Minggu, 23 November 2014

Islam Menepis Mitos Sial Bulan Shafar


 Oleh : Al Ustadz Luqman Ba'abduh Hafizhollahu Ta'la

Dahulu, orang-orang Arab jahiliah memiliki keyakinan yang salah terhadap bulan Shafar. Mereka menganggap bahwa bulan kedua penanggalan hijriyah tersebut adalah bulan sial dan bisa mendatangkan bencana. Sehingga pada bulan itu, mereka tidak mau melakukan aktivitas yang biasa mereka lakukan pada bulan-bulan lainnya, seperti pernikahan dan lain sebagainya.

Mitos Bulan Shafar di Negeri Ini
Sangat disayangkan, kepercayaan dan tradisi Arab jahiliah tersebut masih dianut oleh sebagian umat Islam di dunia, termasuk sebagian kaum muslimin di negeri ini. Menurut mereka, bulan Shafar memiliki sifat yang hampir sama dengan bulan sebelumnya, yaitu bulan Muharram (Suro). Diyakini bahwa kedua bulan ini merupakan bulan yang penuh bala’, malapetaka, dan membawa sial. Sebagian umat Islam di negeri ini masih mempercayai bahwa bulan Muharram dan Shafar dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat ketidakberuntungan. Sehingga mereka pun beranggapan bahwa bulan tersebut merupakan saat yang tidak baik untuk mengadakan acara-acara penting semacam pernikahan, khitanan, membangun rumah, pindah rumah, dan sebagainya.
Bahkan di beberapa tempat, saat memasuki bulan Shafar, sebagian orang menyibukkan diri dengan melakukan tirakat dan bershadaqah hingga berlalunya bulan ini. Lalu pada puncaknya, yaitu pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, mereka melaksanakan berbagai ritual dalam rangka memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari bencana dan malapetaka, bahkan sebagiannya menuliskan rajah-rajah tertentu di kertas lalu dimasukkan ke dalam bak mandi, sumur, dan tempat-tempat penampungan air lainnya. Walaupun banyak kalangan yang menilai bahwa ritual seperti ini merupakan penyimpangan karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak sedikit kaum muslimin yang masih saja meneruskan dan melestarikannya.

Thiyarah Telah Dihapus oleh Islam
Dalam kamus syari’at, anggapan atau keyakinan di atas dinamakan dengan tathayyur atauthiyarah, yaitu menganggap datangnya kesialan (nasib buruk) semata-mata bersandarkan pada apa yang dilihat, didengar, atau dengan bersandarkan pada waktu tertentu. (Lihat al-Qaulul Mufid).
Contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan bersandarkan pada apa yang dilihat adalah sebagaimana juga kebiasaan orang Arab jahiliah, bahwa ketika hendak bepergian atau melakukan aktivitas tertentu, mereka menerbangkan seekor burung. Kemudian dilihat apakah burung tersebut terbang ke arah kanan atau ke arah kiri. Kalau ke arah kanan, mereka meyakini adanya keberuntungan sehingga mereka meneruskan aktivitasnya. Dan sebaliknya, kalau ke arah kiri, mereka mengurungkannya. Karena mereka menganggap hal ini pertanda akan datangnya nasib buruk kalau mereka tetap melanjutkan aktivitasnya.
Adapun contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata bersandarkan pada apa yang didengar adalah keyakinan bahwa orang yang mendengar suara burung tertentu berarti sebentar lagi akan mengalami nasib buruk, atau setidaknya akan mendengar berita yang tidak disukainya.
Sedangkan contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan bersandarkan pada waktu tertentu adalah beranggapan bahwa pada waktu-waktu tertentu, seseorang tidak boleh mengadakan acara semacam pernikahan, khitanan, atau yang lainnya karena hal itu tidak akan membawa keberuntungan bagi yang punya hajat. Biasanya waktu-waktu yang dimaksud di sini adalah bulan Muharram, Shafar, hari Rabu, malam Jum’at, dan sebagainya.
Orang-orang Arab jahiliah sejak dahulu terus berada di atas aqidah dan kepercayaan yang menyimpang ini. Dikatakan menyimpang karena nampak sekali bahwa orang yang terjatuh ke dalam perbuatan thiyarah menunjukkan lemahnya iman dan tauhid dia kepada Allahsubhanahu wa ta’ala. Hal ini disebabkan karena orang yang melakukan thiyarah berarti telah meyakini bahwa kejelekan dan nasib buruk yang menimpa itu tidak lain disebabkan oleh makhluk, baik waktu, tempat, ataupun kejadian yang dilihat atau didengar. Sementara ia lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa sebenarnya segala yang menimpa hamba itu, dari nasib yang baik maupun yang buruk merupakan ketentuan dan taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.Kalau Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka musibah, bencana, dan kesialan itu pasti akan datang dan bisa menimpa siapapun, kapanpun dan di manapun hamba berada.
Musibah itu datang bukan karena mendengar suara burung hantu atau burung gagak. Nasib buruk itu menghampiri seseorang bukan karena melihat kucing hitam di tengah jalan yang ia lewati. Demikian pula ketidakharmonisan rumah tangga itu bukan disebabkan pernikahan yang dilangsungkan di bulan Muharram atau bulan Shafar.
Thiyarah ini terus menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab jahiliah, hingga datanglah Islam yang kemudian meluruskan keyakinan yang bengkok ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar, tidak ada (kesialan) pada burung hantu.” (HR. al-Bukhari no. 5717, dan Muslim no. 2220)
Hadits ini merupakan sanggahan terhadap mitos dan kepercayaan orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya tanpa adanya taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada burung hantu,” mengandung penghapusan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, yaitu apabila burung tersebut hinggap di rumah mereka, maka mereka akan mendapat kesialan, seraya mengatakan, “Burung ini membawa kabar buruk tentang aku atau salah seorang penghuni rumahku.” Sehingga ia pun meyakini bahwa dirinya atau salah satu anggota keluarganya akan tertimpa musibah, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menepis dan membantah keyakinan ini.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar,” adalah bantahan terhadap orang-orang jahiliah dahulu yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti bulan-bulan lainnya.
Dalam Islam, tidak ada bulan maupun hari yang dianggap buruk atau mendatangkan kesialan karena semua itu adalah sebatas anggapan manusia semata. Tidak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan -walaupun sedikit- tentang hari baik maupun hari buruk. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa bencana yang menimpa itu justru terjadi akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, bukan karena hari sial atau yang semisalnya. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syura: 30)

Akibat Thiyarah
Seseorang yang sudah terbiasa melakukan thiyarah, maka hidup ini akan terasa sempit baginya. Dia akan selalu dihinggapi oleh rasa khawatir. Perasaan takut akan bernasib sial selalu terbayang di benaknya. Setiap kali mendengar atau melihat pemandangan yang tidak disukainya, muncul anggapan bahwa itu pertanda ia akan bernasib sial. Sehingga ia pun takut untuk melakukan aktivitasnya ketika itu.
Setiap kali akan mengadakan acara tertentu, ia pun memilih hari-hari yang menurut keyakinannya adalah hari baik, sehingga iapun benci, anti, dan bahkan terkadang sampai mencela hari, bulan, maupun waktu-waktu tertentu lainnya yang dianggap hari nahas.
Barangsiapa yang menganggap sial waktu tertentu atau mencelanya, maka sungguh berarti ia telah mencela dan menganggu Dzat Yang menciptakannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Anak Adam (manusia) menyakiti-Ku, (dengan) mencela waktu. Padahal Aku adalah pengatur waktu, Aku yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. al-Bukhari no. 4826 dan Muslimno. 2246)
Bangsa Arab jahiliah dahulu terbiasa menyandarkan berbagai musibah dan kesusahan yang mereka alami kepada waktu tertentu. Sehingga ketika terjadi musibah, mereka pun mencela waktu saat terjadinya musibah tersebut. Dalam hal ini, berarti mereka telah mencela Allahsubhanahu wa ta’ala, Dzat yang menciptakan dan mengatur waktu.
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa sebanyak 70.000 orang dari umatnya akan masuk ke dalam surga secara langsung tanpa melalui proses hisab (perhitungan amalan) dan tanpa merasakan adzab di neraka terlebih dahulu. Di antara ciri mereka adalah tidak pernah melakukan thiyarah (HR. al-Bukhari no. 6541, dan Muslim no. 220). Berarti orang yang melakukan thiyarah akan terhalangi dari meraih keutamaan ini.

Akhir Kata
Semestinya bagi umat Islam untuk memperbanyak doa, zikir, dan amal shalih di setiap waktunya. Tidak hanya di bulan Shafar saja, namun juga di bulan-bulan yang lain. Di samping itu, kemaksiatan dan segala bentuk kemungkaran harus dijauhi. Apalah artinya seseorang rajin beribadah, namun ia masih tetap saja bergelimang dengan maksiat, riba, tidak jujur, menipu, menggunjing tetangga, korupsi, bermain suap, kesyirikan, dan keengganan dalam menjalankan sunnah Rasul jelas merupakan kemungkaran yang akan mendatangkan bencana dan murka Allah. Allah berfirman (artinya), “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)
Para pembaca rahimakumullah. Tidaklah musibah itu datang karena mengadakan acara hajatan di bulan Shafar. Tidak pula azab Allah subhanahu wa ta’ala itu menimpa karena tidak menjalankan ritual khusus di bulan Shafar. Sebaliknya, ketika bencana itu tidak menimpa seseorang, maka bukan karena ia telah menunaikan semua prosesi ritual di bulan Shafar yang diada-adakan sendiri tanpa ada bimbingan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketahuilah bahwa adzab Allah subhanahu wa ta’ala, bencana, dan bala’ itu tidak akan turun menimpa hamba selama hamba tersebut beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar dan bersyukur kepada-Nya dengan sebenar-benarnya syukur. Allah berfirman (artinya),“Mengapa Allah akan menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisa`: 147)
Di antara bentuk keimanan yang benar adalah menjauhkan diri dari segala bentuk thiyarah. Yakin bahwa tidak ada hari, tanggal, atau bulan tertentu yang dapat mendatangkan kesialan. Segala musibah yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tentukan pasti akan menimpa siapapun, kapanpun, dan di manapun tanpa ada hubungannya sedikitpun dengan waktu atau keadaan tertentu.
Demikian pula banyak beristighfar (meminta ampun), akan mencegah datangnya azab Allahsubhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan tidaklah Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)
Maka hendaknya masing-masing kita mengoreksi diri, sudahkah iman ini dan keyakinan kita benar dan bersih dari segala yang mengotorinya? Sudahkah diri ini bersyukur atas nikmat yang selama ini dirasakan? Sudahkah hati ini jujur dalam meminta ampun, bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan kembali ke jalan-Nya?

       Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : 

Senin, 17 November 2014

BERSABARLAH..!! TERUSLAH BERSABAR..


Oleh : Abul yaman ‘afallohu ‘anhu.
.. Daar-el-hadeeth-fuyusy-YEMEN..
TIS (Thalab ‘ilmu Syar’i).

Hidup di dunia ini, pastikan tak lepas dari ujian dan cobaan, keduanya pastikan setia menemani orang-orang yang beriman, merekapun berusaha dan terus berusaha meniti dan menempuh jalan yang sudah digariskan oleh AR ROHMAN..
Kali ini kami ingin menjelaskan secara ringkas tentang kesabaran didalam menghadapi ujian dan cobaan, dan membaginya menjadi beberapa poin,



Makna sabar
Sabar secara bahasa adalah; menahan. Adapun secara syariat; sabar itu terbagi menjadi tiga;
– 1 – Sabar didalam menjaga keta’atan kepada Alloh ta’ala, sebab menjaga keta’atan kepada Alloh ta’ala sangatlah berat & sangatlah sulit, baik pada jiwa maupun raga sehingga sangat dibutuhkan kesabaran dan pertolongan darinya.
– 2 – Sabar dari perkara-perkara yang Alloh haramkan. Karena jiwa ini selalu mengajak kepada keburukan, sehingga ia pun bersabar menahan dirinya dari perkara2 yang Alloh haramkan, berupa; DUSTA, MENIPU, BERZINA, MENCURI DLL.
– 3 – Bersabar atas taqdir-taqdir Alloh ta’ala, karena terkadang seseorang ditimpa dengan suatu ujian, adakalanya diuji dengan hilang hartanya, diuji dengan sakit anggota badannya, atau ujian-ujian lain yang itu sudah menjadi ketetapan Alloh ta’ala. Sehingga ia pun bersabar dari itu semua. Wallohul musta’an.
Setelah kita mengetahui ma’na sabar baik secara bahasa maupun syari’at, maka perlu untuk kita ketahui pada poin yang berikutnya. Keadaan Hamba dikala ujian menghampirinya;
Dalam hal ini Al imam Ibnul ‘utsaimin menjelaskan keadaan manusia dikala musibah menimpanya ada empat keadaan ( Syarh Riyadlus sholihin dalam Bab sabar ) .Murka dan tidak rela ketika musibah menimpanya, adakalanya dengan hatinya, lisan dan anggota badannya.
Bersabar, atas musibah yang menimpanya sehingga ia pun menahan lisannya untuk tidak berkeluh kesah atau berbuat apa yang bisa menyebabkan Alloh ta’la murka.
Ridlo terhadap musibah yang menimpanya, ia pun tegar, teguh dan lapang dada menerima apa yang Alloh uji berupa ujian seakan-akan tidak menimpanya sesuatu apapun.. SUBHANALLOH..!!..
Bersyukur, ia bersyukur kepada Alloh ta’ala karena Alloh akan melipat gandakan pahala dan ganjaran dari sisinya lebih banyak dari pada ujian yang menimpanya.. ALLOHU AKBAR..!!.
Perhatikanlah pembaca..!! Digolongan manakah kita..!?..
Sudahkah kita bersabar dari musibah dan ujian yang menghampiri kita..!?.. Atau malah kita termasuk golongan yang pertama..!?..berkeluh kesah, tidak terima dengan taqdir yang Alloh sudah gariskan untuknya, atau malah mencelanya..!?.. Ma’adzalloh li an nakuuna dzaalik..!!
– Pertanyaan seperti ini diri-diri kita masing2 lah yang akan menjawabnya.. digolongan mana kita berada..??..
Keutamaan Bersabar.
Mendapatkan pahala dan ganjaran yang berlipat-lipat. Alloh ta’ala berfirman;
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
” Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.(qs az zumar ayat 10).
Kesabaran adalah cahaya baginya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya; ” Kesabaran adalah cahaya ” (Hr Muslim dari sahabat Abu malik Al harits bin ‘ashim Al asy’ary semoga Alloh meridloinya).
Namun cahaya ini disertai rasa yang panas, sebagaimana kesabaran juga disertai kelelahan, usaha dan padanya terdapat kesulitan yang sangat, oleh karenanya pahalanya pun tidak terbatas. Diantara anugerah Alloh yang terbaik. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya;
” Tidaklah seorang hamba diberikan dengan suatu pemberian yang lebih baik dan luas dari pada sabar ” ( Hr mutafaqun ‘alaih dari sahabat abu sa’id al khudry semoga Alloh meridloinya ).
Diantara sebab masuknya seorang kedalam surga. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya;
“jika engkau bersabar maka bagimu adalah surga” ( Hr mutafaqun ‘alaih dari sahabat Ibnu ‘abas )
tatkala ada seorang wanita yang mengadu kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa dirinya terkena penyakit ayan ( kejang-kejang )pent. Maka ia pun meminta agar Nabi shollallohu ‘alahi wa sallam mendo’akannya.. Dan masih banyak keutamaan-keutamaan yang lain jikala seorang itu bersabar dengan mengharap pahala dan ganjaran dari Alloh ta’ala.
jika demikian.. BERSABARLAH..!! YAH TERUSLAH BERSABAR… Sampai kita nanti berjumpa dengan Alloh ta’ala, Sampai kita raih janji-janji Alloh ta’ala kepada orang2 yang bersabar berupa surga. Hingga kita pun menjadi penguni surga NYA.. aamiin..
Mudah-mudahan apa yang sedikit ini bisa menjadi renungan dan motivasi kepada kita untuk bersabar, teguh dan tegar dikala ujian dan cobaan menghampiri kita.. Wallohu a’lamu bis showab.


Sumber :
http://salafy.or.id/blog/2014/11/16/bersabarlah-teruslah-bersabar/

Sabtu, 08 November 2014

Empat Golongan Manusia yang Dilaknat oleh Allah



Penulis: al-Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullaahu
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan kepadaku empat kalimat, yaitu:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda di muka bumi ini.” (HR. Muslim)
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas menyebutkan tentang empat golongan manusia yang dilaknat oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Orang yang dilaknat oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa maksudnya adalah dijauhkan dari rahmat (kasih sayang)-Nya. (Lihat Fathul Majid)
Pembaca yang semoga dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Kita semua berharap agar Allah subhaanahu wa ta’aalaa senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita. Kita tidak ingin rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu dicabut dari diri kita walaupun sesaat. Di samping rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu diraih dengan berusaha untuk bertakwa kepada-Nya sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Juga rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu diraih dengan menjauhi maksiat kepada-Nya, terutama kemaksiatan yang disebutkan secara tegas akan menjauhkan pelakunya dari rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana dalam hadits di atas.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui apa saja dan bagaimana bentuk perbuatan-perbuatan tersebut, bukan dalam rangka untuk dikerjakan, tetapi agar kita bisa menjauhinya.

Menyembelih Hewan untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa
Makna menyembelih hewan untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah:
Pertama, menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
Kewajiban terbesar seorang hamba adalah mentauhidkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa, yaitu dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Menyembelih hewan merupakan salah satu bentuk ibadah yang apabila dipersembahkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa, maka pelakunya telah berbuat syirik. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (artinya):
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya.” (Al-An’am: 162-163)
Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada kaum musyrikin bahwa beliau adalah orang yang mempersembahkan shalat dan sembelihannya hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Ini sebagai upaya menyelisihi kaum musyrikin yang memiliki kebiasaan beribadah kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Sangat disayangkan, kebiasaan menyembelih untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjadi bagian dari ritual dan tradisi di sebagian masyarakat muslimin di negeri ini. Sebagai contoh, ritual untuk menolak bala yang dikhawatirkan menimpa daerah tertentu. Upacara ini diwujudkan dengan menyembelih seekor kerbau lalu mempersembahkan kepalanya kepada jin penguasa (menurut keyakinan mereka) di daerah itu.
Kedua, menyembelih hewan dengan menyebut selain nama Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullaahu telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyembelih untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah menyembelih dengan menyebut selain nama Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Beliau juga menyebutkan bahwa tidak halal daging sembelihan tersebut. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullaahu. (Lihat Syarh Shahih Muslim)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan bahwa ada seseorang yang dimasukkan ke dalam surga disebabkan seekor lalat, dan adapula orang yang dimasukkan ke dalam neraka juga disebabkan karena seekor lalat. Para sahabat pun bertanya-tanya, bagaimana bisa demikian?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada dua orang yang melewati suatu perkampungan yang penduduknya memiliki sebuah berhala yang mereka ibadahi. Mereka tidak mengizinkan seorangpun melewati kampung tersebut sebelum dia mempersembahkan sesuatu (semacam sesajen) untuk berhala tadi.
Satu di antara dua orang tadi mengaku tidak memiliki sesuatu pun untuk dipersembahkan kepada berhala itu. Penduduk kampung itu tetap memaksanya, dan tidak mengapa walaupun hanya mempersembahkan seekor lalat. Akhirnya orang itu menuruti kemauan mereka, lalu dia membunuh seekor lalat dan mempersembahkannya kepada berhala tersebut. Dia pun diizinkan lewat. Namun akhirnya dia menjadi penghuni neraka.
Adapun orang yang satunya, dia tetap bersikeras tidak mau mempersembahkan sesuatu pun kepada berhala itu. Dia menegaskan bahwa dia tidak akan mempersembahkan sesuatu kepada siapapun selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Akhirnya penduduk kampung itupun membunuhnya, namun Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberikan balasan kepadanya berupa surga. (HR. Ahmad)

Melaknat Kedua Orang Tua
Di dalam Al-Qur’an, perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua seringkali diletakkan beriringan dengan perintah untuk beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Setelah seseorang melaksanakan kewajiban terbesar (yaitu beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa), maka kewajiban besar berikutnya adalah berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ini menunjukkan bahwa kedua orang tua itu memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia di hadapan anak-anaknya.
Sebaliknya, durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa terbesar yang menduduki peringkat kedua setelah dosa  menyekutukan Allah subhaanahu wa ta’aalaa (syirik).
Mencela kedua orang tua termasuk bagian dari perbuatan melaknat mereka. Juga termasuk salah satu bentuk sikap durhaka seorang anak kepada orang tuanya. Apakah mungkin ada seseorang yang tega mencela dan mencaci orang tuanya sendiri? Mari kita perhatikan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut:
“Termasuk dosa besar adalah celaan seseorang kepada kedua orang tuanya. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang berani mencela kedua orang tuanya?’. Rasulullah menjawab, ‘Ya, yaitu ketika dia mencela ayah orang lain kemudian orang itu balas mencela ayahnya, dan atau ketika dia mencela ibu orang lain kemudian orang itu balas mencela ibunya.” (HR. Muslim)
Sehingga celaan seorang anak kepada orang tuanya itu tidak hanya sebatas celaan secara langsung di hadapan keduanya. Sikap seseorang yang mencela orang tua saudaranya, yang menyebabkan saudaranya itu membalas mencela orang tuanya, ini pun juga tergolong celaan kepada orang tua, walaupun itu terjadi secara tidak langsung.

Melindungi Pelaku Kejahatan
Islam adalah agama yang adil dan mendorong umatnya untuk berbuat adil. Setiap pelaku kejahatan sudah semestinya mendapatkan balasan dan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya. Ini semua telah diatur berdasarkan aturan syari’at yang mulia ini.
Oleh karena itulah orang yang melindungi pelaku kejahatan hingga akhirnya terbebas dari hukuman, atau mendapatkan hukuman yang lebih ringan (tidak setimpal) menurut hukum yang telah ditetapkan syari’at ini, maka berarti dia termasuk orang yang telah menghalangi diberlakukannya aturan syari’at yang wajib bagi umat Islam untuk menerapkannya.
Kalimat مُحْدِثًا آوَى (melindungi pelaku kejahatan) dalam hadits di atas, juga diriwayatkan dengan mem-fathah-kan huruf dal (مُحْدَثًا آوَى) yang berarti meridhai dan membela perbuatan مُحْدَثٌ (segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama ini (bid’ah) yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Dari makna inilah, sebagian ulama menyebutkan bahwa kejahatan itu tidak hanya dalam perkara fisik saja (pencurian, pembunuhan, dan sebagainya), namun juga termasuk kejahatan dalam masalah agama ini, yaitu dengan mengada-adakan syari’at baru dalam urusan agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apapun bentuk kejahatan itu, ketika seseorang berupaya untuk melindungi pelakunya, maka dia terkenai ancaman akan dijauhkan dari rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa.

Mengubah Tanda di Muka Bumi
Islam sangat menjaga hak dan kehormatan umat manusia seluruhnya. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk berbuat zalim terhadap siapapun, baik terhadap orang kafir, terlebih lagi terhadap saudaranya sesama muslim. Seorang muslim juga dilarang mengganggu saudaranya, merugikan, menyusahkan, terlebih lagi mencelakakannya.
Perbuatan mengubah tanda-tanda di muka bumi, secara langsung maupun tidak, merupakan bentuk kezaliman kepada orang lain karena hal ini mengakibatkan orang tersebut mengalami kerugian dan kesusahan. Beberapa bentuk perbuatan yang digolongkan mengubah tanda-tanda di muka bumi antara lain:
Pertama, mengubah tanda (batas) tanah.
Contohnya seperti mengambil sebagian tanah tetangganya dengan cara menggeser tanda (semisal patok) batas tanah antara tanah miliknya dan milik tetangga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil satu jengkal saja tanah (yang bukan miliknya) secara zhalim, maka akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, mengubah tanda, petunjuk, maupun rambu-rambu yang telah terpasang di suatu jalan. Misalnya ada sebuah rambu yang mencantumkan arah (ditandai dengan tanda panah) menuju kota tertentu, kemudian rambu tersebut dirubah sehingga menunjukkan arah yang salah. Hal ini mengakibatkan tersesatnya orang yang melakukan perjalanan menuju kota tersebut dengan bersandar pada rambu yang salah tadi.
Ketiga, memberikan petunjuk yang salah kepada orang yang bertanya tentang arah tempat tertentu kepadanya. Tentunya orang tersebut menjadi tersesat dan salah jalan karenanya.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami, sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Melimpahkan rahmat.
Wallahu a’lamu bish shawab.