Jumat, 11 Oktober 2013

Batas Ketaatan Kepada Makhluk

Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-

Sebagian orang kadang salah sangka dalam perkara ketaatan kepada pimpinan, baik itu kepala negara atau kepala sekolah atau siapa diantara pimpinan manusia. Sering terjadi kerancuan dalam memahami arti ketaatan kepada pimpinan dan batasannya.
Kesalahan pemahaman seperti ini seringkali kita temui dalam kehidupan para militer dan pengikut sebuah jama’ah dakwah. Ini amat tampak dalam sikap dan tindakan mereka dalam menaati pimpinan, sehingga apa saja yang dikatakan oleh pimpinan, maka ia bersegera melakukannya, tanpa menimbang baik-tidaknya menurut syariat.
Kita ambilkan contoh, persoalan jenggot –misalnya-. Di sebagian negeri-negeri Islam, para pemimpin militer “mewajibkan” para bawahannya untuk menggundul dan mencukur jenggotnya, tanpa hujjah. Akhirnya, anak buah yang lemah iman menaati pimpinannya dalam mencukur jenggot. Jika tidak taat, maka ia akan diberi hukuman atau bahkan dipecat!!
Contoh lain, seorang militan diperintahkan oleh pemimpin jamaah dan organisasinya untuk melakukan aksi bunuh diri demi melakukan tindak teror. Dia lakukan semua itu karena taat kepada pimpinan, walaupun agama melarang keras seseorang bunuh diri.
Seorang anak  bersama orang tuanya sering kali terjatuh dalam kesalahan seperti ini. Sang anak saat diperintah oleh orang tuanya berbuat maksiat, maka ia pun serta merta mengikuti dan menaati orang tuanya, tanpa peduli dengan maksiat yang ia lakukan. Misalnya, sang bapak memerintahkan anaknya melakukan pesta pernikahan yang diramaikan oleh “seruling setan” yang kita kenal pada hari ini dengan musik. Sang anak pun menganggut-anggut saja, tanpa mengingkari orang tuanya dengan baik. Padahal ia sudah tahu bahwa musik adalah haram dalam agama.
Bahkan terkadang sebagian anak, saking taatnya kepada orang tuanya, ia rela menuruti segala kemauan orang tuanya, walaupun ia harus melakukan kekafiran dan kesyirikan dengan dalih bahwa taat kepada orang tua adalah wajib!!
Benarkah demikian?! Jelas salah!! Sebab ketaatan kepada makhluk tak boleh kita lakukan bila dalam perkara maksiat, misalnya dalam perkara kesyirikan, kekafiran, bid’ah dan dosa lainnya.
Allah -Ta’ala- menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ  [العنكبوت/8]
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut : 8 )
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ  [لقمان/14، 15]
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.  Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. Luqman : 14-15)
Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata,
“Jika ketaatan kepada kedua orang tua tidak boleh dalam kondisi seperti ini, padahal keduanya memaksa sang anak, maka tidak bolehnya taat kepada keduanya (yakni, dalam maksiat), karena hanya sekedar permintaan mereka, tanpa ada paksaan adalah lebih utama. Digolongkan dalam permintaan kesyirikan oleh keduanya, seluruh kemaksiatan kepada Allah –Subhanahu-. Jadi, tak ada ketaatan kepada kedua orang tua dalam perkara kemaksiatan kepada Allah sebagaimana hal itu telah shohih dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-”. [Lihat Fathul Qodir (5/430)]
Bagaiaman pun tingginya kedudukan orang tua kita, maka seorang anak dilarang keras dalam agama untuk menaati mereka dalam perkara maksiat. Yakni, jika mereka menyuruh kita berbuat maksiat dan dosa, baik dipaksa atau tidak, maka haram hukumnya menaati mereka menurut agama!!
Hal yang seperti ini sama hukumnya dengan pimpinan negara atau panglima pasukan. Jika mereka memerintahkan kita berbuat maksiat, maka tak boleh kita taati, siapapun dia!!
Dari Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا. فَأَرَادَ نَاسٌ أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ الآخَرُونَ إِنَّا قَدْ فَرَرْنَا مِنْهَا. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا « لَوْ دَخَلْتُمُوهَا لَمْ تَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ». وَقَالَ لِلآخَرِينَ قَوْلاً حَسَنًا وَقَالَ « لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ ».
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan dan mengangkat bagi mereka seorang pimpinan.
Kemudian pimpinan itu menyalakan api seraya berkata, “Masukilah api itu!!”
Beberapa orang ingin masuk ke api itu. Yang lain lagi berkata, “Sesungguhnya kita itu lari dari api”.
Akhirnya, perkara itu dilaporkan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kemudian Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada orang-orang yang mau memasuki api itu, “Andaikan kalian memasukinya, maka kalian akan terus berada dalam api itu sampai hari kiamat”. Beliau mengucapkan ucapan yang baik kepada kelompok yang lain, seraya bersabda, “Tak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (7257) dan Muslim dalam Shohih-nya (1840)]
Di dalam riwayat yang lain, Ali -radhiyallahu anhu- berkata,
بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم سرية واستعمل عليهم رجلا من الأنصار وأمرهم أن يسمعوا له ويطيعوا فأغضبوه في شيء فقال اجمعوا لي حطبا فجمعوا له ثم قال أوقدوا نارا فأوقدوا ثم قال ألم يأمركم رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تسمعوا لي وتطيعوا ؟ قالوا بلى قال فادخلوها قال فنظر بعضهم إلى بعض فقالوا إنما فررنا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم من النار فكانوا كذلك وسكن غضبه وطفئت النار فلما رجعوا ذكروا ذلك للنبي صلى الله عليه و سلم فقال ( لو دخلوها ما خرجوا منها إنما الطاعة في المعروف )
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengutus pasukan dan mengangkat seorang pemimpin atas mereka dari kalangan Anshor. Beliau memerintahkan mereka agar mendengar dan menaati pimpinan itu.
Kemudian mereka pun membuat pimpinan itu marah dalam suatu perkara. Dia (pimpinan itu) berkata, “Kumpulkanlah untukku kayu bakar”. Mereka pun mengumpulkan kayu bakar untuknya seraya berkata, “Nyalakan api!!” Lalu mereka menyalakannya. Tiba-tiba pimpinan itu berkata, “Bukankah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah memerintahkan kalian agar kalian mendengar dan menaatiku?” Mereka menjawab, “Betul!!” Dia berkata, “Nah, masuklah kalian ke dalam api itu!!!” Sebagian pasukan melihat kepada yang lain seraya berkata, “Sesungguhnya kita ini lari kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dari api (yakni, api neraka)”.
Mereka senantiasa demikian, lalu marahnya pun reda dan api pun padam. Tatkala mereka kembali, maka mereka melaporkan  hal itu kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Beliau bersabda, “Andaikan mereka memasuki api itu, maka mereka tak akan keluar darinya. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4340 & 7145) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1840)]
Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat banyak faedah. Sedang faedahnya yang terpenting bahwa tak boleh menaati seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah -Tabaroka wa Ta’ala-, sama saja kepada para pemerintah, ulama, maupun guru.
Darinya diketahuilah kesesatan beberapa kelompok manusia:
Kelompok Pertama:
Sebagian orang-orang tasawwuf (sufi) yang menaati guru-guru mereka, walaupun guru mereka memerintahkannya dalam maksiat yang gamblang dengan dalih bahwa maksiat itu –kata mereka- pada hakikatnya bukanlah maksiat dan bahwa guru tarekat mampu memandang (menjangkau) sesuatu yang tak mampu dijangkau oleh murid.
Aku (Syaikh Al-Albaniy) mengenal seorang guru tarekat dari kalangan mereka ini yang melantik dirinya sebagai mursyid (guru tarekat). Si guru ini mengisahkan sebuah kisah kepada para pengikutnya dalam sebagian pelajarannya di masjid. Inti dari kisah itu bahwa seorang guru tarekat sufi di suatu malam pernah memerintahkan salah seorang muridnya untuk pergi ke bapaknya. Akhirnya, si murid membunuh bapaknya di atas pembaringannya, di samping istrinya. Tatkala ia telah membunuh bapaknya, maka ia pun kembali ke gurunya dalam keadaan penuh gembira, karena telah melaksanakan perintah sang guru.
Sang guru pun memandang kepada si murid seraya berkata, “Apakah kamu mengira bahwa engkau telah membunuh bapakmu pada hakikatnya? Dia itu hanyalah teman ibumu!! Adapun bapakmu, maka ia tak ada (pergi).
Kemudian si guru tarekat (yang bercerita ini) membangun sebuah hukum berdasarkan kisah ini menurut sangkaannya seraya berkata kepada mereka (murid-muridnya), “Sesungguhnya guru tarekat bila memerintahkan muridnya untuk melakukan suatu hukum yang menyelisihi syariat menurut lahiriahnya, maka wajib bagi si murid untuk menaati gurunya dalam hal itu”.
Si guru ini berkata lagi, “Tidakkah kalian melihat si guru ini tadi –menurut lahiriahnya- memerintahkan si anak untuk membunuh ayahnya. Akan tetapi pada hakikatnya si guru hanyalah memerintahkan si murid untuk membunuh orang yang berzina dengan ibu  si anak. Orang itu (yang berzina) memang berhak dibunuh menurut syariat!!”
Kebatilan kisah ini tak samar menurut syariat dari banyak sisi:
  1. Bahwa penerapan hukuman hadd, bukanlah hak guru tarekat, bagaimanapun keadaannya. Penerapan hal itu hanyalah dari arah pemerintah.
  2. Andaikan penerapan hukuman itu adalah haknya, nah kenapakah si guru ini hanya menerapkan hukuman hadd bagi si lelaki tadi, tanpa wanita tersebut. Padahal mereka berdua dalam hal itu sama?
  3. Sesungguhnya orang berzina yang sudah berkeluarga, hukumnya menurut syariat adalah bunuh dengan rajam, bukan bunuh tanpa rajam.
Dari situ tampaklah bahwa si guru tarekat itu sungguh telah menyelisihi syariat dari beberapa sisi. Demikian pula (tampaklah kebatilan) urusan si murid tadi yang telah membangun berdasarkan kisah tadi sesuatu berupa wajibnya taat kepada guru tarekat, walapun si guru menyelisihi syariat secara terang-terangan!! Sampai si guru berkata kepada mereka, “Jika kalian melihat pada leher guru tarekat ada salib, maka tak boleh bagi kalian mengingkarinya!!”.
Sekalipun kebatilan ucapan seperti ini amat jelas serta menyelisihi syariat dan akal sekaligus, maka kita masih saja menemukan ada orang yang tertipu dengan ucapan seperti ini. Padahal di kalangan mereka ada juga pemuda yang berpendidikan…
Kelompok Kedua: Mereka itu adalah para tukang taqlid yang lebih mendahulukan untuk mengikuti pendapat madzhabnya dibandingkan sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sementara itu jelas sesuatu yang bisa dipetik dari sabda beliau.
Jika dikatakan kepada salah seorang diantara mereka –misalnya-, “Janganlah engkau sholat sunnah Subuh setelah sholat di-iqomati, karena adanya larangan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dari hal itu secara gamblang”, maka orang ini tak akan taat seraya berkata, “Madzhab kami membolehkan hal itu!!”.
Jika dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya nikah tahlil adalah batal, karena Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melaknat pelakunya”, maka ia akan menjawab dengan ucapannya, “Tidak demikian, bahkan itu boleh dalam madzhab fulan”.
Demikianlah halnya sampai ratusan permasalahan. Oleh karena ini, kebanyakan diantara para muhaqqiqin berpendapat bahwa para tukang taqlid seperti ini terkena firman Allah -Tabaroka wa Ta’ala- tentang orang-orang Nasrani,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ [التوبة/31]
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31)[1]
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Fakhr Ar-Roziy dalam Tafsir-nya.
Kelompok Ketiga: Mereka adalah orang-orang yang menaati para pemerintah dalam perkara yang mereka syariatkan bagi manusia berupa aturan-aturan dan ketetapan yang menyelisihi syariat, seperti komunisme dan yang menyerupainya. Orang yang paling buruk diantara mereka adalah orang yang berusaha menampakkan bahwa hal itu sesuai dengan syariat, tidak menyelisihinya!!
Ini adalah musibah yang menimpa kebanyakan diantara orang-orang yang mengaku berilmu dan sholih di zaman ini, sehingga tertipulah dengannya kebanyakan orang-orang awam. Karenanya, cocoklah ayat yang terdahulu bagi mereka dan pengekornya,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ [التوبة/31]
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31)
Kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan”. Selesai ucapan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy, kami nukilkan dari Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/352-354/no. 181), cet. Maktabah Al-Ma’arif, 1415 H.
Inilah beberapa praktek salah dalam menaati makhluk. Jika kita ingin menyebutkan banyak fakta tentang hal itu, maka kita butuh waktu panjang dalam menukil dan membahasnya.
Terakhir, perlu kami jelaskan bahwa ketaatan itu bermacam-macam:
a. ketaatan kepada Allah. Disini, seorang wajib taat kepada Allah secara mutlak.
b. ketaatan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Seorang hamba wajib menaati Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- secara mutlak. Karena, tak mungkin beliau keliru dalam menyampaikan risalah dan agama Allah. Jika keliru, maka pasti telah dibenarkan dan diluruskan oleh Allah -Azza wa Jalla- Yang telah mengutusnya.
c. Adapun ketaatan kepada selain Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka perlu rincian. Jika taat dalam perkara yang ma’ruf (baik), maka boleh, bahkan boleh jadi wajib. Namun jika taat dalam perkara dosa dan maksiat, maka haram hukumnya menaati makhluk dalam hal itu.

[1] Mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal. [pen.]

Sumber :