Selasa, 06 Oktober 2015

MENGENAL LEBIH DEKAT NEGERI TAUHID

Oleh: Ustadz Qomar Z.A, Lc

NEGERI TAUHID ANTI TERORIS

Secara umum, membela kebenaran dan membantu pihak-pihak yang di atas kebenaran adalah merupakan salah satu dari kewajiban yang Allah wajibkan kepada hamba-Nya. Salah satu fakta kebenaran dan pihak yang di atas kebenaran yang saat ini sedang menjadi sorotan di seantero dunia adalah Kerajaan Arab Saudi. Sehingga pembahasan yang mengulas sisi-sisi kebaikan negeri tauhid ini dipandang perlu sebagai bentuk pembelaan terhadap kebenaran.

Pada masa ini Kerajaan Arab Saudi digambarkan oleh banyak pihak sebagai sebuah negara yang menjadi sumber berbagai kejelekan baik dalam hal pemikiran maupun perbuatan. Gambaran buruk yang dihembuskan baik oleh pihak kafir atau sebagian kaum muslimin ini menyebabkan wajah Negara Arab Saudi tercoreng. Padahal bagi yang mengetahui hakekat kerajaan Arab Saudi dan berbagai kebaikan-kebaikannya  semestinya mereka berterima kasih, bahkan  membela atau paling tidaknya mendoakan untuk kebaikannya. Mendoakan kekokohan bagi Kerajaan Arab Saudi untuk meneruskan berbagai aktivitas yang positif untuk Islam.

Ada dua pihak yang saat ini banyak mencela Kerajaan Arab Saudi.:
1. Pihak yang pertama adalah mereka  yang memang memendam kebencian terhadap Arab Saudi. Pihak ini bisa berasal dari golongan yang memang tidak menyukai Islam yang benar baik dari orang-orang kafir yang memusuhi Islam secara lahir maupun batin atau pihak-pihak yang merasa terusik oleh Arab Saudi baik dari sisi kepentingan politik maupun kepentingan agama. Misalnya, ketika Arab Saudi membawa dakwah tauhid maka orang yang tidak benar tauhidnya pasti  akan membencinya. Atau ketika Arab Saudi giat mendakwahkan akidah ahlussunnah wal jamaah yang menentang pemikiran-pemikiran sesat seperti khawarij, maka orang-orang yang berpaham khawarij pun tentu akan membencinya.

2. Pihak kedua adalah pihak yang tidak tahu menahu. Mereka membenci Negara Arab Saudi karena terpengaruh oleh berita-berita dari pihak pertama. Dengan pemberitaan yang dibuat-buat yang akan mengesankan kepada sebagian orang bahwa Arab Saudi adalah suatu negara yang memiliki beberapa sisi negatif . Bagi pihak kedua  ini maka sangat mungkin mereka akan sadar jika mendapatkan informasi yang benar; sehingga pandangannya akan berubah.

Kerajaan Arab Saudi yang kini berdiri tergolong pada kekuasaan periode ketiga. Melalui Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Faishal, pada periode ini Kerajaan Arab Saudi memiliki kekuasan dan luas wilayah yang bertahan sampai sekarang. Kerajaan Arab Saudi merupakan negara Arab Islami yang memilki kekuasaan yang penuh, agamanya adalah Islam dan undang-undangnya adalah Al Quran dan As Sunnah.
Dua hal yang tak bisa ditawar dalam garis kebijakan Kerajaan Arab Saudi adalah menegakkan akidah tauhid dan menegakkan keamanan pada wilayah kekuasaannya. Maka seluruh kegiatan yang dilakukan Kerajaan Arab Saudi selalu kembali kepada dua hal ini.  Dan seluruh sumbangsih mereka untuk dunia pun kembali kepada dua perkara ini.

Sumbangsih Untuk Akidah Tauhid

Kerajaan Arab Saudi sangat memerhatikan akidah Islam dan keutuhannya. Maka salah satu kebaikan  negeri tauhid ini adalah membiarkan para ulama ahlusunnah berbicara tentang apa saja selama sesuai Al Quran dan As Sunnah. Bagi pihak yang pernah berkunjung bahkan tinggal di sana pasti akan merasakan suasana ini. Para ulama bebas berbicara tentang agama selama di atas Al Quran dan As Sunnah. Mereka –para ulama Saudi- adalah tokoh-tokoh berilmu yang independen dalam menyuarakan kebenaran. Suasana ilmiah di atas dalil syar’i senantiasa terlihat di forum-forum akademis. Ini semua didorong oleh kebijakan pemerintah yang sejuk terhadap budaya ilmiah yang  syar’i.

Suasana ilmiah yang senantiasa dinaungi pemerintah ini, menumbuhkan tradisi akademis yang kokoh berdiri di atas pondasi ilmu. Dari sana lahirlah para ulama yang amanah di atas ilmu.  Meskipun pada umumnya mereka dalam bab fikih bermazhab hambali akan tetapi mereka bukanlah termasuk yang fanatik terhadap salah satu mahzab.  Dalam buku-buku para ulama di sana sangat banyak bukti yang menunjukkan hal ini. Bahkan dalam kurikulum pendidikan nasional Kerajaan Arab Saudi disampaikan pelajaran dengan materi perbandingan mahzab-mahzab seperti yang terdapat dalam kitab Bidayatul Mujtahid Karya Ibnu Rusyd. Demikian juga kitab Nailul Authar karya Imam Syaukaniy, seorang ulama yang terkenal tidak fanatik pada salah satu mahzab.

Adapun dalam hal akidah, mereka  satu yaitu akidah ahlussunnah wal jamaah. Akidah mereka adalah akidah yang dipegangi oleh imam yang empat, yaitu akidah Imam Ahmad, Imam Syafii, Imam  Malik, dan Imam Abu Hanifah. Sehingga secara ringkas dan tegas, akidah Kerajaan Arab Saudi sejalan dengan 4 imam mahzab.

Salah satu kebaikan lain Kerajaan Arab Saudi di bidang akidah adalah selain mempersilahkan ulama berbicara selama tidak melanggar Al Quran dan As Sunnah, sebaliknya mereka juga melarang siapa saja yang berbicara jika tidak sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah. Maka ketika ada yang ingin mengajarkan sesuatu yang berbau kesyirikan atau kebid’ahan akan dicegah. Termasuk belakangan ini ketika ada tokoh- tokoh yang berbicara mendukung gerakan teroris maka ditindak oleh pemerintahan Arab Saudi bahkan sebagiannya dipenjarakan. Bahkan secara resmi diumumkan oleh pemerintah bahwa barangsiapa  yang memuji-muji kelompok teroris seperti al Qaeda atau  ISIS maka akan ditindak. Demikianlah langkah ini ditempuh pemerintah Arab Saudi untuk menjaga keutuhan akidah ahlussunnah waljama’ah.

Semakin kuat gambaran kita atas kesungguhan Kerajaan Arab Saudi dalam menegakkan akidah tauhid dan hukum-hukum Islam dengan persaksian As Syaikh bin Baz rahimahullah berikut ini. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya sejarah Islam setelah  masa kenabian dan khulafur rasyidin tidak pernah menyaksikan kekokohan dalam berpegang secara sempurna terhadap hukum-hukum Allah sebagaimana yang disaksikan pada Jazirah Arab kecuali pada saat ia di bawah naungan Kerajaan Arab Saudi  yang mendukung dakwah ini dan membelanya.”

Sumbangsih di Bidang Keamanan

Disebutkan bahwa Kerajaan Arab Saudi sejak masa kekuasaan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Faishal boleh dikatakan sebuah negara yang paling aman secara politik maupun keamanan jika dibandingkan negara yang lain. Dan ini dipersaksikan bagi siapa pun yang pernah tinggal dan hidup di sana. Meskipun tentu tetap saja ada beberapa kejahatan sebagaimana pada zaman Nabi pun ada beberapa kejahatan. Akan tetapi itu bersifat kasuistik dan personal. Secara umum Kerajaan Arab Saudi adalah negara paling aman yang ada saat ini.  Ini semua merupakan buah menegakkan tauhid. Beberapa ulama pun mempunyai persaksian terhadap keadaan ini, seperti Syaikh Muqbil pernah  mengungkapkan persaksiannya dalam rekaman kaset yang berjudul  ‘Musyahadatu fi Su’udiyah’.

Termasuk sumbangsih Arab Saudi terhadap keamanan adalah bahwa mereka termasuk negara yang paling memerangi terorisme.  Hal ini bertolak belakang dengan gambaran yang kita dapatkan dari  berbagai media massa termasuk yang sering kita dengar di negeri kita. Mereka cenderung mengidentikkan Arab Saudi dengan terorisme. Atau lebih khusus lagi mereka mengidentikkan gerakan terorisme dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab . Ini adalah kedustaan yang nyata karena kita tahu bahwa Syaikh dan keluarga kerajaan sangat membenci terorisme.
Padahal jika kita mengerti, hakekat gerakan terorisme yang mengatasnamakan Islam ini disebabkan oleh penyimpangan dalam masalah akidah terutama dalam permasalahan takfir. Yaitu pemikiran yang menggampangkan dalam permasalahan pengafiran. Mudah mengafirkan orang adalah sumber gerakan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Ketika penguasa yang sah dianggap kafir, maka akan memunculkan gerakan teror terhadap pemerintah dan jajarannya, muncul upaya untuk menggulingkan,  muncul upaya untuk membuat kekacauan.

Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah figur yang sangat berhati-hati dalam bab pengafiran. Beliau pernah berkata yang secara makna  sebagai berikut, “ Rukun Islam ada lima, yang pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat dan yang keempat berikutnya berupa pelaksanaan syariat amalan anggota badan. Untuk keempat rukun Islam ini apabila ada yang meninggalkannya karena malas maka para ulama berbeda pendapat tentang status pelakunya kafir atau tidak. Adapun kami sendiri tidak mengafirkan seseorang kecuali dengan sebab yang disepakati  oleh para ulama yaitu ketika ia meninggalkan syahadat.  Penentuan kekafiran mereka pun harus didahului oleh penegakan hujjah. Pelakunya harus diberi penjelasan secara gamblang dan jelas tentang kafirnya seseorang yang meninggalkan syahadat dengan sengaja. Adapun apabila setelah diberi penjelasan tetap mengingkari, maka baru dijatuhkan vonis. Meskipun apabila keadaan menuntut kami  untuk memerangi pihak-pihak yang meninggalkan rukun Islam yang empat tersebut, maka kami tetap berpendapat tentang tidak kafirnya mereka ini.” Dari pernyataan ini terlihat betapa hati-hatinya beliau terhadap masalah pengafiran. Lantas mengapa  beliau dituduh mudah mengafirkan?

Salah satu cucu beliau, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrhman bin Hasan,  memberikan persaksian, ”Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab termasuk orang yang paling berhati-hati untuk memvonis kekafiran terhadap seseorang. Bahkan beliau tidak memastikan tentang kafirnya seorang penyembah kubur jika melakukannya dalam keadaan jahil (tidak mengetahui hukumnya).

Pelaku amalan kesyirikan tersebut haruslah terlebih dahulu diberi nasehat dan ditegakkan hujjah, karena dengan hujjah itu baru bisa dipastikan kekafirannya. Inilah salah satu dari sekian bukti dan persaksian bahwa  tuduhan terhadap beliau sebagai sumber terorisme sama sekali tidak berdasar.

Demikian pula pemerintahan Kerajaan Arab Saudi sejalan dengan para ulamanya dalam masalah akidah dan terorisme. Amir Sulthan bin Abdul Aziz pernah menjelaskan, “Agama Islam mengharamkan tindakan teror. Barangsiapa yang yang melakukan gerakan tersebut dengan mengatasnamakan Islam maka dia jahil terhadap agama ini. Begitu juga jika ada yang menyifati orang Islam sebagai teroris maka ini sangat mengada-ada dan orang itu telah berbuat jahat. Karena Islam sama sekali tidak membenarkan terorisme. Barangsiapa dari kaum muslimin yang melakukan tindakan terorisme maka kondisinya seperti  pengikut agama lain yang melakukan terorisme.”  Perhatikanlah, ini adalah salah satu pernyataan dari para petinggi Kerajaan Arab Saudi. Demikianlah prinsip Kerajaan Arab Saudi terhadap terorisme.

Upaya pemberantasan teroris pun dilakukan secara nyata oleh Kerajaan Arab Saudi. Mereka tidak melindungi para pelaku terorisme meskipun ia adalah warganya sendiri, sebagaimana Usamah bin Laden. Meskipun sikap kerajaan yang seperti ini akhirnya menjadikan  mereka saat ini justru menjadi sasaran terorisme. Beberapa warga negara Arab Saudi yang terpengaruh terorisme melakukan teror di beberapa tempat di dalam wilayah kerajaan. Bahkan telah banyak pula tentara-tentara kerajaan yang gugur dalam memerangi terorisme. Lalu dari sisi mana kerajaan Arab Saudi dituduh sebagai negara teroris?

Semasa hidup Raja Abdullah beliau sempat memberikan pengumuman resmi dari Kerajaan bahwa rakyat Arab Saudi tidak diperbolehkan ada yang terlibat dalam kancah peperangan  di luar negeri.  Apabila ada yang melanggar dari kalangan penduduk sipil maka hukumannya dipenjara selama 3 tahun dan apabila dari kalangan militer akan dihukum penjara selama 5 tahun. Ini satu lagi bukti tentang bencinya Kerajaan Arab Saudi terhadap terorisme.

Bagaimana seseorang dan negara yang demikian membenci terorisme justru dituduh melahirkan terorisme? Maka bukti-bukti inilah antara  lain sebagai bantahan bagi pihak yang senatiasa menuduh Arab Saudi sebagai negara teroris.

Selain teroris yang juga sangat membenci Arab Saudi adalah orang-orang sekuler dan liberal. Mereka sering menuduh dengan dusta atau dengan penilaian yang tidak adil. Mereka sangat ceroboh dalam menuduh, hanya karena di dalam kitab-kitab syaikh tersebutkan hukum-hukum tentang pengafiran lantas demikian saja menuduh syaikh sebagai orang yang mudah mengafirkan. Padahal tuduhan pengafiran bukanlah perkara yang mudah. Bahkan hukum Islam punya aturan yang rinci dalam menjatuhkan vonis ini.

Terhadap seorang kafir pun, Islam memiliki perincian hukumnya. Tidak lantas dengan sekedar menyandang kekafiran seseorang dengan mudah ditumpahkan darahnya. Tidak demikian. Seandainya seluruh orang kafir harus dibunuh maka tentu tidak akan ada aturan yang berkaitan dengan kafir dzimmi. Padahal pada kenyataannya ada orang-orang kafir yang tidak melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin tetap diizinkan hidup dan tinggal di negeri muslim dengan syarat-syarat tertentu. Inilah yang disebut dengan kafir dzimmi. Keamanan mereka dijaga oleh negara.

Demikianlah, Kerajaan Arab Saudi adalah sebuah negeri Islam. Undang-undang Dasarnya adalah Al Quran dan As Sunnah. Mereka membenci terorisme sebagaimana Islam membenci terorisme. Mereka menegakkan tauhid sebagaimana Islam adalah agama tauhid. Sumbangsih Kerajaan Arab Saudi terhadap penegakkan akidah Islam sedemikian besarnya. Kebencian mereka kepada terorisme muncul dari landasan yang paling asasi, karena terorisme adalah penyimpangan terhadap akidah Islam yang memiliki wajah humanis.

Berlembar-lembar halaman mungkin jika dituliskan seluruh sumbangsih Kerajaan Arab Saudi untuk Islam, kaum muslimin, bahkan untuk kemanusiaan secara umum di seluruh penjuru dunia. Bagi orang-orang yang jujur dan adil dalam menilai tentu bukan hal yang sulit untuk menemukan bukti-bukti itu. Semoga kaum muslimin mendapatkan hidayah sehingga dapat jernih dalam mendudukkan perkara dan jujur dalam bersikap. Sesungguhnya dikhawatirkan ketika mereka membenci negeri tauhid, sadar atau tidak sadar mereka akan terjerumus dalam membenci Islam itu sendiri. Wallahu musta’an.

Dalam hal dakwah, keberadaan Jamiah Al Islamiyyah (Universitas Islam Madinah) merupakan bukti nyata yang tak bisa dimungkiri atas sumbangsih Kerajaan Arab Saudi untuk Islam dan kaum muslimin di seluruh dunia. Sejak berdirinya hingga sekarang sudah ribuan mahasiswa muslim dari seluruh penjuru dunia  yang mendapatkan beasiswa. Bukan hanya bebas biaya pendidikannya bahkan setiap bulannya mereka mendapat dana untuk membeli kitab dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang jika dirupiahkan bukan terbilang sedikit.  Belum lagi, pada saat liburan pun mereka diberi kesempatan untuk pulang ke daerah masing-masing yang dijamin biaya transportasinya pulang pergi. Bayangkan jika diuangkan berapa milyar dolar yang telah dikeluarkan Kerajaan Arab Saudi demi tegaknya Universitas diniyyah yang bergengsi ini. Sungguh tidak bisa dimengerti jika ada yang sarjana-sarjana diniyyah lulusannya kemudian justru membenci pemerintah Arab Saudi. Fenomena manusia yang tiada syukur akan berbagai nikmat yang telah mereka dapatkan.

Dalam penyelenggaraan haji, jika hanya memperhatikan ini saja, mestinya kaum muslimin di seluruh dunia sudah harus berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Kerajaan Arab Saudi. Berapa juta jamaah haji setiap tahunnya dari seluruh pejuru dunia yang telah mereka layani. Kenyamanan dan keamanan yang luar biasa  selama ibadah haji dirasakan jamaah haji. Upaya yang luar biasa demi kelancaran dan kenyamanan ibadah haji mereka lakukan tanpa pamrih tanpa berharap bayaran dari negara-negara asal jamaah. Mereka menyediakan fasilitas – fasilitas tanpa memungut biaya. Adapun keuntungan dari hasil sewa hotel / penginapan atau produk-produk makanan serta souvenir kembali kepada person-person para pengusaha tidak masuk kas negara karena pemerintah Saudi tidak mengenal perpajakan.

Berapa besarnya biaya dan pekerja yang telah mereka kerahkan untuk kaum muslimin selama penyelenggaran haji? Hampir tak terhitung.  Bahkan menjadi syiar mereka merasa bangga melayani ibadah ibadah haji kaum muslimin seluruh dunia.

Pada setiap kesempatan ibadah haji, pemerintah Saudi selalu membagikan buku bimbingan haji secara gratis. Berapa biaya yang telah mereka belanjakan untuk mencetak jutaan eksemplar buku ini? Hanya saja sangat disayangkan buku ini banyak yang dibuang karena hasutan dan isu tentang wahabi. Sangat disayangkan ketika ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab selalu memberi peringatan kepada jamaah haji Indonesia agar tidak menerima buku-buku yang dibagikan gratis ini. Yang mereka lakukan ini bisa jadi terhitung sebagai upaya untuk menjauhkan orang untuk mendapat bimbingan ilmu yang berdasarkan Al Quran dan hadis.  Sungguh ironi sebuah upaya yang dapat menjauhkan manusia dari dakwah Islam.

Sumbangsih yang lain dapat kita lihat bagaimana perhatian Kerajaan Arab Saudi terhadap negeri-negeri Islam. Banyak orang yang menyangka Arab Saudi tidak memiliki peran terhadap Palestina. Entah mengapa kantor-kantor berita tidak memberitakan kebaikan-kebaikan Arab Saudi kepada Palestina. Padahal Kerajaan Arab Saudi sejak pemerintahan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman sangat memiliki perhatian terhadap Palestina dan telah melakukan banyak hal. Persaksian atas ini muncul dari salah seorang warga Palestina sendiri.

Sebuah tulisan yang ditulis di Jamiah Islamiyah di Gazza oleh Mustofa Syaain, Asisten Profesor di bidang tarikh, dan Abdul Hamid Jamal Al Harrani  Ketua Bagian Tarikh, tentang upaya Saudi terhadap konflik Palestina telah menjadi saksi atas itu semua.  Dalam buku itu, penulis menyebutkan sebagai berikut, “Kerajaan Arab Saudi dari Raja, pemerintahan, dan rakyatnya telah melakukan pengorbanan yang tidak kecil dalam  upayanya yang sangat besar demi membela rakyat Palestina. Dan bantuan itu berdasarkan keimanan yang diyakini sebagai pelaksaan syariat. Kerajaan Arab Sadi telah menyumbangkan materi maupun personel perang bersama tentara mesir melawan kafir Yahudi. “

Raja Faishal bin Abdul Aziz  pun pernah berpidato bicara di depan para pimpinan negara Islam menunjukkan betapa empati yang beliau miliki untuk Palestina, “Telah dilakukan berbagai usaha untuk segera menyelesaikan masalah Palestina termasuk menghubungi negara-negara besar. Akan tetapi sampai hari ini upaya ini tidak menampakkan hasil. Oleh karena itu, mulai saat ini maka kami serukan jihad bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk melawan Yahudi. Maka tidak ada jalan lain untuk membela rakyat Palestina kecuali dengan jihad fi sabilillah. Dan jika Allah belum mengabulkan seruan jihad ini, maka semoga Allah mewafatkanku dalam waktu dekat.”  Maka dengan hikmah-Nya kemudian Allah belum mewujudkan seruan jihad tersebut. Dan Allah  mewafatkan beliau tidak lama setelah itu. Beliau ditembak mati . Semoga Allah merahmati beliau.

Di Afghanistan, ketika kaum muslimin di sana berperang melawan pasukan  kafir Uni Soviet, maka pemerintah, ulama, dan rakyat Arab Saudi pun sangat bersemangat untuk ikut berperang. Ketika itu banyak dari rakyat dan dosen-dosen Jamiah Islamiyah yang mengikuti jihad tersebut termasuk SYAIKH RABI' Hafizhahullah.

Akan tetapi, sayang sekali beberapa rakyat Arab Saudi telah dirusak oleh tokoh-tokoh hizbiyyun (sempalan islam) di sana. Sehingga sepulang dari Afgahnistan mereka membenci  Arab Saudi hingga melakukan peledakan dan mengafirkan ulama dan pemerintahnya.

Demikian pula terhadap kaum muslimin di Bosnia. Sejumlah besar bantuan mereka kerahkan untuk membantu saudara seiman yang sedang dizhalimi oleh musuh-musuhnya.  Inilah sekelumit data, sekadar untuk mengingatkan betapa besar bantuan Arab Saudi kepada Islam dan kaum muslimin.

Belum lama ini ada seorang penulis, menulis persaksian tentang data kebaikan Arab Saudi yang  ia peroleh saat mendampingi kunjungan resmi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin atas undangan Menteri Urusan Islam Arab Saudi al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh ke Arab Saudi pada 15-20 Maret 2015, terutama saat mengunjungi Sultan bin Abdul Aziz Humanitarian City (SBAHC) di Riyadh.

⏩ Ia mengatakan, “SBAHC tidak saja memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk berkebutuhan khusus, tetapi juga memberikan perumahan gratis kepada penduduk tak mampu, mengembangkan pendidikan dan berbagai program pemberdayaan lain yang tidak saja di Saudi, tetapi juga di luar negeri, termasuk Indonesia.” Salah satu contoh dari kerja filantropis Sultan adalah pembiayaan perlombaan menghafal Al Quran dan Hadis Nabi di Indonesia sejak 2006 hingga kini yang menelan biaya miliaran rupiah.

Tahun ini perlombaan ke-7 pada 22- 26 Maret 2015 yang juga dihadiri Pangeran Khalid bin Sulthan dan Menteri Urusan Islam al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh yang secara riil dapat mendorong muda-mudi Muslim Indonesia berlomba menghafal Al Quran dan Hadis Nabi. Tentu banyak lagi data yang menyinggung kontribusi Saudi terhadap kemanusiaan internasional.

Dalam sebuah riset Saudi Arabia as a Humanitarian Donor: High Potential, Little Institutionalization yang ditulis Khalid al-Yahya dan Nathalie Fustier, negara kerajaan ini merupakan negara donor bantuan kemanusiaan terbesar di dunia dan anggota OECD Development Assistance Committee.

Demikian juga dengan gempa di Haiti 2010, Saudi menyumbang 50 juta dolar bagi dana penanggulangan darurat. Pada 2008, Saudi menyediakan dana segar senilai 500 juta dolar untuk Program Pangan Dunia dan dicatat sebagai kontribusi terbesar sejarah organisasi ini.

Menurut situs Humanitarian News and Analysis (IRIN), Saudi menyumbang 70 persen dari donasi yang diperlukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menangani pengungsi konflik Irak sebesar 500 juta dolar dan menjadikan Saudi sebagai donator terbesar keempat setelah AS, Uni Eropa, dan Inggris (www.irin- news.org, 17/09/2014).

Bahkan, studi oleh Bank Dunia, Saudi merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia kepada negara-negara berkembang, khususnya pada program Official Development Assistance (ODA) sepanjang 1973-2010 dengan mendanai 472 proyek di 77 negara (43 Afrika, 27 Asia, dan 7 negara lain).

Pada 2013, Saudi mendonasikan 109 juta dolar untuk program kedaruratan kemanusiaan PBB dan banyak lagi bantuan kemanusiaan di bawah payung Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikeluarkan Saudi, seperti 50 juta dolar untuk kemanusiaan di Irak (2014) dan menjanjikan bantuan 500 juta dolar bagi kemanusiaan Irak melalui PBB.

Hal serupa juga pada 2014, Saudi mendonasikan SR 1,8 miliar untuk proyek-proyek PBB di Irak, SR 750 juta kepada pengungsi Suriah, dan SR 1,8 miliar bagi proyek rekonstruksi Gaza (Arabnews).

Kedermawanan Saudi  mengungguli Barat, apalagi bila disertakan sumbangsih partikelir dan volunteer rakyatnya yang tidak bisa didata.

Ada dua faktor utama ekspose aspek humanisme Saudi ini terjadi :

Pertama, kecenderungan sebagian media yang terjebak dalam kampanye terorisme Barat, seolah radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme itu dari Wahabisme dengan tujuan politis, ekonomis, bahkan ideologis. Anggapan ini tentu keliru, bahkan Saudi menjadi salah satu negara Timur Tengah yang paling keras perlawanannya terhadap radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme.

Kedua, ikhlas tanpa publikasi. Keinginan sengaja pihak Saudi untuk tidak memublikasikan bantuan karena ajaran agama yang tak menganjurkan publikasi kebajikan yang telah diberikan.

Salah satu contoh keengganan Saudi memublikasikan bantuan adalah penuturan seorang sumber di Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta kepada penulis baru-baru ini. Saudi memberikan bantuan pengobatan terhadap almarhum KH Sahal Mahfudz, tokoh Nahdlatul Ulama (NU)–yang sebagian tokohnya kerap menghujat Wahabisme sebagai ideologi berbahaya dan transnasional.

Ketika almarhum sakit, Saudi menawarkan tiga hal kepada beliau, yaitu berobat ke Saudi, berobat ke rumah sakit mana saja di dunia, atau berobat di rumah sakit Indonesia yang semua pembiayaannya ditanggung pihak kerajaan. Dengan berbagai pertimbangan, almarhum memilih opsi ketiga di mana seluruh pengobatan selama sakit ditanggung Kerajaan Saudi. Cerita ini belum pernah diungkap kecuali setelah beliau wafat dan itu pun kepada kalangan terbatas. Bisa jadi almarhum bukan satu-satunya orang di Indonesia yang mendapatkan kebajikan `tanpa pamrih’ Saudi.

Namun, data dan fakta kedermawanan dan humanisme Saudi belum dapat memalingkan persepsi umum dunia dan Indonesia secara khusus dari stigmatisasi terhadap negeri bak `sinterklas’ ini. Saudi masih didesain dan diidentifikasi sarang gerakan transnasional (Wahabisme) yang seakan mengancam NKRI.

Padahal, sejarah Indonesia yang memiliki jalinan erat dengan negeri ini jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia hingga sekarang belum menyaksikan pengaruh negatif relasi ini, bahkan justru sangat positif. Hal itu tidak sebanding jika dikomparasi dengan pengaruh ideologi Iran, misalnya, yang menyebar secara clandestine. Cukup pengalaman pahit konflik horizontal Irak, Suriah, dan sekarang Yaman menjadi contoh konkret potensi ancaman ideologi yang dapat mengoyak kedamaian ibu pertiwi.

Namun, data dan fakta kedermawanan dan humanisme Saudi belum dapat memalingkan persepsi umum dunia dan Indonesia secara khusus dari stigmatisasi terhadap negeri bak `sinterklas’ ini. Saudi masih didesain dan diidentifikasi sarang gerakan transnasional (Wahabisme) yang seakan mengancam NKRI.

Padahal, sejarah Indonesia yang memiliki jalinan erat dengan negeri ini jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia hingga sekarang belum menyaksikan pengaruh negatif relasi ini, bahkan justru sangat positif. Hal itu tidak sebanding jika dikomparasi dengan pengaruh ideologi Iran, misalnya, yang menyebar secara clandestine. Cukup pengalaman pahit konflik horizontal Irak, Suriah, dan sekarang Yaman menjadi contoh konkret potensi ancaman ideologi yang dapat mengoyak kedamaian ibu pertiwi.

Saatnya Saudi menjadikan aspek humanisme dan filantropisnya sebagai strategi soft power demi keberlangsungan pembangunan, keadilan, dan kedamaian. Realita humanisme Saudi berlanjut walau tanpa peliputan masif media, mengungguli humanisme Barat yang cenderung lebai dan penuh agenda. Fakta dan data berbicara lebih kuat dan humanisme Saudi bukan basa-basi. “ (Dikutip dari Republika.co.id, Saturday, 28 March 2015, 15:13 WIB).

Sumber :
Majalah Qudwah Edisi 30 Vol. 3 1436H/2015M

WhatsApp Salafy Indonesia http://forumsalafy.net