Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-
Sebagian
orang kadang salah sangka dalam perkara ketaatan kepada pimpinan, baik
itu kepala negara atau kepala sekolah atau siapa diantara pimpinan
manusia. Sering terjadi kerancuan dalam memahami arti ketaatan kepada pimpinan dan batasannya.
Kesalahan pemahaman seperti ini
seringkali kita temui dalam kehidupan para militer dan pengikut sebuah
jama’ah dakwah. Ini amat tampak dalam sikap dan tindakan mereka dalam
menaati pimpinan, sehingga apa saja yang dikatakan oleh pimpinan, maka
ia bersegera melakukannya, tanpa menimbang baik-tidaknya menurut
syariat.
Kita ambilkan contoh, persoalan jenggot –misalnya-.
Di sebagian negeri-negeri Islam, para pemimpin militer “mewajibkan”
para bawahannya untuk menggundul dan mencukur jenggotnya, tanpa hujjah.
Akhirnya, anak buah yang lemah iman menaati pimpinannya dalam mencukur
jenggot. Jika tidak taat, maka ia akan diberi hukuman atau bahkan dipecat!!
Contoh lain, seorang militan diperintahkan oleh pemimpin jamaah dan organisasinya untuk melakukan aksi bunuh diri demi melakukan tindak teror. Dia lakukan semua itu karena taat kepada pimpinan, walaupun agama melarang keras seseorang bunuh diri.
Seorang anak bersama orang tuanya
sering kali terjatuh dalam kesalahan seperti ini. Sang anak saat
diperintah oleh orang tuanya berbuat maksiat, maka ia pun serta merta
mengikuti dan menaati orang tuanya, tanpa peduli dengan maksiat yang ia
lakukan. Misalnya, sang bapak memerintahkan anaknya melakukan pesta
pernikahan yang diramaikan oleh “seruling setan” yang kita kenal pada
hari ini dengan musik. Sang anak pun menganggut-anggut saja, tanpa
mengingkari orang tuanya dengan baik. Padahal ia sudah tahu bahwa musik
adalah haram dalam agama.
Bahkan terkadang sebagian anak, saking
taatnya kepada orang tuanya, ia rela menuruti segala kemauan orang
tuanya, walaupun ia harus melakukan kekafiran dan kesyirikan dengan
dalih bahwa taat kepada orang tua adalah wajib!!
Benarkah demikian?! Jelas salah!! Sebab
ketaatan kepada makhluk tak boleh kita lakukan bila dalam perkara
maksiat, misalnya dalam perkara kesyirikan, kekafiran, bid’ah dan dosa
lainnya.
Allah -Ta’ala- menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [العنكبوت/8]
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut : 8 )
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي
عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ
سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [لقمان/14، 15]
“Dan kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya
kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku akan
beritakan kepadamu apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. Luqman : 14-15)
Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata,
“Jika ketaatan kepada kedua orang tua
tidak boleh dalam kondisi seperti ini, padahal keduanya memaksa sang
anak, maka tidak bolehnya taat kepada keduanya (yakni, dalam maksiat),
karena hanya sekedar permintaan mereka, tanpa ada paksaan adalah lebih
utama. Digolongkan dalam permintaan kesyirikan oleh keduanya, seluruh
kemaksiatan kepada Allah –Subhanahu-. Jadi, tak ada ketaatan kepada kedua orang tua dalam perkara kemaksiatan kepada Allah sebagaimana hal itu telah shohih dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-”. [Lihat Fathul Qodir (5/430)]
Bagaiaman pun tingginya kedudukan orang
tua kita, maka seorang anak dilarang keras dalam agama untuk menaati
mereka dalam perkara maksiat. Yakni, jika mereka menyuruh kita berbuat
maksiat dan dosa, baik dipaksa atau tidak, maka haram hukumnya menaati
mereka menurut agama!!
Hal yang seperti ini sama hukumnya
dengan pimpinan negara atau panglima pasukan. Jika mereka memerintahkan
kita berbuat maksiat, maka tak boleh kita taati, siapapun dia!!
Dari Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً فَأَوْقَدَ
نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا. فَأَرَادَ نَاسٌ أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ
الآخَرُونَ إِنَّا قَدْ فَرَرْنَا مِنْهَا. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ
يَدْخُلُوهَا « لَوْ دَخَلْتُمُوهَا لَمْ تَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ ». وَقَالَ لِلآخَرِينَ قَوْلاً حَسَنًا وَقَالَ « لاَ
طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ ».
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan dan mengangkat bagi mereka seorang pimpinan.
Kemudian pimpinan itu menyalakan api seraya berkata, “Masukilah api itu!!”
Beberapa orang ingin masuk ke api itu. Yang lain lagi berkata, “Sesungguhnya kita itu lari dari api”.
Akhirnya, perkara itu dilaporkan kepada
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kemudian Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada orang-orang yang mau
memasuki api itu, “Andaikan kalian memasukinya, maka kalian akan terus
berada dalam api itu sampai hari kiamat”. Beliau mengucapkan ucapan
yang baik kepada kelompok yang lain, seraya bersabda, “Tak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (7257) dan Muslim dalam Shohih-nya (1840)]
Di dalam riwayat yang lain, Ali -radhiyallahu anhu- berkata,
بعث رسول الله صلى الله عليه و
سلم سرية واستعمل عليهم رجلا من الأنصار وأمرهم أن يسمعوا له ويطيعوا
فأغضبوه في شيء فقال اجمعوا لي حطبا فجمعوا له ثم قال أوقدوا نارا فأوقدوا
ثم قال ألم يأمركم رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تسمعوا لي وتطيعوا ؟
قالوا بلى قال فادخلوها قال فنظر بعضهم إلى بعض فقالوا إنما فررنا إلى
رسول الله صلى الله عليه و سلم من النار فكانوا كذلك وسكن غضبه وطفئت
النار فلما رجعوا ذكروا ذلك للنبي صلى الله عليه و سلم فقال ( لو دخلوها
ما خرجوا منها إنما الطاعة في المعروف )
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- pernah mengutus pasukan dan mengangkat seorang pemimpin atas
mereka dari kalangan Anshor. Beliau memerintahkan mereka agar mendengar
dan menaati pimpinan itu.
Kemudian mereka pun membuat pimpinan
itu marah dalam suatu perkara. Dia (pimpinan itu) berkata,
“Kumpulkanlah untukku kayu bakar”. Mereka pun mengumpulkan kayu bakar
untuknya seraya berkata, “Nyalakan api!!” Lalu mereka menyalakannya.
Tiba-tiba pimpinan itu berkata, “Bukankah Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa sallam- telah memerintahkan kalian agar kalian mendengar dan
menaatiku?” Mereka menjawab, “Betul!!” Dia berkata, “Nah, masuklah
kalian ke dalam api itu!!!” Sebagian pasukan melihat kepada yang lain
seraya berkata, “Sesungguhnya kita ini lari kepada Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- dari api (yakni, api neraka)”.
Mereka senantiasa demikian, lalu
marahnya pun reda dan api pun padam. Tatkala mereka kembali, maka
mereka melaporkan hal itu kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Beliau bersabda, “Andaikan mereka memasuki api itu, maka mereka tak akan keluar darinya. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4340 & 7145) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1840)]
Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat banyak
faedah. Sedang faedahnya yang terpenting bahwa tak boleh menaati
seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah -Tabaroka wa Ta’ala-,
sama saja kepada para pemerintah, ulama, maupun guru.
Darinya diketahuilah kesesatan beberapa kelompok manusia:
Kelompok Pertama:
Sebagian orang-orang tasawwuf
(sufi) yang menaati guru-guru mereka, walaupun guru mereka
memerintahkannya dalam maksiat yang gamblang dengan dalih bahwa maksiat
itu –kata mereka- pada hakikatnya bukanlah maksiat dan bahwa guru
tarekat mampu memandang (menjangkau) sesuatu yang tak mampu dijangkau
oleh murid.
Aku (Syaikh Al-Albaniy) mengenal
seorang guru tarekat dari kalangan mereka ini yang melantik dirinya
sebagai mursyid (guru tarekat). Si guru ini mengisahkan sebuah kisah
kepada para pengikutnya dalam sebagian pelajarannya di masjid. Inti dari kisah itu bahwa
seorang guru tarekat sufi di suatu malam pernah memerintahkan salah
seorang muridnya untuk pergi ke bapaknya. Akhirnya, si murid membunuh
bapaknya di atas pembaringannya, di samping istrinya. Tatkala ia telah
membunuh bapaknya, maka ia pun kembali ke gurunya dalam keadaan penuh
gembira, karena telah melaksanakan perintah sang guru.
Sang guru pun memandang kepada si murid
seraya berkata, “Apakah kamu mengira bahwa engkau telah membunuh
bapakmu pada hakikatnya? Dia itu hanyalah teman ibumu!! Adapun bapakmu,
maka ia tak ada (pergi).
Kemudian si guru tarekat (yang
bercerita ini) membangun sebuah hukum berdasarkan kisah ini menurut
sangkaannya seraya berkata kepada mereka (murid-muridnya), “Sesungguhnya
guru tarekat bila memerintahkan muridnya untuk melakukan suatu hukum
yang menyelisihi syariat menurut lahiriahnya, maka wajib bagi si murid
untuk menaati gurunya dalam hal itu”.
Si guru ini berkata lagi, “Tidakkah
kalian melihat si guru ini tadi –menurut lahiriahnya- memerintahkan si
anak untuk membunuh ayahnya. Akan tetapi pada hakikatnya si guru
hanyalah memerintahkan si murid untuk membunuh orang yang berzina
dengan ibu si anak. Orang itu (yang berzina) memang berhak dibunuh
menurut syariat!!”
Kebatilan kisah ini tak samar menurut syariat dari banyak sisi:
- Bahwa penerapan hukuman hadd, bukanlah hak guru tarekat, bagaimanapun keadaannya. Penerapan hal itu hanyalah dari arah pemerintah.
- Andaikan penerapan hukuman itu adalah haknya, nah kenapakah si guru ini hanya menerapkan hukuman hadd bagi si lelaki tadi, tanpa wanita tersebut. Padahal mereka berdua dalam hal itu sama?
- Sesungguhnya orang berzina yang sudah berkeluarga, hukumnya menurut syariat adalah bunuh dengan rajam, bukan bunuh tanpa rajam.
Dari situ tampaklah bahwa si guru tarekat itu sungguh telah menyelisihi syariat dari beberapa sisi.
Demikian pula (tampaklah kebatilan) urusan si murid tadi yang telah
membangun berdasarkan kisah tadi sesuatu berupa wajibnya taat kepada
guru tarekat, walapun si guru menyelisihi syariat secara
terang-terangan!! Sampai si guru berkata kepada mereka, “Jika kalian
melihat pada leher guru tarekat ada salib, maka tak boleh bagi kalian
mengingkarinya!!”.
Sekalipun kebatilan ucapan seperti ini
amat jelas serta menyelisihi syariat dan akal sekaligus, maka kita
masih saja menemukan ada orang yang tertipu dengan ucapan seperti ini.
Padahal di kalangan mereka ada juga pemuda yang berpendidikan…
Kelompok Kedua: Mereka
itu adalah para tukang taqlid yang lebih mendahulukan untuk mengikuti
pendapat madzhabnya dibandingkan sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-, sementara itu jelas sesuatu yang bisa dipetik dari sabda
beliau.
Jika dikatakan kepada salah seorang
diantara mereka –misalnya-, “Janganlah engkau sholat sunnah Subuh
setelah sholat di-iqomati, karena adanya larangan Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dari hal itu secara gamblang”, maka orang ini tak
akan taat seraya berkata, “Madzhab kami membolehkan hal itu!!”.
Jika dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya
nikah tahlil adalah batal, karena Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
melaknat pelakunya”, maka ia akan menjawab dengan ucapannya, “Tidak
demikian, bahkan itu boleh dalam madzhab fulan”.
Demikianlah halnya sampai ratusan
permasalahan. Oleh karena ini, kebanyakan diantara para muhaqqiqin
berpendapat bahwa para tukang taqlid seperti ini terkena firman Allah
-Tabaroka wa Ta’ala- tentang orang-orang Nasrani,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ [التوبة/31]Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31)[1]
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Fakhr Ar-Roziy dalam Tafsir-nya.
Kelompok Ketiga: Mereka
adalah orang-orang yang menaati para pemerintah dalam perkara yang
mereka syariatkan bagi manusia berupa aturan-aturan dan ketetapan yang
menyelisihi syariat, seperti komunisme dan yang menyerupainya. Orang
yang paling buruk diantara mereka adalah orang yang berusaha
menampakkan bahwa hal itu sesuai dengan syariat, tidak menyelisihinya!!
Ini adalah musibah yang menimpa
kebanyakan diantara orang-orang yang mengaku berilmu dan sholih di
zaman ini, sehingga tertipulah dengannya kebanyakan orang-orang awam.
Karenanya, cocoklah ayat yang terdahulu bagi mereka dan pengekornya,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ [التوبة/31]
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31)
Kita memohon kepada Allah perlindungan
dan keselamatan”. Selesai ucapan Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albaniy, kami nukilkan dari Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/352-354/no. 181), cet. Maktabah Al-Ma’arif, 1415 H.
Inilah beberapa praktek salah dalam
menaati makhluk. Jika kita ingin menyebutkan banyak fakta tentang hal
itu, maka kita butuh waktu panjang dalam menukil dan membahasnya.
Terakhir, perlu kami jelaskan bahwa ketaatan itu bermacam-macam:
a. ketaatan kepada Allah. Disini, seorang wajib taat kepada Allah secara mutlak.b. ketaatan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Seorang hamba wajib menaati Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- secara mutlak. Karena, tak mungkin beliau keliru dalam menyampaikan risalah dan agama Allah. Jika keliru, maka pasti telah dibenarkan dan diluruskan oleh Allah -Azza wa Jalla- Yang telah mengutusnya.c. Adapun ketaatan kepada selain Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka perlu rincian. Jika taat dalam perkara yang ma’ruf (baik), maka boleh, bahkan boleh jadi wajib. Namun jika taat dalam perkara dosa dan maksiat, maka haram hukumnya menaati makhluk dalam hal itu.
[1] Mereka mematuhi ajaran-ajaran
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun
orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau
mengharamkan yang halal. [pen.]
Sumber :