmu, sebagian kaum membaca Sunnah. Maka beliau berkata:

✋🏼"Celaka kalian, itu adalah warisan Nabi ﷺ !! Barangsiapa yang mengambil bagian darinya, ia akan mengambil bagian yang sangat banyak"

🅾 Mempelajari dan menempuh jalan dalam menuntut ilmu adalah termasuk ibadah yang terbesar yang semestinya bagi Shohibu Sunnah dan para pencari alhaq mengerahkan segenap upayanya dalam menuntut ilmu dan menggunakan waktunya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya.

Hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam mempelajari aqidah, yang merupakan ilmu yang paling agung, yaitu Tauhid.

▪Hendaknya ia membaca Kitabut Tauhid dan penjelasan-penjelasan (syarh) Ulama tentangnya, dan juga kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sesuai tingkatan keilmuan yang sesuai baginya.
▪Hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam mempelajari hadits seperti Arbain anNawawiyyah, mengambil faidah darinya.
▪Membaca kitab-kitab Mustholah (hadits) dan dalam fiqh…juga mempelajari ilmu-ilmu alat.
☝🏽Ilmu itu sangat luas. Jika engkau mengerahkan seluruh bagian darimu, ilmu itu akan memberikan sebagian darinya.

🅾Kita hendaknya mengetahui bahwa ilmu adalah penyebab keselamatan dari fitnah-fitnah pada kehidupan kaum muslimin.
▪(Ilmu) meredam (fitnah) syahwat, juga fitnah syubuhaat berupa hawa nafsu dan kebid’ahan.
▪(Meredam_red) Fitnah-fitnah syubuhat dari orang-orang kafir.
▪Ilmu menjadikan seseorang mengetahui tentang Allah dan agamaNya.
👉Hal itu menjadi sebab ia selamat dari fitnah-fitnah. Hingga (jika ia berilmu) bisa menjadi penyebab yang menghilangkan fitnah-fitnah dari manusia. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang hadits tentang keutamaan para Ulama:"

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

"Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus (dari dada manusia) akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan Ulama. Hingga jika tidak tersisa orang alim lagi, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya kemudian berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan" (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Ahlul Ilmi yang menempuh jalan al-haq (kebenaran) akan memperingatkan dari fitnah-fitnah tersebut. Demikian juga para penyeru pada kesesatan (justru akan berusaha menyebarkan fitnah-fitnah itu).

🎋 Diantara penyebab mendapatkan ilmu adalah ikhlas karena Allah.
▪Maka wajib bagi kita untuk mengikhlaskan menuntut ilmu karena Allah.
▪Jangan kita menuntut ilmu untuk berdebat dengan manusia.
▪Jangan menuntut ilmu karena mencari pujian manusia hingga mereka berkata bahwa orang ini berilmu atau pandai baca al-Quran (Qori’).
Harusnya kita menuntut ilmu karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

🎋Aku tutup dengan kalimat ini…Ucapan al-Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah:
✋🏼 “Ilmu tidaklah bisa didapatkan dengan tubuh yang santai (bermalas-malasan)”.

❗Maka kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Terus berusaha mengisi waktu dan umur kita untuk menghilangkan ketidaktahuan dalam diri kita.

Ini adalah termasuk tujuan dan ibadah yang paling agung. Aku meminta kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala agar Dia memberikan taufiq kebaikan kepada kita, dan agar Dia menolong kita untuk senantiasa mengikuti petunjuk Rasulullah ﷺ dan semoga Allah menjadikan kita sebagai para penuntut ilmu…dan agar Allah menjadikan amalan kita ikhlas untuk mengharapkan WajahNya Yang Mulia. Aku meminta kepada Allah taufiq dan kekokohan kepadaku dan kepada anda sekalian.

Allaahu A’lam, washollallaahu wasallama ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad..

-------------------------------
📝Catatan Kaki dari penerjemah:

(*) Syaikh Kholid hafidzhahullah menyebutkan bahwa itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, sedangkan dalam atsar riwayat atThobaroniy disebutkan bahwa itu adalah Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَرَّ بِسُوْقِ الْمَدِيْنَةِ فَوَقَفَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا أَهْلَ السُّوْقِ مَا أَعْجَزَكُمْ قَالُوْا وَمَا ذَاكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ ذَاكَ مِيْرَاثُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْسَمْ وَأَنْتُمْ هَا هُنَا أَلَا تَذْهَبُوْنَ فَتَأْخُذُوْنَ نَصِيْبَكُمْ مِنْهُ قَالُوْا وَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجُوْا سُرَاعًا وَوَقَفَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ لَهُمْ حَتَّى رَجَعُوْا فَقَالَ لَهُمْ مَا لَكُمْ فَقَالُوْا يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَدْ أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ فَدَخَلْنَا فِيْهِ فَلَمْ نَرَ فِيْهِ شَيْئًا يُقْسَمُ فَقَالَ لَهُمْ أَبُوْ هُرَيْرَةَ وَمَا رَأَيْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ أَحَدًا قَالُوْا بَلَى رَأَيْنَا قَوْمًا يُصَلُّوْنَ وَقَوْمًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ وَقَوْمًا يَتَذَاكَرُوْنَ الْحَلَالَ وَالْحَرَامَ فَقَالَ لَهُمْ أَبُوْ هُرَيْرَةَ وَيْحَكُمْ فَذَاكَ مِيْرَاثُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya beliau melewati pasar Madinah, kemudian berhenti. Beliau berkata:

Wahai orang-orang di pasar, apa yang membuat kalian lemah (tidak bersemangat)?

Orang-orang di pasar itu berkata: Ada apa wahai Abu Hurairah?

Abu Hurairah menyatakan: Itu warisan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dibagikan, tapi kalian ada di sini. Tidakkah kalian pergi ke sana dan mengambil bagian kalian darinya?

Mereka berkata: Di mana itu (pembagiannya)?

Abu Hurairah menyatakan: Di masjid.
Maka mereka segera pergi dengan cepat. Abu Hurairah berdiri menunggu mereka. Hingga mereka kembali dan Abu Hurairah berkata: Apa yang terjadi pada kalian?

Mereka berkata: Wahai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid kemudian masuk ke dalamnya, kami tidak melihat ada sesuatupun yang dibagikan.

Abu Hurairah berkata kepada mereka: Tidakkah engkau melihat ada orang di masjid?

Mereka berkata: Ya. Kami melihat ada kaum yang sholat, ada kaum yang membaca al-Quran, ada kaum yang mempelajari halal dan haram.

Maka Abu Hurairah berkata kepada mereka: Celaka kalian, itulah warisan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
(riwayat atThobaroniy dalam al-Mu’jamul Awsath, dihasankan Syaikh al-Albaniy dalam Shahih atTarghib wat Tarhiib)

                                       ✺✺✺

✏ Penerjemah: Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafidzahullah | WA al-I'tishom

📥 Audio durasi 13:21 (1,56 MB)
____________________
🔍 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
💾 telegram: http://bit.ly/1l4itdZ [FBF]
🏀 www.alfawaaid.net