Ditulis Oleh : Ustadz Muhammad Rifqi
المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَكُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِRasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda: “Jadilah engkau (hidup) di dunia ini seakan-akan seperti orang asing atau orang yang safar (orang yang melakukan perjalanan).”Ibnu Umar berkata, “Apabila engkau berada di waktu sore maka jangan tunggu waktu pagi dan apabila engkau berada di waktu pagi maka jangan menunggu waktu sore, manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. al-Bukhari no. 6416)
Para pembaca yang berbahagia.
Sungguh, ini merupakan untaian kata yang sangat indah dan ringkas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam,
yang di dalamnya terkandung banyak pelajaran berharga dan akan menjadi
pedoman bagi kita semua di dalam menjalani kehidupan dunia.
Orang asing adalah seorang yang tinggal di sebuah negeri yang bukan
negeri asalnya karena adanya suatu urusan maka diapun akan bersiap-siap
untuk berangkat dari negeri tersebut kapan saja urusannya selesai dan
kembali ke negeri asalnya, adapun orang yang safar adalah orang yang
sedang melakukan suatu perjalanan yang melewati berbagai negeri dan
tidak bermukim pada negeri yang dia lewati sampai dia menyelesaikan
perjalanannya. Maka negeri asing dan negeri yang dilewati adalah sebagai
permisalan dunia, sementara keberangkatan atau perjalanannya adalah
menuju akhirat. Yang demikian ini bisa dilakukan dengan cara mengingat
kematian, mengurangi angan-angan dan mempersiapkan diri menuju akhirat
dengan melakukan amalan saleh. (Lihat Fathul Qowi al-Matin hal. 131-132)
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan
bimbingan dan arahan untuk menjadikan dan menempatkan jiwa pada keadaan
seperti orang asing atau orang yang safar. (Lihat Subulus Salam juz 2, hal. 645)
Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan,
“Makna hadits ini adalah janganlah engkau condong kepada dunia, jangan
menjadikannya sebagai tempat tinggal yang permanen dan jangan sampai
jiwamu membisikkan kepadamu untuk tinggal selama-lamanya di dunia serta
jangan sampai engkau bergantung kepadanya sebagaimana orang asing yang
tidak bergantung kepada selain negeri asalnya.” (Lihat Fathul Bari juz 11, hal. 234)
Hendaklah seorang mukmin menjadikan kehidupannya di dunia berada pada
salah satu dari 2 keadaan: ibarat keadaan orang asing yang tinggal di
negeri asing yang kesibukannya hanyalah mempersiapkan bekal untuk
kembali ke negeri asalnya (akhirat), atau ibarat keadaan orang yang
safar yang tidak memiliki tempat tinggal sama sekali bahkan siang dan
malamnya dia gunakan untuk berjalan menuju negeri tujuannya. Oleh karena
itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan wasiat kepada sahabat Ibnu Umar RadhiyAllahu ‘Anhuma agar menjadi salah satu dari 2 keadaan dalam menjalani kehidupan dunia. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 378)
Kehidupan seorang mukmin di dunia hendaklah seperti orang asing yang
tidak berkhayal untuk bermukim di negeri yang asing. Hatinya tidaklah
bergantung dengan negeri yang asing tersebut akan tetapi hanya
bergantung pada negeri yang dia akan kembali padanya. Tinggalnya dia di
dunia semata-mata hanyalah dalam rangka mempersiapkan bekal untuk
kembali ke negeri asalnya yaitu akhirat. Atau seperti orang yang safar
yang terus berjalan menempuh perjalanan hingga mencapai batas akhir
perjalanan.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan,
“Seorang mukmin dalam kehidupan dunia adalah orang yang sedih dan
susah, semangatnya adalah sebatas mempersiapkan perbekalan.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 378-379)
Dan barangsiapa yang keadaannya demikian ketika di dunia, maka tidaklah
dia bersemangat kecuali semata-mata dalam rangka mempersiapkan bekal
yang bermanfaat ketika dia kembali ke negeri asalnya. Maka dia pun tidak
akan bersaing dengan penduduk negeri yang dia tinggal terasing di
negeri tersebut dalam rangka memperebutkan kedudukan. Demikian pula
tidaklah dia bersedih dikarenakan kerendahan dirinya dihadapan mereka.
Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata,
“Seorang mukmin adalah ibarat orang asing, tidaklah dia bersedih
dikarenakan rendah kedudukannya di kalangan mereka dan dia pun tidak
akan ikut bersaing di dalam memperebutkan kedudukan. Dia memiliki
kepentingan sendiri sementara orang lain pun memiliki kepentingan
sendiri.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 379)
‘Atha as-Sulaimi Rahimahullah berkata
dalam doanya: “Ya Allah rahmatilah keasinganku dalam kehidupan dunia,
dan rahmatilah kesendirianku dalam kehidupan alam kubur serta rahmatilah
tempat berpijakku kelak tatkala berada di hadapan-Mu.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 379)
Setelah mendengar wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam, Ibnu Umar RadhiyAllahu ‘Anhuma pun memberikan 2 wasiat:
1.
Apabila engkau berada di waktu sore maka jangan menunggu waktu pagi dan
apabila engkau berada di waktu pagi maka jangan menunggu waktu sore.
2. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.
Pendekkanlah Angan-Anganmu
Wasiat pertama yaitu “apabila engkau berada di waktu sore maka jangan menunggu waktu pagi”
maksudnya adalah segeralah engkau beramal sebelum datang waktu pagi dan
jangan katakan aku akan beramal besok saja karena bisa jadi engkau akan
meninggal dunia sebelum datang waktu pagi. Demikian pula “apabila engkau berada di waktu pagi maka jangan menunggu waktu sore”
maksudnya adalah beramallah dan persiapkan bekal berupa amal saleh
karena bisa jadi engkau akan meninggal dunia sebelum datang waktu sore.
(Lihat Syarh al-’Arba’in lil ‘Utsaiminv hal. 391)
Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah mengatakan,
“Hadits ini berisi anjuran untuk memendekkan angan-angan dalam
kehidupan dunia. Dan tidak pantas bagi seorang mukmin untuk menjadikan
dunia sebagai tempat tinggal permanen yang dia merasa nyaman di
dalamnya. Akan tetapi hendaknya seorang mukmin di dalam menjalani
kehidupan dunia ini ibarat seorang musafir yang mempersiapkan perbekalan
untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 377)
Maka janganlah kalian –wahai saudaraku- menunda-nunda untuk beramal,
apabila berada di waktu pagi maka jangan menunggu datangnya waktu sore
atau apabila berada di waktu sore maka jangan menunggu datangnya waktu
pagi. Betapa banyak orang yang masih hidup di waktu pagi namun tidak
mendapati lagi waktu sore, sebaliknya betapa banyak orang yang masih
hidup di waktu sore namun tidak mendapati lagi waktu pagi. Betapa banyak
orang yang memakai pakaian namun tidaklah sempat dia melepaskannya
kecuali orang yang memandikan jenazahnya. Betapa banyak orang yang pergi
dari keluarganya dalam keadaan keluarganya telah mempersiapkan makan
siang dan makan malamnya namun dia belum sempat memakannya. Betapa
banyak orang yang tidur namun dia tidak sempat bangun dari peraduannya.
Sehingga tidak boleh bagi seseorang untuk panjang angan-angan. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin lil ‘Utsaiminv juz 3, hal 458)
Manfaatkanlah Waktu Luangmu
Wasiat kedua yaitu “manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu”
maksudnya adalah sebagai seorang muslim hendaklah bersegera untuk
beramal saleh kapanpun dia mampu untuk melakukannya yaitu tatkala dia
dalam kondisi sehat sebelum datangnya penghalang seperti sakit dan usia
senja dan hendaklah mengisi umur kehidupannya dengan amal-amal saleh
sebelum datangnya kematian secara tiba-tiba maka ia pun akan berpindah
dari negeri amalan (dunia) menuju negeri pembalasan (akhirat). (Lihat Fathul Qowi al-Matin hal. 132-133)
Maka hendaklah diri kita untuk bersegera melakukan amal-amal saleh
sebelum datangnya beberapa perkara yang akan menghalangi untuk beramal
saleh seperti sakit, kematian atau munculnya tanda-tanda kiamat besar
yang ketika itu tidaklah akan diterima amalan seorang hamba. Dan kapan
saja datang penghalang yang menghalangi diri seseorang dengan amalannya,
maka tidak ada lagi yang tersisa baginya kecuali kerugian dan
penyesalan dalam hatinya, dan diapun akan berangan-angan untuk kembali
kepada keadaan yang dia bisa melakukan amalan. Namun sayang,
angan-angannya tidak bermanfaat sedikitpun.
Sebagaimana keadaan orang-orang kafir tatkala kematian datang menjemput:
“(Demikianlah
keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada
seseorang dari mereka, dia berkata: “Wahai Rabbku kembalikanlah aku (ke
dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku
tinggalkan. Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu adalah perkataan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka
dibangkitkan.” (QS. al-Mukminun: 99-100)
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan wasiat,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ
“Ada 2 nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengannya yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari no. 6412)
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam pernah memberikan wasiat kepada seorang pemuda, “Gunakanlah
5 kesempatan sebelum datangnya 5 penghalang: masa mudamu sebelum datang
masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu
sebelum datang kemiskinanmu, waktu luangmu sebelum datang kesibukanmu
dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. al-Hakim no. 7846, Shahihul Jami’ no. 1077)
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam juga pernah berwasiat,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سِتًّا: طُلُوعَ
الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، أَوِ الدُّخَانَ، أَوِ الدَّجَّالَ، أَوِ
الدَّابَّةَ، أَوْ خَاصَّةَ أَحَدِكُمْ أَوْ أَمْرَ الْعَامَّةِ
“Bersegeralah
beramal sebelum datangnya 6 perkara: terbitnya matahari dari arah
barat, munculnya asap, munculnya hewan yang bisa berbicara, kematian dan
hari kiamat.” (HR. Muslim no. 2947)
Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah berkata,
“Apabila matahari telah terbit dari barat maka para malaikat akan
menutup buku-buku catatannya dan meletakkan pena-penanya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam juz 2, hal. 390)
Sa’id bin Jubair Rahimahullah berkata, “Setiap hari dari kehidupan seorang mukmin maka itu adalah keuntungan baginya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, juz 2, hal. 391)
Asy-Syaikh al-’Utsaimin Rahimahullah berkata,
“Sepantasnya bagi seorang yang berakal, selama dia masih hidup dan
diberi kesehatan hendaklah bersemangat untuk beramal sebelum kematian
datang menjemput maka akan terputuslah amalannya.” (Lihat Syarh al-’Arbai’in lil ‘Utsaimin hal. 393)
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber :
http://buletin-alilmu.net/2014/04/24/wasiat-berharga-untuk-setiap-muslim/