Ditulis oleh Abu ‘Abdillah.
Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan.
Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya
terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir
pada bulan Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun 1436 H ini
bertepatan dengan hari Rabu tanggal 17 Desember 2014). Di sebagian
daerah, hari ini juga dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.
Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000
bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000
malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu
terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya,
diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual
tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang
diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’(shalat sunnah untuk menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah
terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca
surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50
kali (dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat
Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca
sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada
fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat
rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian
dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat
penampungan air lainnya.
Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia
akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika
itu.
Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah karangan
Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram
Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah[1] bahwa
pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang
turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang shalat
pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan
selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyari’atkannya’ ritual
di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang demikian
tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in
tidak pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian
pula generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan
baik.
Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan
musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat
dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak
bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan
ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum,
dan tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu
Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula
mereka membimbing dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya
untuk melakukan yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan
berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini
-sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan
seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
tidak pula sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para
imam madzhab yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari
agama yang murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum
muslimin dari berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
Sumber :